Krisis lingkungan global, khususnya perubahan iklim, telah bertransformasi dari sekadar isu ekologis menjadi ancaman strategis fundamental yang memengaruhi stabilitas internasional dan keamanan nasional. Evolusi ancaman ini memaksa komunitas internasional untuk menggeser paradigma keamanan dari fokus tradisional (militer) ke fokus yang lebih inklusif terhadap Ancaman Keamanan Non-Tradisional (Non-Traditional Security/NTS).
Bagi Indonesia dan kawasan Asia Tenggara, ancaman NTS yang muncul dari perubahan iklim bersifat lintas negara dan multidimensi. Selain keamanan energi dan terorisme internasional, isu perubahan iklim dan kerusakan lingkungan hidup, serta migrasi internasional, kini menjadi tantangan utama yang membahayakan sendi-sendi kehidupan warga negara. Penanganan ancaman transnasional ini tidak dapat hanya mengandalkan kebijakan domestik, melainkan harus diintegrasikan dengan kebijakan luar negeri dan kerja sama regional, sebagaimana yang diupayakan melalui diplomasi parlemen Indonesia di forum seperti ASEAN Inter-Parliamentary Assembly (AIPA).
Kerangka Teoritis: Iklim sebagai Threat Multiplier dan Konsep Keamanan Manusia (Human Security)
Analisis mengenai hubungan kompleks antara iklim dan konflik sering kali mengadopsi kerangka Threat Multiplier. Dalam model ini, perubahan iklim tidak dianggap sebagai penyebab tunggal dan langsung dari perang atau konflik. Sebaliknya, iklim bertindak sebagai pengganda ancaman (threat multiplier) yang memperburuk ketegangan sosial dan ekonomi yang sudah eksis di kawasan-kawasan rentan. Sebagai contoh, studi kasus konflik di Darfur, Sudan, menunjukkan bagaimana tekanan lingkungan yang ekstrem memperparah kerentanan yang ada, mengubah ketegangan lokal menjadi kekerasan yang meluas.
Dampak dari proses penggandaan ancaman ini paling baik dipahami melalui lensa Keamanan Manusia (Human Security). Kerangka ini berfokus pada perlindungan individu, menyoroti bagaimana perubahan iklim mengancam keselamatan individu, mata pencaharian, dan hak-hak dasar manusia, termasuk hak untuk hidup, hak atas air bersih, dan hak atas pangan. Ketika bencana alam seperti banjir, erosi, atau kekeringan intensif terjadi, masyarakat kehilangan akses terhadap hak-hak dasar tersebut, yang pada akhirnya meningkatkan kemungkinan konflik dalam upaya mempertahankan kelangsungan hidup.
Analisis ini juga perlu memasukkan perspektif kritis yang melampaui determinisme lingkungan semata. Kajian Political Ecology (Ekologi Politik), yang dikembangkan oleh tokoh seperti Piers Blaikie, menekankan bahwa kerentanan masyarakat terhadap bencana yang dipicu iklim bukan semata-mata kegagalan alam, tetapi merupakan hasil langsung dari relasi kekuasaan dan struktur sosial yang ada. Perspektif ini menyoroti bahwa perubahan iklim memperburuk ketidaksetaraan sosial-ekonomi yang sudah ada, seperti kemiskinan, kurangnya layanan pendidikan, dan lemahnya perlindungan sosial. Oleh karena itu, konflik yang timbul di kawasan rentan adalah produk dari kebijakan, kegagalan tata kelola, dan ketidaksetaraan dalam mengakses serta mengelola sumber daya, yang kemudian dipercepat oleh tekanan iklim. Pengakuan atas dimensi kekuasaan inilah yang harus mendorong solusi geopolitik untuk mencakup reformasi struktural, bukan hanya adaptasi teknis murni.
Dimensi Konflik: Kelangkaan Sumber Daya dan Titik Ketegangan Global
Keterkaitan antara kelangkaan sumber daya, perubahan iklim, dan konflik merupakan inti dari dimensi geopolitik krisis lingkungan. Persaingan untuk mendapatkan sumber daya yang menyusut, terutama air dan pangan, kini menjadi pemicu ketegangan di berbagai skala, dari lokal hingga antarnegara.
Konflik Air sebagai Isu Geopolitik Utama
Krisis air di kawasan rentan seperti Timur Tengah dan Afrika merupakan tantangan multidimensi yang disebabkan oleh perpaduan perubahan iklim, peningkatan populasi, dan buruknya pengelolaan sumber daya air. Perubahan iklim mengganggu siklus hidrologi, menyebabkan siklus kekeringan dan banjir yang berulang.
Secara geopolitik, krisis air sering kali terwujud dalam persaingan antara negara-negara hulu dan negara-negara hilir di sistem sungai lintas batas. Negara hulu sering memanfaatkan keunggulan geografis dan politik mereka untuk mendominasi sumber daya air. Kecenderungan egosentris ini mengakibatkan distribusi air yang tidak merata, memaksa negara-negara hilir menanggung biaya yang signifikan, bahkan berutang, demi mengamankan pasokan air yang memadai. Untuk mengatasi masalah ini, komunikasi proaktif antarnegara dan peran aktor internasional seperti Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) sangat penting untuk menegakkan perjanjian pembagian air yang adil dan kerangka hukum yang jelas.
Di tingkat sub-nasional, dampak perubahan iklim juga memicu ketegangan di Indonesia. Krisis ketersediaan air bersih telah menjadi dampak nyata. Studi kasus, seperti krisis air di Desa Butuh, menunjukkan permasalahan ketersediaan air saat musim kemarau dan kebutuhan akan solusi rehabilitasi yang memadai untuk mencegah potensi konflik di tingkat komunitas.
Iklim, Ketahanan Pangan, dan Konflik Rantai Pasok
Krisis pangan global diakibatkan oleh interaksi tiga faktor utama: perubahan iklim, konflik geopolitik, dan spekulasi pasar komoditas. Perubahan iklim mengancam ketahanan pangan melalui fenomena seperti cekaman kekeringan dan genangan yang menghambat produktivitas tanaman.
Meskipun inovasi teknologi pertanian, seperti varietas unggul tahan iklim (contoh, Inpari 42 Agritan dan Inpara 8) telah dikembangkan oleh lembaga penelitian nasional, tingkat adopsi teknologi ini oleh petani masih rendah. Hal ini disebabkan oleh keterbatasan diseminasi dan lemahnya sistem penyuluhan pertanian. Kesenjangan antara inovasi dan implementasi ini menunjukkan bahwa kerentanan pangan di Indonesia adalah masalah tata kelola dan struktural, yang diperburuk oleh perubahan iklim.
Selain itu, konflik geopolitik memperburuk krisis pangan melalui disrupsi rantai pasok global. Gangguan akibat konflik bersenjata, seperti yang terjadi antara Iran dan Israel , memicu lonjakan harga dan keterbatasan pasokan input pertanian vital. Indonesia sangat rentan terhadap disrupsi ini karena masih sangat bergantung pada impor bahan pangan pokok (gandum, kedelai) dan input produksi seperti pupuk (urea, KCl, DAP). Gangguan logistik dan kenaikan harga yang tidak terduga ini secara langsung mengancam ketahanan ekonomi petani dan stabilitas pangan nasional. Untuk jangka menengah-panjang, Indonesia perlu mengurangi ketergantungan pada pupuk kimia impor dengan mendorong produksi pupuk organik dan hayati berbasis lokal.
Konflik Agraria dan Lingkungan di Tingkat Sub-Nasional
Di Indonesia, konflik agraria telah menjadi masalah yang menonjol, sering kali menimbulkan pelanggaran hak asasi manusia. Meskipun konflik ini bersifat laten, tekanan lingkungan akibat perubahan iklim bertindak sebagai katalis yang memperparah situasi. Ketika kekeringan berkepanjangan atau banjir intensif merusak lahan pertanian dan pemukiman, kelangkaan sumber daya lahan yang dapat diolah atau ditinggali meningkat secara drastis.
Kenaikan kelangkaan ini memicu sengketa dan protes. Protes terkait penggusuran dan sengketa tanah, yang sudah sering terjadi, menjadi semakin parah ketika kondisi iklim ekstrem mengurangi opsi mata pencaharian dan tempat tinggal. Fakta ini menggarisbawahi pentingnya memahami dimensi kekuasaan yang mendasari konflik agraria. Konflik ini bukanlah sekadar sengketa batas lahan, melainkan cerminan dari kebijakan pemerintah yang terkadang justru memperkeruh keadaan dan menimbulkan konflik baru di bidang agraria.
Table 1. Analisis Nexus Iklim-Konflik: Mekanisme Kausalitas dan Faktor Mediasi
Dampak Iklim Primer | Faktor Mediasi Sosial-Ekonomi & Politik | Manifestasi Konflik/Kerentanan | Tingkat Geopolitik |
Kekeringan, Perubahan Curah Hujan, Degradasi Lahan | Kemiskinan, Keterbatasan Inovasi Pertanian, Kelemahan Sistem Penyuluhan | Konflik Agraria, Krisis Pangan Lokal, Kenaikan Harga Komoditas | Disrupsi Rantai Pasok Global (Pupuk, Gandum) |
Siklus Kekeringan/Banjir Berulang, Kenaikan Permukaan Air Laut | Kehilangan Mata Pencaharian, Kurangnya Perlindungan Sosial, Kerusakan Infrastruktur | Pengungsian Massal (Migrasi Iklim), Hilangnya Kedaulatan Teritorial (Pulau Kecil) | Ketidakstabilan Negara Penerima, Kesenjangan Hukum Internasional Pengungsi |
Perubahan Debit Air Sungai Lintas Batas | Ketidaksetaraan Distribusi Air, Dominasi Politik Negara Hulu (Egosentris) | Konflik Air Antarnegara, Sengketa Sumber Daya | Diplomasi Sumber Daya dan Potensi Militerisasi Perbatasan |
Geopolitik Perpindahan Populasi dan Kedaulatan Negara
Salah satu implikasi geopolitik paling signifikan dari krisis iklim adalah dampaknya terhadap perpindahan populasi dan tantangan langsung terhadap konsep kedaulatan teritorial.
Migrasi Massal sebagai Dampak Krisis Iklim
Krisis iklim berpotensi menyebabkan pengungsian yang luas, atau yang oleh Sekretaris Jenderal PBB António Guterres digambarkan sebagai “eksodus massal seluruh populasi dalam skala alkitabiah” (a mass exodus of entire populations on a biblical scale). Di banyak wilayah, perubahan iklim telah menjadi pendorong perpindahan penduduk yang jauh lebih besar daripada konflik bersenjata. Sebagai contoh di Afrika, yang menunjukkan kerentanan tidak proporsional terhadap iklim, badai dan banjir pada tahun 2020 memaksa 1.2 juta orang mengungsi—jumlah ini hampir dua setengah kali lipat dari mereka yang meninggalkan rumahnya karena konflik pada tahun yang sama. Kasus Burundi menyoroti bagaimana bencana alam, seperti banjir dan tanah longsor yang intensif akibat iklim ekstrem, telah menggusur ribuan keluarga, memaksa mereka meninggalkan mata pencaharian dan tempat tinggal mereka.
Perpindahan massal ini menciptakan tekanan sosial dan politik yang besar di negara-negara tujuan migran, terutama yang berbatasan langsung atau memiliki kapasitas terbatas. Kondisi ini memunculkan tantangan keamanan baru yang harus dikelola, menguji stabilitas sosial, dan memperburuk ketegangan geopolitik. Perpindahan populasi besar-besaran karena iklim bukan sekadar masalah kemanusiaan, melainkan tantangan langsung terhadap kedaulatan dan kapasitas negara untuk menjaga stabilitas internal dan mengontrol perbatasan mereka. Hal ini menguji kemampuan negara untuk menyediakan keamanan bagi warganya dan mengelola infrastruktur sosial di tengah masuknya populasi yang tertekan.
Tantangan Hukum dan Kedaulatan atas Pengungsi Iklim
Meskipun istilah environmental refugee (pengungsi lingkungan) atau climate refugee telah populer, kelompok ini belum mendapatkan kerangka hukum internasional yang komprehensif. Hukum pengungsi internasional, yang masih berpatokan pada Konvensi Jenewa 1951, berfokus pada individu yang mengungsi akibat penganiayaan politik. Karena itu, jutaan orang yang dipaksa meninggalkan rumah mereka akibat bencana alam (banjir, kenaikan air laut) yang intensif akibat perubahan iklim, meskipun kehilangan hak-hak dasarnya (hak untuk hidup, lingkungan sehat, air bersih, dan pangan), tidak memiliki status hukum yang jelas.
Ketiadaan norma internasional yang mengatur hak environmental refugee ini menciptakan kesenjangan perlindungan yang serius. Beberapa upaya regional, seperti yang dilakukan oleh Negara-negara Pasifik, dapat dijadikan model untuk merumuskan perjanjian internasional baru. Upaya ini penting untuk memastikan bahwa mereka yang melintasi batas internasional karena perubahan lingkungan dapat memperoleh perlindungan hukum yang setara dengan hak-hak mereka sebagai pengungsi.
Ancaman Fisik terhadap Kedaulatan Wilayah
Ancaman iklim tidak hanya bersifat sosial-ekonomi tetapi juga fisik-teritorial. Kenaikan permukaan air laut, yang merupakan dampak langsung dari pemanasan global, merupakan ancaman nyata bagi kedaulatan negara kepulauan, termasuk Indonesia. Sebagai negara dengan lebih dari 17 ribu pulau, Indonesia menghadapi potensi hilangnya wilayah teritorial akibat tenggelamnya pulau-pulau kecil.
Hilangnya daratan secara permanen dapat mengubah batas maritim, mengancam batas ZEE (Zona Ekonomi Eksklusif), dan menciptakan sengketa baru mengenai delimitasi maritim. Fenomena ini secara mendasar menantang kedaulatan negara, karena kedaulatan teritorial adalah syarat dasar eksistensi negara. Upaya untuk mempertahankan setiap pulau, bahkan yang kecil, menjadi kepentingan strategis nasional yang vital.
Dimensi Kekuasaan: Geopolitik Transisi Energi dan Mineral Kritis
Upaya mitigasi krisis iklim melalui transisi energi global dari bahan bakar fosil ke sumber energi bersih telah memunculkan arena persaingan kekuasaan baru. Pusat dari persaingan ini adalah penguasaan Mineral Kritis.
Mineral Kritis: “Minyak Baru” dalam Ekonomi Hijau
Mineral kritis (Critical Minerals) atau Rare Earth Elements (REEs), seperti neodymium dan dysprosium, telah menjadi bahan baku yang sangat strategis. Mineral ini sangat penting bagi teknologi hijau, termasuk komponen motor kendaraan listrik (EV) dan turbin angin. Penguasaan atas mineral-mineral ini tidak hanya mendukung transisi energi global untuk memerangi perubahan iklim, tetapi juga membuka peluang ekonomi baru di sektor teknologi hijau.
Karena peran vitalnya, mineral kritis kini diposisikan sebagai “minyak baru” di era energi terbarukan. Persaingan untuk mendapatkan dan mengolah mineral-mineral ini telah meluas dari arena ekonomi murni menjadi fokus ketegangan politik dan keamanan global.
Persaingan Geopolitik AS-China dalam Rantai Pasok Mineral
Persaingan geopolitik paling tajam dalam sektor mineral kritis terjadi antara Amerika Serikat (AS) dan Tiongkok. Saat ini, Tiongkok mendominasi sebagian besar supply chain mineral kritis dan strategis, terutama yang dibutuhkan untuk ekosistem kendaraan listrik. Dominasi ini mencakup penguasaan atas teknologi pemrosesan mineral, aktivitas mining, dan teknologi komponen baterai Lithium. Ketergantungan global terhadap Tiongkok dalam rantai pasok ini sangat tinggi; Indonesia, misalnya, masih mengimpor sekitar 70% bahan baku industri elektronik dari Tiongkok.
Respon AS terhadap dominasi ini bersifat proteksionis dan strategis. AS telah meningkatkan tarif impor dan menerapkan kebijakan domestik seperti Inflation Reduction Act (IRA). IRA mencakup limitasi ketat terhadap produk yang berasal dari Foreign Entity of Concern (FEOC) sebagai upaya untuk mengurangi ketergantungan pada mineral yang diproses di Tiongkok dan memperkuat rantai pasok domestik atau sekutu. Konflik perdagangan ini, yang dimulai sejak 2018 dengan kebijakan tarif tinggi, telah menimbulkan efek domino pada negara-negara mitra dagang lainnya.
Persaingan ini juga merambah pada kontrol tata kelola. Penguasaan atas Green Supply Chain Management (GSCM), yang menekankan konservasi sumber daya dan pengurangan emisi , menjadi instrumen kekuasaan ekonomi strategis. Negara yang menguasai standar dan teknologi GSCM akan memiliki keunggulan komparatif dalam ekonomi masa depan.
Indonesia, dengan cadangan nikel yang besar dan potensi sumber daya rare earth , berada pada persimpangan geopolitik yang krusial. Indonesia dihadapkan pada kebutuhan untuk menyeimbangkan kepentingan investasi dari BRICS (yang juga berupaya mendiversifikasi penguasaan rare earth) dengan standar dan pasar Barat (AS/UE). Strategi yang diperlukan harus berfokus pada peningkatan kapasitas domestik, hilirisasi industri mineral kritis, dan membangun posisi tawar yang adil di tengah persaingan global. Selain itu, diplomasi ekonomi proaktif, termasuk negosiasi bilateral dengan AS, diperlukan untuk mendapatkan pengecualian tarif agar produk hilir Indonesia dapat bersaing di pasar global.
Persaingan Strategis di Kawasan Kutub dan Maritim
Perubahan iklim membuka arena persaingan kekuasaan baru di Kutub Utara (Arktik). Pencairan es yang dipercepat membuka jalur pelayaran baru dan akses ke sumber daya mineral dan energi yang sebelumnya tidak terjangkau. Hal ini memicu persaingan geopolitik antara negara-negara besar seperti Rusia, Amerika Serikat, dan Tiongkok untuk menguasai wilayah strategis ini.
Dalam konteks keamanan maritim, ancaman lingkungan juga harus diintegrasikan ke dalam analisis strategis. Kerangka keamanan maritim, seperti yang dijelaskan oleh Barry Buzan, mencakup dimensi militer, politik, sosial, ekonomi, dan lingkungan. Di kawasan yang tegang seperti Laut Cina Selatan, perubahan iklim memperburuk kerentanan lingkungan, yang pada gilirannya dapat meningkatkan risiko konflik atas sumber daya perikanan atau rute maritim yang terpengaruh.
Table 2. Persaingan Geopolitik dalam Transisi Energi Bersih
Arena Geopolitik | Aktor Dominan/Strategi Utama | Kepentingan Strategis (Kekuasaan) | Implikasi bagi Keamanan Global |
Mineral Kritis (Litium, Nikel, REE) | China (Dominasi Pengolahan, Teknologi); AS/UE (Kontrol Pasar, Regulasi melalui IRA) | Kontrol Rantai Pasok Hijau, Keamanan Ekonomi Jangka Panjang, Keunggulan Teknologi | Risiko Trade War Hijau, Fragmentasi Ekonomi, Volatilitas Harga Komoditas Strategis. |
Tata Kelola Iklim/Regulasi Karbon | G20 (80% Emisi); China-UE (ETS) | Pembentukan Standar Industri Global, Pengaruh Normatif, Akses Pendanaan Iklim (JETP, FrLD) | Kritik atas Tanggung Jawab Historis , Multilateralisme Polisentris vs. Fragmentasi. |
Kawasan Arktik | Rusia, AS, China (Kepentingan Maritim) | Akses ke Sumber Daya Alam Baru, Pembukaan Jalur Pelayaran Strategis (Keamanan Maritim) | Peningkatan Militerisasi Arktik, Potensi Konflik Teritorial dan Sumber Daya, Ancaman Lingkungan. |
Tata Kelola Global dan Respon Geopolitik Multilateral
Respons terhadap krisis iklim di tingkat global dicirikan oleh fragmentasi, perbedaan tanggung jawab historis, dan dinamika kekuasaan yang kontras di antara negara-negara besar.
Kegagalan dan Fragmentasi dalam Tata Kelola Iklim Global
Meskipun upaya multilateral seperti Perjanjian Paris ada, Sekretaris Jenderal PBB telah menyatakan kesulitan untuk mencapai target menahan peningkatan suhu global sebesar 1.5∘ Celsius. Hambatan utama terletak pada perbedaan kepentingan nasional dan prioritas, yang sering menghambat tindakan efektif.
Salah satu inti perdebatan adalah masalah tanggung jawab historis emisi dan pendanaan adaptasi. Negara berkembang mendesak negara maju untuk memenuhi kewajiban historis mereka dan menyediakan dukungan pendanaan yang memadai untuk adaptasi dan mitigasi. Namun, keengganan untuk menyalurkan dana secara memadai menyebabkan kebuntuan dalam negosiasi iklim. Konstelasi tata kelola iklim global yang ada cenderung mengarah pada skenario fragmentation, meskipun ada potensi untuk networks (multilateralisme polisentris) yang dicirikan oleh kerja sama terbatas.
Dinamika Kerjasama dan Ketegangan antara Kekuatan Utama
Terdapat kontras yang jelas dalam pendekatan kebijakan iklim antara kekuatan global utama. Amerika Serikat, terutama di bawah administrasi yang memprioritaskan “America First,” pernah menunjukkan penarikan diri dari inisiatif global. Contoh paling signifikan adalah penarikan diri dari Persetujuan Paris dan inisiatif pendanaan internasional seperti Funding for Loss and Damage (FrLD) dan Just Energy Transition Partnership (JETP).
Sebaliknya, Tiongkok dan Uni Eropa (UE) telah menunjukkan momentum dalam kerja sama. Kemitraan Hijau China-UE telah mencapai kemajuan , terutama melalui proyek Emission Trading System (ETS). Pelaksanaan ETS Nasional China, yang beroperasi penuh pada tahun 2021 dan menjadi pasar karbon terbesar di dunia (mencakup sektor pembangkit listrik), menandai tonggak penting dalam komitmen Tiongkok untuk mengurangi emisi. Kontras kebijakan ini bahkan mendorong UE untuk melihat Tiongkok sebagai pimpinan potensial dalam diplomasi iklim ketika AS mundur dari arena tersebut.
Peran Lembaga Internasional dan Regional (PBB, G20, ASEAN)
Institusi multilateral tetap krusial sebagai platform negosiasi. G20, yang bertanggung jawab atas sekitar 80% emisi global, memiliki peran strategis sebagai “jembatan” untuk menghadapi krisis multisektor, termasuk perubahan iklim dan perpecahan geopolitik. PBB mendorong G20 untuk mengadopsi paket stimulus Sustainable Development Goals (SDGs) dan memimpin transisi energi terbarukan.
Di tingkat regional, ASEAN menghadapi ancaman NTS yang diperburuk oleh perubahan iklim. Diplomasi parlemen (melalui DPR RI dan Badan Kerja Sama Antar-Parlemen/BKSAP) memainkan peran penting karena fleksibilitasnya dalam mengangkat isu-isu non-tradisional yang sulit dijangkau oleh diplomasi eksekutif. Memperkuat peran diplomasi parlemen dalam forum seperti AIPA memungkinkan Indonesia untuk mendorong kebijakan keamanan yang lebih terpadu, mencakup isu-isu lintas batas seperti keamanan lingkungan dan migrasi, sekaligus memperkuat citra globalnya sebagai negara demokratis yang proaktif.
Kesimpulan
Analisis ini menegaskan bahwa krisis lingkungan global memiliki dimensi geopolitik yang mendalam, beroperasi melalui tiga pilar interkoneksi:
- Iklim sebagai Pengganda Ancaman (Threat Multiplier): Perubahan iklim tidak menyebabkan konflik secara langsung, tetapi memperparah kerentanan struktural yang sudah ada (kemiskinan, ketidaksetaraan dalam akses air dan pangan), yang kemudian memicu konflik sumber daya di kawasan rentan.
- Migrasi dan Kedaulatan: Dampak fisik iklim (kenaikan air laut, bencana ekstrem) memicu migrasi massal dan mengancam integritas teritorial (kedaulatan pulau-pulau kecil), menimbulkan tantangan keamanan baru bagi negara penerima dan menyoroti kesenjangan hukum internasional bagi pengungsi iklim.
- Transisi Energi dan Persaingan Kekuasaan: Upaya mitigasi iklim telah menciptakan arena persaingan kekuasaan baru. Mineral kritis kini menjadi titik fokus ketegangan geopolitik, terutama antara AS dan Tiongkok, yang saling bersaing untuk menguasai rantai pasok teknologi hijau dan menentukan standar ekonomi global di masa depan.
Berdasarkan analisis dimensi geopolitik krisis lingkungan, berikut adalah rekomendasi kebijakan strategis bagi negara-negara yang ingin memperkuat ketahanan nasional dan posisi tawar global mereka:
- Penguatan Ketahanan Sumber Daya Berbasis Reformasi Struktural: Pemerintah harus memprioritaskan penguatan sistem penyuluhan pertanian dan diseminasi teknologi (seperti varietas unggul tahan iklim) untuk menutup kesenjangan antara inovasi dan implementasi di lapangan. Selain itu, pengurangan ketergantungan pada input impor (pupuk kimia) melalui pemberian insentif untuk produksi pupuk organik dan hayati berbasis lokal harus menjadi strategi ketahanan pangan nasional jangka panjang.
- Strategi Geopolitik Mineral Kritis yang Proaktif: Indonesia harus memanfaatkan posisinya sebagai produsen mineral strategis untuk memperkuat value chains domestik melalui hilirisasi dan pengembangan teknologi pemrosesan. Dalam konteks persaingan AS-Tiongkok, diplomasi ekonomi proaktif sangat diperlukan untuk menuntut posisi tawar yang adil, memastikan akses pasar (misalnya, negosiasi akses tarif 0% ke AS), dan memperkuat kemandirian nasional di tengah standar global yang kontradiktif.
- Mendorong Reformasi Kerangka Hukum Pengungsi Iklim: Sebagai negara kepulauan yang sangat rentan terhadap erosi kedaulatan teritorial akibat kenaikan permukaan laut , Indonesia harus memimpin upaya di forum regional dan PBB untuk mendorong adopsi kerangka hukum internasional yang komprehensif untuk melindungi environmental refugee. Hal ini merupakan kepentingan strategis dalam melindungi hak asasi manusia dan mengantisipasi gejolak perpindahan populasi massal.
- Memperkuat Diplomasi Keamanan Non-Tradisional: Indonesia harus memaksimalkan peran diplomasi parlemen (melalui AIPA dan BKSAP) untuk mendorong pendekatan keamanan terpadu di Asia Tenggara. Fleksibilitas diplomasi parlemen harus digunakan untuk secara konsisten mengangkat isu keamanan lingkungan, migrasi, dan hak asasi manusia dalam rangka mengatasi tantangan transnasional yang sulit diselesaikan melalui jalur eksekutif konvensional.