Bahasa Melayu sebagai Fenomena Sosiolinguistik Regional

Bahasa Melayu, sebagai salah satu anggota kunci dari rumpun bahasa Austronesia, mewakili kasus unik dalam linguistik dan politik Asia Tenggara. Evolusinya bukan sekadar narasi linguistik tetapi cerminan langsung dari perubahan kekuasaan maritim, penyebaran agama, dan konsolidasi identitas nasional. Laporan ini bertujuan untuk menyajikan ulasan yang komprehensif mengenai transisi Bahasa Melayu, dari akarnya sebagai bahasa komando aristokrat dan agama (Bahasa Istana) hingga fungsinya sebagai bahasa pemersatu bangsa-bangsa modern (Bahasa Persatuan).

Premis sentral analisis ini adalah bahwa transformasi Bahasa Melayu dari fungsi vertikal (digunakan oleh elit penguasa dan istana) ke fungsi horizontal (sebagai lingua franca perdagangan dan persatuan) merupakan hasil interaksi kompleks antara faktor geografis, hegemoni politik pra-kolonial, dan kebijakan nasionalis pasca-kolonial. Pendekatan yang digunakan dalam laporan ini bersifat diakronik, melacak perkembangan historis, dan sinkronik, membandingkan status dan standardisasi kontemporer di Indonesia, Malaysia, dan Brunei Darussalam.

Terdapat empat penamaan resmi untuk bahasa yang secara linguistik memiliki akar yang sama: Bahasa Indonesia, Bahasa Malaysia, Bahasa Melayu (Brunei dan Singapura), dan, ironisnya, Bahasa Melayu sebagai bahasa regional di Indonesia. Perbedaan nomenklatur ini adalah deklarasi kedaulatan politik. Penggunaan nama “Bahasa Indonesia” (BI) yang diadopsi oleh nasionalis pada tahun 1928  adalah strategi krusial untuk memisahkan identitas linguistik dari identitas etnis Melayu. Di Indonesia, BI dirancang sebagai identitas nasional yang netral di tengah keragaman etnis yang ekstrem, berfungsi sebagai lingua franca pemersatu. Sebaliknya, di Malaysia, Bahasa Malaysia (atau Bahasa Melayu) dipahami sebagai bahasa kebangsaan yang erat kaitannya dengan identitas etnis mayoritas, yang menunjukkan perbedaan fundamental dalam persepsi sosiopolitik dan tujuan penggunaan bahasa di kedua negara.

Akar Historis dan Fungsi Vertikal: Dari Bahasa Melayu Kuno ke Bahasa Istana

Melayu Kuno di Bawah Thalassokrasi Srivijaya

Sejarah terdokumentasi Bahasa Melayu dimulai pada era Kedatuan Srivijaya, sebuah imperium thalasokrasi yang berbasis di Sumatra (Palembang) dan mendominasi sebagian besar Asia Maritim Barat dari sekitar abad ke-7 hingga ke-11 Masehi. Eksistensi Melayu Kuno sebagai bahasa yang terstruktur terbukti secara epigrafi. Bukti linguistik tertua yang masih bertahan adalah Prasasti Kedukan Bukit, yang ditemukan pada tahun 1920 di Palembang. Prasasti ini bertarikh 1 Mei 683 Masehi dan ditulis menggunakan aksara Pallava.

Prasasti Kedukan Bukit berisi catatan mengenai ekspedisi dan perluasan wilayah yang dilakukan oleh Dapunta Hyang Sri Jayanasa. Penggunaan Melayu Kuno untuk mendokumentasikan tindakan kenegaraan, alih-alih hanya menggunakan Sanskrit (yang merupakan bahasa agama dan ilmu pengetahuan saat itu), menunjukkan bahwa Melayu sudah berfungsi sebagai bahasa perintah yang vital bagi administrasi kekaisaran maritim. Srivijaya bukan hanya pusat perdagangan yang berkembang pesat, tetapi juga pusat penyebaran agama Buddha. Oleh karena itu, Melayu Kuno (bersama Sanskrit) memiliki fungsi ganda sebagai bahasa administrasi formal dan bahasa agama.

Status Melayu Kuno yang sudah distandardisasi secara regional oleh Srivijaya didukung oleh kekuatan politik (thalassocracy). Ini adalah alasan fundamental mengapa Melayu, alih-alih bahasa-bahasa pedalaman atau bahasa dengan penutur asli yang lebih terkonsentrasi di daratan, menjadi lingua franca regional yang tak tertandingi selama berabad-abad. Statusnya sebagai bahasa perdagangan yang didukung oleh kekuatan militer dan politik memastikan penyebarannya melintasi wilayah kekuasaan Srivijaya, mencakup sebagian besar Sumatra, Semenanjung Melayu (Semenanjung Kra), dan wilayah kepulauan lainnya.

Melayu Klasik: Puncak Kebudayaan dan Fungsi Istana

Setelah surutnya Srivijaya dan munculnya Kesultanan Melayu, terutama Malaka dan kemudian Kesultanan Johor-Riau, Bahasa Melayu memasuki fase Klasik. Dialek Johor-Riau inilah yang diakui sebagai Standard Malay atau Court Malay. Dialek ini menjadi standar literasi, kesusastraan, dan administrasi kerajaan selama periode pra-kolonial.

Masuknya Islam ke Nusantara memberikan dorongan besar pada fungsi Melayu Klasik. Aksara Jawi, yang merupakan modifikasi aksara Arab , menjadi sarana utama literasi dan penyebaran agama. Tulisan Jawi tidak hanya digunakan untuk teks-teks keagamaan dan terjemahan Al-Qur’an, tetapi juga untuk manuskrip klasik dalam berbagai bidang—hukum, sejarah (hikayat), dan dokumen surat-menyurat resmi istana. Di dalam istiadat diraja, tulisan Jawi masih memegang peran sebagai skrip utama untuk surat-surat pelantikan pembesar tradisional. Dengan demikian, Jawi mengabadikan khazanah ilmu dan peradaban Melayu yang kaya.

Penggunaan Melayu Klasik sebagai Bahasa Istana memastikan bahwa bahasa tersebut memiliki tradisi literasi formal yang kuat, yang kelak akan diwarisi oleh standar bahasa nasional modern.

Kronologi Fase Historis Bahasa Melayu

Tabel 1 menyajikan rangkuman kronologis dari evolusi Bahasa Melayu berdasarkan fungsi dan pusat kekuasaan utamanya.

Table 1: Kronologi Fase Historis Bahasa Melayu

Fase Utama Periode (Estimasi) Pusat Pengaruh Kunci Fungsi Utama Bukti Linguistik Kunci
Melayu Kuno Abad ke-7 hingga ke-13 Kedatuan Srivijaya (Palembang) Bahasa Kerajaan, Administrasi Maritim, Penyebaran Agama (Buddhism) Prasasti Kedukan Bukit (683 M), Aksara Pallava
Melayu Klasik Abad ke-14 hingga ke-19 Kesultanan Malaka, Kesultanan Johor-Riau Bahasa Istana, Sastra, Hukum, Agama (Islam) Skrip Jawi, Dialek Riau-Johor (Court Malay)
Melayu Pra-Modern Abad ke-19 hingga 1945 Hindia Belanda dan Malaya Britania Lingua Franca Administrasi Kolonial dan Perdagangan Ejaan Van Ophuijsen/Wilkinson, Aksara Rumi

Bahasa Melayu sebagai Lingua Franca Perdagangan (Jembatan Sosial)

Karakteristik Linguistik dan Penyebaran

Status Bahasa Melayu sebagai lingua franca (bahasa permersatu atau bahasa pengantar) di Nusantara telah berlangsung selama berabad-abad. Hal ini dimungkinkan oleh beberapa karakteristik sosiolinguistik penting. Bahasa Melayu dikenal relatif mudah dipelajari  karena strukturnya yang sederhana jika dibandingkan dengan beberapa bahasa daerah besar di kawasan tersebut (misalnya, bahasa Jawa yang memiliki sistem tingkatan tutur).

Selain kemudahannya, faktor kunci lain adalah netralitas etnisnya. Bahasa Melayu tidak terikat pada suku besar tertentu di Indonesia, menjadikannya pilihan komunikasi yang netral di antara orang-orang yang berlainan bahasanya. Ini sangat kontras dengan bahasa dengan jumlah penutur asli yang jauh lebih besar pada saat itu, seperti bahasa Jawa atau Sunda. Netralitas ini memungkinkan Melayu Pasar untuk menjembatani komunitas perdagangan di seluruh kepulauan.

Peran Kolonial dalam Pelembagaan

Kehadiran kekuatan kolonial, yaitu Belanda di Hindia Belanda (Indonesia) dan Inggris di Malaya, semakin melembagakan status Bahasa Melayu. Penjajah memanfaatkan status Melayu yang sudah mapan sebagai lingua franca untuk memfasilitasi administrasi dan komunikasi sehari-hari.

Di Hindia Belanda, Bahasa Melayu banyak dijadikan bahasa pengantar di berbagai lembaga pendidikan Bumiputera. Meskipun tujuan Belanda adalah efisiensi administrasi dan penyediaan tenaga kerja, keputusan ini secara tidak sengaja memperkuat dan menyebarluaskan Bahasa Melayu, memberinya infrastruktur formal (pendidikan dan cetak) yang tidak dimiliki oleh kebanyakan bahasa daerah lainnya. Akibatnya, pada awal abad ke-20, Bahasa Melayu telah menjadi satu-satunya bahasa yang memiliki jangkauan geografis dan sosial-ekonomi yang luas.

Akselerasi Politik Menuju Bahasa Persatuan

Transisi fungsional yang paling signifikan terjadi ketika Melayu mulai digunakan sebagai alat mobilisasi ideologi. Karakteristik netralitas dan jangkauan luas Melayu membuatnya ideal untuk membangkitkan kesadaran kebangsaan.

Bahasa Melayu secara aktif digunakan sebagai bahasa resmi dalam pertemuan antara organisasi-organisasi kedaerahan pasca-tumbuhnya kesadaran akan pentingnya rasa kebangsaan pada diri pemuda. Dengan demikian, bahasa tersebut berevolusi dari alat perdagangan dan administrasi menjadi alat pemersatu politik.

Keputusan para nasionalis Indonesia dalam Sumpah Pemuda 1928 untuk mengangkat Bahasa Melayu sebagai Bahasa Indonesia merupakan langkah strategis yang cerdas. Meskipun Market Malay (Melayu Pasar) adalah lingua franca yang paling luas, keputusan tersebut merujuk pada ragam formal (Melayu Riau-Johor)—dialek yang dulunya Bahasa Istana. Tindakan ini berhasil mengesahkan bahasa pemersatu dengan dasar linguistik yang memiliki tradisi literasi kuat yang berasal dari era Kesultanan. Dengan demikian, statusnya ditarik dari dialek istana ke domain publik/nasional, mentransformasikannya secara politik dari “Bahasa Istana” menjadi “Bahasa Persatuan.”

Keputusan Politik dan Evolusi Bahasa Nasional

Indonesia: Bahasa Persatuan Melalui Sumpah Pemuda (1928)

Pada Kongres Pemuda II di tahun 1928, Bahasa Melayu secara resmi diangkat menjadi Bahasa Indonesia. Langkah ini secara politis adalah upaya yang cermat, karena pemberian nama baru (Bahasa Indonesia) pada bahasa yang secara genetik adalah Bahasa Melayu berfungsi sebagai alat untuk membantu menyatukan negara yang sangat beragam.

Pemilihan Bahasa Melayu (menjadi Bahasa Indonesia) didasarkan pada empat alasan utama yang telah mengakar dalam sejarah sosial dan politik:

  1. Status Lingua Franca: Bahasa Melayu telah menjadi alat komunikasi yang meluas di Nusantara selama berabad-abad.
  2. Aksesibilitas: Bahasa Melayu dianggap sederhana dan mudah dipelajari.
  3. Netralitas Etnis: Bahasa Melayu tidak mengikatkan diri pada salah satu kelompok etnis mayoritas mana pun (berbeda dengan Jawa).
  4. Dukungan Infrastruktur: Bahasa Melayu telah diajarkan di sekolah-sekolah Bumiputera di bawah administrasi kolonial.

Di Indonesia, bahasa ini secara eksplisit digunakan sebagai lingua franca pemersatu, mengikat ratusan etnis, dan oleh karenanya melampaui ikatan etnis Melayu. Sebaliknya, di wilayah Sumatra bagian selatan dan tengah serta Kalimantan Barat, Bahasa Melayu yang digunakan sehari-hari dianggap sebagai bahasa regional, bukan bahasa nasional. Bahasa Indonesia adalah mesin asimilasi dan persatuan nasional yang ditetapkan secara formal.

Malaysia, Brunei, dan Singapura: Kelanjutan Standar Tradisional

Di wilayah yang dahulu berada di bawah kekuasaan Inggris, Bahasa Melayu terus dikembangkan di bawah nama tradisionalnya, meskipun dengan penyesuaian untuk menegaskan identitas nasional.

Di Malaysia, Bahasa Melayu ditetapkan sebagai bahasa kebangsaan, dan umumnya disebut Bahasa Malaysia. Bahasa ini distandardisasi dari dialek Johor-Riau. Pengaturan dan pembakuan Bahasa Malaysia dilakukan oleh Dewan Bahasa dan Pustaka (DBP). Di Malaysia, Bahasa Melayu dipahami sebagai sebutan yang tepat untuk varietas nasional yang digunakan di negara tersebut, yang secara sosiopolitik erat kaitannya dengan identitas etnis Melayu.

Di Brunei Darussalam, bahasa ini secara resmi disebut Bahasa Melayu dan merupakan bahasa resmi negara. Standar bahasanya diatur oleh Dewan Bahasa dan Pustaka Brunei. Sementara itu, di Singapura, Bahasa Melayu juga merupakan salah satu bahasa resmi.

Perbedaan dalam penamaan dan status di dalam negeri (nasional vs. regional) menunjukkan bagaimana kebijakan bahasa digunakan untuk menyelesaikan masalah keragaman internal yang berbeda di setiap negara. Sementara Bahasa Indonesia dirancang sebagai bahasa yang netral dan non-etnis, Bahasa Malaysia/Melayu cenderung mempertahankan hubungan erat dengan identitas Bumiputera.

Struktur Dasar yang Sama, Divergensi Awal

Meskipun terdapat perbedaan dalam status dan penamaan, semua standar modern—Bahasa Indonesia, Bahasa Malaysia, dan Bahasa Melayu Brunei—berasal dari akar linguistik yang sama, yaitu Bahasa Melayu Johor-Riau. Oleh karena itu, ketiga standar ini umumnya saling dimengerti (mutually intelligible). Divergensi utamanya baru dimulai secara signifikan setelah tahun 1928, didorong oleh kebutuhan nasional yang berbeda dan, yang paling penting, warisan linguistik dari masing-masing kekuatan kolonial.

Dinamika Standardisasi Ortografi Komparatif

Perpecahan politik yang dipaksakan oleh kolonialisme diwujudkan secara fisik dan terlihat jelas dalam sistem ortografi yang berbeda, yang secara sistematis menghambat literasi dan pertukaran dokumen antar-negara.

Warisan Kolonial dalam Ejaan (Pra-1972)

Sistem penulisan Bahasa Melayu secara tradisional menggunakan aksara Jawi , tetapi selama abad ke-20, aksara Latin, atau Rumi, mulai digunakan. Romanisasi ini diwarnai oleh fonetik bahasa penjajah.

Hindia Belanda (Indonesia): Ejaan Van Ophuijsen

Sejarah ejaan Indonesia dimulai dengan penetapan Ejaan Van Ophuijsen pada tahun 1901, yang disusun oleh Charles A. van Ophuijsen, yang berkebangsaan Belanda.15 Sistem ini sangat dipengaruhi oleh konvensi ortografi Belanda 2:

  • Bunyi vokal /u/ ditulis oe (misalnya, tjoetjoe, nama seperti Soekarno dan Soeharto).
  • Bunyi konsonan /c/ (seperti “ch” dalam church) ditulis tj.
  • Bunyi konsonan /j/ (seperti “j” dalam Jakarta) ditulis dj (misalnya, Djojo).
  • Bunyi semi-vokal /y/ ditulis j.

Malaya Britania (Malaysia): Romanisasi Wilkinson

Di Malaya, romanisasi dipengaruhi oleh konvensi Inggris.

  • Bunyi /c/ ditulis ch.
  • Bunyi /j/ dan /y/ ditulis j dan y, mirip dengan bahasa Inggris.

Upaya Konvergensi: Ejaan Yang Disempurnakan (EYD) 1972

Momen penting konvergensi ortografi regional terjadi pada tahun 1972 dengan diperkenalkannya Ejaan Yang Disempurnakan (EYD) di Indonesia dan Ejaan Rumi Bersama (ERB) di Malaysia, yang menyatukan sistem ortografi dasar. Penyatuan ortografi ini adalah fondasi simbolis dan praktis yang mengatasi warisan kolonial.

Perubahan kunci dalam EYD/ERB mencakup penyeragaman konsonan:

  • tj dan ch disatukan menjadi c (misalnya, cucu untuk grandchild).2
  • dj di Indonesia disatukan menjadi j.
  • j (untuk bunyi /y/) di Indonesia disatukan menjadi y.
  • oe (untuk bunyi /u/) disatukan menjadi u.

Meskipun penyeragaman terjadi, ortografi lama masih dipertahankan dalam nama diri di Indonesia (misalnya, Soeharto atau Djojo). Selain itu, divergensi kolonial tetap terlihat bahkan dalam format numerik: Indonesia menggunakan koma desimal (pengaruh Belanda/Eropa), sementara Malaysia menggunakan titik desimal (pengaruh Inggris).

Table 2: Perbandingan Evolusi Ortografi Indonesia dan Malaysia

Fitur Ortografi Indonesia Pra-1972 (Belanda) Malaysia Pra-1972 (Inggris) Ejaan Terpadu 1972 (EYD/ERB) Catatan Significance
Bunyi [u] oe (e.g., Soekarno) u u oe tetap digunakan untuk nama diri yang sudah mapan.
Bunyi [c] /ch/ tj (e.g., tjoetjoe) ch (e.g., chuchu) 2 c (e.g., cucu) Penyatuan konsonan kritis pasca-kolonial.
Bunyi [j] dj (e.g., Djojo) j j Indonesia menghilangkan warisan Belanda dj.
Pemisah Desimal Koma (,) Titik (.) Refleksi sistem perhitungan Eropa vs. Inggris.

Sejarah Ejaan Indonesia Pasca-EYD

Ejaan Bahasa Indonesia terus mengalami penyempurnaan. Setelah Ejaan Van Ophuijsen (1901), Indonesia mengadopsi Ejaan Soewandi. Sejumlah upaya penyempurnaan pasca-kemerdekaan dilakukan, termasuk Ejaan Pembaharuan (1957) dan Ejaan Melindo (1959), tetapi sistem tersebut tidak sempat diresmikan. Akhirnya, EYD diresmikan pada 1972, diikuti oleh Ejaan Bahasa Indonesia (EBI) di masa kontemporer. Sejarah ini menunjukkan upaya berkelanjutan Indonesia untuk menyempurnakan dan menstabilkan standar bahasa di tengah kebutuhan modern.

Divergensi Leksikal, Gramatikal, dan Sosiolinguistik

Meskipun ada konvergensi ortografi pada tahun 1972, divergensi leksikal, yang didorong oleh perbedaan sumber serapan dan lingkungan budaya yang berbeda, terus berkembang, membuat kedua standar bahasa tersebut semakin terpisah di tingkat register formal.

Sumber Kata Serapan yang Berbeda

Divergensi leksikal utama adalah konsekuensi langsung dari latar belakang kolonial yang berbeda.

Bahasa Indonesia (BI): Sebagai bekas koloni Belanda, BI menyerap banyak kata dari bahasa Belanda (e.g., handuk untuk tuala, dari handdoek). Selain itu, karena BI berfungsi sebagai lingua franca di negara dengan keragaman linguistik yang ekstrem, BI meminjam secara ekstensif dari bahasa-bahasa regional domestik, terutama Jawa. Keragaman budaya Indonesia yang lebih besar membuat BI lebih terbuka dan fleksibel dalam mengadopsi kata-kata baru.

Bahasa Malaysia (BM): Sebagai bekas koloni Inggris, BM cenderung menyerap kosakata dari bahasa Inggris (e.g., tuala untuk towel, dari towel). Dalam konteks akademik dan teknis, perbedaan ini menjadi sistemik. BI cenderung mengadopsi bentuk Latin (sering kali disaring melalui Belanda), seperti universitas, kuantitas, dan kualitas. Sementara itu, BM mengadopsi bentuk yang dipengaruhi Inggris, seperti universiti, kuantiti, dan kualiti. Divergensi dalam istilah akademis/teknis menunjukkan bahwa setiap negara berusaha mengembangkan register tinggi bahasa mereka secara independen, menghindari ketergantungan leksikal pada negara tetangga, suatu manifestasi kebijakan linguistik yang disengaja.

Studi Kasus Divergensi Leksikal Kritis dan Homograf

Meskipun Bahasa Indonesia dan Bahasa Melayu pada umumnya saling dimengerti di tingkat percakapan dasar , perbedaan kosa kata dan tata bahasa di tingkat formal menciptakan kesenjangan kognitif. Sebuah tes inteligibilitas pada tahun 1998 menunjukkan bahwa sekitar 30% dari item di surat kabar Indonesia terasa ganjil atau tidak dapat dipahami oleh pelajar linguistik Melayu Malaysia.

Beberapa kata, yang disebut homograf, memiliki makna yang sama sekali berbeda dan terkadang berbahaya secara sosial di negara lain. Kesenjangan semantik ini dapat menimbulkan risiko kesalahpahaman sosiolinguistik yang tinggi, terutama dalam komunikasi non-formal.

Table 3: Divergensi Leksikal Kunci dan Perbedaan Semantik

Konsep (English) Bahasa Indonesia (BI) Bahasa Melayu (BM) Sumber Serapan/Catatan
Towel Handuk Tuala BI: Belanda (handdoek); BM: Inggris (towel)
Car Mobil Kereta BI: Belanda/Regional; BM: Asli/Inggris (carriage)
Because Karena Kerana Divergensi umum
Money Uang Wang Divergensi umum
Afternoon/Evening Sore Petang Divergensi umum
Steel / Fertilizer Baja (Steel) Baja (Fertilizer) Homograf dengan arti dasar berbeda
Need / Genitalia Butuh (Need/Require) Butuh (Vulg. Genitalia) Homograf risiko tinggi

Dampak Sosiolinguistik dan Kesenjangan Kognitif

Divergensi antara kedua standar bahasa ini bersifat sistemik dan meluas, berkontribusi pada cara kedua kelompok penutur memahami dan bereaksi terhadap dunia. Perbedaan ini memiliki implikasi nyata, misalnya dalam industri penyiaran, di mana film sering kali harus menampilkan subtitle Bahasa Indonesia dan Bahasa Melayu secara terpisah untuk menjangkau audiens yang lebih luas.

Perbedaan ini bahkan dapat menjadi katalisator konflik antarbudaya, terutama dalam konteks pendidikan tinggi, di mana perbedaan istilah teknis dapat menyebabkan kesalahpahaman yang signifikan. Semakin formal dan terspesialisasi suatu register (misalnya, bahasa ilmiah, hukum, atau IT), semakin rendah tingkat saling pengertiannya. Hal ini menegaskan bahwa meskipun akarnya tunggal (Melayu Johor-Riau), identitas bahasa nasional modern berfungsi sebagai dua standar yang diatur secara terpisah, yang bertujuan untuk menegaskan otoritas linguistik nasional melalui badan-badan bahasa masing-masing.

Kesimpulan: Jembatan, Kesenjangan, dan Prospek Bahasa Melayu Global

Sintesis Transformasi Fungsi Bahasa Melayu

Perjalanan Bahasa Melayu menunjukkan transisi yang luar biasa, berawal sebagai bahasa komando politik dan agama di sebuah thalasokrasi (Srivijaya, Bahasa Istana), distabilkan oleh Kesultanan Melayu, diperkuat oleh administrasi kolonial (sebagai lingua franca teknis), dan akhirnya diangkat oleh gerakan nasionalisme (sebagai Bahasa Persatuan). Keputusan strategis pada tahun 1928 untuk meresmikan dan menamai ulang Bahasa Melayu sebagai Bahasa Indonesia secara politis mengakhiri dominasi fungsi istana dan perdagangan, dan meluncurkannya ke domain identitas nasional.

Meskipun dibagi secara politik menjadi tiga entitas standar yang diatur (Indonesia, Malaysia, Brunei), dasar linguistik Riau-Johor dan kesepakatan ortografi terpadu tahun 1972 mempertahankan kohesi inti. Namun, divergensi leksikal yang terus-menerus, terutama didorong oleh perbedaan warisan kolonial (Belanda vs. Inggris), telah menciptakan dua standar yang cukup berbeda dalam register formal.

Tantangan Kontemporer dan Prospek Globalisasi

Bahasa Melayu/Indonesia menghadapi tantangan internal dan eksternal di era globalisasi dan digital. Secara internal, terdapat tekanan dari dominasi bahasa global, terutama bahasa Inggris, serta tantangan dalam mempertahankan standar baku di tengah derasnya bahasa gaul dan tekanan dari bahasa daerah yang besar.

Namun, era digital juga membuka peluang baru. Generasi muda di Indonesia melihat teknologi dan media sosial sebagai sarana yang efektif untuk mempopulerkan Bahasa Indonesia di tingkat global, mendukung program internasionalisasi Bahasa Indonesia bagi Penutur Asing (BIPA). Dengan populasi penutur yang mencapai hampir 200 juta jiwa di Indonesia saja, Bahasa Indonesia memiliki potensi besar untuk memperluas pengaruhnya.

Masa depan Bahasa Melayu/Indonesia akan ditandai dengan ketegangan yang unik. Globalisasi memperkenalkan kata serapan baru yang sering kali disaring melalui lensa kolonial yang berbeda (BI melalui adaptasi lokal/Belanda, BM melalui saringan Inggris), sehingga menciptakan divergensi sekunder dalam kosakata modern. Di sisi lain, platform digital dan pertukaran budaya (melalui media, sinetron, dan musik) memfasilitasi konvergensi informal, menyebarkan ragam bahasa tidak baku dan slang antar-negara, yang berpotensi melemahkan standar baku yang diatur secara formal oleh lembaga bahasa nasional.

Divergensi formal yang disengaja, terutama dalam terminologi akademik dan hukum, akan terus dipelihara oleh lembaga-lembaga bahasa (seperti DBP dan Badan Bahasa Indonesia) untuk menegaskan identitas dan kedaulatan linguistik nasional. Oleh karena itu, hubungan antara standar bahasa di kawasan ini diprediksi akan terus berada dalam dinamika antara upaya formal untuk divergensi identitas dan kecenderungan informal menuju konvergensi popular.

 

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

25 − 19 =
Powered by MathCaptcha