Masyarakat pesisir di Indonesia didefinisikan sebagai kelompok sosial yang hidup bersama dan mendiami wilayah pesisir. Kelompok ini membentuk dan memiliki kebudayaan yang khas, di mana mata pencaharian dan struktur kehidupannya sangat terkait erat dengan pemanfaatan sumber daya pesisir dan laut. Ketergantungan ini bersifat fundamental, menjadikan kehidupan mereka sangat dipengaruhi oleh faktor lingkungan, seperti kondisi laut, musim, dan dinamika pasar ikan. Karakteristik usaha perikanan yang terbuka dan berisiko tinggi turut membentuk sifat masyarakat pesisir, yang sering digambarkan memiliki watak tegas sebagai respons terhadap ketidakpastian alam.
Dalam konteks pembangunan nasional, wilayah pesisir dan laut kini berada di bawah tekanan ganda yang kompleks. Tekanan pertama berasal dari Modernitas, yang mencakup perubahan teknologi penangkapan ikan, disrupsi informasi melalui media digital, dan pergeseran nilai sosial-budaya. Tekanan kedua dan yang lebih agresif adalah Industrialisasi, yang termanifestasi dalam pembangunan infrastruktur skala besar (pelabuhan, pembangkit listrik), ekspansi industri ekstraktif (pertambangan, pabrik), serta pengambilalihan ruang pesisir melalui reklamasi.
Transformasi struktural ini menempatkan masyarakat pesisir di tengah dilema krusial. Di satu sisi, modernitas dan industrialisasi menawarkan peluang peningkatan kesejahteraan melalui adopsi teknologi dan diversifikasi mata pencaharian. Di sisi lain, mereka menghadapi risiko kerentanan struktural yang semakin mendalam, konflik sosial atas perebutan ruang, dan degradasi lingkungan yang mengancam basis sumber daya hidup tradisional mereka. Analisis mendalam diperlukan untuk memahami bagaimana perilaku masyarakat pesisir beradaptasi dan bernegosiasi dengan kekuatan perubahan tersebut.
Kerentanan Struktural dan Basis Sosial Masyarakat Pesisir
Masyarakat pesisir Indonesia, khususnya nelayan tradisional, umumnya berada dalam kondisi kerentanan struktural yang telah mengakar. Masalah utama yang tak terhindarkan adalah kemiskinan. Kemiskinan ini diperparah oleh tingkat pendidikan formal yang sangat rendah. Data menunjukkan bahwa dari empat juta nelayan di Indonesia, sekitar 85% hanya berpendidikan sekolah dasar (SD) atau bahkan buta huruf. Hanya 0,03% yang berhasil mencapai pendidikan diploma. Rendahnya tingkat pendidikan ini menjadi hambatan struktural yang signifikan, karena pendidikan dasar merupakan pondasi kokoh bagi setiap individu untuk melakukan perubahan sikap, tata kelakuan, dan memiliki akses terhadap pelayanan sosial dasar lainnya.
Struktur sosial dalam komunitas nelayan sering kali terbentuk berdasarkan penguasaan dan kepemilikan modal serta alat produksi. Pelapisan sosial yang terbentuk umumnya terdiri dari tiga strata utama: 1) Ponggawa atau Juragan, yaitu nelayan yang memiliki modal besar dan menguasai alat produksi; 2) Nelayan pemilik kapal menengah; dan 3) Nelayan buruh/tradisional. Struktur ini menciptakan ketimpangan akses terhadap peluang yang dibawa oleh modernitas.
Ketergantungan hidup nelayan pada faktor lingkungan (musim) dan risiko usaha yang tinggi mengakibatkan mereka hidup dalam suasana ketidakpastian. Keadaan ini memiliki konsekuensi domino. Risiko usaha yang tinggi mengarah pada kemiskinan struktural, yang kemudian menyebabkan rendahnya akses pendidikan formal. Sebagai dampaknya, komunitas ini menunjukkan rendahnya penguasaan akan teknologi tangkap modern.
Jaringan sebab-akibat ini menjelaskan mengapa modernitas tidak masuk ke dalam ruang sosial yang netral, melainkan memperburuk ketimpangan yang sudah ada. Ponggawa, yang memiliki modal dan koneksi, mampu mengadopsi teknologi lebih cepat dan menuai keuntungan, sementara nelayan buruh tetap terperangkap dalam sistem ekonomi bagi hasil yang rentan. Hal ini menunjukkan bahwa kerentanan masyarakat pesisir, meskipun terkait dengan sumber daya alam, berakar pada masalah sosial ekonomi struktural.
Respon terhadap Modernitas Teknologi: Adaptasi dan Ketimpangan
Modernitas di sektor perikanan paling nyata terlihat dari adopsi teknologi, yang secara fundamental mengubah cara nelayan berinteraksi dengan laut dan pasar.
Transformasi Alat Tangkap dan Motorisasi
Motorisasi perahu dan mekanisasi alat tangkap ikan di Indonesia secara umum mulai diterapkan secara meluas sejak dekade 1970-an. Dalam perkembangannya, modernisasi ini menyentuh sektor perikanan di berbagai wilayah pesisir, termasuk Sulawesi. Transformasi ini umumnya mengarah pada sistem yang lebih maju dan kompleks.
Dari aspek ekonomi, kehadiran modernisasi alat tangkap dan motorisasi terbukti mampu meningkatkan tingkat perekonomian nelayan (khususnya yang menggunakan alat modern) dan membuka peluang peningkatan penghasilan. Namun, di sisi lain, adopsi teknologi ini menciptakan ketimpangan internal. Bagi nelayan kecil, khususnya yang dikategorikan sebagai nelayan tradisional atau buruh, tingkat produktivitas perikanan masih sangat rendah. Rendahnya produktivitas ini disebabkan oleh rendahnya penguasaan akan teknologi tangkap yang lebih maju.
Hal ini memperkuat polarisasi dalam komunitas. Adopsi teknologi penangkapan ikan modern oleh nelayan pemilik modal (Ponggawa) secara tidak langsung meningkatkan kapasitas tangkap secara eksponensial. Peningkatan kapasitas ini, tanpa disertai tata kelola perikanan yang efektif, berpotensi besar menyebabkan over-exploitation sumber daya ikan. Analisis menunjukkan bahwa modernisasi yang tidak terkontrol mempercepat krisis sumber daya, di mana 35% stok ikan di Indonesia telah mengalami over-exploitation pada tahun 2022. Peningkatan eksploitasi ini pada akhirnya mengurangi hasil tangkapan nelayan kecil dan memperparah kerentanan mata pencaharian mereka. Oleh karena itu, modernisasi teknologi yang terjadi saat ini berpotensi menjadi pisau bermata dua: ia memberikan keuntungan kepada pemilik modal namun pada saat yang sama dapat menghancurkan basis sumber daya yang menjadi sandaran nelayan kecil.
Inovasi, Keterampilan Digital, dan Akses Pasar
Di era digital, inovasi teknologi tidak hanya terbatas pada alat tangkap fisik, tetapi juga mencakup teknologi informasi dan tata kelola. Transformasi sistem pangan laut, atau yang dikenal sebagai blue food, kini sangat bergantung pada penerapan teknologi inovatif, data spasial, kecerdasan buatan (AI), dan inovasi digital untuk meningkatkan efisiensi logistik, pelacakan sumber daya, dan akses pasar yang lebih luas.
Dalam upaya mengurangi kerentanan rumah tangga nelayan, berbagai inisiatif telah dikembangkan, termasuk program literasi keuangan yang menggunakan media adaptif seperti permainan edukasi. Namun, efektivitas intervensi ini terhambat oleh fondasi pendidikan yang lemah di komunitas pesisir. Pendidikan formal yang rendah, seperti yang disorot sebelumnya , menjadi penghambat utama adopsi teknologi yang bertanggung jawab dan efektif.
Agar teknologi dapat berfungsi sebagai alat pemberdayaan, dan bukan sekadar alat ekstraksi, diperlukan investasi besar dalam literasi teknis dan digital bagi nelayan kecil. Tanpa landasan pendidikan yang memadai, nelayan akan sulit berpartisipasi dalam sistem produksi dan distribusi yang inklusif sebagaimana yang diamanatkan dalam pembangunan kelautan berkelanjutan. Intervensi teknologi harus sejalan dengan penguatan kapasitas lokal untuk memastikan bahwa manfaat modernisasi dapat dinikmati secara merata, bukan hanya oleh kelas Ponggawa.
Pergeseran Sosial-Budaya: Modernitas dan Budaya Konsumsi
Modernitas tidak hanya mengubah cara kerja masyarakat pesisir, tetapi juga pola pikir, gaya hidup, dan nilai-nilai tradisional mereka. Perubahan ini sebagian besar didorong oleh arus globalisasi ekonomi dan ekspansi kapitalisme konsumtif.
Pengaruh Media Sosial dan Aspirasi Gaya Hidup
Arus modernitas yang paling masif masuk ke masyarakat pesisir adalah melalui konten digital dan media sosial. Penggunaan media sosial kini terlihat merata, baik di perkotaan maupun di perdesaan pesisir. Platform digital, bersama dengan peran influencer, berfungsi sebagai jalur diseminasi budaya yang kuat, membentuk aspirasi gaya hidup modern, mode, dan pola konsumsi, terutama di kalangan generasi muda.
Meskipun media sosial membawa dampak positif, seperti mempererat interaksi antar anggota keluarga di perdesaan, kehadirannya juga membawa konsekuensi negatif yang serius, seperti peningkatan penyebaran disinformasi atau hoaks. Media sosial memiliki persentase keterlibatan tertinggi (92,40%) sebagai wadah tersebarnya berita bohong, jauh di atas aplikasi pesan daring atau situs web. Ini menunjukkan bahwa selain risiko konsumerisme, modernitas digital juga membawa risiko kerentanan kognitif dan sosial.
Perilaku Konsumtif dan Kerentanan Ekonomi Rumah Tangga
Ekspansi kapitalisme konsumtif ini menghasilkan pergeseran perilaku yang signifikan di masyarakat pesisir, di mana terjadi kecenderungan untuk membeli produk berdasarkan keinginan daripada kebutuhan. Pergeseran ini, bersama dengan perubahan peran belanja (misalnya, dari laki-laki ke perempuan), menandakan adanya perubahan pola konsumsi rumah tangga secara menyeluruh.
Pola konsumsi yang didorong oleh modernitas digital menciptakan apa yang disebut kemiskinan aspirasional. Rumah tangga pesisir yang secara ekonomi sudah rentan akibat ketidakpastian mata pencaharian didorong untuk mengadopsi gaya hidup yang secara finansial tidak berkelanjutan, yang ditandai dengan peningkatan beban pengeluaran untuk barang-barang konsumtif.
Kontradiksi menarik juga terlihat dalam pola konsumsi pangan. Walaupun masyarakat pesisir, studi menunjukkan bahwa konsumsi ikan di wilayah perkotaan Indonesia masih relatif rendah. Faktor penentu adalah terbatasnya akses terhadap ikan segar, harga yang berfluktuasi, dan preferensi terhadap makanan yang praktis atau siap saji. Hal ini menunjukkan adanya ketidakselarasan logistik: masyarakat yang berperan sebagai produsen sumber daya laut justru menghadapi kendala dalam mengonsumsi hasil produksinya sendiri secara optimal, sementara preferensi pangan diarahkan oleh tren modernitas.
Dimensi Budaya Tradisional yang Terkikis
Secara antropologis, masyarakat pesisir memiliki budaya yang kuat terkait dengan laut. Secara tradisional, mereka masih menganggap laut memiliki kekuatan magis, yang tercermin dalam ritual adat seperti pesta laut atau sedekah laut. Ritual ini merupakan manifestasi dari hubungan spiritual manusia dengan lingkungannya.
Namun, di tengah gelombang modernitas, terjadi erosi nilai. Sebagian besar penduduk dewasa ini sudah tidak lagi percaya terhadap kekuatan magis ritual tersebut dan hanya melaksanakan tradisi itu sebagai formalitas semata. Meskipun demikian, upaya untuk mempertahankan identitas budaya dan tradisi melalui peningkatan rasa kepemilikan masih menjadi elemen kunci dalam program pemberdayaan komunitas. Hal ini menunjukkan adanya tarik-ulur antara nilai yang diyakini (intrinsik) dan praktik yang dijalankan (ekstrinsik), di mana nilai-nilai tradisional mulai kehilangan relevansinya di hadapan realitas ekonomi dan sosial modern.
Industrialisasi sebagai Tekanan Eksternal Utama: Konflik, Degradasi, dan Alih Profesi
Industrialisasi merepresentasikan kekuatan eksternal skala besar yang mengancam ketersediaan ruang, kualitas lingkungan, dan keberlangsungan mata pencaharian tradisional masyarakat pesisir.
Konflik Sosial dan Perebutan Ruang Pesisir
Pembangunan infrastruktur besar di wilayah pesisir, terutama melalui proyek reklamasi, telah menjadi sumber konflik sosial dan ketegangan struktural yang paling mendasar. Kasus reklamasi, seperti proyek Centre Point of Indonesia atau Teluk Jakarta, seringkali digugat oleh koalisi masyarakat sipil karena dianggap melanggar peraturan perundang-undangan dan memperparah pencemaran.
Konflik ini sering berakar pada perbedaan interpretasi ruang. Bagi masyarakat pesisir, laut dipandang sebagai ruang terbuka yang dapat dimanfaatkan oleh siapa saja. Namun, bagi industrialisasi, pesisir dan laut adalah aset komersial yang harus dikapitalisasi dan diubah fungsinya menjadi kawasan industri atau wisata. Reklamasi memicu perebutan lahan dan klaim hak garap yang berpotensi memicu ketegangan sosial, bahkan tindakan kekerasan dan anarkis.
Lebih jauh, proyek-proyek reklamasi juga menimbulkan risiko teknis terhadap proyek vital pelayanan publik. Misalnya, rencana reklamasi yang dapat meningkatkan suhu air laut 1-2 derajat Celsius dapat mengganggu efektivitas pendinginan reaktor pembangkit listrik seperti PLTU/PLTGU Muara Karang, yang sangat penting bagi pasokan listrik di Jakarta.
Degradasi Lingkungan Akibat Aktivitas Industri
Degradasi lingkungan merupakan konsekuensi langsung dari industrialisasi yang tidak berkelanjutan. Tingkat pencemaran laut di Indonesia masih sangat tinggi, terutama di sekitar muara sungai, kota-kota besar, dan wilayah industri seperti pantai utara Jawa Tengah.
Sumber pencemaran sangat beragam, mencakup limbah industri, limbah tambang (termasuk di wilayah timur Indonesia), tumpahan minyak, sampah laut, serta praktik penangkapan ikan yang merusak (pemboman dan trawl). Limbah industri dan pertambangan telah terbukti menyebabkan kerusakan ekosistem yang masif, termasuk rusaknya ekosistem bakau, terumbu karang, dan hilangnya benih-benih biota penting seperti ikan bandeng dan udang. Pencemaran ini juga berdampak negatif pada sektor pariwisata pesisir.
Selain itu, pembangunan pariwisata skala besar di wilayah pesisir juga memberikan tekanan signifikan. Pembangunan fasilitas pariwisata menyebabkan perombakan wilayah wisata dan peningkatan limbah dan transportasi, yang turut berkontribusi pada penurunan kualitas lingkungan.
Fenomena Alih Profesi (Defisherisation)
Tekanan lingkungan dan ekonomi yang timbul dari industrialisasi telah memicu fenomena defisherisation, yaitu peralihan mata pencaharian nelayan tradisional. Di wilayah pusat industri seperti Gresik, banyak nelayan beralih profesi menjadi buruh pabrik (seperti PT Semen Gresik dan PT Petrokimia Gresik).
Motivasi utama di balik peralihan ini adalah mencari kestabilan. Profesi nelayan dianggap semakin tidak menguntungkan karena overfishing, polusi perairan yang parah, dan penyempitan wilayah tangkap akibat reklamasi industri. Sebaliknya, menjadi buruh pabrik menawarkan kestabilan pendapatan, fasilitas kerja, dan jaminan sosial yang tidak dimiliki oleh nelayan tradisional.
Fenomena ini adalah hasil dari sebuah pilihan paradoks. Masyarakat pesisir meninggalkan mata pencaharian yang secara ekologis dan musiman rentan untuk mencari kepastian finansial di sektor industri. Meskipun mendapatkan stabilitas ekonomi, peralihan ini menciptakan kerentanan sosial-budaya baru, yaitu hilangnya identitas profesi dan keterikatan budaya maritim. Industrialisasi secara efektif memaksa kolapsnya mata pencaharian tradisional dan mengubah nelayan menjadi tenaga kerja buruh.
Untuk memperjelas hubungan kausalitas antara industrialisasi dan perilaku adaptasi, berikut disajikan matriks rantai kausalitas:
Rantai Kausalitas: Dampak Industrialisasi dan Konflik di Wilayah Pesisir Indonesia
Pemicu Industrialisasi | Dampak Lingkungan Primer | Dampak Sosio-Ekonomi Sekunder | Perilaku Komunitas (Respons Konflik) |
Reklamasi Lahan/Infrastruktur | Kerusakan Mangrove/Terumbu Karang; Peningkatan suhu air laut | Hilangnya zona tangkap nelayan; Peningkatan ketegangan klaim lahan | Aksi protes/Gugatan hukum terhadap kebijakan; Pembentukan kelompok advokasi |
Ekspansi Pabrik/Tambang | Pencemaran Limbah Berat; Kerusakan ekosistem biota | Kolapsnya livelihood perikanan tradisional; Masalah kesehatan publik | Alih profesi paksa menjadi buruh pabrik; Desakan pada GAKUM lingkungan |
Pembangunan Pariwisata Skala Besar | Penurunan kualitas lingkungan (sampah); Perombakan wilayah wisata | Perebutan lahan komersial; Dislokasi sosial; Kesenjangan pendapatan | Adaptasi ke sektor jasa (buruh wisata); Penguatan identitas budaya lokal |
Mekanisme Ketahanan Komunitas dan Peran Kearifan Lokal
Di tengah tekanan modernitas dan industrialisasi, masyarakat pesisir tidak pasif. Mereka mengaktifkan mekanisme ketahanan internal yang bersumber dari kearifan lokal dan kelembagaan adat.
Peran Tata Kelola Adat dalam Keberlanjutan
Kearifan lokal (seperti Sasi di Maluku atau Panglima Laot di Aceh) merupakan landasan hukum tidak tertulis yang mengatur hubungan manusia dengan sumber daya laut. Perlindungan dan pengembangan nelayan tradisional tidak dapat dilepaskan dari pengawasan zona tangkap yang berbasis kearifan lokal.
Pemerintah sendiri telah mengakui pentingnya hal ini. Undang-Undang No. 32 Tahun 2014 tentang Kelautan secara eksplisit mengamanatkan pelestarian nilai budaya dan revitalisasi hukum adat serta kearifan lokal di bidang Kelautan. Hal ini menunjukkan adanya pengakuan bahwa kearifan lokal adalah mekanisme tata kelola sumber daya yang efektif untuk keberlanjutan perikanan. Kelembagaan adat seringkali memiliki struktur dan kewenangan yang jelas, dengan kepemimpinan yang dihormati, sehingga mempermudah kepatuhan kolektif terhadap aturan pengelolaan sumber daya.
Namun, muncul tantangan ketika kebijakan sektoral berbeda orientasi. Konflik kebijakan sering terjadi karena perbedaan terminologi dan orientasi antara undang-undang sektoral (misalnya UU Perikanan vs. UU Kelautan) terkait upaya “pengembangan” kearifan lokal. Ketidaksinambungan ini melemahkan perlindungan hukum bagi komunitas adat dan membuat mereka rentan terhadap penafsiran regulasi yang menguntungkan kepentingan industri. Dengan kata lain, marginalisasi kearifan lokal di tengah pembangunan adalah kegagalan tata kelola (governance failure), bukan kegagalan komunitas.
Strategi Adaptasi Ekonomi dan Lingkungan
Masyarakat pesisir telah mengembangkan strategi adaptasi yang bersifat mikro dan makro untuk menghadapi ketidakpastian.
Secara ekologis, nelayan kecil sangat bergantung pada pengetahuan tradisional mereka, seperti kalender musim yang detail. Nelayan di Pulau Panjang, misalnya, bekerja efektif berdasarkan intensitas angin yang berbeda-beda sepanjang tahun, menghindari musim angin utara di mana intensitas badai sangat tinggi. Pengetahuan ini sangat penting untuk mitigasi risiko usaha.
Dalam konteks perubahan iklim dan degradasi lingkungan, strategi adaptif yang muncul antara lain adalah ekstensifikasi tambak pada lahan timbul (lahan yang muncul akibat perubahan iklim/abrasi) sebagai sarana untuk meningkatkan penghasilan. Selain itu, mereka juga berpartisipasi dalam pengelolaan hutan mangrove untuk mengurangi kerentanan terhadap cuaca dan melindungi kawasan pantai.
Secara internal, pemberdayaan komunitas berfokus pada pembangunan kapasitas psikososial, termasuk peningkatan rasa percaya diri dalam menghadapi tantangan, pengembangan keterampilan manajemen diri, dan peningkatan rasa kepemilikan terhadap upaya dan hasil kerja mereka. Hal ini juga mencakup penguatan rasa memiliki terhadap identitas budaya dan tradisi.
Peran Kearifan Lokal dalam Pengelolaan Sumber Daya Pesisir Kontemporer
Fungsi Kearifan Lokal | Mekanisme Adat (Contoh Konseptual) | Manfaat Keberlanjutan | Tantangan Utama Modernitas/Industrialisasi |
Tata Kelola Sumber Daya | Aturan penutupan wilayah tangkap (Sasi) | Mengontrol over-exploitation; Pemulihan stok ikan | Konflik dengan zonasi industri/perikanan komersial; Regulasi nasional yang ambigu 16 |
Partisipasi dan Kepatuhan | Struktur kepemimpinan adat yang jelas dan dihormati | Mendorong rasa kepemilikan dan kepatuhan kolektif terhadap aturan | Erosi otoritas adat akibat pengaruh ekonomi luar; Individualisme konsumtif |
Adaptasi Ekologis | Pengetahuan Musiman (Kalender nelayan); Pengelolaan ekosistem mangrove | Mitigasi risiko iklim/musim paceklik; Perlindungan kawasan pantai | Kerusakan fisik habitat akibat polusi dan reklamasi yang masif |
Sintesis, Tantangan Utama, dan Rekomendasi Kebijakan
Sintesis Pola Perilaku Masyarakat Pesisir
Perilaku masyarakat pesisir Indonesia dalam menghadapi modernitas dan industrialisasi menunjukkan dua pola respons utama yang bersifat polar dan kontradiktif:
- Polarisasi Adaptasi Ekonomi: Modernitas teknologi menciptakan diferensiasi yang tajam. Bagi kelompok pemilik modal (Ponggawa), modernitas adalah sumber peluang untuk meningkatkan produktivitas dan akumulasi kekayaan. Sebaliknya, bagi nelayan buruh, modernitas hadir sebagai ancaman ganda—sebagai pendorong konsumerisme yang tidak berkelanjutan (kerentanan finansial) dan sebagai penyebab over-exploitation sumber daya yang mendisrupsi mata pencaharian tradisional, yang pada akhirnya memicu alih profesi paksa (defisherisation).
- Resistensi Kultural dan Politik: Meskipun terjadi pergeseran gaya hidup ke arah yang lebih konsumtif dan terkikisnya nilai-nilai magis dalam ritual adat 2, komunitas pesisir menunjukkan resistensi yang kuat ketika ruang hidup mereka diancam. Perlawanan ini dimanifestasikan melalui penguatan kelembagaan adat , strategi adaptasi ekologis, dan aksi kolektif/advokasi politik untuk menuntut keadilan ruang dan perlindungan lingkungan, seperti desakan yang disampaikan kepada pemimpin politik terkait kebijakan pesisir.
Tantangan Kunci dalam Kerangka Pembangunan Berkelanjutan
Dinamika ini mengungkap tiga tantangan utama yang harus diatasi untuk memastikan pembangunan pesisir yang inklusif dan berkelanjutan:
- Defisit Kapasitas Manusia: Rendahnya tingkat pendidikan formal dan literasi digital yang kritis menghambat kemampuan masyarakat pesisir untuk mengadopsi teknologi secara bertanggung jawab dan memposisikan diri dalam rantai pasok modern. Defisit ini juga membuat mereka rentan terhadap eksploitasi dan konsumerisme berlebihan.
- Konflik Keadilan Ruang dan Lingkungan: Konflik struktural antara kepentingan pembangunan skala besar (reklamasi, pelabuhan, industri) dan hak-hak tradisional nelayan terus berlanjut. Konflik ini diperparah oleh masifnya pencemaran dari limbah industri dan pertambangan yang secara fundamental merusak basis sumber daya alam.
- Ancaman Over-exploitation Sumber Daya: Keinginan untuk meningkatkan hasil tangkapan (didorong oleh modernisasi teknologi yang tidak terkontrol) telah menyebabkan 35% stok ikan Indonesia berada dalam status over-exploitation. Hal ini mengindikasikan ketidakseimbangan yang berbahaya antara dorongan ekonomi (orientasi ekonomi) dan prinsip keberlanjutan (orientasi budaya/ekologi).
Rekomendasi Kebijakan Strategis
Berdasarkan analisis kerentanan struktural dan pola perilaku adaptasi, laporan ini menyajikan tiga rekomendasi kebijakan strategis yang berorientasi pada keadilan sosial dan keberlanjutan ekologis:
Penguatan Perlindungan Sosial dan Literasi Kritis
Pemerintah harus memfokuskan intervensi pendidikan tidak hanya pada akses dasar, tetapi juga pada peningkatan akses ke pendidikan menengah dan literasi digital yang bersifat kritis. Literasi ini esensial untuk membekali masyarakat agar mampu membedakan informasi, menangkal hoaks, dan mengelola keuangan rumah tangga di tengah tekanan konsumerisme.
Diperlukan penyediaan skema perlindungan sosial dan skim kredit yang fleksibel, dengan bunga pinjaman rendah, yang disesuaikan dengan siklus hasil tangkapan (misalnya, penangguhan cicilan selama musim paceklik). Langkah ini bertujuan untuk mengurangi ketergantungan nelayan buruh pada Ponggawa dan mengurangi insentif ekonomi untuk alih profesi paksa ke sektor industri.
Implementasi Tata Kelola Pesisir yang Inklusif dan Berbasis Adat
Setiap perencanaan tata ruang pesisir (termasuk Perda RZWP3K) wajib menerapkan pendekatan partisipatif yang menempatkan komunitas pesisir sebagai subjek aktif, bukan objek pasif pembangunan.
Pemerintah perlu secara definitif merevitalisasi dan mengintegrasikan hukum adat dan kearifan lokal sebagai zonasi pengelolaan perikanan yang sah secara legal. Hal ini membutuhkan sinkronisasi terminologi dan orientasi antara undang-undang sektoral untuk memastikan bahwa kearifan lokal dapat berfungsi sebagai instrumen tata kelola yang mengikat dalam kerangka pembangunan kelautan berkelanjutan.
Penegakan Hukum Lingkungan dan Prinsip Net-Zero Loss
Diperlukan penegakan hukum yang ketat terhadap semua pelanggaran lingkungan, terutama yang berkaitan dengan pencemaran limbah industri dan tambang di wilayah pesisir yang merusak ekosistem vital.
Terkait proyek-proyek infrastruktur besar seperti reklamasi, pemerintah harus menerapkan Prinsip Nol Hilang Netto (Net-Zero Loss Principle). Prinsip ini memastikan bahwa setiap kerusakan ekologis yang tak terhindarkan akibat pembangunan harus dikompensasi secara setara atau lebih besar melalui restorasi ekosistem penting (seperti mangrove dan terumbu karang) di wilayah lain, sehingga meminimalkan dampak jangka panjang industrialisasi terhadap kerentanan ekologis masyarakat pesisir.