Indonesia telah menyatakan komitmennya terhadap mitigasi perubahan iklim dengan target mencapai Net Zero Emission (NZE) pada tahun 2060. Sektor energi memegang peran sentral dalam upaya pengurangan emisi Gas Rumah Kaca (GRK), dengan target pengurangan emisi 29% secara mandiri atau 41% dengan dukungan internasional pada tahun 2030.

Namun, transisi energi nasional ditandai dengan ketidakselarasan antara ambisi jangka panjang dan kebijakan jangka pendek. Target bauran energi baru terbarukan (EBT) sebesar 23% dalam bauran energi primer nasional, yang semula diyakini dapat tercapai pada tahun 2025, telah direvisi dan ditunda pencapaiannya hingga tahun 2030. Penyesuaian ini bahkan lebih signifikan dalam Rancangan Peraturan Pemerintah (RPP) tentang Kebijakan Energi Nasional (KEN), di mana target bauran EBT untuk tahun 2025 diturunkan secara substansial menjadi kisaran 17–20 persen.

Penurunan dan penundaan target ini dilakukan untuk menyesuaikan dengan capaian sebelumnya yang berada di bawah ekspektasi, serta untuk mengakomodasi rencana pemerintah yang memprioritaskan pertumbuhan ekonomi hingga 8 persen pada 2028–2029. Konsekuensi dari penyesuaian ini adalah mundurnya proyeksi puncak emisi CO₂ sektor energi, yang semula ditargetkan pada 2030, kini bergeser menjadi 2035. Keputusan untuk melonggarkan target jangka pendek melalui RPP KEN mengirimkan sinyal kepada pasar bahwa percepatan transisi energi mungkin tidak lagi menjadi prioritas utama jangka pendek. Ini berpotensi meningkatkan risiko ketidakpastian regulasi, yang pada gilirannya menghambat investasi swasta skala besar yang membutuhkan kepastian pipeline proyek dan stabilitas pengembalian modal.

Meskipun demikian, peta jalan transisi energi mencakup inisiatif infrastruktur vital, seperti rencana pengembangan Super Grid pada tahun 2025 untuk mengatasi ketidaksesuaian geografis antara lokasi sumber EBT yang melimpah dan pusat permintaan listrik yang tinggi. Jangka panjang, proporsi EBT diharapkan mencapai 46% pada 2045 , dan pada periode 2051 hingga 2060, tahap akhir pensiun pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) batu bara akan dilaksanakan, dengan pembangkit listrik tenaga Surya, Hidro, dan Angin mendominasi bauran energi.

Just Energy Transition Partnership (JETP): Pilar Pembiayaan dan Kesenjangan Investasi

Just Energy Transition Partnership (JETP) Indonesia menjadi kerangka pendanaan transisi energi terbesar di dunia saat ini, dengan komitmen awal sebesar US10 miliar dari pendanaan publik International Partners Group (IPG) dan US$10 miliar dari pembiayaan swasta Glasgow Financial Alliance for Net Zero (GFANZ).

Untuk mengimplementasikan komitmen tersebut, pemerintah Indonesia telah menyusun Comprehensive Investment and Policy Plan (CIPP), yang dirilis pada November 2023. CIPP berfungsi sebagai cetak biru strategis yang menetapkan jalur transisi sektor ketenagalistrikan. Secara spesifik, CIPP menetapkan target yang sangat ambisius untuk jaringan on-grid: puncak emisi sektor kelistrikan dibatasi hingga tidak lebih dari 250 MT CO₂ pada 2030, dan pangsa energi terbarukan dalam pembangkitan listrik harus mencapai 44% pada tahun yang sama. Target NZE untuk sektor kelistrikan ditetapkan pada 2050.

Namun, target ambisius ini menghadapi kesenjangan pendanaan yang besar. Total investasi yang diperlukan untuk mencapai jalur transisi sektor kelistrikan CIPP hingga 2030 mencapai US66.9 miliar dari jumlah tersebut dialokasikan untuk membiayai lebih dari 400 proyek prioritas. Dengan komitmen awal US$20 miliar, JETP hanya menutupi sekitar 20-30% dari total kebutuhan investasi hingga 2030, menyisakan kesenjangan pendanaan sekitar 70%.

Lima Area Fokus Investasi (IFA) dalam CIPP menunjukkan prioritas belanja : IFA 1 berfokus pada pembangunan Transmisi dan Jaringan Listrik (sekitar 14.000 km sirkuit dengan biaya hingga US49.2 miliar), dan IFA 4 pada Percepatan RE Variable (VRE) (40.4 GW, US$25.7 miliar).

Mekanisme pendanaan JETP saat ini menimbulkan tantangan struktural. Pendanaan IPG disalurkan sebagai pinjaman berdaulat (sovereign lending), yang seringkali menuntut adanya jaminan negara (sovereign guarantee) dari Pemerintah Indonesia, dengan jumlah indikatif yang dapat mencapai US77.1 miliar, memperkuat ketergantungan pada entitas negara untuk proyek-proyek skala besar.

Tabel 1: Perbandingan Target Bauran Energi Baru Terbarukan Nasional (EBT)

Indikator Kebijakan RUEN Awal (2025) RPP KEN Revisi (2025) JETP CIPP (2030) Visi Jangka Panjang
Bauran EBT dalam Energi Primer (%) 23% 17% – 20% 23% (Target KEN Revisi) 46% (2045)
Target Puncak Emisi CO₂ Sektor Energi 2030 (Awal) 2035 2030 (Max 250 MT CO₂) NZE 2050 (Sektor Kelistrikan)
Pangsa RE dalam Generasi Listrik (%) N/A N/A 44% 93% (2041-2045)

Profil dan Evaluasi Tiga Pilar Energi Hijau Indonesia

Panas Bumi (Geothermal): Energi Dispatchable di Cincin Api

Panas Bumi merupakan sumber EBT dispatchable yang vital, artinya dapat diandalkan sebagai pengganti basis beban dari PLTU batu bara, menjadikannya krusial untuk keandalan jaringan. Indonesia memiliki potensi Panas Bumi terbesar di dunia, mencapai 29.215 MWe dari 285 lokasi, terdiri dari 13.195 MWe sumber daya dan 16.020 MWe cadangan.

Meskipun memiliki potensi raksasa, pemanfaatannya masih jauh dari optimal. Total kapasitas terpasang EBT mencapai 15.2 GW pada Semester I 2025, dengan penambahan kapasitas Panas Bumi (PLTP) sebesar 105.2 MW dalam periode tersebut (termasuk Lumut Balai, Ijen, dan Gunung Salak). Proyek-proyek besar yang ada meliputi PLTP Sarulla (330 MW), PLTP Salak (377 MW), dan PLTP Ulubelu (220 MW). Selain itu, terdapat rencana strategis seperti Proyek Co-generation PLTP 230 MW  dan pelelangan 10 Wilayah Kerja Panas Bumi (WKP) pada Mei 2025.

Hambatan utama pengembangan Panas Bumi adalah konflik regulasi yang kronis dan bersifat non-teknis. Masalah ini bersumber dari ketidaksesuaian antara Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2003 tentang Panas Bumi dengan Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan. Banyak potensi panas bumi terletak di kawasan hutan konservasi. Konflik hukum ini menyebabkan terhentinya kegiatan eksplorasi dan eksploitasi di sejumlah WKP. Permasalahan non-teknis ini secara langsung menghambat pencapaian target ambisius JETP untuk 16.1 GW Dispatchable RE (IFA 3). Karena kurangnya kepastian regulasi lahan, biaya risiko proyek menjadi tinggi, sehingga harga listrik Panas Bumi menjadi kurang kompetitif dibandingkan energi fosil, yang tidak memasukkan biaya eksternal atau lingkungan.

Surya (Solar PV): Dominasi VRE dan Krisis Regulasi Pasar Terdistribusi

Energi Surya adalah pilar utama dalam kategori Variable Renewable Energy (VRE), yang ditargetkan JETP CIPP untuk mencapai penambahan 40.4 GW kapasitas baru pada 2030. Potensi teknis PLTS di Indonesia sangat besar, terutama untuk PLTS Terapung, dengan perkiraan potensi melebihi 4.300 MWp di 192 bendungan dan waduk, dan potensi nasional diperkirakan mencapai 14 GW. Proyek percontohan utama adalah PLTS Terapung Cirata 192 MWp, yang diresmikan pada November 2023  dan diklaim sebagai yang terbesar di Asia Tenggara. Secara keseluruhan, penambahan kapasitas PLTS pada Semester I 2025 adalah 233.3 MW.

Namun, pengembangan PLTS Atap, sebagai jalur paling cepat dan terdistribusi untuk menyerap VRE, menghadapi krisis regulasi. Revisi Peraturan Menteri ESDM (yang menggantikan Permen No. 26/2021) dinilai membatasi partisipasi publik. Perubahan yang paling signifikan adalah penghapusan skema net-metering, yang berarti listrik surplus yang diekspor ke jaringan PLN tidak lagi dihitung sebagai pengurang tagihan. Selain itu, kapasitas PLTS Atap kini dibatasi berdasarkan kuota sistem jaringan listrik, bukan hanya 100% daya terpasang pelanggan.

Penghapusan ekspor listrik secara drastis memangkas keekonomian PLTS Atap, terutama bagi pelanggan residensial yang umumnya memiliki beban puncak di malam hari. Akibatnya, minat pasar menyusut, dan banyak perusahaan pemasangan PLTS Atap melaporkan kesulitan operasional. Analisis menunjukkan bahwa pengetatan ini adalah respons terhadap kekhawatiran PLN mengenai kondisi overcapacity di beberapa wilayah dan potensi kerugian finansial dari ekspor listrik pengguna. Kebijakan ini, meskipun bertujuan menjaga stabilitas keuangan BUMN, menggeser fokus dari demokratisasi energi dan menghambat penciptaan lapangan kerja hijau di segmen pemasangan skala kecil. Hal ini menjadi ancaman serius terhadap target ambisius 40.4 GW VRE JETP pada 2030.

Angin (Wind): Potensi Terabaikan dan Stagnasi Pembangunan

Energi Angin (Bayu) juga merupakan komponen kunci VRE, dengan potensi teknis nasional mencapai 60.6 GW. Daerah yang paling berpotensi untuk pengembangan adalah Indonesia bagian timur, termasuk Sulawesi Selatan, Maluku, dan Papua. Proyek landmark adalah PLTB Sidrap di Sulawesi Selatan. Pemerintah menargetkan tambahan kapasitas terpasang PLTB sebesar 5 GW hingga 2030 , dengan proyek pipeline seperti PLTB Tanah Laut (total 150 MW).

Meski target dan potensi besar, laporan internasional menunjukkan bahwa pengembangan PLTS dan PLTB di Indonesia mengalami stagnasi. Antara 2019 hingga 2022, kemajuannya dinilai nol persen, dengan proporsi gabungan PLTS dan PLTB hanya sekitar 1% dari total pembangkit nasional. Situasi ini kontras dengan negara-negara tetangga seperti Vietnam, yang menunjukkan pertumbuhan signifikan (13% pada 2023) berkat skema feed-in-tariff yang tinggi dan iklim investasi yang mendukung.

Analisis terhadap stagnasi ini menunjukkan bahwa hambatan utama bukan hanya pendanaan, tetapi juga kendala struktural non-finansial, termasuk masalah kebijakan dan rumitnya proses perizinan. Investor menyatakan bahwa kurangnya proyek yang layak bank (bankable) akibat birokrasi yang kompleks menjadi penghalang utama investasi untuk energi surya dan angin skala utilitas. Dengan target 40.4 GW VRE (IFA 4) yang sangat besar , penyederhanaan birokrasi dan perizinan sama pentingnya dengan mobilisasi modal.

Tabel 2: Potensi Teknis vs. Status Pemanfaatan Tiga Pilar EBT Utama

Sumber EBT Potensi Teknis Maksimal Kapasitas Terpasang (GW) H1 2025 Rasio Pemanfaatan (Estimasi) Peran JETP CIPP (2030)
Panas Bumi (Geothermal) 29.2 GW (MWe) Termasuk 105.2 MW penambahan (H1 2025) Sangat Rendah (< 10%) 16.1 GW Dispatchable RE
Surya (Solar PV) 14 GW (Potensi PLTS Terapung) Termasuk 233.3 MW penambahan (H1 2025) Sangat Rendah 40.4 GW Variable RE (Bersama Angin)
Angin (Wind) 60.6 GW Gabungan PLTS/PLTB hanya 1% dari total (2023) Sangat Rendah 40.4 GW Variable RE (Bersama Surya)

Kendala Struktural, Keekonomian, dan Integrasi Jaringan

Struktur Harga dan Daya Saing Investasi EBT (Perpres 112/2022)

Struktur harga yang stabil dan kompetitif adalah fondasi untuk menarik investasi EBT. Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 112 Tahun 2022 tentang Percepatan Pengembangan EBT memperkenalkan mekanisme Harga Patokan Tertinggi (HPT) yang menggantikan formula Biaya Pokok Penyediaan (BPP) PLN. Kebijakan ini mengatur HPT berdasarkan jenis EBT dan diupayakan berlaku sebagai persetujuan harga.

Secara spesifik untuk PLTP, harga pembelian ditetapkan melalui negosiasi dengan batas atas HPT yang dicantumkan dalam lampiran Perpres, dan berlaku ketentuan eskalasi harga selama jangka waktu perjanjian jual beli listrik (PJBL). Meskipun mekanisme HPT memberikan kepastian harga dasar, tarif yang ditetapkan, terutama untuk PLTP dan PLTA, masih dikritik karena belum cukup menunjang keekonomian proyek.

Keengganan investor seringkali didorong oleh ketidakstabilan regulasi. Perubahan mendadak pada aturan EBT, seperti kasus penghapusan net-metering pada PLTS Atap , secara langsung meningkatkan risiko regulasi. Sektor perbankan dan pendanaan swasta menuntut stabilitas jangka panjang agar biaya investasi tidak melonjak akibat perubahan aturan sewaktu-waktu. Konsekuensi dari risiko regulasi yang tinggi ini adalah tingginya Weighted Average Cost of Capital (WACC) untuk proyek EBT di Indonesia. Hal ini membuat harga listrik EBT tidak mampu bersaing, terutama ketika HPT gagal mengkompensasi risiko eksplorasi yang tinggi (untuk panas bumi) atau biaya integrasi grid/penyimpanan (untuk VRE).

Hambatan Non-Finansial dan Integrasi Grid

Data menunjukkan bahwa mobilisasi modal besar (seperti JETP) tidak serta merta mengatasi semua masalah. Laporan Ernst & Young (EY) menyoroti bahwa hambatan utama pengembangan energi terbarukan skala utilitas adalah kurangnya proyek yang layak (bankable) karena masalah kebijakan dan rumitnya proses perizinan, bukan kekurangan pendanaan itu sendiri.

Selain masalah perizinan (yang mencakup isu tanah dan tumpang tindih regulasi seperti yang terjadi pada panas bumi), infrastruktur dan kesiapan teknis jaringan listrik menjadi tantangan struktural yang signifikan. Keterbatasan infrastruktur transmisi dan kekurangan tenaga kerja ahli EBT menghambat pembangunan dan pengoperasian secara optimal.

Fakta bahwa JETP CIPP mengalokasikan investasi sebesar US$19.7 miliar untuk Transmission Lines and Grid Deployment (IFA 1)  menegaskan bahwa kapasitas grid dan transmisi adalah bottleneck paling kritis dalam transisi energi. Tanpa modernisasi jaringan yang cerdas dan kuat (seperti yang diupayakan melalui proyek Super Grid) , percepatan penambahan 40.4 GW VRE (PLTS dan PLTB) akan menimbulkan risiko ketidakstabilan sistem yang besar. Hal ini memvalidasi kekhawatiran PLN terkait potensi overcapacity di titik-titik jaringan tertentu yang memicu pengetatan regulasi PLTS Atap. Oleh karena itu, investasi transmisi dan teknologi penyimpanan energi (BESS) harus diprioritaskan dan berjalan secara paralel dengan pembangunan pembangkit, bukan menyusul kemudian.

Tabel 3: Analisis Investasi Prioritas JETP CIPP hingga 2030 dan Kesenjangan Pendanaan

Investment Focus Area (IFA) Deskripsi Proyek Utama Kapasitas/Cakupan Target 2030 Estimasi Biaya Investasi Total (USD) Peran Kritikal
IFA 1 Transmisi dan Jaringan Listrik ~14.000 km sirkuit Hingga $19.7 Miliar Mengatasi bottleneck grid untuk integrasi VRE/RE terpusat.
IFA 3 Percepatan RE Dispatchable (PLTP, PLTA) 16.1 GW pembangkit baru Hingga $49.2 Miliar Keandalan sistem dan pengganti basis beban batubara.
IFA 4 Percepatan RE Variable (PLTS, PLTB) 40.4 GW pembangkit baru Hingga $25.7 Miliar Pendorong dekarbonisasi cepat dan pencapaian target 44% RE generasi.
Total Investasi Diperlukan (2030) >400 Proyek Prioritas N/A Minimal $66.9 Miliar N/A
Kesenjangan Pendanaan Total kebutuhan $97.1 Miliar  vs. Komitmen $20 Miliar N/A ~70% Gap Memerlukan mobilisasi besar modal swasta di luar JETP.

Kesimpulan dan Rekomendasi Strategis (2025-2030)

Transisi energi Indonesia menuju Energi Hijau menghadapi dilema struktural yang kompleks: di satu sisi, terdapat komitmen global yang ambisius (JETP CIPP: 44% RE generasi pada 2030, 40.4 GW VRE, 16.1 GW Dispatchable RE) ; di sisi lain, kerangka kebijakan domestik (RPP KEN) menunjukkan pelonggaran target jangka pendek (mundur 23% ke 2030) , menciptakan sinyal kebijakan yang bertentangan.

Untuk mengatasi kesenjangan investasi sebesar 70% dan hambatan struktural di sektor Panas Bumi, Surya, dan Angin, diperlukan intervensi kebijakan yang terpadu dan reformasi regulasi yang agresif dalam periode 2025–2030.

Reformasi Regulasi Mendesak

  1. Akselerasi Payung Hukum: Pemerintah wajib mempercepat penyelesaian Rancangan Undang-Undang tentang Energi Baru dan Energi Terbarukan (RUU EBT) untuk menyediakan kerangka hukum tunggal yang koheren, menggantikan regulasi sektoral yang tumpang tindih.
  2. Kajian Ulang PLTS Atap: Regulasi PLTS Atap (Permen ESDM No. 2/2024 atau penggantinya) harus segera direvisi untuk mengembalikan insentif yang setara dengan net-metering bagi pelanggan residensial. Penghapusan skema ekspor listrik menghambat keekonomian PLTS Atap , yang merupakan jalur penting untuk dekarbonisasi terdistribusi dan penciptaan lapangan kerja hijau. Penetapan kuota harus transparan dan ditinjau secara berkala (misalnya, setiap enam bulan) untuk memastikan responsivitas terhadap keandalan jaringan.
  3. Sinkronisasi Target Makro: Pemerintah perlu memperkuat sinyal politiknya dengan menyelaraskan RPP KEN dan RUPTL dengan target akseleratif yang ditetapkan dalam JETP CIPP, atau setidaknya mengembalikan target bauran EBT 23% pada tahun 2025/2030.

Strategi Akselerasi Sektor Kunci

  1. Membuka Potensi Panas Bumi: Dibutuhkan tindakan legislatif khusus (misalnya Peraturan Presiden) untuk menyelesaikan konflik regulasi antara UU Panas Bumi dan UU Kehutanan. Mekanisme ini harus memungkinkan pemanfaatan Panas Bumi di kawasan hutan konservasi dengan mitigasi lingkungan yang ketat, sebagai prasyarat untuk membuka potensi 29.2 GW dan menarik investasi US$49.2 miliar (IFA 3).
  2. Penguatan Transmisi VRE (IFA 1): Investasi US$19.7 miliar JETP untuk jaringan transmisi harus diprioritaskan secara ketat, termasuk pembangunan Super Grid dan sistem penyimpanan energi baterai (BESS), untuk memastikan integrasi yang stabil dari 40.4 GW VRE yang akan dibangun.
  3. Reformasi Birokrasi dan Perizinan: Pembentukan Satuan Tugas (Satgas) ad-hoc yang memiliki mandat lintas-sektor diperlukan untuk menyederhanakan proses perizinan (termasuk pertanahan, tata ruang, dan kehutanan) bagi proyek PLTS dan PLTB skala utilitas. Ini akan meningkatkan jumlah proyek yang bankable, mengatasi hambatan perizinan yang selama ini dilaporkan oleh investor.

. Mobilisasi Pendanaan dan Mitigasi Risiko

  1. Evaluasi Skema JETP: JETP perlu melakukan evaluasi ulang terhadap kerangka pembiayaan untuk mengurangi ketergantungan pada sovereign guarantee dan pinjaman berdaulat. Harus diciptakan mekanisme yang memfasilitasi akses pendanaan JETP secara langsung kepada Independent Power Producers (IPPs) swasta untuk menutup kesenjangan pendanaan 70%.
  2. Penyesuaian Harga EBT: Perpres 112/2022 perlu dievaluasi secara tahunan. HPT harus disesuaikan untuk secara memadai mencerminkan risiko eksplorasi (khususnya Panas Bumi) dan biaya integrasi jaringan/penyimpanan, sehingga mencapai tingkat keekonomian yang diperlukan untuk menarik modal yang dibutuhkan.
  3. Insentif Risiko: Pemerintah dan perbankan perlu menyediakan skema insentif yang mitigatif, seperti asuransi risiko proyek EBT dan insentif suku bunga murah untuk pembiayaan hijau , untuk melawan persepsi tingginya risiko regulasi di Indonesia.

 

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

− 3 = 2
Powered by MathCaptcha