Mobilitas manusia internasional, yang mencakup migrasi sukarela maupun pengungsi akibat krisis, telah menjadi fenomena multidimensional yang memiliki implikasi sosial dan ekonomi signifikan bagi masyarakat asal, transit, dan tujuan. Dalam konteks globalisasi yang semakin terhubung namun juga terfragmentasi, peningkatan tajam gelombang kedatangan migran atau pengungsi, yang sering dikategorikan sebagai “krisis migran,” telah memicu reaksi balik yang mendasar di banyak negara maju dan berkembang. Krisis migran didefinisikan sebagai situasi di mana volume migran/pengungsi yang masuk melampaui kapasitas penyerapan ekonomi, politik, dan sosial negara tujuan, seringkali menuntut respons kebijakan darurat.
Inti dari laporan ini adalah perumusan masalah mengenai bagaimana gelombang migrasi besar ini secara kausal memicu kebangkitan dan intensifikasi politik identitas. Fenomena ini tidak sekadar menghasilkan isu logistik atau ekonomi, tetapi menantang definisi inti dari kebangsaan dan keanggotaan sosial. Reaksi politik sering kali terstruktur dalam kerangka diferensiasi identitas, yang memobilisasi dukungan publik melalui narasi “kami” (warga asli) dan “mereka” (imigran/pendatang) untuk memenangkan legitimasi politik.
Definisi Konseptual Kritis
Untuk menganalisis interaksi kausal antara krisis migran dan respons politik, diperlukan pemahaman terminologi yang presisi:
Krisis Migran (Migrant Crisis) Krisis ini bukan hanya tentang jumlah individu yang bergerak, melainkan tentang ketidakmampuan sistem tata kelola (baik nasional maupun supranasional) untuk menanganinya, yang pada gilirannya memicu persepsi ancaman keamanan dan budaya di masyarakat penerima. Fenomena ini menyediakan bukti eksternal yang nyata bagi kelompok politik yang ingin memperkuat narasi pembatasan.
Politik Identitas (Identity Politics) Politik identitas memanfaatkan kesamaan kolektif, seperti ideologi, etnisitas, atau agama, sebagai fondasi utama untuk mobilisasi politik, memenangkan dukungan, dan mencapai legitimasi publik. Dalam konteks migrasi, politik identitas berfungsi sebagai alat untuk mempolarisasi masyarakat dengan menonjolkan perbedaan kultural, agama, atau etnis antara penduduk asli dan pendatang, yang hasilnya adalah segmentasi masyarakat ke dalam beberapa kelompok yang berlawanan.
Sintesis Nasionalis-Populisme Konsep ini adalah gabungan ideologi yang paling relevan dalam merespons krisis migran di Barat. Nasionalisme berfokus pada konsep kebangsaan, menuntut perlindungan nilai, budaya, dan homogenitas negara. Populisme, di sisi lain, beroperasi dengan konsep masyarakat sebagai silent majority atau heartland, yang kepentingannya dikorbankan oleh “elit korup” yang dianggap pro-asing. Ketergabungan kedua konsep ini, yang disebut nasionalis-populisme, menciptakan narasi bahwa krisis migran adalah produk konspirasi elit yang bertujuan melemahkan bangsa, menuntut tindakan proteksionis segera.
Hipotesis Kausalitas: Mekanisme Umpan Balik (Feedback Loop)
Tesis sentral yang diajukan dalam laporan ini adalah bahwa krisis migran bertindak sebagai stimulus yang sangat kuat, menyediakan bukti empiris (seperti tekanan pada infrastruktur atau gesekan sosial) yang secara langsung memvalidasi narasi ancaman yang selama ini diusung oleh politik identitas. Validasi ini mempercepat polarisasi sosial dan memungkinkan partai-partai sayap kanan yang berbasis nativisme untuk mengubah narasi politik menjadi kebijakan negara yang restriktif. Dengan kata lain, krisis migran menciptakan mekanisme umpan balik: kedatangan massal memicu ketakutan identitas, yang kemudian dimanfaatkan oleh aktor politik, menghasilkan polarisasi yang memicu tuntutan kebijakan restriktif lebih lanjut.
Krisis Migran Sebagai Katalis Kebangkitan Populisme Nasionalis
Tinjauan Kasus Eropa: Dari Kebijakan Inklusif menuju Restriksi
Krisis migran di Eropa pada 2015/2016 menandai titik balik signifikan dalam tata kelola imigrasi global. Awalnya, Uni Eropa (EU) berusaha merespons melalui kerangka kerja supranasional seperti Common European Asylum System (CEAS), yang dirancang untuk menyeragamkan prosedur perlindungan internasional bagi pengungsi dan memperkuat kerja sama antar negara anggota. Namun, gelombang besar pengungsi Suriah dan konflik lain segera menciptakan tekanan politik domestik yang luar biasa. Pergeseran kebijakan yang terjadi di banyak negara anggota EU menunjukkan adanya tekanan untuk memprioritaskan perlindungan kebangsaan di atas komitmen inklusif regional.
Studi Kasus Mendalam: Denmark dan Sintesis Nasionalis-Populis
Denmark menjadi studi kasus penting di Eropa yang memperlihatkan bagaimana faktor nasionalisme dan populisme beroperasi bersamaan untuk menghasilkan kebijakan imigrasi yang sangat proteksionis. Analisis menunjukkan bahwa nasionalisme adalah faktor utama dalam pembentukan kebijakan luar negeri dan imigrasi Denmark.
Mekanisme Inti Sintesis Nasionalis-Populis
Sintesis nasionalis-populisme di Denmark menjadi katalis bagi perubahan kebijakan dari penerimaan menjadi pembatasan pengungsi. Ideologi ini didukung oleh partai sayap kanan, khususnya Dans Folke Parti (DPP), yang membawa nilai-nilai nasionalisme Denmark.
Secara konseptual, nasionalisme dan populisme menemukan benang merah pada konsep people, di mana masyarakat dilihat sebagai kelompok dengan sense of belonging yang kuat. Nasionalisme merujuk pada konsep kebangsaan, sementara populisme merujuk pada konsep masyarakat sebagai silent majority atau bagian dari heartland. Ketergabungan kedua hal ini secara eksplisit mendasari manifesto partai sayap kanan di Eropa, yang secara umum memiliki nilai nativism dan authoritarianism.
Perubahan diskursus dalam masyarakat Denmark berimplikasi langsung pada peraturan dan kriteria seleksi bagi pengungsi. Negara yang memiliki rasa nasionalisme kuat ini menganggap masuknya pengungsi akan mengikis nilai-nilai nasionalisme. Gesekan rasial timbul karena ketidakmauan para pengungsi untuk beradaptasi dengan budaya Denmark, termasuk keberadaan freedom speech yang dicantumkan dalam Konstitusi Danish Chapter VIII. Oleh karena itu, kebijakan restriktif mencakup kewajiban yang ketat untuk menggunakan bahasa Danish dan beradaptasi terhadap budaya asli.
Peran Nativisme dan Otoritarianisme Partai Sayap Kanan (DPP)
DPP melambangkan populisme Denmark. Tokoh-tokoh DPP berusaha menunjukkan bahwa kebijakan yang diterapkan oleh kubu Social Democrat tidak berpihak pada masyarakat asli Denmark, dan bahkan menuduh koalisi moderat-sayap kanan bertanggung jawab atas kemerosotan ekonomi pada 2011. Ini menunjukkan bahwa krisis migran digunakan sebagai sarana untuk menyalurkan ketidakpuasan yang lebih dalam terhadap elit politik domestik. DPP tidak hanya menyerang migran sebagai ancaman eksternal, tetapi juga menyerang Social Democrat sebagai “pengkhianat internal” yang meletakkan kepentingan orang asing di atas masyarakat asli. Strategi scapegoating ganda ini mengubah krisis kemanusiaan menjadi proxy war politik domestik.
Nilai nativisme berkaitan erat dengan narasi DPP yang memandang pengungsi sebagai ancaman dan menuntut kebijakan proteksionis. Sementara itu, nilai otoritarianisme yang dianut oleh partai sayap kanan di Eropa selaras dengan pembatasan hak-hak kaum minoritas atau pengungsi yang terjadi di Denmark, serta pengetatan regulasi suaka.
DPP juga berpendapat bahwa Uni Eropa (EU) telah gagal menangani kasus membanjirnya pengungsi. Kegagalan kebijakan Schengen EU, seperti yang dikritik oleh Peter Kofod Poulsen, juru bicara urusan hukum DPP, memicu Denmark untuk mengambil kebijakan proteksionis, yang bertujuan utama menjaga nasionalisme dan kehomogenan etnis di negara tersebut.
Implikasi jangka panjang dari keberadaan nativisme dan otoritarianisme ini sangat serius. Kecenderungan untuk membatasi hak-hak kaum minoritas/pengungsi menunjukkan adanya potensi erosi terhadap sistem demokrasi liberal di Eropa. Penolakan terhadap nilai-nilai inti seperti freedom speech di antara pengungsi (dan pengetatan kriteria berdasarkan hal tersebut) menunjukkan bahwa politik identitas ini menyerang fundamental nilai-nilai liberal negara tujuan, bukan hanya masalah perbatasan semata.
Kerangka Analisis Sintesis Nasionalis-Populis dalam Krisis Migran
Elemen Politik Identitas | Definisi/Fungsi dalam Migrasi | Manifestasi Kebijakan (Contoh: Denmark/AS) |
Nativisme | Keyakinan bahwa kepentingan penduduk asli harus didahulukan di atas imigran, dimanifestasikan melalui retorika “Elit pro-asing.” | Kebijakan proteksionis, pengetatan kriteria budaya/bahasa (wajib berbahasa Danish), penargetan bantuan sosial hanya bagi penduduk asli. |
Populisme | Pembingkaian konflik antara “rakyat murni” (silent majority) melawan “elit korup” yang mengorbankan bangsa demi kepentingan imigran/asing. | Penggunaan partai sayap kanan (DPP) untuk menantang Social Democrat, retorika penutupan perbatasan, menyalahkan elit atas kemerosotan ekonomi. |
Otoritarianisme | Kecenderungan untuk membatasi hak-hak kaum minoritas/imigran, didukung oleh narasi keamanan atau perlindungan nilai-nilai nasional. | Pembatasan hak-hak kaum minoritas, penolakan asimilasi non-tradisional, pengetatan regulasi suaka. |
Politik Identitas di Perbatasan Global: Konstruksi Nativis di AS-Meksiko
Dinamika politik identitas yang dipicu oleh krisis migran tidak terbatas di Eropa. Jalur migrasi Amerika Serikat (AS)-Meksiko tercatat sebagai jalur migrasi terbesar di dunia. Keberadaan imigran yang telah menjadi bagian besar dari masyarakat AS sering kali memunculkan gagasan tentang identitas AS sebagai “bangsa imigran” (A Nation of Immigrants), sebagaimana ditulis oleh John F. Kennedy.
Namun, krisis migran di perbatasan ini telah dimanfaatkan untuk mengkonstruksi identitas “nativis” yang membutuhkan pertahanan tegas. Di era administrasi Trump, retorika politik secara eksplisit memprioritaskan keamanan perbatasan di atas kepentingan lain, seperti perdagangan, dengan pernyataan tegas bahwa “Security is more important to me than trade. So, we’re going to have a slower border or a closed border”.
Perbandingan kausalitas menunjukkan pola yang serupa dengan Eropa: krisis migran digunakan oleh aktor politik untuk mengkonstruksi narasi ancaman eksternal yang menantang identitas kebangsaan, membenarkan kebijakan restriktif dan isolasionis. Hal ini menunjukkan bahwa krisis migran global berfungsi sebagai pemantik universal bagi mobilisasi nativisme, terlepas dari sejarah migrasi negara tujuan.
Friksi Kebijakan Dan Dilema Kedaulatan Regional
Upaya Harmonisasi Kebijakan Suaka Uni Eropa (CEAS dan TPD)
Uni Eropa, sebagai organisasi regional yang mendalam, secara konsisten berupaya mengharmonisasi respons terhadap isu migrasi melalui regulasi supranasional. Salah satu kerangka kerja utama adalah Common European Asylum System (CEAS), yang bertujuan menyeragamkan prosedur perlindungan internasional bagi pengungsi, menyelaraskan sistem suaka, dan mengurangi perbedaan antar negara anggota. CEAS merupakan bentuk implementasi dari Geneva Refugee Convention and Protocol.
Meskipun demikian, respons EU terhadap krisis bersifat adaptif. Ketika gelombang pengungsi besar kembali terjadi akibat perang Rusia-Ukraina pada 2022, Uni Eropa memberlakukan Temporary Protection Directive (TPD) untuk pertama kalinya sejak diadopsi pada 2001, yang melonggarkan regulasi keimigrasian untuk menerima pengungsi.
Resistensi Nasional: Konflik antara Komitmen EU dan Kepentingan Domestik
Mekanisme krisis migran menjadi stress test terhadap integrasi regional EU. Kasus Hungaria adalah contoh klasik dari konflik antara komitmen regional dan kepentingan identitas domestik. Meskipun terikat kewajiban untuk mematuhi kebijakan EU (menyerahkan sebagian kedaulatan internal), sikap Hungaria terhadap migrasi internasional seringkali dilematis dan terbukti tidak terpengaruh secara signifikan oleh regulasi CEAS.
Hal ini memperlihatkan bahwa bagi aktor rasional seperti Hungaria, yang memiliki objektif nasional tersendiri, kepentingan yang didorong oleh politik identitas domestik—yaitu perlindungan kebangsaan dan etnis—lebih kuat daripada komitmen supranasional. Ketika identitas nasional dirasakan terancam oleh migrasi, negara anggota secara efektif menarik kembali kedaulatan yang telah didelegasikan kepada Brussels. Krisis migran dengan demikian mengekspos kelemahan fundamental tata kelola regional, di mana politik identitas menempatkan ethno-nasionalisme di atas integrasi politik.
Dapat diperhatikan pula bahwa keberhasilan penerapan TPD (untuk pengungsi Ukraina) dibandingkan dengan kegagalan CEAS yang lebih umum menunjukkan bahwa kebijakan inklusif di EU lebih mungkin terwujud ketika krisis migran tidak memicu narasi nativis yang kuat. Pengungsi yang secara kultural atau geografis dianggap lebih dekat (seperti Ukraina) tidak memicu penolakan politik identitas sekeras yang terjadi pada pengungsi dari Timur Tengah atau Afrika, yang sebelumnya menjadi fokus utama krisis 2015. Dengan demikian, krisis migran tidak hanya menguji kedaulatan, tetapi juga menggunakan identitas sebagai filter kebijakan.
Dimensi Sosio-Kultural: Dampak Pada Struktur Masyarakat Tujuan
Migrasi dan Transformasi Struktur Sosial
Migrasi, khususnya migrasi krisis, adalah fenomena sosial yang kompleks yang mengubah struktur keluarga dan komposisi masyarakat baik di daerah asal maupun tujuan. Secara demografis, migrasi seringkali didominasi oleh penduduk usia produktif, dengan proporsi terbesar pada kelompok umur 15-44 tahun.
Di daerah asal, migrasi seringkali menyebabkan perubahan peran gender, di mana perempuan mengambil alih tanggung jawab kepala keluarga karena suami atau anggota laki-laki mencari penghidupan di kota atau negara lain. Anak-anak yang ditinggalkan menghadapi tantangan psikologis dan sosial karena kurangnya pengawasan dan perhatian emosional. Sebaliknya, di daerah tujuan, migran membentuk komunitas baru berdasarkan kesamaan asal, yang berfungsi sebagai jejaring sosial penting untuk dukungan emosional, mencari pekerjaan, dan tempat tinggal.
Migrasi juga merupakan agen perubahan penting. Meskipun migran rentan menjadi kelompok yang terpinggirkan (left behind) dan dikecualikan dari manfaat pembangunan, mereka juga membuat kontribusi positif terhadap pembangunan berkelanjutan di komunitas asal dan tujuan. Selain itu, migrasi dapat berkontribusi pada transformasi dinamika gender di negara asal, misalnya melalui akses migran perempuan ke lingkungan yang mendukung hak otonomi dalam keputusan kesehatan seksual dan reproduksi. Dinamika ini memberikan kontradiksi langsung terhadap narasi konservatif nasionalis-populis yang seringkali menuding migrasi hanya membawa erosi nilai.
Kohesi Sosial: Dari Integrasi Positif menuju Ketegangan Horizontal
Kehadiran migran memiliki spektrum dampak yang beragam terhadap tingkat kohesi sosial di daerah tujuan.
Integrasi Positif Integrasi yang berhasil terjadi ketika migran mampu beradaptasi dengan baik dan menjadi bagian dari masyarakat lokal. Hal ini didukung oleh kebijakan inklusif pemerintah, seperti pendidikan multikultural atau program pelatihan bahasa. Integrasi positif membawa manfaat seperti keragaman budaya dan peningkatan ekonomi.
Ketegangan Sosial dan Konflik Horizontal Di sisi lain, ketidakseimbangan dalam distribusi sumber daya, tekanan pada infrastruktur, atau adanya persepsi negatif terhadap migran dapat memicu konflik horizontal. Konflik horizontal ini, yang berakar pada persaingan sumber daya (seperti lapangan kerja atau perumahan), seringkali diartikulasikan ulang dan diperkuat dalam kerangka politik identitas. Ketika sumber daya langka, narasi nativis (yang menuding migran mengambil hak warga asli) menjadi lebih persuasif, sehingga mempercepat polarisasi identitas di tingkat akar rumput, di mana masalah ekonomi diinterpretasikan sebagai ancaman terhadap identitas.
Spektrum Dampak Migrasi terhadap Kohesi Sosial
Mekanisme Interaksi | Dampak pada Kohesi Sosial | Kondisi Pemicu |
Integrasi Positif | Peningkatan keragaman budaya, pembentukan jejaring sosial yang mendukung migran. | Kebijakan pemerintah yang inklusif, pendidikan multikultural, dan adaptasi yang berhasil. |
Ketegangan Sosial | Konflik horizontal, persepsi negatif, tekanan pada infrastruktur. | Ketidakseimbangan distribusi sumber daya, kurangnya kebijakan berbasis data, persepsi nativis yang kuat. |
Polarisasi Politik | Pembentukan kelompok identitas yang berlawanan, mobilisasi politik berdasarkan etnis/agama. | Framing media yang sensasional, eksploitasi oleh aktor politik (nasionalis-populis). |
Peran Media Massa dalam Pembingkaian dan Polarisasi Identitas
Media massa dan media online memegang peran sentral dan tanggung jawab besar dalam membentuk narasi dan menghadapi ancaman politik identitas. Politik identitas, yang memicu polarisasi ke dalam beberapa kelompok tertentu, telah menjadi isu utama sejak Pilkada DKI Jakarta pada 2017.
Media sangat berpengaruh dalam framing politik identitas. Pembingkaian yang dilakukan media menentukan apakah migran dilihat sebagai “korban yang membutuhkan perlindungan” atau sebaliknya, sebagai “ancaman yang mengikis identitas.” Politik identitas menggunakan kesamaan etnis atau agama sebagai fondasi legitimasi untuk mencapai tujuan politik. Jika media secara sensasional membingkai migran berdasarkan kesamaan etnis/agama mereka yang berbeda dari penduduk lokal, maka polarisasi politik identitas dapat dipercepat dan dilegitimasi secara luas di mata publik.
Oleh karena itu, media memiliki tanggung jawab untuk menyajikan berita yang sesuai dengan fakta di lapangan dan menghindari clickbait yang dapat membodohi dan menyesatkan pembaca. Komitmen terhadap edukasi dan informasi positif sangat krusial dalam melawan polarisasi yang didorong oleh eksploitasi identitas.
Dinamika Regional: Krisis Migran Dan Identitas Politik Di Asia Tenggara
Realitas Perlindungan Pengungsi di Kawasan
Asia Tenggara merupakan kawasan yang kompleks, berfungsi sebagai daerah asal, transit, dan tujuan bagi berbagai bentuk migrasi, termasuk pengungsi yang didorong oleh konflik internal (misalnya, krisis Rohingya). Secara umum, kondisi perlindungan bagi pengungsi di kawasan ini masih menghadapi tantangan serius. Analisis menunjukkan bahwa pengungsi di negara-negara seperti Indonesia, Myanmar, dan Palestina belum mendapat perlindungan yang layak. Hal ini seringkali didorong oleh kekhawatiran identitas, kedaulatan, dan keterbatasan sumber daya, yang manifestasinya berupa pengabaian (apathy) atau kurangnya kerangka hukum yang memadai.
Kompleksitas Identitas di Wilayah Perbatasan: Studi Kasus Pulau Sebatik
Dinamika politik identitas di Asia Tenggara dapat menunjukkan karakteristik yang berbeda dari model nasionalis-populis puritanis di Barat. Pulau Sebatik, yang terbelah antara wilayah Indonesia dan Malaysia, menyediakan studi kasus yang menarik mengenai interaksi identitas di perbatasan.
Pulau Sebatik memiliki dinamika masyarakat yang kompleks dan dipengaruhi oleh aspek geografisnya yang berada di garis perbatasan. Di satu sisi, ketegangan militer sering muncul karena penempatan pasukan dari kedua negara untuk menjaga kedaulatan. Ini merefleksikan pentingnya identitas kebangsaan dan pertahanan teritorial.
Namun, di sisi lain, Pulau Sebatik berfungsi sebagai “pintu kecil” yang membangun hubungan damai antara Indonesia dan Malaysia, di mana warga kedua negara dapat saling mengunjungi tanpa direpotkan dengan permasalahan administrasi lintas negara yang rumit. Dinamika koeksistensi dan pragmatisme sosial ini kontras dengan narasi nativis yang agresif. Di Sebatik, identitas kebangsaan berkoeksistensi dengan pragmatisme sosial dan ekonomi keseharian. Ini menunjukkan bahwa politik identitas di perbatasan Asia Tenggara cenderung lebih fleksibel dan transaksional, berfokus pada kebutuhan sosial-ekonomi, alih-alih didorong oleh ideologi puritanis.
Implikasi Politik Identitas terhadap Kerangka Kerja Regional (ASEAN)
Isu identitas etnis dan agama, seperti krisis Rohingya, secara fundamental telah menghambat prinsip non-intervensi ASEAN dan menghambat pembentukan kerangka kerja perlindungan regional yang efektif. Kekhawatiran kedaulatan dan identitas nasional seringkali menghalangi upaya kolektif di kawasan ini.
Dalam konteks Indonesia sebagai negara bangsa, penting untuk terus mewujudkan nilai-nilai luhur guna memelihara integrasi negara-bangsa di tengah dinamika identitas domestik maupun regional yang dipicu oleh migrasi. Kegagalan dalam mengamalkan nilai-nilai integrasi dapat menyebabkan kerentanan terhadap polarisasi internal yang semakin dalam.
Kesimpulan
Analisis menunjukkan bahwa krisis migran bukanlah penyebab langsung politik identitas, melainkan katalis yang memobilisasi dan melegitimasi narasi identitas yang sudah ada. Krisis migran menyediakan stimulus eksternal yang memvalidasi narasi ancaman yang diusung oleh sintesis nasionalis-populis, khususnya melalui elemen nativisme dan otoritarianisme.
Implikasi utama dari interaksi ini adalah fraktur dalam tata kelola regional (ditunjukkan oleh resistensi kedaulatan negara anggota terhadap kebijakan EU) dan polarisasi yang mendalam di tingkat akar rumput (dipercepat oleh kompetisi sumber daya yang diframing ulang sebagai konflik identitas). Di Asia Tenggara, isu identitas cenderung bermanifestasi sebagai pengabaian perlindungan layak bagi pengungsi, yang didorong oleh prinsip kedaulatan yang ketat.
Untuk memitigasi dampak polarisasi yang diakibatkan oleh krisis migran dan politik identitas, diperlukan pendekatan kebijakan yang terkoordinasi dan berbasis bukti:
- Pengembangan Kebijakan Inklusif Berbasis Data: Pemerintah harus secara proaktif menerapkan kebijakan inklusif yang berbasis data untuk memaksimalkan manfaat ekonomi dan budaya yang dibawa oleh migrasi, serta secara efektif memitigasi dampak negatif, seperti tekanan pada infrastruktur atau potensi konflik horizontal.
- Keseimbangan Nasionalisme dan Kewajiban Kemanusiaan: Penting bagi negara untuk mencari keseimbangan yang tepat antara melindungi nilai-nilai nasionalisme dan kehomogenan kebangsaan, dan memenuhi kewajiban kemanusiaan internasional terhadap pengungsi. Hal ini memerlukan peninjauan kembali konsep identitas kebangsaan agar lebih adaptif dan inklusif terhadap keragaman.
- Penguatan Literasi Media dan Etika Jurnalistik: Mengingat peran besar media dalam framing politik identitas, diperlukan upaya penguatan literasi media untuk mengurangi polarisasi. Media massa harus berkomitmen untuk menyajikan berita yang mengedukasi, faktual, dan menghindari framing yang menyesatkan.
Migrasi internasional akan terus menjadi agen perubahan yang penting dalam pembangunan berkelanjutan global. Oleh karena itu, prospek masa depan menuntut penguatan kerangka kerja perlindungan yang layak bagi pengungsi di wilayah yang rentan, termasuk di Indonesia dan kawasan Asia Tenggara.
Pada akhirnya, tantangan terbesar adalah bagaimana negara-bangsa dapat memelihara integrasi nasional tanpa jatuh ke dalam perangkap nativisme dan otoritarianisme. Konsep identitas yang adaptif—yang mengakui keragaman sebagai aset dan melihat migran bukan hanya sebagai ancaman tetapi juga sebagai kontributor—adalah kunci untuk membangun masyarakat tujuan yang stabil, kohesif, dan resilien terhadap guncangan krisis di masa depan.