Signifikansi Serampang Dua Belas sebagai Mahakarya Melayu
Tari Serampang Dua Belas (Serampang 12) diakui sebagai salah satu tarian pergaulan Melayu tradisional yang paling ikonis dan sarat nilai di Indonesia. Tarian ini melampaui fungsi hiburan semata; ia berfungsi sebagai ensiklopedia koreografi yang memvisualisasikan seluruh proses pencarian jodoh yang berlandaskan pada etika adat dan syariat Melayu. Tarian berpasangan ini menyampaikan pesan moral yang mendalam bahwa cinta sejati hanya dapat dicapai melalui proses yang penuh kesabaran, pengorbanan, dan keikhlasan.
Secara geografis, Serampang Dua Belas berakar kuat di wilayah Melayu Pesisir Timur Sumatera Utara, khususnya Serdang Bedagai (Serdang Deli). Tarian ini diperkirakan diciptakan pada tahun 1930-an atau 1940-an. Pada awalnya, tarian ini dikenal dengan nama Tari Pulau Sari , sebuah nama yang mengukuhkan identitas lokalnya yang spesifik di sekitar Kesultanan Serdang sebelum kemudian diadopsi secara luas dengan nama Serampang 12. Keberadaan Tari Pulau Sari sebagai nama awal menyoroti upaya para seniman dan budayawan masa lalu untuk menanamkan identitas kultural yang terikat pada lokasi geografis sebelum ia bertransformasi menjadi sebuah warisan budaya yang lebih universal di kalangan masyarakat Melayu.
Latar Belakang Geografis dan Kultural Melayu Pesisir
Serampang 12 ditempatkan dalam konteks budaya Melayu Pesisir Timur Sumatera Utara, sebuah wilayah yang secara historis terbuka terhadap pengaruh luar, namun secara ketat memegang teguh nilai-nilai marwah (kehormatan) dan kesantunan. Tarian ini dikategorikan sebagai tarian pergaulan dan ditampilkan oleh penari pria dan wanita secara berpasangan, umumnya terdiri dari dua pasang penari atau lebih, tergantung konteks acara.
Meskipun Serampang 12 merupakan tarian pergaulan yang mengisahkan tarik-menarik romantis, pertunjukannya secara ketat diatur oleh etika Melayu tradisional. Gerakan koreografisnya menjadi alat mediasi budaya yang efektif. Tarian ini memungkinkan interaksi sosial yang intim di antara muda-mudi (yang merupakan kebutuhan alami dan cenderung dipengaruhi modernitas), tetapi pada saat yang sama, membatasi interaksi tersebut dalam bingkai etika yang ketat. Selama pertunjukan, terdapat aturan yang tidak terucapkan: mata penari tidak saling memandang secara langsung, dan kulit penari dilarang untuk bersentuhan. Tindakan ini melambangkan batasan kesopanan yang dijunjung tinggi oleh adat Melayu, menegaskan bahwa meskipun tarian ini merayakan gairah cinta, prosesnya harus selalu berada di bawah kendali adat dan restu orang tua. Dengan demikian, Serampang 12 berfungsi sebagai media edukasi adat yang merangkai kebutuhan pergaulan dengan etika sosial yang konservatif.
Genealogi Serampang Dua Belas: Maestro dan Etika
Profil Maestro: Guru Sauti dan Kodifikasi Adat
Sosok sentral yang bertanggung jawab atas penciptaan dan kodifikasi Tari Serampang Dua Belas adalah Guru Sauti. Analisis terhadap latar belakangnya menunjukkan mengapa tarian ini memiliki struktur yang sangat sistematis dan berorientasi edukasi. Guru Sauti memiliki dasar pendidikan formal sebagai seorang pendidik, lulus dari Normalschool voor Inland Hulpoderwijers (sekolah perguruan) pada tahun 1921. Setelah kelulusannya, ia mengabdikan diri sebagai guru Sekolah Dasar di Sunggal dan kemudian menjadi Kepala Sekolah Dasar Negeri di Perbaungan.
Latar belakang profesional Guru Sauti sebagai seorang guru adalah faktor krusial yang menjelaskan sifat pedagogis Serampang 12. Sauti tidak hanya menciptakan serangkaian gerakan estetis; ia mengkodifikasi seluruh proses sosial Melayu dalam pencarian pasangan hidup menjadi dua belas tahap yang linear dan terstruktur.
Kodifikasi Adat melalui Struktur Koreografis
Struktur dua belas fase ini berfungsi sebagai metode pengajaran yang sangat efektif. Dengan menceritakan kisah cinta—sebuah narasi yang universal dan menarik bagi kaum muda—dalam alur yang mudah diikuti, Serampang 12 berhasil menanamkan nilai-nilai luhur Melayu, seperti kesabaran dan keikhlasan, secara sistematis. Analisis ini mengidentifikasi hubungan kausal: pendidikan formal Sauti mendorong penciptaan tarian dengan struktur tahap demi tahap yang presisi, yang pada akhirnya meningkatkan efektivitas Serampang 12 sebagai alat pelestarian etika pergaulan Melayu di tengah-tengah perubahan zaman.
Prinsip etika yang diajarkan dalam tarian ini sangat tegas. Tarian ini menekankan bahwa hubungan harmonis antara pria dan wanita harus didasari oleh rasa saling menghormati. Hal ini merupakan refleksi mendalam dari pentingnya kepatuhan terhadap adat dan marwah dalam setiap interaksi sosial di komunitas Melayu, yang diyakini menentukan integritas pribadi dan komunal.
Struktur Naratif dan Filosofi Perjalanan Cinta
Konsep Naratif 12 Tahap: Metonimi Adat Perkawinan
Tari Serampang 12 memiliki konsep naratif yang jelas, menceritakan kisah sepasang muda-mudi Melayu dari awal perkenalan hingga upacara pernikahan dalam dua belas gerakan yang berurutan. Ke-12 gerakan tersebut secara metaforis mencakup keseluruhan prosesi adat perkawinan Melayu, mulai dari fase merisik (menyelidiki), meminang (melamar), hingga ijab kabul (akad). Dengan demikian, tarian pergaulan ini bertransformasi menjadi representasi publik yang disahkan tentang cinta yang menuntut legitimasi formal. Serampang 12 bukanlah sekadar tarian bebas, melainkan dapat dipandang sebagai ritual komunal semi-sakral yang merayakan transisi sosial yang terstruktur menuju mahligai rumah tangga.
Dialektika Emosi dan Etika
Inti filosofis Serampang 12 terletak pada dialektika antara gejolak emosi batin dan pengendalian diri yang diwajibkan oleh adat. Tarian ini menampilkan kontras tajam antara perasaan yang memuncak—seperti rasa gundah, gelisah, atau bahkan euforia “mabuk asmara” (yang diekspresikan melalui gerakan tertentu)—dan perlunya menjaga jarak fisik dan kesopanan yang ditetapkan oleh budaya Melayu. Meskipun gerakan tertentu, seperti Tari Gila , menggambarkan emosi yang intens dan tak terkendali, penyaluran emosi tersebut harus tetap diatur dalam batas-batas koreografi yang anggun dan hati-hati.
Simbolisme Properti
Tahap penutup tarian ini sangat diperkuat oleh penggunaan properti, yaitu sapu tangan. Dalam Tari Sapu Tangan (ragam ke-12), penari pria dan wanita saling mengeluarkan dan menautkan atau menyilangkan sapu tangan. Benda sederhana ini membawa beban filosofis yang sangat mendalam; ia menjadi simbol penyatuan kedua pasangan dalam pernikahan yang tak terpisahkan dan permanen. Properti ini menandai titik balik dari proses panjang yang penuh tantangan menuju ikatan suci yang diumumkan kepada khalayak.
Analisis Koreografi Mendalam: 12 Ragam Gerakan dan Makna Berlapis
Keunikan Serampang Dua Belas terletak pada ketersusunannya yang presisi, di mana setiap gerakan (ragam) memiliki makna filosofis yang merupakan fase wajib dalam perjalanan cinta hingga pernikahan. Berikut adalah pemetaan koreografis dan filosofis dari 12 ragam gerakan tersebut:
Table 1: Daftar 12 Ragam Gerakan Tari Serampang Dua Belas dan Makna Filosofisnya
No. Ragam | Nama Gerakan | Tahap Emosional & Sosial | Makna Filosofis Utama |
1 | Tari Permulaan (Meninjau) | Perkenalan dan Ketertarikan Awal | Melambangkan pertemuan pertama, diwarnai rasa malu dan kehati-hatian. Gerakan berputar dan melompat kecil mengisahkan cinta pandangan pertama. |
2 | Tari Berjalan | Tumbuhnya Rasa Cinta dan Keraguan | Pasangan mulai merasakan cinta yang tumbuh, ditandai dengan berjalan kecil diselingi putaran, namun masih ragu untuk mengutarakannya. |
3 | Tari Pusing | Puncak Cinta yang Gundah | Mengisahkan perasaan cinta yang memuncak, memicu kegelisahan dan kegundahan batin karena perasaan yang sama-sama dipendam. |
4 | Tari Gila | Mabuk Asmara (Puncak Emosi) | Gerakan melenggak, melenggok, dan terhuyung seperti orang mabuk. Merefleksikan puncak rasa cinta yang menguasai jiwa (euforia romantis). |
5 | Tari Berjalan Sipat | Saling Merespon dan Isyarat | Penari wanita berjalan lenggak-lenggok sambil memainkan mata (sipat). Simbol wanita merespon positif; komunikasi non-verbal Melayu. |
6 | Tari Goncat-goncet | Kesepakatan Hati dan Irama Bersama | Pasangan menari dan melangkah seirama (juga disebut Tari Sebelah Kaki). Menandakan kedua hati telah bersepakat. |
7 | Tari Berjalan Aneka/Langkah Tiga | Proses Memperkenalkan Diri | Gerakan melompat 3 kali. Pasangan yakin akan hidup bersama dan mulai memperkenalkan hubungan kepada keluarga. |
8 | Tari Melonjak (Menanti Jawab) | Penantian Restu Orang Tua | Gerakan lompat-melompat (lonjakan), menggambarkan rasa berdebar menanti persetujuan dan restu dari masing-masing orang tua. |
9 | Tari Datang Mendatangi | Meraih Restu dan Kepastian | Gerakan mendekat secara aktif. Melambangkan kedua belah pihak telah mendapat restu dan siap menuju jenjang pernikahan. |
10 | Tari Rupa-rupa (Melenggang/Pengantar) | Prosesi Pengantaran Pengantin | Gerakan ceria yang menggambarkan rasa gembira luar biasa saat mengantar pasangan pengantin menuju pelaminan. |
11 | Tari Bersama | Janji Kebersamaan | Penari bergerak dalam irama yang serasi, menegaskan janji komitmen untuk hidup bersama dan membangun rumah tangga. |
12 | Tari Sapu Tangan | Penyatuan Abadi (Pernikahan) | Penari saling menautkan sapu tangan, simbol penyatuan cinta yang tak terpisahkan dalam ikatan pernikahan. |
Analisis Mendalam Per Fase
Fase I (1-3): Dari Kesopanan ke Gejolak Batin
Fase awal ini, yang mencakup Tari Permulaan, Berjalan, dan Pusing, adalah tentang pembentukan ketertarikan di bawah batasan sosial yang ketat. Gerakan permulaan menekankan non-kontak dan kehati-hatian, sebuah manifestasi budaya Melayu yang menempatkan kesantunan di atas gairah. Puncak emosi dalam fase ini dicapai pada Tari Pusing, di mana kegelisahan batin akibat cinta yang dipendam memicu kebingungan gerak, mencerminkan konflik internal sebelum keberanian untuk mengakui perasaan muncul.
Fase II (4-6): Eskalasi Emosional dan Respon
Fase ini, meliputi Tari Gila, Sipat, dan Goncat-goncet, adalah periode eskalasi emosional. Tari Gila menunjukkan adanya pelepasan emosi yang diatur, di mana kondisi “mabuk asmara” ditoleransi sejauh masih dalam batas-batas koreografi yang terstruktur. Ini menegaskan bahwa dalam budaya Melayu, ekspresi emosi yang paling intens sekalipun harus diatur oleh adat. Selanjutnya, Tari Sipat menjadi pelajaran krusial dalam komunikasi non-verbal Melayu, di mana tanggapan dan persetujuan dari pihak wanita disalurkan melalui isyarat mata (sipat) dan gerakan tubuh yang anggun, yang lebih dihargai daripada pengucapan langsung.
Analisis naratif Serampang 12 juga menunjukkan adanya simetri dalam etika gender. Meskipun inisiatif perkenalan dapat datang dari pria, kepastian moral dan keberlanjutan hubungan (dikonfirmasi melalui Tari Sipat dan Goncat-goncet) memerlukan respons eksplisit (meskipun non-verbal) dari wanita. Wanita memegang kunci legitimasi dan moralitas hubungan dalam kerangka adat ini.
Fase III (7-9): Menggandeng Adat dan Restu
Fase krusial ini—Langkah Tiga/Berjalan Aneka, Melonjak, dan Datang Mendatangi—menandai transisi dari urusan pribadi ke urusan sosial. Di sini, cinta pribadi harus dilegitimasi oleh masyarakat melalui persetujuan orang tua. Tari Melonjak , yang menampilkan gerakan melompat penuh debar, secara universal mewakili kecemasan manusia saat menanti persetujuan dari otoritas yang lebih tinggi (orang tua atau adat). Setelah restu diperoleh, Tari Datang Mendatangi menandakan kesiapan pasangan untuk memulai prosesi pernikahan secara formal.
Variasi Koreografis dalam Kanon
Meskipun struktur 12 fase ini dianggap sebagai kanon yang diciptakan Guru Sauti, analisis komparatif menunjukkan adanya sedikit variasi terminologi atau urutan minor di antara sumber-sumber yang berbeda (misalnya, penamaan Ragam 10 atau Tari Rupa-rupa berbanding Ragam 11 dan Ragam 12 dalam sumber lain ). Perbedaan ini menunjukkan adanya variasi interpretasi regional atau perbedaan dalam pelestarian di tingkat sanggar, namun secara keseluruhan, filosofi struktural dari 12 tahapan menuju pernikahan tetap dipertahankan.
Elemen Estetika dan Teknik Pertunjukan
Musik Pengiring: Adaptasi dan Identitas Melodis
Iringan musik Tari Serampang Dua Belas menggunakan kombinasi alat musik tradisional dan unsur-unsur yang diadaptasi dari kebudayaan luar. Alat musik eksternal yang terintegrasi meliputi Akordeon, Biola, dan Gendang Pakpong atau Rebana.
Integrasi instrumen seperti Biola sangatlah menarik. Biola, meskipun berasal dari kebudayaan non-Melayu, telah menjadi bagian integral dari orkestrasi musik Melayu Pesisir Timur Sumatera Utara. Keberhasilan adopsi ini terletak pada kemampuan seniman Melayu untuk menyesuaikan produk bunyi yang dihasilkan agar sesuai dengan estetika Melayu yang khas. Melodi yang dimainkan oleh instrumen yang diadaptasi ini harus mengikuti konsep-konsep musikal Melayu yang dikenal sebagai patah lagu, cengkok, dan gerenek.
Penerimaan material budaya luar (instrumen modern) ini menunjukkan fluiditas budaya Melayu Pesisir dalam hal medium. Namun, penekanan bahwa melodi yang dihasilkan harus tetap “asli Melayu” menunjukkan konservatisme yang kuat terhadap esensi: konservatisme Melayu terletak pada struktur melodis dan irama (estetika) dan bukan pada alat musiknya. Kemampuan beradaptasi secara medium sambil konservatif secara esensi inilah yang menjadi kunci ketahanan Serampang 12.
Pola Lantai, Busana, dan Teknik Kinetik
Pola lantai Serampang 12 didominasi oleh gerakan-gerakan yang menciptakan dinamika jarak dan kedekatan, khususnya melalui gerakan berputar dan saling mengelilingi yang menonjol pada fase awal. Pola ini memvisualisasikan tarik-ulur emosional dan interaksi sosial yang sopan namun intens.
Dalam hal tata busana, penari menggunakan pakaian adat khas Melayu yang formal. Busana ini berfungsi untuk menjaga martabat dan keanggunan (kehormatan), yang sesuai dengan tata krama adat Melayu.
Aspek kinetik dan ekspresi wajah sangatlah penting untuk menyampaikan narasi emosional. Penari dituntut untuk menunjukkan emosi yang sesuai dengan cerita—seperti rasa malu, kebahagiaan, dan antusiasme—melalui senyum yang tulus dan pandangan mata yang terkontrol. Hal ini menuntut penguasaan teknik yang tinggi, karena gejolak batin yang diekspresikan harus selalu diimbangi dengan kehati-hatian dan kesantunan dalam gerakan fisik.
Eksistensi, Tantangan Pelestarian, dan Relevansi Masa Kini
Status Warisan Budaya Takbenda (WBTB)
Tari Serampang Dua Belas diakui secara luas sebagai salah satu warisan penting dari budaya Melayu Sumatera Utara, dan keberadaannya merupakan bagian dari upaya pelestarian Warisan Budaya Takbenda (WBTB) Indonesia. Pengakuan ini secara institusional menegaskan Serampang 12 sebagai aset nasional yang membutuhkan perlindungan dan pembinaan berkelanjutan.
Tantangan Pelestarian Kontemporer
Upaya pelestarian Serampang 12 menghadapi sejumlah tantangan, baik yang bersifat internal maupun eksternal. Salah satu kendala eksternal yang signifikan adalah stagnansi program yang terjadi akibat situasi global seperti pandemi Covid-19, yang menyebabkan banyak event nasional, perlombaan, dan sosialisasi tarian kepada masyarakat umum terpaksa ditiadakan.
Menghadapi tantangan ini, Dinas Kebudayaan setempat menekankan perlunya strategi komunikasi dan adaptasi yang adaptif. Tujuannya adalah memastikan tarian ini mampu “bertahan hidup atau lestari keberadaannya, atau bahkan berkembang dan mampu menyesuaikan diri (adaptif) dengan perkembangan jaman”.
Di sini muncul ketegangan tematik yang signifikan antara kebutuhan untuk mempertahankan kemurnian filosofis tarian (yaitu, 12 langkah yang kaku dan prinsip non-kontak ) dan tuntutan untuk relevansi di era modern. Bagaimana Serampang 12 dapat menjadi tema yang “aktual” tanpa mengorbankan nilai-nilai etika kesopanan dan kehati-hatian yang menjadi dasar filosofisnya? Solusi pelestarian di era kontemporer harus berfokus pada kontekstualisasi filosofi tarian, mempromosikan kerangka etika 12 fase tersebut sebagai model yang dihargai untuk persahabatan dan hubungan yang beretika tinggi, alih-alih terbatas pada ritual pernikahan tradisional.
Serampang 12 sebagai Peneguh Identitas Budaya
Terlepas dari tantangan modernisasi, Tari Serampang Dua Belas terus memainkan peran vital dalam masyarakat Melayu. Tarian ini menyediakan wadah hiburan yang selaras dengan nilai-nilai kebudayaan Melayu. Eksistensinya tidak hanya sebatas fungsi budaya, tetapi juga memberikan dampak ekonomi dengan menciptakan lapangan pekerjaan bagi para penari dan seniman yang mempertunjukkannya. Secara lebih luas, Serampang 12 berfungsi sebagai peneguh identitas budaya yang secara berkelanjutan mengukuhkan keindonesiaan yang berakar kuat pada tradisi Melayu.
Kesimpulan
Tari Serampang Dua Belas adalah sebuah monumen koreografi Melayu yang sangat terstruktur, diciptakan oleh seorang pendidik, Guru Sauti, untuk mengkodifikasi dan mengajarkan etika sosial Melayu terkait prosesi pernikahan. Tarian ini merupakan sebuah representasi simbolis dari seluruh tahapan adat—dari cinta pandangan pertama hingga penyatuan abadi yang disimbolkan oleh sapu tangan.
Ketahanan Serampang 12 dalam jangka panjang disebabkan oleh dua faktor: struktur pedagogisnya yang presisi (12 fase) dan fleksibilitas estetiknya. Meskipun Serampang 12 menunjukkan kemampuan adaptif dengan mengintegrasikan instrumen asing seperti Biola dan Akordeon, daya tahannya terletak pada konservatisme esensialnya: melodi yang dihasilkan harus selalu mematuhi konsep Melayu patah lagu dan cengkok.
Untuk menjamin kelestariannya di masa depan, fokus harus diarahkan pada strategi komunikasi yang efektif. Serampang 12 perlu diposisikan sebagai model etika interaksi yang berharga dan relevan, di mana proses yang penuh kesabaran, kehormatan, dan menanti restu dianggap sebagai standar emas dalam interaksi sosial modern. Struktur 12 fase Serampang 12, dengan segala dialektika emosi dan pengendalian diri, tetap menjadi sumber penting untuk memahami nilai-nilai luhur dan filosofi hidup masyarakat Melayu Pesisir.