Media sosial telah menjadi kekuatan transformatif dalam komunikasi global, menawarkan potensi untuk partisipasi publik yang lebih luas dan peningkatan akuntabilitas institusi pemerintah. Namun, di balik janji konektivitas ini, terdapat efek samping yang merusak. Laporan ini mengkaji bagaimana media sosial, alih-alih menjadi alat pemersatu, justru berfungsi sebagai akselerator ujaran kebencian dan katalisator polarisasi kemanusiaan. Fenomena ini bukan sekadar cerminan kegagalan pengguna individu dalam beretika, melainkan hasil yang dioptimalkan dari desain platform itu sendiri.

Laporan ini mengadopsi kerangka analisis interdisipliner, mengintegrasikan temuan dari ilmu komunikasi digital, psikologi sosial (terutama efek disinhibisi), dan kerangka hukum hak asasi manusia internasional. Penilaian ini bertujuan untuk mengungkap mekanisme struktural yang menjadikan konflik dan perpecahan sebagai produk sampingan yang menguntungkan secara finansial.

Tesis struktural yang diajukan dalam laporan ini adalah bahwa polarisasi digital merupakan konsekuensi fungsional dari Model Bisnis Ekonomi Perhatian (Attention Economy) yang telah berevolusi menjadi Ekonomi Kemarahan (Outrage Economy). Dalam model ini, insentif algoritmik secara inheren memprioritaskan konflik, hasutan, dan drama—yang semuanya menjamin tingkat keterlibatan yang tinggi—di atas upaya mencapai konsensus atau mempromosikan kohesi sosial.

Landasan Konseptual: Demarkasi Kebencian dan Spektrum Polarisasi Digital

Definisi Yuridis dan Sosiologis Ujaran Kebencian (Hate Speech)

Ujaran kebencian (hate speech) merupakan konsep kompleks yang menyentuh benturan mendasar antara kebebasan berekspresi dan hak individu, kolektif, dan minoritas atas martabat, kebebasan, dan kesetaraan. Dalam legislasi nasional maupun internasional, ujaran kebencian didefinisikan sebagai ekspresi yang menganjurkan hasutan untuk melakukan diskriminasi, permusuhan, radikalisasi, atau kekerasan verbal dan/atau fisik, berdasarkan identitas sosial atau demografi target, seperti ras, agama, warna kulit, atau gender.

Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) menggarisbawahi urgensi masalah ini dengan mengidentifikasi ujaran kebencian sebagai salah satu metode utama yang digunakan untuk menyebarkan retorika dan ideologi yang memecah belah dalam skala global. Jika dibiarkan tanpa kendali, penyebaran hasutan dan provokasi di dunia maya ini dapat membahayakan perdamaian, memicu konflik, ketegangan, hingga pelanggaran hak asasi manusia yang serius . Kebebasan berpendapat yang dilindungi konstitusi di banyak negara, termasuk Indonesia, seringkali disalahgunakan untuk melancarkan serangan diskriminatif dan merugikan orang lain.

Membedah Polarisasi: Filter Bubbles dan Echo Chambers

Polarisasi digital sering kali dihubungkan dengan dua konsep kunci: echo chambers dan filter bubbles. Echo chambers didefinisikan sebagai ruang media yang terikat dan tertutup, yang memiliki potensi untuk memperkuat pesan yang disampaikan di dalamnya sekaligus mengisolasinya dari sanggahan atau kritik eksternal. Sementara itu, filter bubbles merujuk pada hasil seleksi algoritmik yang membatasi paparan pengguna hanya pada informasi yang sesuai dengan pandangan mereka sebelumnya.

Kajian akademis memberikan tinjauan yang lebih bernuansa terhadap konsep-konsep ini. Penelitian di Inggris dan beberapa negara lain, termasuk Amerika Serikat yang sangat terpolarisasi, memperkirakan bahwa hanya sebagian kecil publik—sekitar 6 hingga 8% di Inggris—yang benar-benar menghuni partisan online news echo chambers. Data ini menunjukkan bahwa sebagian besar pengguna masih memiliki diet media yang relatif beragam. Bahkan, studi menemukan bahwa bentuk seleksi algoritmik yang ditawarkan oleh mesin pencari dan media sosial terkadang justru mengarah pada penggunaan berita yang sedikit lebih beragam, berlawanan dengan hipotesis yang popular.

Jika mayoritas pengguna memiliki paparan media yang beragam, muncul pertanyaan kritis: mengapa polarisasi politik dan sosial tetap parah? Jawaban atas pertanyaan ini terletak pada pergeseran fokus dari konsumsi ke produksi dan amplifikasi. Masalah utamanya bukanlah isolasi total dalam filter bubbles yang terbentuk secara organik, melainkan efisiensi sistem dalam memproduksi dan mendistribusikan konten yang paling ekstrem dan memecah belah. Sistem ini, didorong oleh Outrage Economy, berhasil mempolarisasi keseluruhan diskursus publik. Polarisasi yang terukur secara sistematis—seperti yang terlihat dalam manipulasi kampanye politik —tidak hanya mengandalkan ruang tertutup, tetapi juga pada operasi yang disengaja (misalnya, trolls dan disinformasi) untuk menciptakan kesan polarisasi yang jauh lebih besar daripada yang sebenarnya ada, dan secara langsung menargetkan integritas institusi publik.

Anatomi Algoritmik: Model Bisnis yang Memperkuat Kemarahan (The Outrage Economy)

Korelasi Sistematis antara Konflik dan Profit

Platform media sosial tidak beroperasi sebagai alat netral; platform tersebut adalah sistem yang direkayasa secara cermat dan dirancang untuk memaksimalkan metrik inti, seperti “waktu di situs,” “keterlibatan” (engagement), dan “viralitas”. Dalam ekonomi digital ini, perhatian pengguna adalah mata uangnya, dan kemarahan (indignation) adalah produk yang dihasilkan.

Analisis menunjukkan bahwa konflik terbukti mendorong klik dan interaksi dengan jauh lebih andal dibandingkan consensus. Rasa takut, kemarahan, dan khususnya kemarahan, adalah bahan baku mentah yang mengubah diskoneksi atau perselisihan manusia menjadi keuntungan perusahaan. Oleh karena itu, kemarahan menjadi “standar emas” dalam model bisnis berbasis iklan, karena emosi negatif cenderung menghasilkan lebih banyak share, komentar, dan pada akhirnya, pendapatan iklan yang lebih tinggi . Fenomena ini telah melahirkan outrage economy sejati, di mana jangkauan konten diukur berdasarkan potensi kemarahannya. Menariknya, skandal dalam media sosial tidak hanya diterima secara pasif; pengguna secara aktif berpartisipasi dan mengubah longsoran kemarahan menjadi praktik kolaboratif, bergabung dengan massa daring yang marah (angry online mob) hanya dengan sebuah komentar.

Desain Affordances Platform dan Akselerasi Konflik

Desain fitur dan interaktivitas platform digital memiliki peran sentral dalam menentukan konten apa yang menyebar dan bagaimana konflik terbentuk. Platform media sosial memiliki desain yang secara inheren menghargai konten yang polarisasi dan radikalisme [13]. Narasi negatif yang memperburuk polarisasi sosial cenderung lebih mudah didistribusikan dan disebarluaskan.

Fenomena viralitas negatif, seperti spill (skandal atau pembocoran), menunjukkan bagaimana batasan antara kehidupan pribadi dan publik dikaburkan di era digital, di mana konten yang memicu emosi negatif—baik itu personal, politik, atau korporat—dapat memiliki implikasi yang luas. Platform menyediakan infrastruktur untuk praktik kolaboratif yang didorong oleh kemarahan, memberikan sensasi kepemilikan kelompok bagi para partisipan .

Model bisnis ini menunjukkan bahwa kerugian sosial, termasuk polaritas dan kebencian, bukanlah kecelakaan yang tak terhindarkan dari adopsi teknologi. Sebaliknya, hal tersebut adalah insentif yang fungsional bagi perusahaan. Platform mendapatkan keuntungan langsung dari konflik yang mereka ciptakan dan amplifikasi. Oleh karena itu, setiap upaya regulasi yang gagal menyentuh akar model monetisasi ini (iklan berbasis engagement dan konflik) hanya akan memberikan solusi yang bersifat kosmetik. Solusi yang efektif harus mencakup pengembangan model bisnis alternatif yang memprioritaskan kesejahteraan digital (digital well-being).

Table 1: Mekanisme Struktural Polarisasi Digital (The Outrage Economy)

Komponen Struktural Peran dalam Polarisasi Contoh Dampak Kunci
Algoritma Prioritas Engagement Memilih dan mempromosikan konten yang memicu emosi tinggi (marah, takut). Transformasi konflik menjadi pendapatan iklan; Angka interaksi tinggi.
Anonimitas/Disinhibisi Online Menghilangkan konsekuensi sosial langsung bagi perilaku agresif atau diskriminatif. Peningkatan volume ujaran kebencian (hate comment); Perburukan polarisasi sosial.
Fitur Viralitas Mempercepat jangkauan konten ekstrem dan polarisasi. Konten narasi negatif lebih mudah dipromosikan; Pembentukan angry online mob.

Dimensi Psikologis dan Implikasi Konflik Kemanusiaan

Psikologi di Balik Ujaran Kebencian: Anonimitas dan Disinhibisi Online

Salah satu faktor utama yang memicu maraknya ujaran kebencian di media sosial adalah anonimitas. Anonimitas memungkinkan pengguna untuk mengekspresikan pendapat dan emosi negatif tanpa perlu mengkhawatirkan konsekuensi langsung . Fenomena ini, yang dikenal sebagai disinhibisi online, secara efektif menghilangkan batasan sosial dan etika yang biasanya membatasi perilaku agresif atau diskriminatif di dunia nyata.

Ketika disinhibisi ini dikombinasikan dengan insentif finansial dari Outrage Economy, hal itu memfasilitasi pembentukan kelompok massa yang marah dan terkoordinasi (angry mobs). Kelompok-kelompok ini melakukan serangan terkoordinasi yang berujung pada cyberbullying dan hate comment secara massal.

Konsekuensi Kesehatan Mental Jangka Panjang

Paparan berulang terhadap ujaran kebencian di media sosial memiliki konsekuensi psikologis yang parah. Korban hate comment cenderung mengalami gangguan psikologis serius, termasuk kecemasan berlebihan, depresi, gangguan tidur, dan kesulitan berkonsentrasi dalam aktivitas sehari-hari. Lebih jauh, paparan ini secara signifikan dapat menurunkan harga diri korban, membuat mereka merasa tidak berharga dalam lingkungan sosial. Jika dukungan psikologis yang memadai tidak diberikan, korban berisiko mengalami dampak jangka panjang seperti isolasi sosial dan trauma psikologis. Secara umum, penggunaan media sosial yang berlebihan juga meningkatkan risiko fenomena kecemasan dan depresi, terutama di kalangan remaja dan dewasa muda.

Katalisator Kekerasan Nyata: Polarisasi Global

Dampak ujaran kebencian di media sosial melampaui trauma individu; ia berfungsi sebagai katalisator untuk kekerasan nyata dan konflik kemanusiaan skala besar. Dalam kasus krisis Rohingya di Myanmar, Facebook mengakui kegagalannya dalam menangani lonjakan ujaran kebencian anti-Muslim di platformnya, yang oleh banyak pihak didokumentasikan sebagai pemicu utama kekerasan nyata dan pelanggaran hak asasi manusia.

Fenomena ini menegaskan bahwa platform digital menyediakan infrastruktur yang sempurna untuk kampanye dehumanisasi skala massal ketika anonimitas dan insentif finansial untuk memecah belah bersatu. Peran media sosial dalam konflik geopolitik harus dipahami sebagai fungsi logistik dan amplifikasi konflik. Dalam konflik seperti Palestina-Israel, algoritma platform secara aktif memperkuat bias politik dan ideologis melalui filter bubbles, yang mengurangi pemahaman yang objektif dan memperparah polarisasi di sekitar isu-isu sensitif, secara dramatis meningkatkan risiko eskalasi konflik.

Table 3: Konsekuensi Polarisasi Digital: Dari Trauma Individu ke Fragmentasi Sosial

Level Dampak Manifestasi Kunci Contoh Spesifik/Studi Kasus
Individu (Psikologis) Kecemasan, depresi, penurunan harga diri, trauma psikologis jangka panjang. Korban hate comment mengalami gangguan tidur dan kesulitan berkonsentrasi.
Institusional (Demokrasi) Erosi kepercayaan publik dan manipulasi proses politik. Trial by Social Media menghambat proses hukum; Polarization Tipping Point dalam Pemilu.
Sosial (Kohesi) Fragmentasi sosial, penguatan out-group dynamics. Konflik dan ketegangan sosial yang dipicu retorika memecah belah.
Geopolitik (Kemanusiaan) Eskalasi kekerasan dan pelanggaran HAM skala besar. Peran Facebook dalam krisis Rohingya, polarisasi konflik Palestina-Israel.

Implikasi terhadap Demokrasi dan Integritas Institusi Publik

Taktik Manipulasi Sistematis: Trolls dan Disinformasi

Media sosial telah menjadi medan pertempuran utama bagi kampanye politik, menghadapi tantangan besar dari peningkatan penggunaan trolls dan disinformasi sebagai bagian dari strategi kampanye yang didukung aktor. Penelitian menunjukkan bahwa penggunaan trolls ini secara efektif memperkuat polarisasi politik di kalangan pemilih melalui penyebaran narasi provokatif. Disinformasi, yang disebarkan secara sistematis oleh aktor politik, terbukti memanipulasi persepsi publik terhadap kandidat dan isu-isu, yang secara progresif mengaburkan batas antara informasi yang valid dan informasi palsu. Media sosial juga dikenal sebagai sarana utama penyebaran informasi palsu atau hoaks.

Penelitian mengidentifikasi adanya polarization tipping point, yaitu tingkat intensitas disinformasi yang sistematis yang dapat menyebabkan fragmentasi sosial yang sulit dipulihkan, berdampak negatif pada partisipasi pemilih dan kepercayaan publik terhadap integritas proses Pemilu [7]. Taktik trolls dan disinformasi ini bertujuan lebih dari sekadar mengubah suara pemilih; tujuan fundamentalnya adalah merusak kepercayaan publik terhadap sumber-sumber otoritatif (pemerintah, sistem hukum, media tradisional). Keruntuhan kepercayaan pada sumber informasi ini adalah prasyarat untuk polarisasi ekstrem, karena tanpa landasan realitas bersama, konsensus politik menjadi hampir mustahil untuk dicapai.

Erosi Kepercayaan Publik dan Trial by Social Media

Fenomena “Trial by Social Media” atau pengadilan oleh media sosial, di mana kasus hukum mendapatkan penilaian publik yang signifikan sebelum proses hukum resmi berlangsung, menimbulkan ancaman serius terhadap independensi hukum. Media sosial menyebarluaskan informasi tentang kasus hukum dengan kecepatan dan jangkauan yang luas, menciptakan tekanan publik yang signifikan terhadap aparat penegak hukum.

Meskipun dapat meningkatkan tuntutan akuntabilitas, fenomena ini dapat membentuk persepsi publik secara negatif sebelum proses resmi dimulai, berdampak signifikan pada penanganan kasus oleh aparat penegak hukum. Trial by Social Media seringkali menyebarkan informasi yang tidak akurat, membuka peluang manipulasi oleh kelompok-kelompok tertentu, dan pada akhirnya, berkontribusi pada hilangnya kepercayaan publik terhadap institusi penegak hukum.

Kerangka Regulasi dan Tantangan Akuntabilitas Algoritmik

Dilema Regulasi: Batasan Hukum Internasional

Dalam konteks regulasi, terdapat dilema abadi antara menjamin hak atas kebebasan berekspresi dan melindungi masyarakat dari ujaran kebencian. Kerangka Hak Asasi Manusia (HAM) PBB, khususnya Pasal 19 dan Pasal 20 International Covenant on Civil and Political Rights (ICCPR), memberikan panduan tentang batasan yang diizinkan . Regulasi harus secara ketat membedakan antara:

  1. Ujaran yang Harus Dilarang: Ujaran yang secara eksplisit menghasut diskriminasi, permusuhan, atau kekerasan (dikenal sebagai Prohibited Hate Speech).
  2. Ujaran yang Boleh Dilarang: Bentuk ujaran kebencian lainnya, seperti ancaman dan pelecehan yang termotivasi diskriminasi, yang boleh dilarang oleh Negara jika memenuhi persyaratan Pasal 19(3) ICCPR.
  3. Ujaran yang Dilindungi: Ujaran yang menimbulkan kekhawatiran mengenai intoleransi atau diskriminasi, tetapi harus dilindungi dari pembatasan (seperti kritik atau opini yang tidak menyenangkan), yang hanya memerlukan respons kritis dari negara atau masyarakat.

Perusahaan media sosial memiliki tanggung jawab HAM untuk memastikan platform mereka tidak menjadi alat untuk pelanggaran hak, yang harus diintegrasikan ke dalam standar komunitas dan syarat layanan mereka.

Tinjauan Regulasi Global: DSA dan Transparansi Algoritma

Menanggapi krisis ujaran kebencian dan disinformasi, pemerintah dan regulator di seluruh dunia telah mulai mengambil tindakan. Uni Eropa, misalnya, telah memperkenalkan Digital Services Act (DSA) untuk mengatur platform digital. DSA berfokus pada peningkatan akuntabilitas dan transparansi, seperti memberikan akses kepada regulator dan peneliti independen terhadap algoritma platform dan mewajibkan pelaporan tahunan tentang moderasi konten.

Namun, upaya regulasi ini menghadapi tantangan. DSA menuai kritik karena dikhawatirkan dapat mengancam kebebasan berekspresi dengan menempatkan tugas moderasi yang berat pada platform, yang berpotensi menyebabkan over-moderation atau menurunkan standar kebebasan berekspresi. Selain itu, moderasi konten otomatis memiliki kelemahan inheren dalam memahami konteks, menjadikannya solusi parsial untuk ujaran kebencian yang bernuansa.

Kesenjangan Regulasi Nasional

Di banyak negara, termasuk Indonesia (dengan regulasi seperti UU ITE dan UU PDP [20]), regulasi yang ada belum cukup memadai untuk menangkal efek negatif yang didorong oleh algoritma, terutama terkait trolls dan disinformasi sistematis dalam kampanye politik.

Jika masalah inti terletak pada desain platform yang mengoptimalkan kemarahan (outrage) dan konflik, maka regulasi yang hanya berfokus pada penghapusan konten (moderasi) akan selalu bersifat reaktif dan terlambat. Solusi efektif memerlukan pergeseran fokus dari kewajiban perantara pasif menuju akuntabilitas algoritmik aktif. Ini membutuhkan regulasi berani yang menargetkan arsitektur platform, memaksa pergeseran dari profit yang dimotivasi kemarahan ke metrik yang mengukur dampak sosial yang positif. Oleh karena itu, direkomendasikan penguatan transparansi iklan politik dan pengembangan mekanisme deteksi dini untuk mengurangi dampak disinformasi sistematis.

Table 2: Spektrum Ujaran di Media Sosial: Batasan Hukum dan Etika

Kategori Ujaran Definisi/Kriteria Status Hukum (ICCPR) Implikasi bagi Moderasi
Ujaran yang Harus Dilarang (Prohibited Hate Speech) Hasutan diskriminasi, permusuhan, atau kekerasan (diwajibkan oleh Pasal 20). Wajib dilarang. Penghapusan konten dan tindakan hukum.
Ujaran yang Boleh Dilarang (Permitted Restriction) Ancaman, serangan, dan pelecehan yang termotivasi diskriminasi (Pasal 19(3) terpenuhi). Boleh dilarang oleh Negara. Moderasi ketat berbasis standar komunitas dan hukum.
Ujaran yang Dilindungi (Protected Speech) Kritik, ketidaknyamanan, atau ujaran yang menimbulkan kekhawatiran intoleransi. Harus dilindungi. Respons kritis dari negara/masyarakat; Tidak boleh dihapus/dibatasi.

Kesimpulan dan Rekomendasi Strategis Berbasis Bukti

Ringkasan Temuan Utama

Analisis ini menyimpulkan bahwa media sosial telah menjadi sumber utama kebencian dan polarisasi karena desainnya yang berorientasi pada profit. Ujaran kebencian dan polarisasi bukanlah produk sampingan yang tidak disengaja, melainkan hasil yang secara finansial menguntungkan, didorong oleh Outrage Economy. Dampak dari fenomena ini meluas dari trauma psikologis individu (kecemasan, depresi) hingga eskalasi kekerasan etnis global, seperti yang terlihat dalam kasus Myanmar. Di tingkat kelembagaan, polarisasi yang diperkuat oleh trolls dan disinformasi secara sistematis mengikis kepercayaan publik terhadap institusi demokrasi. Kerangka regulasi saat ini bersifat reaktif dan belum sepenuhnya menyentuh akar masalah algoritmik yang mendasari insentif ini.

Rekomendasi untuk Platform Teknologi

Untuk mengalihkan media sosial dari model yang mengoptimalkan kemarahan, diperlukan intervensi pada tingkat arsitektur dan monetisasi:

  1. Redesain Algoritma: Platform harus mengembangkan dan mengimplementasikan metrik yang menghargai kesehatan publik digital dan mempromosikan konten yang mendukung moderasi dan konsensus, daripada yang memicu konflik.
  2. Transparansi Akuntabilitas: Platform harus diwajibkan untuk mengizinkan audit independen terhadap algoritma yang bertanggung jawab untuk amplifikasi konten ekstrem, sejalan dengan prinsip transparansi yang ditetapkan oleh regulasi seperti DSA.

Rekomendasi untuk Pemerintah dan Regulator

Regulator harus melampaui moderasi konten dan menargetkan mekanisme insentif platform:

  1. Undang-Undang Akuntabilitas Algoritmik: Menerapkan kerangka hukum yang memaksa platform untuk melakukan penilaian dampak sosial yang komprehensif sebelum menerapkan perubahan signifikan pada algoritma engagement.
  2. Regulasi Kampanye Politik: Mengimplementasikan regulasi ketat terhadap transparansi iklan politik di media sosial dan memperkuat mekanisme untuk memerangi operasi troll yang didukung aktor politik.

Rekomendasi untuk Masyarakat Sipil

Masyarakat sipil memegang peran krusial dalam membangun resiliensi kolektif:

  1. Literasi Digital Kritis: Mendorong literasi digital yang mendalam untuk memungkinkan pengguna mengenali dan melawan disinformasi serta stereotip negatif yang memperburuk ketegangan sosial.
  2. Strategi Perlawanan Non-Reaktif: Menerapkan strategi untuk memerangi ujaran kebencian, seperti kampanye PBB #NoToHate, yang menekankan pentingnya jeda (Pause). Pengguna memiliki tanggung jawab untuk tidak membalas ujaran kebencian dengan hasutan yang lebih keji.

Pilihan strategis ada di tangan semua pemangku kepentingan—warga, pemilih, pengguna, dan regulator—untuk menentukan apakah ruang digital akan terus terjebak dalam perang narasi yang tidak berkesudahan atau apakah dapat bertransisi menuju lingkungan digital yang lebih sehat, inklusif, dan mendukung kohesi sosial.

 

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

25 − = 19
Powered by MathCaptcha