Definisi, Sejarah, dan Fungsi Kunci Dolar AS

De-dolarisasi merupakan tren strategis jangka panjang yang didefinisikan sebagai proses di mana negara-negara secara signifikan mengurangi ketergantungan mereka pada Dolar Amerika Serikat (USD) untuk fungsi internasional. Fungsi-fungsi ini mencakup perannya sebagai mata uang cadangan devisa, medium pertukaran untuk perdagangan dan pembayaran internasional, serta sebagai unit akun untuk mengukur nilai pasar barang dan jasa. Dorongan utama di balik de-dolarisasi adalah upaya untuk mendapatkan kemandirian ekonomi yang lebih besar dan menghindari potensi pemanfaatan sistem keuangan global, seperti jaringan transfer SWIFT, sebagai senjata sanksi oleh Amerika Serikat dan sekutu Baratnya.

Pilar Hegemoni Dolar AS dan Peran Kunci di Pasar Global

Dominasi USD sebagai mata uang cadangan utama di dunia didukung oleh beberapa pilar fundamental yang telah dibangun selama hampir satu abad.

Landasan Dominasi

Peran utama USD dalam perekonomian global didukung oleh ukuran dan kekuatan ekonomi Amerika Serikat, yang dikombinasikan dengan stabilitas, keterbukaan terhadap perdagangan dan aliran modal, serta jaminan hak properti dan supremasi hukum yang kuat. Kualitas-kualitas ini menghasilkan kedalaman dan likuiditas pasar keuangan AS yang tidak tertandingi, khususnya pasar obligasi Treasury AS, yang menyediakan pasokan aset berdenominasi dolar yang dianggap sangat aman bagi investor dan bank sentral di seluruh dunia.

Sejarah Moneter Global

Peran USD diresmikan secara formal setelah berdirinya sistem Bretton Woods pada tahun 1944. Melalui perjanjian ini, USD ditetapkan sebagai jangkar global, di mana mata uang negara-negara lain dipatok ke dolar, sementara dolar secara longgar dipatok ke emas. Meskipun sistem Bretton Woods ambruk pada tahun 1971, peran USD sebagai mata uang cadangan utama dan medium pertukaran internasional tetap bertahan.

Sistem Petrodollar

Salah satu penopang utama status USD adalah sistem Petrodollar, yang muncul pada tahun 1970-an pasca keruntuhan Bretton Woods. Petrodollar adalah istilah yang digunakan untuk menggambarkan pendapatan ekspor minyak mentah yang didenominasi dalam USD. Adopsi dolar sebagai mata uang penyelesaian untuk penjualan minyak mentah di seluruh dunia memberikan keuntungan signifikan bagi ekonomi AS, karena menghasilkan permintaan global yang konstan terhadap dolar. Sistem ini membantu mempertahankan nilai dolar dan statusnya sebagai mata uang cadangan utama.

Metrik Awal De-Dolarisasi (Tinjauan Data Cadangan)

Meskipun fondasi dominasi USD masih kuat, data menunjukkan adanya diversifikasi yang lambat namun pasti dalam komposisi cadangan devisa global.

Data dari International Monetary Fund (IMF) menunjukkan bahwa meskipun USD masih memimpin, pangsanya dalam cadangan devisa resmi yang diungkapkan secara global telah menurun dari 71% pada tahun 2000 menjadi 60% pada tahun 2021. Penurunan ini terus berlanjut, di mana USD mencatat sekitar 58% dari cadangan mata uang yang dialokasikan pada kuartal pertama tahun 2024. Penurunan pangsa ini mengindikasikan bahwa diversifikasi ke mata uang lain sedang berlangsung, meskipun lajunya bertahap.

Mata uang lain yang mengambil porsi ini termasuk Euro, yang menyumbang sekitar 21% dari cadangan global pada tahun 2021 , serta Renminbi (RMB) Tiongkok, yang pangsanya telah mencapai 2.6% dari cadangan mata uang yang dialokasikan pada Q1 2024.

Proses Evolusioner, Bukan Revolusioner

Analisis periode waktu penurunan pangsa cadangan USD—dari 71% menjadi 58% dalam lebih dari dua dekade—menegaskan bahwa de-dolarisasi adalah proses yang bersifat evolusioner, bukan revolusioner. Penurunan yang lambat dan bertahap ini menunjukkan bahwa kekuatan struktural yang mendukung USD, terutama likuiditas dan kedalaman pasar keuangan AS, masih sangat besar dan sulit untuk digantikan. Oleh karena itu, pergeseran dalam arsitektur moneter global tidak akan bergerak hanya berdasarkan sentimen politik anti-AS, tetapi akan ditentukan oleh pembangunan alternatif yang kredibel dan terbukti aman di mata pasar global.

Ancaman Terhadap Pilar Petrodollar

Meskipun sistem Petrodollar telah menjadi bantalan yang kuat bagi USD, kekuatan geopolitik saat ini mulai mengikis pilar ini. Pemanfaatan USD sebagai alat sanksi oleh Washington kini secara ekstensif menargetkan negara-negara yang menyumbang sekitar 40% dari cadangan minyak global. Tindakan ini memaksa negara-negara produsen minyak utama, terutama yang beraliansi dengan blok BRICS+, untuk mengeksplorasi denominasi non-USD untuk ekspor energi mereka, misalnya melalui inisiatif Petroyuan yang didorong oleh Tiongkok. Jika alih denominasi ekspor minyak ini terjadi secara signifikan, pilar fundamental permintaan konstan USD akan melemah, yang berpotensi mempercepat laju kurva de-dolarisasi secara dramatis.

Pilar Dominasi Dolar yang Terkikis dan Pendorong Utama De-Dolarisasi

Tren de-dolarisasi didorong oleh konvergensi antara faktor-faktor domestik negatif di Amerika Serikat dan perkembangan geopolitik serta ekonomi positif di luar negeri.

Pendorong Domestik AS: Kelemahan Fiskal dan Moneter

Risiko Fiskal AS

Amerika Serikat telah menjalankan defisit anggaran yang tidak terputus selama lebih dari 20 tahun. Kondisi ini, ditambah dengan rasio utang terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) yang telah mencapai tingkat tertinggi sejak Perang Dunia II, menimbulkan kekhawatiran serius tentang keberlanjutan keuangan publik AS. Para investor global, yang merupakan pembeli utama obligasi Treasury AS, mulai mempertanyakan kemampuan AS untuk mengelola utangnya dalam jangka panjang.

Kebijakan Moneter dan Polarisasi

Kebijakan moneter ekspansif yang diterapkan oleh Federal Reserve, terutama dalam merespons pandemi COVID-19, telah menyebabkan peningkatan pasokan uang yang signifikan. Hal ini, bersama dengan inflasi yang tinggi, telah mengikis daya beli USD, yang pada gilirannya mengurangi stabilitas dolar sebagai aset safe haven global. Selain itu, polarisasi politik domestik AS, yang berulang kali membahayakan tata kelola negara, termasuk melalui negosiasi untuk menaikkan plafon utang, dapat secara langsung merusak kepercayaan global terhadap keamanan dan stabilitas aset-aset Amerika.

Pendorong Geopolitik: “Weaponization” Mata Uang

Pendorong paling kuat dan transformatif bagi de-dolarisasi adalah keputusan AS dan sekutunya untuk mempolitisasi sistem keuangannya, mengubah USD dari aset netral menjadi senjata geopolitik.

Sanksi sebagai Katalis Pembalikan

Penggunaan sanksi ekonomi yang ekstensif oleh AS, yang mencakup pembekuan aset mata uang asing dan ancaman penangguhan dari sistem pembayaran SWIFT, telah menjadikan cadangan dolar AS “jauh lebih tidak aman daripada sebelumnya” di mata bank sentral negara-negara target dan negara-negara netral. Upaya Washington untuk menggunakan mata uangnya sebagai senjata mencakup sekitar 29% dari ekonomi global dan 40% dari cadangan minyak global. Tekanan ini secara efektif memaksa negara-negara di Kawasan Selatan Dunia (Global South) untuk secara aktif mencari dan membentuk mekanisme pembayaran multilateral baru guna menghindari risiko penyitaan atau pengucilan.

Dilema Sanksi dan Kepercayaan Jangka Panjang

Meskipun sanksi terbukti menjadi alat geopolitik yang efektif dalam jangka pendek, tindakan tersebut membawa biaya struktural yang signifikan dalam jangka panjang. Ketika aset suatu negara dibekukan, USD bertransisi dari aset netral menjadi senjata yang berpotensi mematikan. Tindakan ini secara fundamental merusak fungsi USD sebagai store of value yang universal dan aman, mendorong sekutu maupun lawan untuk mengurangi ketergantungan. Semakin sering dolar dipersenjatai, semakin kuat motivasi bagi negara-negara untuk mendiversifikasi aset mereka, mempercepat tren de-dolarisasi struktural yang sulit dikelola. Pengalaman Federasi Rusia, yang mulai mendiversifikasi sistem keuangannya sejak aneksasi Krimea pada tahun 2014, kini berfungsi sebagai studi kasus dan model lindung nilai bagi negara-negara lain yang ingin mempersiapkan diri menghadapi potensi disrupsi.

Ketidakpastian Kebijakan The Fed dan Efek Tumpahan (Spillover)

Selain sanksi, volatilitas yang diakibatkan oleh kebijakan moneter domestik AS juga menjadi pendorong de-dolarisasi bagi pasar berkembang. Kenaikan suku bunga Federal Funds Rate (FFR) oleh The Fed sering kali memicu arus modal keluar yang besar, yang ditandai dengan aksi Net Foreign Sell oleh investor asing di pasar modal negara berkembang. Volatilitas dan ketidakstabilan keuangan yang diakibatkan oleh spillover effects dari kebijakan moneter AS menghukum negara-negara berkembang. Kerentanan yang ditimbulkan oleh FFR ini mendorong negara-negara di kawasan untuk mencari mekanisme stabilitas regional, seperti inisiatif Local Currency Settlement (LCS), yang bertujuan untuk mengisolasi perdagangan dan investasi dari fluktuasi USD yang tidak menentu.

Analisis Hak Istimewa yang Mahal (Exorbitant Privilege) dan Risiko Kehilangan

Status USD sebagai mata uang cadangan global memberikan keuntungan struktural yang unik bagi Amerika Serikat, sebuah konsep yang dikenal sebagai Exorbitant Privilege (privilège exorbitant), yang pertama kali dicetuskan oleh Menteri Keuangan Prancis Valéry Giscard d’Estaing pada tahun 1960-an.

Keuntungan Struktural Dolar

Definisi Privilege

Keuntungan utama dari hak istimewa ini adalah kemampuan AS untuk membeli barang impor dalam mata uangnya sendiri. Hal ini menghilangkan risiko nilai tukar yang dihadapi oleh negara lain dan memastikan bahwa AS tidak akan menghadapi krisis neraca pembayaran yang dipicu oleh mata uang. Seperti yang disimpulkan oleh ekonom Barry Eichengreen, “Hanya membutuhkan beberapa sen bagi Bureau of Engraving and Printing untuk memproduksi uang kertas $100, tetapi negara lain harus mengeluarkan $100 barang aktual untuk mendapatkannya”.

Dua Teka-Teki Empiris (Empirical Puzzles)

Dalam literatur akademik, hak istimewa yang mahal ini dianalisis melalui dua teka-teki empiris:

  • Position Puzzle (Teka-Teki Posisi): Teka-teki ini mengacu pada perbedaan antara Posisi Investasi Internasional Bersih (NIIP) AS yang cenderung negatif, dan akumulasi defisit transaksi berjalan AS. Meskipun AS telah mengakumulasi defisit besar, NIIP-nya yang negatif jauh lebih kecil daripada yang diperkirakan.
  • Income Puzzle (Teka-Teki Pendapatan): Meskipun memiliki NIIP yang sangat negatif (yang berarti liabilitas AS di luar negeri jauh lebih besar daripada asetnya), neraca pendapatan AS tetap positif. Ini menunjukkan bahwa AS memperoleh pendapatan investasi yang lebih tinggi dari aset yang dimiliki di luar negeri daripada biaya bunga yang dibayarkan untuk liabilitasnya, suatu keuntungan yang tidak dimiliki negara lain.

Dampak Potensial Kehilangan Dominasi (Skenario Hard Landing)

Hilangnya dominasi dolar, terutama jika terjadi secara tiba-tiba atau tidak terkelola, akan membawa konsekuensi ekonomi domestik yang parah bagi AS.

Depresiasi USD dan Lonjakan Inflasi

Jika tren de-dolarisasi berlanjut, bank sentral global secara kolektif akan mulai membuang cadangan dolar mereka. Hal ini akan menyebabkan depresiasi dramatis nilai tukar USD dan berpotensi memicu hiperinflasi domestik di AS. Kekhawatiran ini timbul karena daya beli USD akan berkurang secara signifikan akibat hilangnya permintaan global.

Peningkatan Biaya Pinjaman

Penjualan masif aset berdenominasi dolar, khususnya obligasi Treasury AS, akan menghilangkan pembeli asing yang selama ini menopang likuiditas utang AS. Akibatnya, suku bunga AS akan dipaksa melonjak drastis untuk mengkompensasi hilangnya daya beli dan untuk menarik pembeli swasta ke aset Treasury. Kenaikan suku bunga ini, dari rata-rata historis (misalnya 4.25% baru-baru ini, dengan rata-rata 5.41% dari 1971-2025) , dapat melumpuhkan pasar utang AS.

Transisi Menuju Keseimbangan Global yang Lebih Baik

Di sisi lain, beberapa ekonom dan analis berpendapat bahwa AS dan dunia secara keseluruhan justru akan diuntungkan dari peran dolar yang kurang dominan. Dominasi USD secara historis telah membuat impor AS lebih murah tetapi ekspor AS menjadi lebih mahal, merugikan industri manufaktur yang berorientasi ekspor (seperti di Rust Belt) dan memperburuk ketidakseimbangan perdagangan. Dengan peran USD yang berkurang, ekspor AS akan menjadi lebih kompetitif.

Diskusi ini menunjukkan adanya kontras antara skenario hard landing yang dikhawatirkan (inflasi, suku bunga melonjak) dengan kemungkinan transisi yang lebih stabil. Jika AS memilih untuk secara sukarela mengurangi peran USD, itu dapat mengurangi tekanan geopolitik dan memfasilitasi pergeseran yang lebih terkelola menuju sistem mata uang multipolar, menghindari krisis domestik yang parah.

Titik Kritis Kepercayaan di Pasar Obligasi

Pertumbuhan utang dan defisit fiskal AS yang terus meningkat bertemu dengan tekanan geopolitik di pasar obligasi Treasury. Investor asing selama ini membeli utang AS sebagai imbalan atas likuiditas dan keamanan yang tak tertandingi. Namun, jika proses de-dolarisasi berlanjut, dan seiring negara-negara besar seperti Tiongkok mulai mengurangi kepemilikan obligasi AS mereka , pembeli utang eksternal akan menuntut imbal hasil yang jauh lebih tinggi. Tekanan pasar ini dapat mengubah Exorbitant Privilege menjadi Exorbitant Burden, memicu krisis utang yang dipicu oleh penurunan sentimen dan kepercayaan eksternal, bukan sekadar masalah moneter.

Arsitektur Moneter Alternatif: Mekanisme Implementasi De-Dolarisasi

De-dolarisasi diimplementasikan melalui strategi ganda: pembangunan infrastruktur pembayaran alternatif untuk menghindari SWIFT dan promosi penggunaan mata uang lokal dalam perdagangan bilateral.

Inisiatif BRICS dan Alternatif SWIFT

Kelompok BRICS, yang didirikan untuk menantang pengaruh politik dan ekonomi negara-negara Barat, mewakili lebih dari 40% populasi dunia dan lebih dari 25% PDB global. Peran kelompok ini telah berkembang menjadi platform utama untuk mempromosikan de-dolarisasi.

BRICS Pay (BCBPI)

Inisiatif Pembayaran Lintas Batas BRICS (BRICS Cross-Border Payments Initiative), atau BRICS Pay, adalah mekanisme pesan pembayaran yang direncanakan bersifat terdesentralisasi dan independen. Tujuannya adalah memfasilitasi perdagangan antara negara-negara anggota BRICS menggunakan mata uang lokal mereka, sepenuhnya melewati jaringan SWIFT, yang menjadi tulang punggung sanksi Barat terhadap negara seperti Rusia. Inisiatif ini menawarkan fleksibilitas yang lebih besar dalam penggunaan mata uang. Misalnya, mata uang spesifik yang terakumulasi di satu negara dapat digunakan untuk berdagang dengan negara anggota BRICS lainnya. Laporan menunjukkan bahwa lebih dari 50 negara dari Asia, Afrika, Amerika Selatan, dan Eropa Timur telah menyatakan minat untuk bergabung dalam inisiatif ini menjelang potensi peluncurannya.

Fragmentasi Sistem Pembayaran Global

Keberadaan dan pengembangan BRICS Pay, bersama dengan inisiatif sejenis lainnya, mengkonfirmasi bahwa sistem pembayaran global sedang mengalami fragmentasi yang signifikan. Fragmentasi ini merupakan respons langsung terhadap pemanfaatan USD sebagai senjata geopolitik. Negara-negara secara proaktif menciptakan zona ekonomi dan keuangan yang lebih terlindungi dari potensi sanksi Barat. Dalam jangka panjang, fenomena ini akan meningkatkan kompleksitas operasi keuangan bagi perusahaan multinasional dan secara bertahap mengurangi efektivitas sanksi berbasis dolar dan SWIFT.

Peran China: CIPS dan Internasionalisasi Renminbi (RMB)

Tiongkok menjadi pemain kunci dalam upaya de-dolarisasi melalui sistem pembayarannya sendiri dan dorongan untuk Renminbi (RMB).

Cross-Border Interbank Payment System (CIPS)

Diluncurkan oleh People’s Bank of China pada tahun 2015, Cross-Border Interbank Payment System (CIPS) menyediakan layanan kliring dan penyelesaian untuk pembayaran RMB lintas batas. CIPS merupakan bagian integral dari kebijakan Tiongkok untuk menginternasionalisasi mata uangnya. Sistem ini telah menunjukkan pertumbuhan volume transaksi yang cepat. Pada tahun 2024, CIPS memproses 8.2169 juta transaksi dengan total RMB 175.49 triliun (sekitar $24.47 triliun), mencerminkan peningkatan sebesar 42.60% dari tahun ke tahun. Jaringan CIPS juga terus berkembang, mencapai 176 peserta langsung dan 1514 peserta tidak langsung di 121 negara/wilayah hingga Juni 2025. Secara strategis, CIPS juga telah membangun kemitraan di wilayah Timur Tengah dan Afrika (MEA) serta Asia untuk memfasilitasi layanan kliring RMB offshore.

Kesenjangan Adopsi RMB Global

Meskipun pertumbuhan CIPS kuat, adopsi RMB di pasar pembayaran global masih jauh tertinggal dari USD dan Euro. Data pelacak SWIFT menunjukkan bahwa pangsa RMB dalam pembayaran global (berdasarkan nilai) hanya berkisar antara 3% hingga 4.7% pada periode 2024-2025, jauh di belakang USD (sekitar 48%) dan Euro (sekitar 24%).

Pangsa Pasar Mata Uang Utama dalam Pembayaran Global SWIFT (Berdasarkan Nilai Transaksi)

Mata Uang Pangsa Global Pembayaran SWIFT (Agustus 2024) Pangsa Global Pembayaran SWIFT (Mei 2025) Peringkat Global (Agustus 2024) Keterangan Dominasi Struktural
USD (Dolar AS) 49.07% Data tidak tersedia dalam snippet 1 Dominasi absolut, didukung likuiditas pasar yang tak tertandingi.
EUR (Euro) 21.58% Data tidak tersedia dalam snippet 2 Rival terdekat, namun dibatasi oleh fragmentasi politik internal.
RMB (Renminbi Tiongkok) 4.69% 2.89% 4 Pertumbuhan volume CIPS kuat, tetapi pangsa pembayaran SWIFT global masih kecil dan fluktuatif, menghadapi tantangan likuiditas.
JPY (Yen Jepang) 3.98% Data tidak tersedia dalam snippet 5 Pemain global penting, tetapi tertinggal jauh.

Kesenjangan antara pertumbuhan volume CIPS domestik Tiongkok dan pangsa RMB yang rendah dalam pembayaran SWIFT global menyoroti tantangan struktural yang dihadapi Tiongkok. Meskipun Tiongkok berhasil membangun infrastruktur teknis yang efisien (CIPS), RMB masih menghadapi masalah fundamental terkait likuiditas pasar yang rendah dan, yang lebih penting, kurangnya kepercayaan investor dan pedagang global karena kontrol modal yang ketat yang diberlakukan oleh Beijing. Internasionalisasi penuh RMB memerlukan konvertibilitas penuh dan pelepasan kontrol modal, hal yang secara politik sulit dilakukan oleh Partai Komunis Tiongkok.

Mekanisme Lokal: Local Currency Settlement (LCS)

Di tingkat regional, inisiatif yang paling pragmatis adalah Local Currency Settlement (LCS). LCS adalah kerangka kerja bilateral atau regional, seperti kerja sama antara Indonesia, Malaysia, dan Korea Selatan.

Tujuan utama LCS adalah untuk mempromosikan penyelesaian transaksi perdagangan dan investasi langsung dalam mata uang lokal negara-negara mitra, seperti Rupiah dan Ringgit. Hal ini secara efektif menghilangkan kebutuhan untuk konversi ganda melalui USD, yang secara historis meningkatkan biaya tarif dan risiko valuta asing.

Manfaat LCS bagi negara berkembang sangat besar: ia bertujuan untuk mencapai dan memelihara stabilitas mata uang lokal, diversifikasi pasar ekspor dan impor, menstimulasi investasi dalam mata uang domestik, dan secara fundamental memperkuat kedaulatan ekonomi regional. Namun, keberhasilan LCS membutuhkan kebijakan yang cermat untuk memastikan daya saing ekspor produk lokal tetap terjaga, meskipun biaya transaksi menjadi lebih murah.

Local Currency Settlement (LCS) merupakan bentuk lindung nilai yang paling dapat dicapai terhadap volatilitas global bagi negara berkembang. Berbeda dengan inisiatif global seperti BRICS Pay yang berusaha menggantikan SWIFT, LCS adalah langkah pragmatis yang berfokus pada manajemen risiko yang dilokalisasi. LCS memungkinkan bank sentral negara mitra dagang untuk lebih fokus pada stabilitas mata uang domestik mereka dibandingkan harus terus-menerus mengejar likuiditas USD, sehingga memperkuat kedaulatan moneter praktis.

Penilaian Prospek Mata Uang dan Aset Alternatif

Meskipun sentimen de-dolarisasi tinggi, analisis menunjukkan bahwa tidak ada satu pun mata uang atau aset yang mampu menggantikan USD secara menyeluruh dalam waktu dekat. Sistem yang paling mungkin muncul adalah sistem multipolar regional.

Yuan/Renminbi (RMB)

Renminbi memiliki potensi pertumbuhan karena Tiongkok adalah pusat perdagangan global yang masif dan didukung oleh infrastruktur CIPS yang berkembang pesat. Tiongkok juga secara aktif mempromosikan Petroyuan untuk pembelian komoditas.

Namun, RMB menghadapi tantangan struktural yang signifikan yang menghambat perannya sebagai mata uang cadangan global yang sesungguhnya. Masalah-masalah ini meliputi kurangnya konvertibilitas penuh, kontrol kapital yang ketat oleh Beijing, dan likuiditas pasar obligasi Tiongkok yang jauh di bawah kedalaman pasar Treasury AS.

Mengingat kendala struktural ini, RMB kemungkinan akan menjadi mata uang dominan di Asia Timur dan Asia Tenggara (regionalisasi), tetapi akan gagal mencapai status mata uang cadangan global (globalisasi) kecuali terjadi reformasi politik dan ekonomi radikal yang melepaskan kontrol ketat atas aliran modal. Ini memperkuat proyeksi menuju sistem multipolar regional, alih-alih pergantian hegemon moneter global.

Euro (EUR)

Euro tetap menjadi rival terdekat USD, mempertahankan statusnya sebagai mata uang paling aktif kedua dalam pembayaran global (20-24%) dan merupakan jangkar regional yang penting. Euro menawarkan likuiditas yang kuat dan digunakan secara luas di luar Zona Euro. Namun, Euro dibatasi oleh fragmentasi politik internal di Zona Euro dan kurangnya obligasi ‘safe asset’ tunggal yang setara dengan obligasi Treasury AS yang dapat diterbitkan dalam volume yang tak terbatas.

Emas (Gold)

Emas telah menjadi penerima manfaat utama dari tren de-dolarisasi yang didorong oleh geopolitik.

Peran Anti-Sanctions

Emas secara unik berfungsi sebagai aset cadangan yang tidak dapat disita atau dipersenjatai secara digital oleh negara mana pun. Ini memberikan keamanan aset yang sangat dicari oleh bank sentral yang menyaksikan pembekuan aset dolar akibat sanksi Barat.

Tren Akuisisi Bank Sentral

Sebagai respons langsung terhadap meningkatnya sanksi Barat yang mempercepat de-dolarisasi, bank-bank sentral global secara kolektif telah menumpuk emas dalam volume besar. Pergeseran ini menunjukkan adanya prioritas yang jelas: bank sentral kini memprioritaskan keamanan dan kedaulatan aset di atas imbal hasil (emas tidak menghasilkan bunga).

Pergeseran bank sentral ke emas mengindikasikan bahwa de-dolarisasi yang terjadi saat ini lebih didorong oleh kekhawatiran risiko sistemik dan weaponization USD daripada pencarian alternatif mata uang fiat yang unggul secara ekonomi. Emas berfungsi sebagai lindung nilai struktural terhadap penurunan kepercayaan sistemik terhadap mata uang fiat utama dan sistem keuangan global.

Dampak De-Dolarisasi terhadap Pasar Berkembang (Fokus Strategis)

Negara-negara Pasar Berkembang (EM) sangat rentan terhadap dinamika dolar AS dan kebijakan moneter domestik AS. De-dolarisasi menawarkan peluang, tetapi juga menghadapi risiko terkait transisi.

Risiko Ketergantungan USD

Volatilitas Kebijakan The Fed

Kebijakan suku bunga Federal Funds Rate (FFR) oleh The Fed secara historis telah memicu efek tumpahan yang signifikan. Ketika The Fed menaikkan FFR, hal itu dapat memicu arus modal keluar yang besar, sering kali mengakibatkan aksi Net Foreign Sell di pasar modal EM, seperti yang terlihat di Indonesia.

Beban Utang

Kenaikan suku bunga AS dan penguatan USD membuat utang luar negeri yang didenominasi dalam dolar menjadi lebih mahal untuk dilunasi dalam mata uang lokal negara berkembang. Volatilitas ini menghadirkan kerentanan ekonomi yang besar, yang pada akhirnya mendorong upaya untuk mengurangi paparan terhadap mata uang hegemon.

Manfaat Strategi Local Currency Settlement (LCS)

Untuk mengisolasi diri dari volatilitas yang ditimbulkan oleh kebijakan The Fed dan memperkuat kedaulatan ekonomi, EM semakin bergantung pada strategi LCS.

LCS berfungsi untuk mencapai stabilitas mata uang lokal dan diversifikasi pasar. Dengan menghilangkan kebutuhan konversi ganda melalui USD, LCS mengurangi biaya transaksi dan risiko valas, sehingga meningkatkan efisiensi perdagangan regional. Lebih lanjut, inisiatif dedolarisasi mendorong EM untuk memperkuat pasar keuangan domestik mereka, misalnya dengan menerbitkan obligasi berkualitas tinggi dalam mata uang lokal untuk mendanai pinjaman domestik. Strategi ini secara langsung mengurangi ketergantungan pada utang luar negeri berdenominasi USD, meningkatkan stabilitas ekonomi jangka panjang.

Perekonomian Asia, khususnya ASEAN, memiliki peluang besar untuk tumbuh pesat di tengah fragmentasi geopolitik global. Negara-negara di kawasan didorong untuk memanfaatkan tren de-dolarisasi ini dengan mengembangkan rantai pasok regional dan meningkatkan kapasitas ekonomi domestik mereka, sehingga tidak lagi terikat pada fluktuasi kebijakan moneter dari satu negara adidaya.

Kesimpulan

Analisis mendalam mengenai dinamika de-dolarisasi menyimpulkan bahwa proses ini bukanlah sinyal keruntuhan mendadak Dolar AS, melainkan pergeseran struktural yang lambat namun signifikan menuju sistem moneter yang lebih multipolar. Pendorong utama pergeseran ini adalah faktor geopolitik, khususnya pemanfaatan USD sebagai senjata sanksi oleh Washington, yang melemahkan kepercayaan terhadap fungsi dolar sebagai store of value yang aman dan netral. Meskipun infrastruktur alternatif (seperti CIPS) berkembang pesat, pengganti yang kredibel untuk fungsi cadangan global masih menghadapi tantangan besar terkait likuiditas dan kepercayaan, terutama dalam kasus Renminbi Tiongkok.

  1. Erosi Dolar Bertahap: Dominasi USD di pasar modal dan cadangan devisa akan terus terkikis secara perlahan. Namun, USD akan mempertahankan peran utamanya sebagai mata uang jangkar likuiditas dan penyelesaian utama untuk transaksi global karena tidak adanya alternatif yang memiliki kedalaman pasar obligasi dan rule of law yang setara.
  2. Fragmentasi Sistem Pembayaran: Sistem pembayaran global akan semakin terfragmentasi. Inisiatif BRICS Pay, CIPS, dan ekspansi LCS akan menciptakan zona ekonomi yang terlindungi dari SWIFT. Hal ini akan mengurangi efektivitas sanksi Barat dan meningkatkan kompleksitas manajemen keuangan lintas batas.
  3. Penguatan Emas: Emas akan terus meningkat sebagai aset cadangan anti-geopolitik. Akumulasi emas oleh bank sentral mencerminkan kekhawatiran struktural terhadap sistem fiat global dan risiko weaponization mata uang.

Berdasarkan analisis risiko dan peluang yang ditimbulkan oleh tren de-dolarisasi, disarankan langkah-langkah kebijakan strategis berikut, terutama bagi negara-negara Pasar Berkembang:

  1. Memperluas Implementasi Local Currency Settlement (LCS): Pemerintah dan bank sentral harus secara agresif mempercepat implementasi dan memperluas jaringan LCS dengan mitra dagang utama di kawasan. Hal ini akan secara langsung mengurangi biaya transaksi, meminimalkan risiko valuta asing, dan memperkuat kestabilan mata uang domestik terhadap volatilitas eksternal yang dipicu oleh kebijakan The Fed.
  2. Memperkuat Kedalaman Pasar Keuangan Domestik: Untuk mengurangi kerentanan terhadap arus modal keluar akibat kenaikan FFR The Fed, penting untuk meningkatkan kedalaman dan likuiditas pasar obligasi dalam mata uang lokal. Mendorong penerbitan obligasi berkualitas tinggi dalam mata uang domestik akan membantu mendanai kebutuhan pembangunan dan investasi, mengurangi ketergantungan pada pinjaman berdenominasi USD.
  3. Mendorong Transisi Global yang Terkelola: Negara-negara perlu mendorong dialog melalui forum G20 dan BRICS untuk mendesak AS mengakui tren de-dolarisasi. Tujuannya adalah untuk mengelola penurunan hegemoni ekonomi AS agar tidak memicu ketidakstabilan global yang parah, yang berpotensi menyebabkan inflasi dan lonjakan suku bunga tiba-tiba di seluruh dunia. Negara-negara berkembang harus berinvestasi dalam pengembangan kapasitas ekonomi domestik dan penguatan rantai pasok regional untuk memanfaatkan peluang di tengah fragmentasi geopolitik.

 

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

91 − 81 =
Powered by MathCaptcha