Sektor mineral dan batu bara (Minerba) telah lama diakui sebagai pilar strategis dalam perekonomian Indonesia. Kekayaan sumber daya alam yang melimpah menempatkan sektor ini sebagai penyedia utama penerimaan fiskal dan devisa, dengan tujuan mendasar untuk mengoptimalkan pengelolaan sumber daya alam dan meningkatkan kemakmuran rakyat secara optimal. Rasionalisasi ini tercermin dalam komitmen pemerintah untuk mencapai kemandirian dan ketahanan industri nasional berbasis mineral dan batu bara, serta meningkatkan manfaat ekonomi dan kualitas Sumber Daya Manusia (SDM).

Namun, fokus yang dominan pada aspek ekonomi dan ekstraksi cepat telah menciptakan ketegangan struktural. Laporan ini secara kritis meninjau paradoks pembangunan di Indonesia, yaitu kontras antara Kemakmuran (yang diukur melalui pertumbuhan ekonomi dan pendapatan negara) dengan Kerusakan (yang tercermin dari degradasi lingkungan yang meluas, konflik sosial yang kronis, dan kegagalan tata kelola).

Definisi Paradigma “Kemakmuran vs. Kerusakan”

Dalam konteks analisis ini, konsep Kemakmuran dituntut untuk diperluas melampaui sekadar indikator makroekonomi kuantitatif. Kemakmuran sejati harus mencakup keadilan distributif, keberlanjutan ekologis, dan ketahanan sosial. Ini berarti memastikan bahwa hasil dari sektor ekstraktif disalurkan secara adil dan digunakan untuk membiayai transisi ekonomi yang berkelanjutan di daerah penghasil.

Sebaliknya, Kerusakan harus didefinisikan secara komprehensif. Kerusakan tidak hanya meliputi biaya reklamasi dan pascatambang yang bersifat fisik, tetapi juga memasukkan biaya non-ekonomi yang sulit diukur, seperti kehilangan fungsi jasa ekosistem (misalnya, mitigasi banjir dan penyerapan karbon dari hutan primer) dan biaya sosial-politik berupa kriminalisasi warga penolak tambang dan ancaman terhadap hak masyarakat adat.

Ringkasan Temuan Utama

Penelahaan mendalam menemukan bahwa sektor Minerba beroperasi dalam kondisi ketidakseimbangan yang akut. Kontribusi PDB yang sangat besar berbanding terbalik dengan penyerapan tenaga kerja yang rendah, menunjukkan pola pertumbuhan yang tidak inklusif. Selain itu, terdapat kesenjangan yang parah antara regulasi tata kelola yang ketat (kewajiban reklamasi) dengan penegakan hukum di lapangan (bencana lubang tambang terbuka). Kebijakan strategis hilirisasi, meskipun menjanjikan kedaulatan ekonomi, membawa risiko lingkungan dan geopolitik yang signifikan, terutama terkait dengan jejak karbon tinggi dan ketergantungan investasi asing. Masalah-masalah ini menuntut penimbangan ulang kebijakan yang mendesak dan terstruktur.

Kemakmuran: Kontribusi Ekonomi dan Fiskal Sektor Minerba

Peran Sektor Pertambangan dalam Produk Domestik Bruto (PDB) Nasional

Sektor pertambangan dan penggalian telah menjadi penopang utama stabilitas ekonomi nasional. Pada tahun 2023, subsektor ini memberikan kontribusi yang sangat substansial, mencapai Rp2.198 triliun, yang setara dengan 10,5% dari total Produk Domestik Bruto (PDB) Indonesia. Data PDB dari Pertambangan juga menunjukkan tren rata-rata yang tinggi, berada di angka 201.909,20 Miliar IDR dalam periode 2010 hingga 2025. Kontribusi ini menegaskan fungsi sektor ekstraktif sebagai mesin pencetak pendapatan fiskal yang krusial. Meskipun kontribusi sektor ini besar, Kementerian ESDM RI mengingatkan bahwa tantangan ke depan tidaklah mudah, terutama di tengah sorotan global terhadap isu lingkungan dan tuntutan keberlanjutan.

Struktur Penerimaan Negara (Pajak, PNBP, dan Dana Bagi Hasil/DBH)

Sektor Minerba menghasilkan penerimaan negara yang kompleks melalui pajak dan Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP). Realisasi penerimaan dari PPh 23 dari sektor pertambangan telah mencapai Rp 8,07 triliun. Regulasi mengenai perpajakan dan PNBP terus diperkuat, di antaranya melalui implementasi PP Nomor 26 Tahun 2022 dan PP Nomor 15 Tahun 2022.

Untuk mengatasi disparitas regional yang muncul akibat eksploitasi SDA, mekanisme Dana Bagi Hasil (DBH) SDA Minerba menjadi krusial. Sebanyak 80% dari PNBP SDA Minerba dibagihasilkan ke daerah penghasil. Struktur pembagian royalti, misalnya, didistribusikan 16% untuk Kabupaten penghasil, 32% untuk Provinsi penghasil, dan 32% untuk Kabupaten lain di Provinsi yang sama secara pro-rata. Sementara land rents (iuran tetap) didistribusikan 16% ke Provinsi dan 64% ke Kabupaten penghasil. Meskipun dirancang untuk keadilan, besarnya persentase PDB yang dikuasai pusat dibandingkan DBH yang sensitif terhadap harga komoditas menunjukkan adanya gejala Resource Curse (Kutukan Sumber Daya Alam) yang ditandai dengan manfaat ekonomi yang terkonsentrasi di tingkat pusat dan modal, bukan di masyarakat luas. Hal ini menuntut agar dana DBH yang diterima daerah dimanfaatkan secara transparan, berfokus pada pembangunan infrastruktur berkelanjutan, dan pemulihan lingkungan.

Analisis Penyerapan Tenaga Kerja: Disparitas Nasional dan Regional

Analisis penyerapan tenaga kerja menyoroti inkonsistensi antara pertumbuhan ekonomi makro dan dampaknya di tingkat sosial. Secara nasional, sektor pertambangan hanya menyerap sekitar 1% dari total tenaga kerja di Indonesia. Rasio kontribusi PDB 10,5% berbanding penyerapan tenaga kerja 1% mengindikasikan bahwa sektor ini didominasi oleh teknologi padat modal, yang menghasilkan “pertumbuhan tanpa pekerjaan” (jobless growth). Konsekuensinya adalah peningkatan ketimpangan kekayaan karena manfaat ekonomi yang tinggi tidak didistribusikan secara merata melalui penciptaan lapangan kerja.

Namun, di tingkat regional, pertambangan dapat menjadi penyerap tenaga kerja yang penting. Di Kalimantan Timur (Kaltim), misalnya, sektor Pertambangan dan Penggalian menjadi penopang utama, menyerap tambahan 46.002 orang pada Februari 2025. Ketergantungan regional yang tinggi ini, meskipun menciptakan lapangan kerja dalam jumlah signifikan di wilayah tersebut, meningkatkan risiko ekologis dan sosial jangka panjang, terutama ketika industri menghadapi volatilitas harga atau transisi energi yang mengharuskan penutupan operasi.

Studi Kasus Strategis: Dampak Ekonomi Awal dari Kebijakan Hilirisasi (Nikel)

Kebijakan hilirisasi nikel dipromosikan sebagai strategi sistematis untuk membangun ekosistem industri pengolahan di dalam negeri, yang diklaim sebagai tonggak menuju kedaulatan ekonomi. Secara ekonomi, data menunjukkan capaian yang diperhitungkan, termasuk peningkatan pertumbuhan PDB sebesar 1,5 persen dan penciptaan lebih dari setengah juta lapangan kerja. Manfaat strategisnya meliputi penerimaan Foreign Direct Investment (FDI) dan pengamanan pasokan SDA. Namun, harus diakui bahwa janji peningkatan PDB dan lapangan kerja ini harus ditimbang dengan biaya ekologis yang muncul dari proses pengolahannya.

Kontribusi Ekonomi Sektor Pertambangan: Makro vs. Sosial

Indikator Ekonomi Realisasi/Persentase Implikasi Kesejahteraan
Kontribusi PDB 2023 10.5% (Rp 2.198 Triliun) Kontributor utama pertumbuhan, menopang kestabilan ekonomi makro.
Penyerapan Tenaga Kerja Nasional ~1% Mencerminkan industri padat modal, bukan padat karya; distribusi manfaat kerja yang rendah.
Pembagian DBH SDA Minerba 80% ke Daerah Penghasil Potensi pendapatan daerah, namun rentan volatilitas komoditas dan membutuhkan transparansi.

Kerusakan: Biaya Ekologis dan Konflik Sosial yang Terdokumentasi

Degradasi Lingkungan dan Hilangnya Keanekaragaman Hayati

Dampak pertambangan terhadap lingkungan di Indonesia telah mencapai skala bencana ekologis. Bukti deforestasi menunjukkan bahwa aktivitas pertambangan telah menghilangkan 721.000 hektar hutan antara 2001 hingga 2023, termasuk 150.000 hektar hutan primer berkarbon tinggi. Kerusakan hutan primer, yang secara ekologis kompleks, mewakili biaya lingkungan yang tidak dapat dipulihkan dan secara signifikan menghambat upaya mitigasi perubahan iklim.

Dampak hidrologis juga menjadi perhatian serius. Aktivitas pertambangan meninggalkan tumpukan tanah dan lobang galian terbuka. Ini memicu sedimentasi, erosi, dan peningkatan risiko banjir. Kalimantan Selatan, yang kaya mineral, mencatat indeks kualitas lingkungan hidup (IKLH) terburuk di Pulau Kalimantan, dan merupakan urutan ke-26 dengan total luas lahan kritis sekitar 640.709 ha. Selain itu, air dan tanah di sekitar lokasi penambangan seringkali tercemar oleh limbah berupa logam-logam berat.

Konflik spasial terbukti bahkan di kawasan vital, termasuk Ibu Kota Nusantara (IKN). Di wilayah IKN seluas 250.000 hektar, terdapat bukaan tambang seluas 17.929,58 Ha, dengan 3.794,6 Ha di antaranya teridentifikasi sebagai tambang ilegal. Kondisi ini mengancam rencana pemerintah untuk memulihkan 65% kawasan IKN menjadi hutan hujan tropis. Di Bangka Belitung, operasi tambang timah ilegal merajalela, mengancam ekosistem satwa endemik dan menyebabkan kerusakan daratan dan pesisir.

Kegagalan Reklamasi dan Tragedi Void Tambang

Meskipun secara regulasi pemegang IUP/IUPK wajib melaksanakan reklamasi dan pascatambang secara 100% sukses , dengan rencana yang harus memulihkan fungsi lingkungan dan sosial, terdapat kesenjangan akut antara peraturan dan implementasi.

Klaim Kementerian ESDM mengenai peningkatan tingkat kepatuhan Jaminan Reklamasi (JR) yang meroket hingga 72% dan terkumpulnya dana JR senilai Rp35 Triliun  hanya mencerminkan kepatuhan administratif (penyediaan dana). Kepatuhan administratif ini tidak berkorelasi positif dengan keberhasilan pemulihan fisik (kepatuhan ekologis). Bukti paling tragis adalah berlanjutnya fatalitas akibat lubang tambang batubara terbuka di Kalimantan Timur (Kaltim), yang terus merenggut korban jiwa, dengan kasus terbaru di Mei 2024 mencatat 3 korban lagi , setelah sebelumnya tercatat 34 korban hingga 2019. Peristiwa ini menunjukkan bahwa mekanisme pengawasan reklamasi dan penggunaan dana JR tidak efektif.

Masalah diperparah oleh celah hukum yang berkaitan dengan pertambangan ilegal. Data KLHK 2018 mencatat 8.683 titik pertambangan ilegal di Indonesia. UU No. 4/2009 hanya mengenakan sanksi pidana terhadap pelaku tambang ilegal, dan tidak mewajibkan reklamasi, sehingga tidak ada pertanggungjawaban atas bekas lubang galian yang ditinggalkan. Kegagalan hukum ini membebani negara dengan legacy sites yang rusak parah tanpa adanya dana pemulihan.

Konflik Sosial dan Keadilan Distributif

Aktivitas pertambangan sering memicu konflik penguasaan lahan dan sengketa sosial. Dampak negatif timbul ketika operasi tambang tidak sesuai dengan standar, menimbulkan efek zero value. Kegiatan pertambangan juga mengancam perlindungan masyarakat adat.

Kekhawatiran yang mendalam muncul dari penggunaan instrumen hukum yang menekan masyarakat terdampak. Adanya Pasal 162 dan Pasal 164 dalam UU Minerba No. 3/2020 dinilai membuka peluang kriminalisasi terhadap warga yang menolak tambang , sebuah praktik yang telah didokumentasikan WALHI yang melaporkan puluhan warga dikriminalisasi. Hal ini menekan suara masyarakat yang paling rentan, menghalangi mereka untuk berpartisipasi dalam pengawasan dan menjaga kelestarian lingkungan.

Manifestasi Kerusakan Lingkungan Sektor Pertambangan

Aspek Kerusakan Data Kuantitatif/Kasus Dampak Ekologis/Sosial
Deforestasi (2001–2023) 721.000 hektar hutan hilang Kehilangan fungsi ekosistem, karbon, dan keanekaragaman hayati.
Kehilangan Hutan Primer 150.000 hektar Kerusakan tidak dapat dipulihkan, risiko iklim meningkat.
Kepatuhan Reklamasi (Klaim ESDM) 72% Kepatuhan Jaminan Reklamasi (JR Rp35 T) Kepatuhan Administratif yang tidak menjamin keberhasilan pemulihan fisik.
Fatalitas Lubang Tambang Kaltim Korban jiwa terus berlanjut (3 korban di Mei 2024) Kegagalan penegakan hukum dan pengawasan reklamasi di lapangan.
Lahan Kritis (Kalsel) IKLH terburuk di Kalimantan Peningkatan risiko bencana hidrologis (banjir, sedimentasi).

Evaluasi Tata Kelola (Governance) dan Penegakan Hukum

Tinjauan Kritis Undang-Undang Minerba No. 3 Tahun 2020

Revisi undang-undang Minerba pada tahun 2020 menciptakan kontroversi signifikan dalam tata kelola. UU No. 3/2020 menerapkan sentralisasi, di mana seluruh penguasaan kegiatan pertambangan Mineral dan Batubara diselenggarakan oleh Pemerintah Pusat. Sentralisasi ini dianggap bertentangan dengan prinsip Otonomi Daerah, yang sebelumnya memberikan peran lebih besar kepada pemerintah lokal dalam pengawasan dan perizinan.

Pelemahan pengawasan daerah diperburuk dengan penghilangan pasal sanksi pidana bagi pejabat yang menyalahgunakan kewenangan dalam pemberian izin usaha pertambangan (yang sebelumnya ada di UU No. 4/2009). Penghilangan pasal ini dianggap membuka celah Moral Hazard dan korupsi di bidang perizinan sektor Minerba. Pada saat yang sama, ancaman kriminalisasi terhadap warga penolak tambang melalui Pasal 162 dan Pasal 164 menekan suara masyarakat yang paling terdampak. Kondisi ini menciptakan lingkungan di mana akuntabilitas elit menurun sementara pengawasan dan protes dari masyarakat sipil dilemahkan.

Kajian Kasus Mega Korupsi Sektor Timah: Cerminan Kegagalan Sistemik

Kasus korupsi tata niaga timah yang melibatkan kerugian lingkungan yang masif, diestimasi mencapai Rp 271 Triliun, merupakan manifestasi nyata dari kegagalan tata kelola sistemik. Skala kerugian yang dihitung berdasarkan teori Kerugian Lingkungan  membuktikan bahwa korupsi di sektor SDA merupakan kejahatan lingkungan skala besar, menciptakan preseden hukum yang penting dan momentum pembenahan total Sektor SDA.

Namun, Koalisi masyarakat sipil, termasuk WALHI Kepulauan Bangka Belitung, mengecam penyelesaian kasus yang hanya fokus pada hukuman pidana dan kerugian keuangan. Mereka menilai pengabaian atas pemulihan ekologis dan transparansi lanskap yang rusak sebagai “delusi negara”. Walaupun kerugian keuangan dan kerugian negara merupakan elemen penting, fokus utama harusnya mengarah pada pemulihan ekosistem darat dan laut yang telah rusak parah oleh tambang timah ilegal.

Kontroversi Terbaru: Analisis Yuridis PP Nomor 25 Tahun 2024 (IUP Ormas Keagamaan)

Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 25 Tahun 2024, yang mengizinkan pemberian Izin Usaha Pertambangan Khusus (IUPK) kepada Organisasi Kemasyarakatan (Ormas) keagamaan , menimbulkan keraguan serius mengenai integritas tata kelola sektor Minerba. Langkah ini berpotensi mempolitisasi alokasi Sumber Daya Alam (SDA) dan mengancam prinsip meritokrasi.

Pengelolaan tambang adalah kegiatan yang membutuhkan modal besar, kompetensi teknis yang tinggi, dan kepatuhan lingkungan yang ketat. Memberikan konsesi IUPK kepada entitas yang secara struktural bersifat non-komersial berisiko tinggi memicu penyimpangan, konflik kepentingan, dan praktik rent-seeking (pencarian rente) melalui pengalihan izin. Hal ini pada akhirnya dapat melemahkan tujuan pengelolaan SDA yang berkelanjutan dan akuntabel.

Ringkasan Kontroversi Tata Kelola dan Regulasi Minerba

Regulasi/Isu Utama Aspek Kontroversial Kritis Dampak/Implikasi Terkini
UU Minerba No. 3/2020 Sentralisasi kewenangan & Pasal kriminalisasi warga Melemahkan Otonomi Daerah, memfasilitasi kriminalisasi warga penolak tambang.
Kasus Korupsi Timah Tata niaga ilegal dan Kerugian Lingkungan Estimasi Rp 271 T, preseden hukum Kerugian Lingkungan sebagai kejahatan.
PP No. 25/2024 (IUP Ormas) Pemberian IUPK kepada Ormas keagamaan Risiko penyimpangan, konflik kepentingan, dan politisasi SDA.
Hilirisasi Nikel (Geopolitik) Ketergantungan pada FDI Tiongkok Sovereignty Paradox, risiko geopolitik dalam rantai pasok energi bersih.

Hilirisasi dan Transisi Energi: Tantangan Keberlanjutan Industri Nikel

Manfaat Strategis dan Geopolitik Hilirisasi

Kebijakan hilirisasi nikel adalah upaya transformasi industri Indonesia menjadi pemain global dalam rantai pasok kendaraan listrik dan energi bersih. Strategi ini secara ambisius diarahkan untuk meningkatkan nilai tambah produk pertambangan dan memproyeksikan kedaulatan ekonomi.

Namun, implementasi hilirisasi menciptakan Sovereignty Paradox. Meskipun tujuannya adalah kemandirian, strategi ini meningkatkan ketergantungan pada Foreign Direct Investment (FDI), terutama dari Tiongkok, yang mendominasi pembangunan smelter dan fasilitas pengolahan. Ketergantungan ini membuka Indonesia pada risiko strategis, terutama dalam persaingan geopolitik antara Amerika Serikat dan Tiongkok. Jika tidak dikelola dengan hati-hati melalui strategi poli-alignment, ketergantungan ini dapat menggerus kemandirian nasional yang dicita-citakan.

Jejak Karbon dan Dampak Iklim dari Proses Hilirisasi

Masalah mendasar dari hilirisasi nikel terletak pada jejak karbonnya. Proses pengolahan nikel, khususnya melalui teknologi pirometalurgi (RKEF), membutuhkan energi yang masif, yang sebagian besar dipasok oleh PLTU captive berbahan bakar batubara. Penggunaan energi kotor ini secara substansial meningkatkan jejak karbon keseluruhan dari nikel Indonesia.

Keberadaan Dirty Nickel ini dapat “memperparah krisis iklim”. Apabila produk nikel olahan Indonesia tidak memenuhi standar keberlanjutan yang ketat, hal itu dapat menghadapi hambatan perdagangan (misalnya, di Uni Eropa), yang secara fundamental akan mementahkan klaim daya saing jangka panjang.

Selain dampak iklim, percepatan industrialisasi yang didorong hilirisasi telah memindahkan konflik sosial dari isu ekstraksi ke isu hilir (pengolahan dan energi). Konflik sosial dan bahkan kriminalisasi warga telah dilaporkan di wilayah operasional, seperti Morowali , menunjukkan bahwa industrialisasi tanpa pendekatan inklusif terhadap masyarakat lokal dan tanpa keadilan distributif bagi kelompok rentan akan terus menciptakan ketidakpuasan.

Perlunya Integrasi Prinsip ESG (Environmental, Social, Governance) dalam Rantai Pasok Hilirisasi

Pemerintah telah menyatakan komitmennya untuk memastikan hilirisasi menjunjung aspek ESG. Perusahaan tambang diwajibkan menerapkan sistem manajemen lingkungan dan menggunakan standar pelaporan seperti Global Reporting Initiative (GRI) untuk transparansi emisi karbon, penggunaan air, dan dampak komunitas. Kewajiban regulasi Indonesia mencakup AMDAL dan hukum rehabilitasi lahan.

Implementasi ESG harus menjadi syarat kontrak yang tidak dapat ditawar untuk semua investasi hilirisasi. Penerapan ESG terintegrasi, seperti yang ditunjukkan oleh beberapa perusahaan (misalnya PT Bukit Asam Tbk. yang meraih Proper Emas 2022) , harus menjadi standar industri, bukan sekadar pengecualian. Kewajiban pengolahan limbah industri secara aman, seperti yang ditekankan oleh Kemenko Marves , harus dipantau ketat, terutama di tengah kekhawatiran mengenai pembuangan tailing dari smelter.

Peta Jalan dan Rekomendasi: Menuju Industri Pertambangan yang Berkelanjutan

Untuk mengatasi paradoks antara kemakmuran ekonomi yang bersifat sementara dan kerusakan ekologis yang permanen, Indonesia memerlukan peta jalan kebijakan yang kuat, terpadu, dan berorientasi pada restorasi.

Penguatan Tata Kelola Lingkungan dan Pascatambang

  1. Penegakan Restorasi Ekologis Total: Fokus harus dialihkan dari sekadar mengumpulkan Dana Jaminan Reklamasi (JR) menuju penegakan standar pemulihan fisik. Dana JR harus dimanfaatkan secara efektif untuk memulihkan fungsi ekosistem, termasuk menimbun void tambang yang menjadi ancaman maut bagi masyarakat. Kewajiban reklamasi dan pascatambang harus ditegakkan secara 100% dan terukur, dengan sanksi yang keras bagi pelanggar.
  2. Akuntabilitas Restoratif bagi Tambang Ilegal: Perlu adanya revisi regulasi untuk mewajibkan sanksi restoratif dan denda lingkungan yang besar terhadap pelaku tambang ilegal, selain sanksi pidana yang sudah ada. Ini penting untuk memastikan bahwa kerusakan yang diakibatkan oleh penambangan tanpa izin tidak menjadi beban ekologis permanen bagi negara.
  3. Penguatan Pengawasan Institusional: Peningkatan pemantauan kualitas lingkungan oleh institusi terkait harus ditingkatkan, didukung oleh penegakan hukum yang keras terhadap usaha tanpa izin dan pelanggar aturan.

Reformasi Kebijakan Fiskal dan Distribusi Manfaat

  1. Optimalisasi dan Akuntabilitas DBH: Penggunaan Dana Bagi Hasil (DBH) Minerba di tingkat daerah harus diaudit dan diarahkan secara ketat untuk membiayai investasi publik jangka panjang, diversifikasi ekonomi, dan program pemulihan lingkungan, bukan untuk belanja yang bersifat konsumtif atau rutin.
  2. Strategi Diversifikasi Tenaga Kerja: Penerimaan dari sektor Minerba harus digunakan untuk membiayai program pendidikan, pelatihan, dan pengembangan industri yang bersifat padat karya dan berkelanjutan, guna mengurangi ketergantungan tenaga kerja lokal pada sektor ekstraktif yang volatil.

Mendesain Ulang Kebijakan Hilirisasi Berbasis Energi Bersih dan Keadilan Sosial

  1. Mandat Energi Bersih: Pemerintah harus mengeluarkan mandat yang mewajibkan semua proyek hilirisasi nikel (smelter) menggunakan energi terbarukan atau sumber energi rendah karbon lainnya. Moratorium pembangunan PLTU captive berbahan bakar batubara di kawasan industri nikel harus segera diterapkan untuk menjaga daya saing nikel Indonesia di pasar global yang semakin menuntut produk ramah iklim.
  2. Kontrak FDI Berbasis ESG: Semua perjanjian investasi asing langsung (Foreign Direct Investment) untuk proyek hilirisasi harus memasukkan klausul ESG yang ketat, termasuk standar emisi karbon dan pengelolaan limbah yang diverifikasi secara independen.
  3. Pendekatan Inklusif dan Keadilan: Kebijakan hilirisasi harus diimplementasikan dengan pendekatan yang inklusif dan berkelanjutan, yang memastikan masyarakat lokal mendapatkan manfaat yang sepadan dan dilibatkan dalam pengambilan keputusan, memitigasi risiko konflik sosial.

Memperkuat Integritas Tata Kelola dan Anti-Korupsi

  1. Revisi UU Minerba yang Kritis: Perlu dilakukan peninjauan kembali terhadap UU Minerba No. 3/2020 untuk mengembalikan peran pengawasan daerah dan menghapus pasal-pasal yang berpotensi mengkriminalisasi warga. Selain itu, sanksi pidana bagi pejabat yang menyalahgunakan kewenangan harus dikembalikan untuk memitigasi celah korupsi.
  2. Penegakan Hukum Restoratif: Momentum kasus korupsi timah Rp 271 T harus digunakan untuk menjadikan pemulihan ekologis dan lingkungan sebagai komponen wajib dan prioritas dalam setiap hukuman kejahatan SDA.
  3. Evaluasi Transparansi PP 25/2024: Diperlukan peninjauan mendalam terhadap PP 25/2024 untuk memitigasi risiko penyimpangan dan memastikan bahwa pengalihan konsesi kepada entitas non-profit tidak mengorbankan standar teknis, tata kelola, dan keberlanjutan lingkungan.

 

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

+ 72 = 76
Powered by MathCaptcha