Analisis mendalam mengenai fenomena ultranasionalisme kontemporer mengharuskan demarkasi yang jelas dari konsep-konsep yang seringkali disamakan dengannya, yaitu patriotisme dan nasionalisme. Patriotisme dan nasionalisme kerap didefinisikan secara sempit sebagai kecintaan semata terhadap tanah air. Namun, terdapat batas kritis di mana nasionalisme yang berlebihan (eksesif) bermutasi menjadi ultranasionalisme, suatu paham yang memiliki dimensi ideologis yang berbahaya.

Ultranasionalisme didefinisikan sebagai bentuk nasionalisme ekstrem yang ditandai oleh fanatisme buta, yang menghilangkan rasionalitas dan hanya memprioritaskan kepentingan bangsanya sendiri tanpa mempertimbangkan kepentingan bangsa lain. Bahaya utama dari ultranasionalisme terletak pada sifat eksklusifnya; bagi penganut ultranasionalis, segala sesuatu yang dianggap berbeda atau menantang ‘jati diri’ bangsa akan dicap secara inheren sebagai anti-nasionalis. Secara historis, ideologi ini berfungsi sebagai fondasi bagi sistem politik yang jauh lebih destruktif. Fasisme, misalnya, didasarkan pada kombinasi ultranasionalisme dan totalitarianisme. Ideologi fasis secara terang-terangan menolak konsep kesetaraan antarmanusia, sebaliknya mendukung dominasi ras atau bangsa tertentu, sambil menuntut kepatuhan buta dan penggunaan kekerasan sebagai alat untuk mencapai tujuan negara. Jerman Nazi dan Italia sebelum Perang Dunia II merupakan contoh manifestasi kekuasaan berbasis ideologi ini.

Dalam konteks politik, nasionalisme—bahkan sebelum bermutasi menjadi ultranasionalisme—telah bergeser maknanya. Spencer dan Wollman (2002) mengamati bahwa nasionalisme telah bertransmutasi dari sesuatu yang awalnya terkait erat dengan liberalisme menjadi alat ideologi yang menyenangkan dan menguntungkan kaum konservatif, elit, monarki, dan kerajaan. Fleksibilitas ideologis ini memungkinkan ultranasionalisme untuk bertahan dan digunakan oleh elit politik demi mempertahankan atau memperoleh kekuasaan.

Ultranasionalisme dalam Spektrum Populisme Sayap Kanan (PSR)

Ultranasionalisme kontemporer seringkali bermanifestasi melalui gerakan politik yang lebih luas yang dikenal sebagai Populisme Sayap Kanan (PSR). PSR merupakan ideologi politik yang secara fundamental menolak konsensus politik yang dianut oleh elit saat ini, menggabungkan etnosentrisme, nativisme (sikap anti-imigrasi), dan anti-elitisme. Ideologi ini disebut populisme karena daya tarik utamanya ditujukan kepada “orang biasa” yang diposisikan sebagai lawan dari kelas elit yang dianggap korup atau tidak representatif.

Di Eropa, PSR adalah ungkapan yang digunakan untuk mendeskripsikan kelompok, politikus, dan partai-partai politik yang secara terbuka menentang imigrasi, terutama dari dunia Islam, dan menganut Euroskeptisisme (skeptisisme terhadap Uni Eropa). PSR di Barat umumnya terkait dengan ideologi-ideologi turunan seperti Nasionalisme Baru, antiglobalisasi, nativisme, dan proteksionisme.

Salah satu platform ekonomi yang signifikan dalam PSR adalah “Chauvinisme Kesejahteraan” (Welfare Chauvinism). Konsep ini menggabungkan pandangan sayap kanan tradisional (seperti perlawanan terhadap peningkatan dukungan negara kesejahteraan) dengan tuntutan agar pengeluaran sosial domestik, meskipun lebih ketat, hanya dialokasikan untuk warga ‘asli’. Hal ini memproyeksikan imigran sebagai ancaman ekonomi dan budaya, memperkuat agenda anti-imigran dalam kemasan kebijakan ekonomi domestik.

Pendorong Struktural Global: Globalisasi, Krisis Identitas, dan Resistensi

Kebangkitan gerakan ultranasionalis didorong oleh kondisi struktural yang diakibatkan oleh globalisasi. Proses modernisasi global yang cepat telah menciptakan lingkungan di mana identitas nasional menjadi kabur atau terancam, memicu Krisis Identitas pada generasi muda. Dalam konteks ini, jati diri nasional, yang seharusnya menjadi penanda atau pembeda khas suatu bangsa, menghadapi erosi. Ketika batas-batas nasional memudar akibat arus globalisasi, rasa kepemilikan dan definisi identitas menjadi rentan.

Krisis identitas ini menghasilkan ruang kosong yang dapat diisi oleh narasi ultranasionalis yang menawarkan definisi identitas yang kaku, eksklusif, dan mudah dipahami, sambil menyalahkan kelompok ‘lain’ atas kerentanan tersebut. Dengan demikian, rantai sebab-akibat yang dapat diamati adalah: Globalisasi menghasilkan Krisis Identitas, yang kemudian dieksploitasi oleh Populisme Ultranasionalis.

Di Eropa, gerakan sayap kanan, yang mencakup spektrum ultranasionalis, semakin menguat karena mereka menawarkan pilihan alternatif yang menarik bagi masyarakat di tengah stagnasi ekonomi dan berbagai masalah sosial yang tidak tertangani oleh partai-partai tradisional. Hal ini memperkuat bahwa perjuangan melawan ultranasionalisme harus melampaui retorika ideologis, mencakup penanganan akar ketidaksetaraan struktural dan kegagalan ekonomi yang memungkinkan elit konservatif memanfaatkan kerentanan sosial demi keuntungan politik.

Peta Politik Ultranasionalis di Eropa: Kebangkitan dan Strategi Partisan

Latar Belakang Sejarah Kebangkitan Kanan-Jauh Eropa

Kebangkitan politik ultranasionalis di Eropa bukanlah fenomena yang sepenuhnya baru. Gerakan kanan-jauh mulai muncul kembali dalam kancah sosial politik Eropa sejak dekade 1970-an. Kemunculan kembali ini menjadi fenomena yang patut diwaspadai mengingat sejarah gerakan kanan-jauh terafiliasi dengan fasisme yang menjadi salah satu penyebab pecahnya Perang Dunia II.

Pada awalnya, partai-partai ini hanya mampu meraih sedikit suara. Namun, seiring berjalannya waktu dan perubahan konstelasi politik, mereka berhasil mengonsolidasikan diri, baik dalam bentuk pemikiran maupun kelembagaan partai. Dalam kurun waktu 10 tahun terakhir, kekuatan politik kanan-jauh semakin menguat dan berhasil memosisikan diri sebagai pilihan alternatif bagi masyarakat Eropa yang dilanda ketidakpuasan. Kekuatan ideologi ini memicu chauvinisme, rasisme, dan xenofobia, yang secara langsung bertentangan dengan prinsip demokrasi dan multikulturalisme Eropa.

Profil Partai Ultranasionalis Kunci di Eropa

Kekuatan politik ultranasionalis di Eropa kini telah menjadi arus utama di banyak negara. Di Eropa Barat, beberapa partai yang terang-terangan berhaluan ultranasionalis telah bangkit dan mencapai signifikansi politik yang besar, seperti Vox di Spanyol, Alternative fr Deutschland (AfD) di Jerman, dan Front National (FN)—yang sekarang dikenal sebagai Rassemblement National—di Prancis.

Keberhasilan gerakan ini tidak terbatas pada oposisi. Mereka telah meraih kemenangan elektoral yang substansial, bahkan membentuk pemerintahan atau menjadi bagian dari koalisi yang berpengaruh. Contoh nyata keberhasilan strategi mereka terlihat dari kemenangan partai-partai sayap kanan dalam pemilu, seperti PVV di Belanda dan FDI di Italia. Puncak konsolidasi kekuatan mereka terjadi dalam Pemilu Parlemen Eropa, di mana kelompok ekstrem kanan meraih kemenangan yang telak, mengirimkan pesan keras kepada kelompok-kelompok liberal, pro-bisnis, dan pro-lingkungan hidup. Kemenangan ini bahkan mendorong Presiden Prancis untuk menyerukan pemilu dipercepat, suatu langkah yang mencerminkan kekhawatiran akut terhadap destabilisasi politik domestik yang dipicu oleh peningkatan kekuatan sayap kanan.

Ideologi Inti: Euroscepticism dan Nativisme Anti-Imigrasi

Inti platform politik ultranasionalis di Eropa adalah sikap Euroscepticism (anti-Uni Eropa) dan nativisme anti-imigrasi. Partai-partai ini secara konsisten menggunakan Uni Eropa sebagai kambing hitam, menyalahkannya sebagai institusi yang bertanggung jawab penuh atas masuknya gelombang pengungsi besar dari Timur Tengah dan Afrika Utara ke wilayah Eropa. Dengan mengarahkan ketidakpuasan publik terhadap Uni Eropa, mereka berhasil mengalihkan fokus dari kegagalan domestik dan memperkuat citra mereka sebagai pembela kedaulatan nasional.

Secara ideologis, partai-partai ini secara tegas menentang imigrasi, khususnya dari dunia Islam. Mereka menggabungkan nativisme—keyakinan bahwa kepentingan penduduk ‘asli’ harus diutamakan—dengan antiglobalisasi dan proteksionisme, yang secara efektif menyelaraskan kekhawatiran budaya dengan tuntutan ekonomi. Strategi mereka telah bergeser dari gerakan pinggiran yang ekstrem menjadi kekuatan politik arus utama yang siap menawarkan alternatif pemerintahan. Faktor pendorong utama keberhasilan elektoral ini adalah krisis kepercayaan terhadap partai-partai mapan (elit) dan institusi supranasional (Uni Eropa) yang dianggap gagal mengelola isu-isu krusial seperti imigrasi dan stagnasi ekonomi.

Sekuritisasi Imigrasi dan Kebijakan Diskriminatif di Eropa

Isu Migrasi sebagai Konstruksi Ancaman Non-Tradisional

Eropa telah lama menjadi tujuan utama bagi pengungsi dan imigran dari berbagai negara. Namun, isu migrasi ini mengalami sekuritisasi intensif oleh partai-partai sayap kanan, terutama setelah peristiwa besar global. Pasca pandemi Covid-19 pada awal tahun 2020 dan konflik antara Rusia dan Ukraina, terjadi perubahan signifikan pada arus pemilihan suara dan pandangan masyarakat Eropa, yang secara substansial meningkatkan dukungan terhadap partai sayap kanan di pemerintahan. Konflik Rusia-Ukraina pada tahun 2022, khususnya, membuka peluang politik besar bagi kelompok sayap kanan untuk mengeksploitasi ketidakpuasan politik dan tuntutan masyarakat akan kepemimpinan yang kuat dan berwibawa.

Partai sayap kanan memanfaatkan kondisi ini dengan mengubah isu imigran dan pengungsi dari masalah sosial menjadi konstruksi ‘ide’ ancaman non-tradisional melalui proses sekuritisasi. Mereka bertindak sebagai securitizing actor (aktor sekuritisasi) yang berhasil mengubah isu-isu yang awalnya dianggap bukan ancaman menjadi ancaman nyata terhadap wilayah mereka, termasuk krisis migrasi penduduk ilegal dari Timur Tengah yang masuk melalui perbatasan tertentu, seperti Belarus-Polandia.

Strategi Narasi dan Speech Act Aktor Sekuritisasi

Strategi utama yang digunakan oleh partai ultranasionalis adalah sekuritisasi, sebuah konsep yang berasal dari Mazhab Kopenhagen yang menekankan bahwa keamanan harus dilihat sebagai tindakan berujar (speech act). Artinya, isu sentralnya bukan terletak pada apakah ancaman tersebut nyata atau tidak, melainkan bagaimana isu tertentu (seperti imigrasi) diangkat dan dipersepsikan sebagai ancaman eksistensial bagi negara.

Tokoh-tokoh politik sayap kanan menggunakan narasi dan kampanye yang berhasil membangun pandangan publik bahwa kehadiran imigran dan pengungsi merupakan ancaman. Mereka berupaya membangun sentimen anti-imigran dengan menciptakan dikotomi “kami vs mereka” (kelompok imigran), mengklaim bahwa kedatangan kelompok ‘mereka’ menjadi masalah terhadap stabilitas ekonomi, politik, dan sosial, sambil mengagung-agungkan identitas Eropa yang eksklusif. Mereka mengaitkan migrasi sebagai ancaman terhadap identitas, sosial budaya, ekonomi, dan keamanan di setiap negara.

Di Prancis, misalnya, narasi dan opini mengenai ancaman keamanan Prancis terhadap keberadaan imigran Muslim diperkuat melalui speech act yang dilakukan oleh para elit politik. Mereka meyakinkan publik mengenai bahaya yang ditimbulkan, yang kemudian berhasil memicu sikap Islamofobia serta tindakan kekerasan dan diskriminatif di masyarakat. Keberhasilan narasi ini bahkan mendorong masyarakat Prancis untuk menuntut tindakan keras dari pemerintah, seperti implementasi Undang-Undang Anti-Separatisme. Sekuritisasi ini memanfaatkan ketakutan publik terhadap perubahan identitas dan kekalahan ekonomi, memposisikan elit sayap kanan sebagai “penyelamat” yang kuat.

Studi Kasus Kebijakan dan Implementasi

Keberhasilan sekuritisasi telah diterjemahkan menjadi kebijakan negara yang keras:

  1. Hungaria: Di bawah pemerintahan Perdana Menteri Orban, Hungaria menunjukkan respons yang paling tegas. Pada tahun 2015, pemerintah membangun pagar fisik sepanjang 175 kilometer, memperketat kontrol perbatasan, dan menempatkan polisi serta tentara. Pemerintah Hungaria juga melakukan kampanye masif anti-imigran dengan menguasai media publik dan swasta, termasuk melalui media luar ruang seperti billboard.
  2. Swedia: Partai Demokrat Swedia (SDP) mengangkat isu imigran sebagai isu sekuritisasi. Ketua partai, Jimmie Akesson, melancarkan speech act dengan menyatakan keinginan untuk melarang total imigran dan pencari suaka ke Swedia, yang berhasil mengubah pandangan masyarakat terhadap isu pengungsi.
  3. Uni Eropa (Tingkat Supranasional): Partai-partai sayap kanan mengkapitalisasi kegagalan Uni Eropa dalam menciptakan tata kelola migrasi yang ideal. Peningkatan sentimen anti-imigran dan xenofobia diperparah oleh penyediaan tempat tinggal dan layanan dasar yang membuat masyarakat lokal melihat imigran sebagai ancaman terhadap lapangan pekerjaan dan beban negara. Kegagalan institusi supranasional dalam mengelola perbatasan menjadi lahan subur bagi narasi ultranasionalisme yang fokus menyalahkan institusi (UE) dan kelompok luar (imigran).

Nativisme dan Supremasi Kulit Putih di Amerika Serikat: Dari Akar Sejarah hingga Alt-Right

Warisan Historis Nativisme AS

Gerakan ultranasionalis di Amerika Serikat memiliki akar ideologis dan manifestasi yang berbeda dari Eropa. Di AS, ideologi ini secara mendasar terkait dengan Supremasi Kulit Putih (white supremacy) dan Nativisme. Supremasi kulit putih merupakan sistem diskriminatif yang melembaga, memberikan keistimewaan secara cuma-cuma (privilege) kepada kelompok masyarakat kulit putih, dan secara sengaja mempertahankan posisi masyarakat non-kulit putih dalam status inferior.

Ideologi ini bukan baru; ia telah mengakar dan mendominasi budaya Amerika sebagai manifestasi hegemoni kultural. Pergerakan kelompok ultra-kanan diawali oleh partai The Know-Nothings di abad ke-19, yang memiliki tujuan spesifik untuk melarang masuknya imigran beserta ide-ide asing ke dalam masyarakat mayoritas White Anglo-Saxon Protestants (WASP). Aktivisme ultra-kanan telah mewarnai sejarah AS, terlihat dari kebijakan diskriminatif seperti sistem kuota berbasis ras pada era 1920-an, serta aksi kekerasan seperti pengeboman Kota Oklahoma pada 1995 dan demonstrasi Charlottesville pada 2007.

Transformasi Kanan Radikal dan Dampak Retorika Elit

Kekuatan politik ultranasionalis di AS saat ini sering dikaitkan dengan kelompok kanan radikal yang dikenal sebagai Alt-Right. Kelompok ini mewakili spektrum politik ekstrem kanan yang secara eksplisit menganut pandangan supremasi ras kulit putih.

Peningkatan signifikansi gerakan ultra-kanan di AS mencapai titik puncak sejak tahun 2016, bertepatan dengan terpilihnya Donald Trump sebagai presiden ke-45. Trump menggunakan retorika-retorika nativis yang sudah akrab dalam sejarah politik Amerika. Retorika elit ini berfungsi sebagai katalis yang secara eksplisit mengaktifkan kembali dan melegitimasi ekspresi ideologi supremasi dan nativisme kulit putih dalam masyarakat. Konsekuensinya, aksi-aksi kekerasan kebencian berbasis nativis mengalami kenaikan yang berarti sejak masa tersebut.

Perbedaan utama di sini adalah bahwa ultranasionalisme AS lebih berakar pada masalah rasial internal (supremasi kulit putih) dan nativisme sejarah, dibandingkan fokus Eropa pada Euroskeptisisme. Retorika nativis elit hanya menguatkan hegemoni kultural yang sudah mengakar dalam dimensi ekonomi dan politik Amerika.

Taktik Digital, Jaringan Transnasional, dan Dampak Kebijakan AS

Jaringan Ekstremis Digital dan Propaganda

Gerakan ultranasionalis modern sangat bergantung pada ruang digital untuk penyebaran ideologi dan perekrutan. Jaringan daring sayap kanan ekstrem, seperti “Terrorgram,” telah menjadi fokus perhatian pemerintah AS. Jaringan ini secara terbuka mempromosikan supremasi kulit putih yang kejam, sehingga Departemen Luar Negeri AS menetapkannya sebagai kelompok teroris.

Penetapan Terrorgram sebagai entitas teroris menunjukkan bahwa AS kini mengklasifikasikan ekstremisme domestik yang dipicu oleh ideologi ultranasionalis rasial sebagai ancaman keamanan nasional yang setara dengan terorisme internasional. Meskipun laporan ini berfokus pada AS, tantangan yang sama dihadapi oleh negara lain, seperti Jerman, yang telah memperketat peraturan terkait kepemilikan senjata, perlindungan bagi tokoh politik, dan kewajiban pelaporan konten kriminal online untuk jejaring media sosial (Facebook, YouTube, Twitter) guna memerangi ekstremisme sayap kanan dan pidato kebencian di internet.

Dimensi Transnasional Ultranasionalisme

Ultranasionalisme telah berkembang menjadi ancaman transnasional dengan jejaring yang melampaui batas-batas negara. AS menjatuhkan sanksi terhadap pendukung Russian Imperial Movement (RIM), sebuah “kelompok ekstremis kekerasan bermotif etnis”. Jaringan ini telah berupaya membangun koneksi global dan merusak proses demokrasi secara transnasional.

Sebagai contoh nyata, perwakilan RIM yang berkantor di Eropa melakukan perjalanan ke AS pada tahun 2017 untuk mencari koneksi dengan kelompok nasionalis sayap kanan dan kulit putih Amerika. Selain itu, pendukung RIM di Rusia menggunakan platform media sosial untuk menggalang dana (lebih dari 3,4 juta dolar AS) yang digunakan untuk membeli senjata dan peralatan militer bagi RIM dan pejuang pro-Rusia di wilayah Donbas, Ukraina. Upaya mereka mengumpulkan dana melalui sistem keuangan internasional menunjukkan bahwa gerakan ultranasionalis memiliki kapabilitas asimetris yang efisien untuk membiayai kekerasan dan merekrut anggota melintasi batas-batas negara.

Manifestasi Kebijakan: Ultranasionalisme dan Kekerasan Struktural

Ketika ideologi ultranasionalis mencapai kekuasaan eksekutif, dampaknya terlihat jelas dalam kebijakan yang melembaga. Kebijakan imigrasi Zero Tolerance yang diformulasikan oleh pemerintahan Donald Trump merupakan manifestasi langsung dari agenda nativis untuk mengurangi jumlah imigran tanpa dokumen.

Kebijakan ini menjadi sorotan internasional karena sarat dengan pelanggaran hak asasi manusia, memosisikan imigran tanpa dokumen dan anak-anak dalam keadaan yang sangat rentan. Analisis mendalam menunjukkan bahwa implementasi kebijakan ini mengindikasikan terjadinya kekerasan struktural—suatu konsep yang dikembangkan oleh Johan Galtung. Kekerasan struktural terjadi melalui subjek, objek, serta tindakan yang melekat pada sistem dan struktur hukum, bukan hanya melalui kekerasan fisik langsung. Kebijakan ini melembagakan penindasan dan diskriminasi sistematis terhadap kelompok ‘liyan’. Pemerintahan AS menjalankan kebijakan ini dengan pendekatan yang menekankan pada reward (bagi warga negara yang mematuhi agenda nativis) dan punishment (bagi imigran). Hal ini membuktikan bahwa dampak terburuk ultranasionalisme bukanlah sekadar polarisasi, tetapi penggunaan aparatur negara untuk melegitimasi dan melaksanakan penindasan sistematis.

Analisis Komparatif, Dampak terhadap Demokrasi, dan Rekomendasi Strategis

Perbandingan Ultranasionalisme Eropa vs. AS

Meskipun Ultranasionalisme di Eropa dan AS didorong oleh krisis identitas akibat globalisasi dan menggunakan taktik populisme, terdapat perbedaan signifikan dalam fokus ideologis dan manifestasi politik mereka.

Perbandingan Ultranasionalisme Eropa vs. AS

Dimensi Perbandingan Eropa Amerika Serikat
Aktor Utama Partai Politik (Partai Sayap Kanan-Jauh) Jaringan Ekstremis Digital (Alt-Right, Terrorgram), Retorika Elit
Objek Hostilitas Utama Uni Eropa (Euroscepticism) dan Imigran (Islamofobia) Supremasi Kulit Putih (Rasialisme), Nativisme Sejarah
Strategi Kunci Sekuritisasi Isu Imigran melalui Speech Act dan Partisipasi Elektoral Hegemoni Kultural, Kekerasan Berbasis Kebencian, Aktivisme Daring
Manifestasi Kebijakan Pagar Perbatasan, UU Anti-Separatisme, Welfare Chauvinism Kekerasan Struktural (Zero Tolerance Policy)

Ultranasionalisme Eropa cenderung terwujud sebagai gerakan partisan yang mencari keuntungan elektoral dengan menyerang institusi supranasional (UE) dan menargetkan imigran (Islamofobia) sebagai ancaman eksternal. Sementara itu, ultranasionalisme AS berakar pada warisan rasial dan nativisme yang mendalam, menggunakan retorika nativis elit untuk mengaktifkan kembali hegemoni kultural Supremasi Kulit Putih, yang menghasilkan kekerasan berbasis kebencian dan kebijakan diskriminatif yang dilembagakan.

Dampak Krusial terhadap Polarisasi Sosial dan Demokrasi

Dampak paling nyata dari gerakan ultranasionalis di kedua wilayah adalah polarisasi sosial yang akut dan kerusakan terhadap tatanan demokrasi. Ultranasionalisme yang dimanifestasikan melalui politik identitas telah menimbulkan polarisasi sosial yang tajam, terutama terlihat dalam kontestasi pemilihan umum. Polarisasi ini sering dipicu oleh isu-isu non-elektoral, seperti politisasi agama, ras, dan etnik.

Penggunaan politik identitas, terutama oleh partai-partai politik, dikhawatirkan dapat membelah bangsa. Wakil Presiden K.H. Ma’ruf Amin di Indonesia (dalam konteks pencegahan) menekankan bahaya polarisasi yang timbul dari politik identitas, seperti penggunaan tempat ibadah atau pendidikan sebagai arena kampanye. Fenomena serupa, meskipun dengan basis rasial dan keagamaan yang berbeda, terjadi di Eropa dan AS, di mana isu-isu identitas yang dipolitisasi menghambat integrasi sosial dan politik.

Beberapa analis bahkan berpendapat bahwa polarisasi politik yang tajam saat pemilu dapat disebabkan oleh sistem yang ada, seperti ambang batas pencalonan presiden (presidential threshold) yang terlalu tinggi, yang membatasi pilihan dan mendorong dikotomi yang kaku dalam masyarakat. Hal ini menunjukkan bahwa penguatan ketahanan demokrasi juga harus mencakup perbaikan struktural sistem pemilu untuk mengurangi pemicu polarisasi.

Proyeksi Jangka Panjang: Mengapa Ultranasionalisme menjadi Ancaman Global

Secara global, ultranasionalisme adalah ancaman sinkronis yang beradaptasi dengan teknologi dan memiliki kemampuan transnasional.

  1. Ancaman terhadap Multikulturalisme: Kebangkitan kelompok sayap kanan mengancam stabilitas politik dan nilai-nilai multikulturalisme yang menjadi ciri khas Eropa modern.
  2. Institusionalisasi Diskriminasi: Gerakan ultranasionalis tidak hanya menghasilkan retorika yang membelah; ketika mereka berkuasa, mereka melembagakan kekerasan struktural, menggunakan aparatur negara untuk melakukan penindasan legal dan sistematis terhadap kelompok minoritas atau imigran.
  3. Jejaring Globalisasi Kebencian: Sinergi antara kelompok ekstremis di berbagai benua (misalnya, koneksi RIM dengan kelompok sayap kanan AS) menunjukkan aliansi ideologis global yang menggunakan teknologi digital untuk membiayai, merekrut, dan menyebarkan agenda kekerasan. Ini mengubah ultranasionalisme menjadi tantangan keamanan transnasional yang kompleks, memerlukan respons kebijakan luar negeri dan kontra-terorisme.

Rekomendasi Strategis untuk Mitigasi

Berdasarkan analisis ancaman di Eropa dan AS, mitigasi memerlukan respons yang berlapis:

  1. De-Sekuritisasi Isu Migrasi: Perlu dilakukan penggeseran narasi isu migrasi dari bingkai ancaman keamanan eksistensial ke bingkai tata kelola dan integrasi sosial. Hal ini bertujuan untuk meredam kemampuan partai sayap kanan dalam memanfaatkan ketakutan publik dan mencegah eskalasi Islamofobia dan xenofobia.
  2. Regulasi dan Kontra-Terorisme Digital: Pemerintah perlu memperkuat upaya kontra-terorisme domestik terhadap kelompok ekstremis sayap kanan dan bekerja sama secara internasional untuk membongkar jejaring transnasional (seperti yang dilakukan AS terhadap Terrorgram dan RIM). Regulasi media sosial harus diperketat untuk mewajibkan platform melaporkan dan menghapus konten kriminal yang mempromosikan kebencian dan kekerasan.
  3. Memperkuat Ketahanan Institusi Demokrasi: Penting untuk mengatasi akar penyebab polarisasi dengan memastikan akuntabilitas elit politik agar tidak menggunakan retorika nativis yang memecah belah. Selain itu, reformasi struktural, termasuk meninjau kembali sistem pemilu yang memicu dikotomi politik yang kaku, dapat menjadi langkah penting untuk memperkuat inklusivitas demokrasi.

Penutup

Ultranasionalisme kontemporer di Eropa dan Amerika Serikat merupakan ancaman ideologis yang berkembang pesat, didorong oleh globalisasi dan diperkuat oleh kegagalan elit politik dalam mengatasi ketidaksetaraan ekonomi dan krisis identitas. Meskipun manifestasi ideologisnya berbeda—di Eropa fokus pada kedaulatan nasional dan anti-imigran Muslim, sementara di AS fokus pada supremasi rasial—keduanya menggunakan strategi populisme untuk mengkapitalisasi ketidakpuasan dan memproyeksikan ancaman ke kelompok luar (liyan) melalui mekanisme politik yang canggih seperti sekuritisasi. Keberhasilan gerakan ini tidak hanya mengancam multikulturalisme dan stabilitas sosial, tetapi juga secara struktural melembagakan diskriminasi dan kekerasan melalui kebijakan negara. Respons yang efektif memerlukan kombinasi de-sekuritisasi, penanganan ancaman digital transnasional, dan penguatan fundamental ketahanan institusi demokrasi agar dapat menyerap perubahan sosial tanpa membiarkan ideologi eksklusif membelah bangsa.

 

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

+ 8 = 18
Powered by MathCaptcha