Latar Belakang dan Definisi Krisis

Krisis pengelolaan limbah padat perkotaan di Indonesia telah mencapai titik kritis, ditandai dengan fenomena “Gunung Sampah” di pusat kota atau wilayah penyangga. Kondisi ini bukan lagi sekadar masalah kebersihan, tetapi telah bertransformasi menjadi ancaman serius terhadap lingkungan, kesehatan publik, dan stabilitas fiskal daerah. Peningkatan pesat populasi dan konsumsi masyarakat perkotaan terus membebani sistem pengelolaan yang sudah usang dan terpusat. Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) mengindikasikan bahwa secara keseluruhan, 11,3 Juta Ton sampah di Indonesia tidak terkelola dengan baik.

Kerangka Hukum dan Filosofi Dasar Pengelolaan Sampah

Landasan hukum utama pengelolaan sampah di Indonesia adalah Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2008 (UU 18/2008). Regulasi ini menetapkan dua pilar strategis: Pengurangan Sampah (Reduce, Reuse, Recycle/3R) yang dilakukan di hulu (sumber) dan Penanganan Sampah di hilir. Filosofi dasar dari undang-undang ini menekankan bahwa Tempat Pemrosesan Akhir (TPA) harus dipandang sebagai fasilitas pemrosesan akhir, bukan hanya sebagai tempat penampungan sampah permanen (shelter), sebagaimana praktik yang umum terjadi saat ini. Peran serta masyarakat juga ditekankan dalam perumusan kebijakan dan pemberian usul saran kepada pemerintah pusat dan daerah terkait pengelolaan sampah.

Kuantifikasi Timbulan dan Komposisi Sampah Nasional

Data dari Sistem Informasi Pengelolaan Sampah Nasional (SIPSN) tahun 2024 menunjukkan skala masalah yang masif. Total timbulan sampah dari 328 kabupaten/kota se-Indonesia mencapai 34.797.274,68 ton per tahun. Dari jumlah tersebut, volume sampah yang dilaporkan tidak terkelola mencapai 1.123.805,87 ton per tahun.

Analisis komposisi sampah nasional mengungkapkan karakteristik penting yang mendefinisikan krisis di Indonesia. Komposisi sampah didominasi oleh materi organik (sisa makanan dan kayu-ranting), dengan persentase sekitar , jauh lebih tinggi daripada sampah anorganik (). Selain itu, sumber timbulan sampah terbesar berasal dari Rumah Tangga (44,62%) diikuti oleh Pasar (26,36%) , yang secara jelas menegaskan bahwa intervensi paling efektif harus dimulai di tingkat sumber dan komunal.

Tabel I.1. Status dan Kinerja Pengelolaan Sampah Indonesia (328 Kab/Kota)

Indikator Kinerja Utama Satuan Data Kuantitatif
Total Timbulan Sampah Ton/Tahun 34.797.274,68
Sampah Tidak Terkelola Ton/Tahun 1.123.805,87
Proporsi Sampah Organik Persentase
Sumber Timbulan Terbesar Persentase Rumah Tangga (44,62%)
Proporsi TPA Open Dumping (Data KLHK 2015) Persentase

Analisis Kegagalan Sistematis

Kuantitas dan komposisi sampah Indonesia menunjukkan adanya dua masalah struktural yang saling terkait. Pertama, dominasi sampah organik (sekitar 60%) berarti bahwa krisis sampah Indonesia adalah juga krisis iklim yang akut. Sampah organik yang ditimbun di TPA, terutama yang menerapkan sistem open dumping—yang pada tahun 2015 mencakup 90% kabupaten/kota —akan terurai dalam kondisi anaerobik dan menghasilkan gas metana (), gas rumah kaca yang memiliki potensi pemanasan global (GWP) 25 kali lebih kuat daripada . Oleh karena itu, strategi pengelolaan sampah yang efektif harus diarahkan secara fundamental untuk menangani porsi organik ini di hulu (melalui komposting atau biokonversi) sebagai strategi mitigasi iklim yang paling cepat dan murah.

Kedua, meskipun UU 18/2008 menekankan pengurangan sampah di hulu , data menunjukkan penanganan (pengumpulan dan pengolahan) hanya mencapai 1,5% dari timbulan, sementara pengurangan sampah (kegiatan 3R di tingkat kota) hanya mencapai 0,1%. Kontras antara mandat regulasi dan kinerja implementasi ini mengindikasikan kegagalan masif pada tingkat operasional hulu. Timbulan sampah terbesar dari rumah tangga (44,62%)  semakin memperkuat argumen bahwa kapasitas kelembagaan pemerintah daerah (Pemda) dalam memberdayakan Tempat Pengolahan Sampah terpadu 3R (TPS 3R) dan Bank Sampah masih sangat lemah, suatu kondisi yang disoroti dalam penanganan sampah di DIY yang terkesan lamban dan kurang tanggap.

Anatomi Krisis TPA: Dari Tempat Pembuangan ke Gunung Sampah

Status Darurat dan Kelebihan Kapasitas (Overcapacity) TPA

TPA di Indonesia saat ini berada dalam situasi darurat, di mana banyak fasilitas telah mencapai titik jenuh (overload) dan menghasilkan “Gunung Sampah” yang menimbulkan risiko bencana. Beberapa laporan bahkan menyebutkan kondisi overcapacity di sejumlah TPA mencapai angka hingga . TPA yang dioperasikan dengan sistem open dumping atau controlled landfill yang tidak memadai menjadi episentrum krisis lingkungan dan kebencanaan.

Fenomena Open Dumping dan Risiko Bencana

Risiko yang ditimbulkan oleh penumpukan sampah yang tidak stabil sangat tinggi, menyebabkan bencana berulang:

  1. Longsor Sampah: TPA yang tidak stabil secara geoteknik berulang kali mengalami longsor. Kasus-kasus sebelumnya mencakup TPA Galuga, Panga, dan Sanggrahan. Yang terbaru dan signifikan adalah Longsor TPA Cipeucang pada Mei 2020 yang mengakibatkan pencemaran di Sungai Cisadane.
  2. Kebakaran TPA: Kasus Kebakaran TPA Sarimukti (2023) di Kabupaten Bandung Barat adalah penanda darurat sampah di wilayah Bandung Raya. Kebakaran ini dipicu oleh gabungan faktor. Pertama, kondisi cuaca ekstrem (El Niño) yang menyebabkan suhu tinggi dan material kering. Kedua, penumpukan gas metana, yang sangat mudah tersulut akibat dekomposisi sampah organik. Ketiga, aktivitas manusia, seperti puntung rokok yang dibuang oleh pemulung di areal TPA. Dampak langsung dari kebakaran ini adalah puluhan warga di sekitar TPA Sarimukti mengalami Infeksi Saluran Pernapasan Akut (ISPA).

Studi Kasus Krisis TPA Regional

Beberapa TPA di wilayah padat penduduk menunjukkan tingkat tekanan operasional yang sangat tinggi:

  • TPA Sarimukti (Bandung Raya): TPA ini diprediksi tidak lagi mampu menampung sampah pada Maret 2025. Untuk memperpanjang usianya, Pemerintah Provinsi memberlakukan pengetatan ketat, termasuk pengurangan ritase truk pengirim sampah dan inisiatif zero food waste. Perluasan area, seperti pengoperasian Zona 5, hanya memberikan solusi temporer.
  • TPST Bantar Gebang (DKI Jakarta): Fasilitas ini menerima volume sampah yang luar biasa besar, yaitu 6.000–7.500 ton sampah per hari dari warga DKI Jakarta. Meskipun menjadi lokasi uji coba teknologi pengolahan (seperti pilot proyek Refuse Derived Fuel/RDF) , volume masukan yang konsisten dan krisis serupa di TPA penyangga (Cipayung dan Cipeucang) menegaskan perlunya solusi regional yang terintegrasi.

Krisis Emisi dan Kapasitas Pemda

Krisis TPA mengandung ancaman iklim yang tersembunyi. Riset menunjukkan bahwa risiko emisi metana tidak hanya berasal dari sampah segar, tetapi juga dari sampah warisan (legacy waste) yang tertimbun. Misalnya, di zona tidak aktif TPST Bantar Gebang, tingkat emisi metana tetap tinggi (1,5368). Dengan perkiraan bahwa puncak produksi gas metana dari TPA Indonesia akan terjadi pada tahun 2034 , tindakan mitigasi seperti penutupan dan penangkapan gas (Landfill Gas recovery) di TPA warisan menjadi sangat mendesak.

Lebih jauh, krisis TPA mencerminkan krisis implementasi kebijakan di tingkat daerah. Kasus penutupan TPA Piyungan di Yogyakarta, yang memaksa tiga kabupaten/kota menghadapi penumpukan sampah, menunjukkan bahwa penanganan sampah di tingkat provinsi seringkali terkesan lamban dan kurang tanggap, bahkan harus menunggu dukungan atau anggaran dari pemerintah pusat. Kegagalan ini diperburuk oleh ketidakmampuan pemerintah daerah dalam mengoptimalkan pemberdayaan TPS 3R dan melibatkan partisipasi aktif masyarakat dalam pengolahan sampah dari sumbernya. Kegagalan operasional ini secara langsung terkait dengan krisis desentralisasi, di mana Pemda kekurangan kapasitas fiskal, teknis, dan kelembagaan untuk bertransisi dari sistem kumpul-angkut-buang ke sistem pengolahan terpadu yang modern.

Dampak Multidimensi dari Pengelolaan yang Gagal

Dampak Lingkungan: Pencemaran Lindi (Leachate) dan Air Tanah

Pengelolaan TPA yang buruk, terutama TPA yang tidak dilengkapi dengan pelapis dasar (liner) yang memadai—seperti yang sering terjadi pada praktik open dumping —menghasilkan air lindi (leachate) yang menjadi kontaminan utama. Lindi ini merembes ke dalam tanah, mencemari air tanah di sekitarnya.

Penelitian menunjukkan bahwa parameter kualitas air lindi secara signifikan melampaui standar baku mutu. Misalnya, nilai Total Suspended Solid (TSS) air lindi dapat mencapai 130 ppm. Konsentrasi Chemical Oxygen Demand (COD) dalam lindi juga ditemukan tinggi, mencapai 782 mg/L.

Kontaminasi ini memiliki dampak langsung pada air tanah yang digunakan oleh masyarakat sekitar. Kadar zat organik dan COD dalam air sumur warga di sekitar TPA (contohnya TPA Supit Urang, Malang) secara konsisten melebihi standar baku mutu air tanah. Pencemaran ini adalah bukti nyata dari kegagalan TPA dalam menerapkan teknologi sanitasi minimum dan menegaskan bahwa upaya pemulihan air tanah di masa depan akan memerlukan biaya yang jauh lebih besar.

Dampak Kesehatan dan Sosial

Penumpukan sampah yang tidak tertangani menimbulkan risiko kesehatan yang serius bagi masyarakat, terutama mereka yang tinggal di sekitar lokasi pembuangan.

  • Penyakit Vektor: Tumpukan sampah menjadi tempat berkembang biak bagi lalat, tikus, dan kecoa, yang berfungsi sebagai vektor penyakit infeksi. Penyakit yang ditularkan meliputi diare, tifus, leptospirosis, dan demam berdarah.
  • Gangguan Pernapasan: Gas beracun yang dihasilkan oleh dekomposisi sampah, ditambah asap yang berasal dari kebakaran TPA (seperti di Sarimukti), dapat menyebabkan iritasi saluran pernapasan, asma, dan bronkitis kronis pada penduduk.

Secara sosial, warga yang tinggal di dekat TPA atau bekerja sebagai pemulung seringkali menghadapi stigma negatif dari masyarakat luas, meskipun mereka memiliki peran krusial dalam rantai daur ulang informal. Hal ini memperburuk masalah ketimpangan lingkungan dan sosial.

Tantangan Integrasi Sektor Informal

Sektor informal (pemulung, pengepul, lapak) adalah elemen vital dalam pemulihan sampah bernilai ekonomis (recovery). Di Indonesia, sektor semi-formal, seperti Bank Sampah, telah menunjukkan perkembangan signifikan sejak inisiatif pertamanya, Bank Sampah Gemah Ripah, didirikan pada tahun 2008 di Bantul.

Meskipun potensial, sektor ini belum dioptimalkan oleh pemerintah kota. Pengelolaan sampah di banyak daerah masih bersifat parsial, dan sektor informal sering diabaikan dalam desain sistem formal. Integrasi yang efektif memerlukan lebih dari sekadar pengakuan; dibutuhkan dukungan kebijakan, kelembagaan, dan teknis operasional, termasuk penyediaan sarana prasarana standar (timbangan, buku induk).

Kegagalan untuk mengintegrasikan sektor informal secara maksimal berimplikasi pada kebijakan teknologi hilir. Jika pemerintah daerah beralih ke teknologi pembakaran skala besar seperti PLTSa—yang menuntut pasokan sampah mentah tanpa pemilahan—hal ini akan mengurangi ketersediaan material daur ulang (anorganik), yang merupakan sumber penghidupan sektor informal. Kebijakan hilir yang tidak terintegrasi berisiko menciptakan konflik sosial dan menghilangkan lapangan pekerjaan bagi ratusan pemulung , sekaligus melemahkan inisiatif ekonomi sirkular yang sudah ada.

Evaluasi Regulasi dan Pilihan Teknologi Hilir Skala Besar

Ambisi Perpres 109 Tahun 2025: Transformasi Melalui PSEL

Pemerintah pusat telah menunjukkan komitmen terhadap percepatan penanganan sampah melalui penerbitan Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 109 Tahun 2025. Perpres ini menandai transformasi dengan memfokuskan pada Proyek Strategis Nasional (PSN) Pembangkit Listrik Tenaga Sampah (PLTSa), yang ditargetkan di 12 kota. Regulasi ini menawarkan insentif investasi yang menarik, salah satunya adalah skema tipping fee dan harga jual listrik hasil PSEL ke PLN hingga USD 0,2 per kWh.

Kontroversi PLTSa: Solusi atau Ancaman Palsu?

Dorongan masif terhadap PLTSa sebagai solusi hilir skala besar menghadapi kritik keras. Organisasi lingkungan seperti WALHI menyebut proyek ini sebagai “solusi palsu dan berbahaya”.

Risiko Kesehatan dan Lingkungan

Teknologi pembakaran insinerasi dalam PLTSa menimbulkan risiko kesehatan publik yang tinggi. Proses tersebut berpotensi menghasilkan emisi berbahaya seperti dioksin dan furan, dua senyawa kimia yang sangat beracun dan dapat mencemari udara, tanah, dan air. Paparan jangka panjang terhadap senyawa ini dapat memicu penyakit serius, termasuk kanker dan gangguan sistem imun.

Konsekuensi Ekonomi dan Kebijakan

Investasi PLTSa juga membawa konsekuensi fiskal dan tata kelola yang berat:

  1. Beban Anggaran Daerah: PLTSa memerlukan komitmen politik dan anggaran jangka panjang, minimal 20 tahun, untuk menjamin pengembalian investasi. Hal ini menuntut peningkatan anggaran pengelolaan sampah daerah 2-3 kali lipat (ideal 1–1,5% dari APBD) , yang sangat berpotensi membebani kemampuan fiskal daerah.
  2. Potensi KKN: Investasi triliunan rupiah dalam proyek PLTSa yang sudah dibangun (misalnya di Surakarta dan Surabaya) berpotensi menjadi “ladang KKN” (Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme), mendorong Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) untuk melakukan kajian.
  3. Disinsentif 3R: Fokus anggaran dan kebijakan jangka panjang pada PLTSa cenderung menyingkirkan skema pengelolaan organik, ekonomi sirkular, dan 3R dari prioritas utama. Hal ini terjadi karena PLTSa membutuhkan pasokan sampah mentah yang stabil dan masif untuk kelangsungan kontrak tipping fee dan produksi listrik. Dorongan energi melalui Perpres 109/2025 berisiko mengubah paradigma Pemda dari mengurangi sampah menjadi memproduksi sampah.

Alternatif Pengolahan Hilir yang Lebih Fleksibel: RDF

Teknologi Refuse Derived Fuel (RDF) menawarkan alternatif pengolahan hilir yang lebih sesuai dengan karakteristik sampah Indonesia yang didominasi materi organik dan memiliki kelembaban tinggi. RDF mengubah sampah residu menjadi bahan bakar alternatif yang dapat digunakan untuk co-firing di industri, seperti pabrik semen.

Teknologi ini telah diterapkan sebagai proyek percontohan, termasuk di TPST Bantar Gebang dan Ngipik Gresik. Berbeda dengan PLTSa, RDF dapat mengolah sampah hasil pemilahan awal dan berpotensi lebih netral terhadap program 3R di hulu, karena ia menangani residu (sampah sisa) yang benar-benar tidak dapat didaur ulang.

Risiko Proyek Mangkrak dan Tata Kelola Regional

Kegagalan tata kelola juga terlihat pada proyek infrastruktur TPPAS Regional. Proyek TPPAS Lulut Nambo dan Legoknangka di Jawa Barat telah mangkrak selama satu dekade, melintasi tiga periode Gubernur. DPRD Jawa Barat bahkan mendesak audit proyek ini karena terhambat meskipun telah disuntik investasi publik.

Kisah pilu proyek mangkrak ini menunjukkan bahwa keberhasilan pembangunan infrastruktur hilir skala besar (PSEL/TPPAS) tidak hanya bergantung pada teknologi, tetapi juga pada kesiapan tata kelola regional, kemampuan pembiayaan jangka panjang, dan transparansi (anti-KKN). Salah satu penyebab kemandekan adalah polemik biaya tipping fee; di Bogor Raya, biaya yang diusulkan mencapai Rp225.000 per ton, yang dikhawatirkan membebani APBD daerah yang berpartisipasi. Kegagalan ini memaksa daerah-daerah tersebut terus bergantung pada TPA yang overcapacity seperti Sarimukti, hingga krisis fisik tak terhindarkan.

Jalur Reformasi Menuju Pengelolaan Berkelanjutan: Strategi Hulu-Hilir dan Ekonomi Sirkular

Reformasi pengelolaan sampah Indonesia harus bergeser dari model linear yang lama (kumpul-angkut-buang) menuju paradigma Ekonomi Sirkular yang terintegrasi dari hulu ke hilir.

Penguatan Strategi Hulu (The Circular City Model)

Strategi harus diprioritaskan pada pengurangan timbulan sampah, mencakup kegiatan 3R (reduce, reuse, recycle) di tingkat sumber (rumah tangga, komersial, fasilitas umum).

  • Desentralisasi Pengolahan Organik: Mengingat dominasi 60% sampah organik , setiap kota wajib memprioritaskan desentralisasi pengolahan organik melalui komposting atau biokonversi skala komunal. Ini sejalan dengan kebijakan yang diterapkan di Bandung Raya untuk mengurangi beban TPA (misalnya, program zero food waste di Sarimukti).
  • Peningkatan Kapasitas Sektor Semi-Formal: Kinerja Bank Sampah dan TPS 3R harus dievaluasi secara komprehensif dan ditingkatkan. Sektor semi-formal ini membutuhkan standardisasi teknis operasional dan dukungan kelembagaan agar dapat menyumbang reduksi sampah secara signifikan.

Integrasi Sektor Informal sebagai Kunci Reduksi

Sektor informal adalah elemen krusial untuk pemulihan material daur ulang. Pemerintah daerah harus melegitimasi dan memfasilitasi peran pemulung di TPS dan TPA agar mereka dapat berkontribusi maksimal. Pengembangan integrasi ini harus mencakup aspek kebijakan, kelembagaan, teknis operasional, dan peran serta masyarakat, untuk menciptakan aliran massa sampah yang efisien dan adil.

Perencanaan Strategis Hulu-Hilir dan Kebijakan Sampah Spesifik

Penyusunan Rencana Induk Pengelolaan Sampah (RIPS) yang komprehensif harus didukung oleh data berbasis bukti (evidence based). Strategi harus menghubungkan hulu dan hilir secara sinergis : Hulu fokus pada pemilahan dan pengolahan organik, sementara hilir fokus pada pengolahan residu yang tersisa menggunakan teknologi tepat guna seperti RDF, atau modernisasi Sanitary Landfill.

Selain itu, kompleksitas timbulan sampah perkotaan kini mencakup limbah yang memerlukan penanganan khusus. Untuk kota-kota besar, terutama Jakarta, limbah elektronik (e-waste) muncul sebagai tantangan baru. Pengelolaan sampah harus diperluas untuk mencakup pengelolaan sampah spesifik (seperti yang diatur PP 27/2020). Jakarta, misalnya, perlu menyusun regulasi yang lebih jelas dan tegas mengenai mekanisme pengumpulan, daur ulang, dan pembuangan e-waste yang ramah lingkungan.

Tantangan Kelembagaan dan Pembiayaan yang Berkelanjutan

Kesenjangan Pembiayaan Pengelolaan Sampah

Untuk mencapai target nasional 100% penanganan sampah pada tahun 2029 , dibutuhkan investasi yang sangat besar. Namun, kesenjangan biaya pengelolaan sampah masih signifikan. Keberhasilan pengelolaan sampah modern sangat bergantung pada kemampuan Pemda untuk memastikan pembiayaan yang berkelanjutan.

Opsi Pembiayaan dan Tata Kelola:

  1. Pendanaan Inovatif: Diperlukan penerapan sistem retribusi yang progresif serta penerapan dan pengembangan sistem insentif dan disinsentif untuk mendorong pengurangan sampah di sumber.
  2. Kemitraan Pemerintah dan Swasta (KPBU): Meskipun KPBU krusial untuk proyek TPPAS/PSEL, proyek ini rentan terhadap risiko politik, potensi KKN, dan keterlambatan. Kelemahan ini seringkali memaksa proyek mangkrak, karena Pemda enggan menanggung biaya tipping fee yang tinggi (misalnya, Rp225.000 per ton di Bogor).

Keterbatasan Fiskal Daerah sebagai Hambatan Struktural

Krisis TPA dan mangkraknya proyek TPPAS Regional seperti Nambo/Legoknangka menunjukkan bahwa kendala utama bukan hanya pada teknologi, melainkan pada kapasitas keuangan daerah (Kapasitas Fiskal). Pemda seringkali tidak memiliki sumber daya yang cukup untuk menjamin pembayaran tipping fee jangka panjang atau untuk meningkatkan layanan 3R secara signifikan.

Oleh karena itu, solusi tidak dapat hanya mengandalkan pinjaman atau KPBU. Pemerintah Pusat perlu mengembangkan mekanisme Binding Mechanism , seperti transfer dana spesifik atau insentif yang terikat, untuk memastikan Pemda memiliki kemampuan fiskal dan komitmen jangka panjang untuk membayar layanan pengolahan sampah modern. Selain itu, penegakan hukum terhadap pihak yang tidak mematuhi regulasi harus ditegakkan dengan tegas untuk mencegah praktik pembuangan sembarangan yang memperburuk situasi darurat.

Kesimpulan dan Rekomendasi Kebijakan Strategis

Krisis “Gunung Sampah” di perkotaan Indonesia adalah cerminan kegagalan struktural dalam mengimplementasikan UU 18/2008, diperparah oleh keterbatasan fiskal daerah dan kontradiksi kebijakan dalam memilih teknologi hilir. Reformasi pengelolaan sampah harus didasarkan pada Ekonomi Sirkular, yang menempatkan pengurangan sampah di hulu sebagai prioritas utama dan hanya memproses residu di hilir.

Rekomendasi Jangka Pendek (Quick Wins)

  1. Akselerasi Mitigasi Iklim TPA: Segera melakukan penutupan (capping) dan pemasangan sistem penangkapan gas metana (LFG recovery) di TPA-TPA besar yang sudah overcapacity (seperti Bantar Gebang) untuk memitigasi risiko iklim, mengingat puncak emisi metana diprediksi terjadi pada 2034.
  2. Fokus Total pada Organik Hulu: Mengingat 60% sampah didominasi organik , Pemda harus memberlakukan kebijakan zero food waste yang ketat dan secara masif memfasilitasi pengolahan organik (komposting/biokonversi) di tingkat komunitas (TPS 3R).

Rekomendasi Jangka Menengah dan Panjang (Reformasi Struktural)

  1. Reformasi Paradigma Investasi: Kebijakan harus memastikan bahwa pendanaan dan insentif tidak hanya mengalir ke PLTSa yang mahal dan kontroversial (dioksin/furan, disinsentif 3R). Alokasi dana harus dialihkan secara proporsional untuk infrastruktur 3R, Bank Sampah, dan teknologi pengolahan residu yang lebih fleksibel dan sesuai karakteristik sampah nasional, seperti RDF.
  2. Penguatan Kelembagaan dan Audit Fiskal: Pemerintah Pusat harus menjamin kapasitas fiskal Pemda untuk membayar layanan pengolahan sampah modern melalui skema Binding Mechanism. Selain itu, audit total dan penegakan akuntabilitas harus dilakukan terhadap proyek infrastruktur strategis yang mangkrak (Nambo, Legoknangka) untuk memperbaiki tata kelola KPBU di masa depan.
  3. Integrasi Sektor Informal dan Reformasi Data: Legitimasi sektor informal harus dijamin untuk memaksimalkan reduksi sampah anorganik. Sistem pengukuran kinerja (SIPSN) perlu disempurnakan untuk mengukur dan mengevaluasi kinerja 3R dan sektor informal secara komprehensif, sehingga kebijakan dapat didasarkan pada data reduksi yang terukur.
  4. Regulasi Sampah Spesifik: Segera susun dan tegakkan regulasi yang tegas untuk penanganan limbah spesifik, khususnya e-waste, yang merupakan tantangan baru yang signifikan di wilayah perkotaan.

 

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

8 + 1 =
Powered by MathCaptcha