Latar Belakang dan Urgensi Kajian Kearifan Lokal dalam Krisis Iklim
Kajian terhadap Kearifan Lokal (KL) masyarakat adat di Indonesia menjadi semakin mendesak di tengah krisis lingkungan global dan kegagalan sistem pengelolaan sumber daya alam (SDA) modern yang cenderung eksploitatif. Model pengelolaan yang berbasis pada Kearifan lokal, di mana alam dipandang sebagai bagian integral dari kehidupan, menawarkan pendekatan yang lebih berkelanjutan, sering kali mengarah pada apa yang disebut sebagai regenerative sustainability. Di Indonesia, sebagai negara yang tidak hanya kaya akan keanekaragaman hayati (mega-biodiversity) tetapi juga keanekaragaman budaya (mega-cultural biodiversity), pengakuan dan integrasi Pengetahuan Ekologis Tradisional (PET) masyarakat adat merupakan kunci untuk mencapai tujuan konservasi yang efektif.
Definisi Konseptual: Kearifan Lokal, Pengetahuan Ekologis Tradisional, dan Masyarakat Hukum Adat
Pengetahuan ini berakar dari proses adaptif jangka panjang yang dialami oleh Masyarakat Hukum Adat (MHA). Pengetahuan Ekologis Tradisional (PET) didefinisikan sebagai keyakinan, pengetahuan, dan praktik yang diturunkan dari satu generasi ke generasi berikutnya. PET seringkali lahir dari pengalaman sejarah Masyarakat Hukum Adat ( yang termarjinalisasi, terampas, atau terdiskriminasi dari tanah dan sumber daya mereka. Namun, keyakinan dan tata cara Masyarakat Hukum Adat ( dalam memperlakukan alam sering kali bertentangan dengan nalar pengelolaan modern, menempatkan PET sebagai alternatif strategis dalam membincangkan persoalan ekologis kontemporer.
Masyarakat Hukum Adat (MHA) adalah kelompok yang memiliki perbedaan dalam pengalaman sejarah, karakteristik, organisasi sosial, bahasa, dan budaya spiritual. MHA memiliki hak atas tanah dan sumber daya di wilayah mereka, suatu hak yang diakui baik oleh hukum adat maupun, dalam beberapa kasus, diakui oleh negara.
Kerangka Filosofis: Paradigma Kosmologi Adat vs. Paradigma Eksploitasi Modern
Filosofi pengelolaan alam masyarakat adat berakar pada hubungan erat dengan lingkungan. Nilai-nilai, norma, dan tradisi mereka mencerminkan cara hidup yang selaras dengan alam. Perspektif ini menekankan integrasi harmonis antara sistem alam dan sistem sosial, yang tidak dapat dipisahkan dari eksistensi manusia. Hutan dan lingkungan dianggap sebagai anugerah Tuhan yang bersifat suci dan sakral, dan oleh karena itu harus dijaga keberadaannya.
Kontrasnya, pandangan modern terhadap SDA sering kali didasarkan pada Pasal 33 Ayat (3) UUD 1945, di mana bumi, air, dan kekayaan alam dikuasai oleh Negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Meskipun bertujuan untuk kemakmuran, implementasi pandangan ini sering diterjemahkan menjadi eksploitasi yang berfokus pada kelestarian hasil tahunan (kelestarian hasil hutan) , yang seringkali mengabaikan keseimbangan ekologis jangka panjang.
Pondasi Filosofis dan Mekanisme Regulasi Adat
Prinsip Harmoni Manusia, Alam, dan Spiritualitas
Pengelolaan alam yang dilakukan Masyarakat Hukum Adat ( dibangun di atas kerangka kosmologi yang mengutamakan keseimbangan.
- Konsep Keseimbangan Tri Hita Karana (Bali): Filosofi ini adalah basis operasional sistem pertanian Subak. Tri Hita Karana memanifestasikan hubungan harmonis dalam tiga aspek: Parahyangan (hubungan dengan Tuhan), Pawongan (hubungan antarmanusia), dan Palemahan (hubungan manusia dengan alam dan lingkungan). Praktik Subak adalah contoh nyata bagaimana filosofi ini diterjemahkan menjadi mekanisme teknis yang efisien dan adil dalam distribusi air.
- Pikukuh Karuhun (Baduy): Masyarakat Baduy secara ketat mematuhi prinsip leluhur ini. Pikukuh karuhun melarang secara keras aktivitas yang merusak, seperti pembalakan liar, penggunaan bahan kimia di ladang, dan eksploitasi hutan yang berlebihan. Mereka memposisikan manusia sebagai penjaga, menggunakan sumber daya hanya sesuai kebutuhan, tanpa kelebihan.
Mekanisme Pengendalian Perilaku dan Regulasi Akses
Masyarakat adat menerjemahkan nilai-nilai filosofis ini melalui norma-norma perilaku yang ketat. Keputusan masyarakat untuk mempertahankan atau tidaknya kearifan lokal dipengaruhi oleh aspek pemanfaatan, pelestarian, pengetahuan masyarakat, dan kebijakan pemerintah.
- Hukum Adat dan Sanksi: Norma adat berfungsi sebagai mekanisme pengendalian sosial dan ekologis. Contohnya adalah Awig-Awig di Desa Demulih, yang mengatur pemanfaatan hutan adat secara berkelanjutan, termasuk larangan menebang pohon sembarangan atau mengambil hasil hutan berlebihan. Kepatuhan terhadap norma adat ini didukung oleh adanya sanksi bagi pelanggar.
- Sistem Pengetahuan Tradisional (PET) dalam Pengambilan Keputusan: Pengetahuan ekologis tradisional sangat penting untuk adaptasi. Petani, misalnya, menggunakan pengamatan tanda-tanda alam dan rasi bintang untuk menentukan waktu yang tepat untuk menanam dan memanen. Sistem seperti Pranata Mangsa memungkinkan adaptasi yang mendalam terhadap pola musim kemarau (ketigo) dan musim penghujan (rendeng), memitigasi risiko kegagalan panen akibat ketidakpastian cuaca.
Kearifan lokal sebagai Sistem Holistik Regeneratif
Kearifan lokal tidak hanya bersifat konservatif, tetapi terbukti menjalankan fungsi regeneratif. Praktik seperti Sasi (larangan sementara) dan penentuan waktu tanam yang ketat berdasarkan tanda alam mencerminkan pemahaman mendalam masyarakat adat mengenai siklus ekologis dan kebutuhan fundamental untuk memberikan “jeda” bagi ekosistem agar pulih dan beregenerasi. Pandangan alam sebagai entitas hidup yang sakral (Palemahan) mendorong prinsip pemanfaatan yang terbatas, yang pada gilirannya memastikan pemulihan sumber daya. Pendekatan ini menghasilkan keberlanjutan jangka panjang, sebuah kontras yang mencolok dengan model ekonomi modern yang seringkali hanya berorientasi pada pencapaian hasil hutan tahunan (kelestarian hasil).
Tipologi Kearifan Lokal dalam Studi Kasus Lintas Ekosistem
Pengelolaan Hutan dan Sumber Daya Darat (Terestrial)
Hak ulayat Masyarakat Hukum Adat ( mencakup cakupan yang luas, meliputi tanah daratan, perairan (kali, danau), tumbuh-tumbuhan liar (pohon buah-buahan, kayu), dan binatang liar. Wewenang Masyarakat Hukum Adat ( atas hak ulayat ini mencakup pengaturan penggunaan, persediaan, dan pemeliharaan tanah. Konservasi hutan adat diwujudkan melalui ritual dan aturan tegas. Misalnya, masyarakat Dayak dan Badui Dalam memiliki ritual khusus sebelum menebang pohon besar untuk keperluan rumah tangga, memastikan bahwa penebangan bermanfaat dan tidak menimbulkan dampak buruk di kemudian hari.
Dalam konteks adaptasi dan mitigasi perubahan iklim, Kearifan Lokal memainkan peran penting. Sistem agroforestri yang diterapkan di beberapa daerah di Indonesia merupakan bentuk kearifan lokal yang esensial dalam upaya mitigasi iklim. Selain itu, pengetahuan tradisional dalam menentukan waktu tanam, yang melibatkan pengamatan mendalam terhadap kondisi lingkungan dan penggunaan kalender tradisional, membantu petani menyesuaikan diri terhadap perubahan pola cuaca yang kian tidak menentu.
Pengelolaan Sumber Daya Air dan Pertanian
Sistem Subak di Bali (The UNESCO World Heritage Site)
Subak adalah sistem irigasi sawah tradisional di Bali yang diakui UNESCO sebagai Warisan Budaya Dunia. Komponen Subak meliputi lanskap sawah yang terasering, yang terhubung melalui sistem kanal, terowongan, dan bendungan. Pura-pura berbagai ukuran ditempatkan sebagai simbol pentingnya sumber air atau perjalanan air melalui lahan Subak.
Secara praktik, Subak memastikan distribusi air yang adil dan efisien, berlandaskan filosofi Tri Hita Karana. Air diposisikan sebagai sumber kehidupan yang harus dibagikan secara merata, bukan hanya untuk keuntungan individual. Kerjasama antarpetani dalam komunitas Subak memperkuat ikatan sosial sambil menjaga keseimbangan alam.
Pengelolaan Sumber Daya Pesisir dan Laut (Akuatik)
- Sistem Hukum Adat Sasi (Maluku): Hukum adat Sasi diterapkan di berbagai wilayah, khususnya Maluku, dan berakar pada konsep “larangan” atau “pembatasan”. Sasi mengatur pengelolaan dan konservasi sumber daya alam dengan tujuan utama memungkinkan sumber daya (baik laut maupun darat) pulih kembali, sehingga dapat digunakan secara berkelanjutan di masa depan.
Analisis menunjukkan bahwa keberhasilan Sasi bergantung pada adaptasinya terhadap lingkungan eksternal. Perbandingan antara Sasi Laut Noloth dan Sasi Laut Haruku menunjukkan dinamika yang berbeda. Sasi Noloth cenderung mengalami stagnasi, kurang mendapat perhatian pemerintah daerah, dan lambat beradaptasi. Sementara itu, Sasi Laut Haruku berjalan dengan baik, mengembangkan target perlindungan pada spesies lain seperti penyu dan burung maleo, serta aktif membangun jaringan dengan pihak luar seperti LSM, perguruan tinggi, dan lembaga donor, menunjukkan adaptasi yang efektif terhadap nilai-nilai konservasi modern.
Komersialisasi dan Adaptasi Kearifan lokal Akuatik Meskipun Sasi berakar kuat pada nilai-nilai budaya dan kearifan lokal, terdapat kecenderungan kuat bahwa praktik ini kini berorientasi ekonomi atau komersialisasi produk perikanan. Mekanisme pemanfaatan sumber daya saat masa buka sasi (masa panen) sering melibatkan lelang kepada pihak luar maupun masyarakat. Pergeseran orientasi ini memunculkan kekhawatiran: upaya konservasi sumber daya dalam kerangka pemberdayaan cenderung mengesampingkan aspek sistem nafkah masyarakat lokal, bahkan berpotensi meminggirkan masyarakat lokal terhadap akses ke sumber daya saat masa tutup. Padahal, keberlanjutan tradisi dan efektivitas konservasi sangat bergantung pada dukungan dan partisipasi penuh masyarakat lokal.
- Lembaga Adat Panglima Laot (Aceh): Lembaga adat ini telah eksis sejak masa Kesultanan Iskandar Muda (abad ke-14) dan memiliki hukum adat yang bertujuan memelihara lingkungan pesisir dan laut. Panglima Laot memainkan peran vital dalam mitigasi non-struktural kerusakan pesisir dan laut, terutama yang disebabkan oleh cara penangkapan ikan yang tidak ramah lingkungan (misalnya, penggunaan jangkar yang merusak terumbu karang di lokasi wisata seperti Gapang, Sabang). Norma adat yang ditegakkan lembaga ini ditaati oleh masyarakat nelayan, disertai sanksi bagi pelanggar, menjadikannya alat yang efektif untuk pengelolaan sumber daya pesisir berkelanjutan.
- Konservasi Terumbu Karang Berbasis Komunitas: Di Desa Pemuteran, Buleleng, komitmen masyarakat terhadap pelestarian terumbu karang telah diakui secara internasional. Keberhasilan konservasi, termasuk pengembangan taman koral dengan teknologi biorock, didukung oleh pembentukan Pecalang Segara—kelompok pengamanan swakarsa yang bertugas mengamankan laut adat secara sukarela. Di Parak, Selayar, upaya perlindungan terumbu karang dilakukan melalui inisiasi Daerah Perlindungan Laut (DPL) dan pembentukan peraturan desa, diikuti dengan pengadaan fasilitas patroli untuk mencegah aksi pengeboman dan pembiusan ikan. Model ini menunjukkan efektivitas kolaborasi antara pemerintah desa dan komunitas dalam co-management kawasan laut.
Status Hukum, Kontestasi, dan Konflik Wilayah Adat
Pengakuan Hukum Pasca-Putusan Mahkamah Konstitusi No. 35/2012
Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 35/PUU-X/2012 mengenai uji materi Undang-Undang Kehutanan Nomor 41 Tahun 1999 merupakan tonggak sejarah krusial. Putusan tersebut secara hukum mengubah kategorisasi Hutan Adat (HA) menjadi bukan lagi bagian dari Hutan Negara. Hal ini menegaskan hak konstitusional MHA atas wilayah tradisional mereka, khususnya hutan, meskipun implementasi putusan ini membutuhkan tindak lanjut dari pemerintah eksekutif (non-self-implementing).
- Perkembangan Pengakuan Hutan Adat (HA): Meskipun MK 35/2012 dikeluarkan pada tahun 2013, proses penetapan formal Hutan Adat oleh pemerintah berjalan lambat. Per Juli 2024, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) baru menetapkan 136 unit Hutan Adat seluas 265.250 Ha. Total akumulasi hutan adat yang ditetapkan KLHK hingga Maret 2025 adalah 332.505 hektar.
- Gap Pengakuan Wilayah Adat: Data Badan Registrasi Wilayah Adat (BRWA) menunjukkan jurang yang signifikan antara klaim MHA dan pengakuan formal. Hingga Maret 2025, total wilayah adat yang teregistrasi mencapai 32,3 juta hektar (dari 1.583 peta). Namun, wilayah yang secara formal diakui oleh Pemerintah Daerah baru mencapai 5,4 juta hektar, atau sekitar 16,7 persen dari total registrasi.
Tantangan Integrasi Data dan Birokrasi
Kerumitan dalam proses pengakuan hak Masyarakat Hukum Adat (, termasuk tanah, hutan, dan wilayah pesisir, perlu segera diatasi. Salah satu hambatan terbesar adalah integrasi data. Meskipun 5,4 juta hektar wilayah adat telah diakui oleh Pemda, peta-peta ini belum terintegrasi secara resmi dalam Kebijakan Satu Peta (One Map Policy) Nasional. Persoalan utamanya adalah belum adanya Walidata IGT Peta Wilayah Adat (data wali informasi geospasial) yang menyebabkan peta wilayah adat ini belum dapat dirujuk secara resmi oleh pemerintah dan pihak terkait.
Konflik Agraria: Tanah Ulayat dalam Himpitan Investasi
Persoalan tanah ulayat selalu menjadi perhatian karena nilainya yang sangat penting dan berharga bagi kehidupan Masyarakat Hukum Adat (. Konflik pertanahan umumnya disebabkan oleh faktor hukum (perbedaan persepsi nilai atau kepentingan mengenai status ulayat) dan faktor non-hukum (seperti terbatasnya akses terhadap tanah yang menyebabkan kemiskinan).
Konflik agraria seringkali memuncak ketika kebutuhan lahan untuk kepentingan investasi, seperti perkebunan, pertanian, dan perhotelan, menyasar tanah-tanah ulayat yang telah lama dikuasai MHA. Konflik antara Masyarakat Hukum Adat ( dan perusahaan Hutan Tanaman Industri (HTI) adalah contoh konflik yang terus berlanjut di berbagai daerah. Selain itu, perjuangan Masyarakat Hukum Adat ( sering terhambat oleh minimnya data dan bukti konkret yang akurat (luas, batas, dan peta yang sesuai standar) mengenai keberadaan tanah ulayat mereka sendiri.
Analisis Dampak UU Cipta Kerja (Omnibus Law)
Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja (UUCK), dan Perppu yang mengikutinya, dipandang oleh banyak pihak, termasuk Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN), sebagai ancaman serius dan produk politik hukum yang otoriter. Regulasi ini dinilai melemahkan mandat Putusan MK 35/2012 dan berpotensi merampas wilayah adat demi investasi.
- Potensi Kriminalisasi MHA: UUCK merombak klaster UU Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan Hutan (UU P3H). Pasal 92 Ayat (1) mengancam pidana denda bagi siapapun yang melakukan kegiatan perkebunan tanpa Perizinan Berusaha di kawasan hutan. Hal ini sangat mengancam Masyarakat Hukum Adat ( yang secara turun-temurun telah melakukan kegiatan perkebunan subsisten di wilayah adat yang tumpang tindih dengan kawasan hutan negara. Karena kegiatan mereka dilakukan untuk kehidupan sehari-hari dan bukan untuk kepentingan komersial besar, MHA tidak memiliki izin berusaha, membuat mereka rentan dikriminalisasi oleh aparat.
- Pelemahan Perlindungan Hak: UUCK juga dipandang mereduksi pengakuan MHA hanya sebatas melalui peraturan daerah, yang jauh dari jaminan perlindungan hak konstitusional.
Kontradiksi Regulasi (The Legal Paradox)
Terdapat kontradiksi mendasar dalam kerangka hukum nasional: di satu sisi, Putusan MK 35/2012 memberikan kemenangan konstitusional dengan mengeluarkan Hutan Adat dari Hutan Negara; di sisi lain, kebijakan operasional seperti UUCK justru menciptakan mekanisme baru yang represif, khususnya melalui Pasal 92 UU P3H, yang mengancam kegiatan tradisional Masyarakat Hukum Adat (. Politik hukum yang elitis dan otoriter ini secara efektif mengabaikan kekuatan mengikat putusan MK dan memposisikan Masyarakat Hukum Adat ( dalam kerentanan konflik dan kriminalisasi yang lebih besar.
Integrasi dan Rekomendasi Kebijakan
Perbandingan Paradigma Pengelolaan SDA: Adat vs. Negara Modern
Perbedaan antara hukum adat dan hukum modern, terutama dalam hal prinsip dasar, menjadi sumber utama konflik. Hukum adat seringkali berbasis pada nilai-nilai kolektivisme dan spiritualitas, sedangkan hukum modern cenderung didasarkan pada rasionalitas, individualisme, dan komodifikasi.
Table 1: Perbandingan Prinsip Pengelolaan SDA: Adat vs. Negara Modern
Aspek Pengelolaan | Prinsip Kearifan Lokal (Adat) | Prinsip Hukum Negara Modern (Konfliktual) |
Kepemilikan Tanah/SDA | Kolektif, Hak Ulayat, tidak dapat diperjualbelikan mutlak | Rasionalitas, Individualisme (HGU), komodifikasi tanah |
Nilai Lingkungan | Spiritual, Suci, Sakral, integral dengan kebudayaan | Ekonomi, Sumber Daya untuk dieksploitasi (berdasarkan kekuasaan negara) |
Konservasi | Hukum pembatasan (Sasi, Awig-Awig), berbasis partisipasi masyarakat | Zonasi formal (Inti, Pemanfaatan, Khusus) , berpotensi meminggirkan akses lokal |
Integrasi Kearifan lokal dalam Kerangka Konservasi Nasional
Pengelolaan kawasan konservasi modern, seperti Taman Nasional (TN), mulai mengakui pentingnya partisipasi Masyarakat Hukum Adat (, meskipun masih terbatas. Masyarakat adat diizinkan tinggal dan memanfaatkan lahan di zona-zona tertentu, seperti Zona Tradisional (untuk berkebun) atau Zona Khusus (untuk kegiatan ekonomis), namun kepemilikan lahan tetap berada di tangan negara.
Untuk mencapai keberlanjutan, diperlukan adopsi model Co-management (kerja sama antara pemerintah dan masyarakat) dan Integrated Management (pelibatan aktif semua pemangku kepentingan). Konservasi seharusnya diakui sebagai akar budaya Indonesia, dan keberhasilan implementasi program konservasi nasional, seperti Indonesia Biodiversity Strategy and Action Plan (IBSAP), sangat bergantung pada pelibatan aktif masyarakat adat.
Kebutuhan Regulasi Mendesak: Pengesahan RUU Masyarakat Adat
Perjuangan untuk RUU Masyarakat Adat telah berlangsung selama 16 tahun tanpa kepastian hukum yang tuntas. Kondisi ini sangat merugikan MHA, karena tanpa payung hukum yang spesifik, mereka akan terus rentan terhadap konflik agraria dan kriminalisasi akibat regulasi sektoral yang pro-investasi.
Koalisi Kawal RUU Masyarakat Adat terus mendesak DPR RI dan pemerintah untuk segera membahas dan mengesahkan RUU ini pada 2025. Pengakuan hak-hak adat melalui undang-undang dianggap sebagai kunci untuk menciptakan ekonomi yang inklusif dan memulihkan hak-hak Masyarakat Hukum Adat (, sekaligus mendukung penegakan konstitusi.
Rekomendasi Kebijakan Multi-Lapis
- Akselerasi Pengakuan Wilayah Adat: Pemerintah pusat dan daerah harus menciptakan terobosan dan kemudahan birokrasi bagi Masyarakat Hukum Adat ( dalam mendapatkan pengakuan hak atas wilayah adat. Prioritas utama adalah mengintegrasikan peta-peta wilayah adat yang diakui (5,4 juta hektar) ke dalam Kebijakan Satu Peta Nasional dan segera menetapkan Walidata IGT Peta Wilayah Adat agar peta tersebut dapat dirujuk secara resmi.
- Revisi Regulasi Pro-Investasi yang Konfliktual: Perlu dilakukan tinjauan mendalam dan revisi terhadap pasal-pasal dalam UU Cipta Kerja, khususnya Pasal 92 UU P3H, yang berpotensi mengkriminalisasi kegiatan subsisten Masyarakat Hukum Adat ( di kawasan hutan. Langkah ini esensial untuk memastikan bahwa Putusan MK 35/2012 diimplementasikan secara utuh dan tidak dilemahkan oleh undang-undang sektoral yang mengutamakan investasi.
- Penguatan Mekanisme Konservasi Adat: Model adaptif kearifan lokal, seperti yang terjadi pada Sasi Haruku, harus didukung penuh. Pemerintah daerah perlu memberikan perhatian dan dukungan jaringan (dengan NGO dan akademisi) untuk merevitalisasi praktik Kearifan lokal yang cenderung stagnan, guna memastikan keberlanjutan tradisi konservasi.
- Keterkaitan dengan SDGs (Agenda 2030): MHA harus ditempatkan sebagai mitra strategis dalam pencapaian Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (SDGs). Pengetahuan ekologis tradisional mereka, terutama yang berfokus pada manajemen sumber daya alam yang efisien, sangat relevan untuk mencapai Tujuan 12 (Memastikan Pola Konsumsi dan Produksi Berkelanjutan) , serta dalam konteks mitigasi dan adaptasi perubahan iklim.
Lampiran Data Kuantitatif dan Kualitatif
Table 2: Tabel Efektivitas Kearifan Lokal Lintas Ekosistem
Sistem Kearifan Lokal | Ekosistem Fokus | Mekanisme Konservasi Kunci | Prinsip Filosofis Inti | Efektivitas Ekologis |
Subak | Air/Pertanian | Distribusi air komunal, Pura sebagai titik kontrol air | Tri Hita Karana (Keseimbangan Manusia, Tuhan, Alam) | Menjamin keberlanjutan panen, keseimbangan hidrologis, dan keadilan sosial |
Sasi (Haruku) | Pesisir/Laut/Darat | Larangan panen sementara (masa tutup) untuk pemulihan (regenarasi) | Kebutuhan untuk memberikan jeda bagi alam untuk pulih | Efektif dalam melestarikan spesies (Lompa) dan adaptif terhadap konservasi modern (perlindungan penyu) |
Panglima Laot | Pesisir/Laut | Penegakan norma penangkapan ikan ramah lingkungan (non-struktural) | Kepatuhan pada norma adat dan mitigasi kerusakan lingkungan | Mengurangi kerusakan terumbu karang/mangrove akibat metode penangkapan ikan ilegal |
Awig-Awig | Hutan Adat | Larangan penebangan berlebihan, zonasi pemanfaatan hutan | Hubungan spiritual MHA dengan lingkungan sekitar | Pengelolaan hutan adat secara berkelanjutan, menjaga ekosistem lokal |
Tabel Status Pengakuan Wilayah Adat di Indonesia (Per Maret 2025)
Kategori Pengakuan | Sumber Data/Lembaga | Luas / Jumlah Unit | Tantangan Utama |
Total Wilayah Adat Teregistrasi | BRWA | 32,3 Juta Hektar (1.583 peta) | Kurangnya Walidata IGT Peta Wilayah Adat |
Wilayah Adat Diakui Pemda | BRWA | 5,4 Juta Hektar (16,7% dari total registrasi) | Birokrasi pengakuan yang rumit |
Hutan Adat Ditetapkan KLHK (Total Akumulasi) | KLHK/BRWA | 332.505 Hektar | Implementasi lambat pasca-Putusan MK 35/2012 |