Konsep Ekowisata Bahari di Indonesia berakar pada definisi internasional yang dipopulerkan oleh The Ecotourism Society pada tahun 1990. Ekowisata didefinisikan sebagai bentuk perjalanan wisata yang diarahkan ke kawasan alami, dengan tujuan ganda yaitu mengkonservasi lingkungan serta melestarikan kehidupan dan kesejahteraan penduduk setempat. Dalam konteks Indonesia sebagai negara kepulauan terbesar di dunia, dengan luas perairan mencapai 3.257.483 km², yang mencakup 75% dari total wilayahnya, ekowisata bahari memegang peranan vital dalam mewujudkan visi maritim berkelanjutan.

Filosofi ekowisata bahari bersandar pada tiga elemen kritis yang harus terintegrasi dalam setiap kegiatan, yaitu atraksi wisata, konservasi lingkungan, dan keterlibatan masyarakat lokal. Tanpa keseimbangan ketiga pilar ini, kegiatan pariwisata akan bergeser dari model ekowisata menjadi wisata massal yang rentan merusak aset alam. Institusi konservasi dan pengelola destinasi dianjurkan untuk mematuhi tujuh prinsip utama ekowisata, yang sangat menekankan pada hubungan harmonis antara wisatawan dan komunitas lokal. Prinsip-prinsip ini mencakup dimensi konservasi, partisipasi masyarakat, edukasi, dan manfaat ekonomi.

Namun, implementasi prinsip-prinsip ini di lapangan seringkali menghadapi kendala substansial. Sebagai contoh, studi evaluasi di kawasan wisata bahari Sanur menunjukkan bahwa meskipun destinasi tersebut berhasil memenuhi tiga prinsip (pemanfaatan sumber daya alam, pemberian manfaat kepada masyarakat, dan kepuasan pengunjung), dua prinsip fundamental—yaitu berbasis alam (nature-based) dan edukasi lingkungan—masih memerlukan peningkatan signifikan. Fenomena ini mengindikasikan adanya pemutusan hubungan yang mengkhawatirkan antara definisi normatif ekowisata dan praktik di lapangan. Apabila destinasi populer seperti Sanur masih belum maksimal dalam aspek edukasi dan pemahaman berbasis alam, hal ini mengisyaratkan bahwa banyak praktik yang dilabeli ‘ekowisata’ sebetulnya adalah mass tourism yang hanya mengenakan label hijau (green-washing). Lemahnya aspek edukasi membatasi kesadaran wisatawan tentang kerentanan ekosistem, sehingga secara langsung mengancam keberlanjutan jangka panjang kawasan akibat perilaku tidak bertanggung jawab.

Kerangka Hukum dan Kontribusi Ekonomi Ekowisata

Pembangunan pariwisata bahari berkelanjutan harus selaras dengan kerangka regulasi Kawasan Konservasi Perairan (KKP) yang ditetapkan oleh pemerintah. Indonesia saat ini memiliki 165 KKP, termasuk Taman Wisata Alam Perairan dan Taman Nasional Laut (TNL), yang secara total mencakup luas 20,87 juta hektar. Kerangka Kawasan Konservasi Perairan ini menjadi landasan untuk pengelolaan sumber daya hayati dan non-hayati maritim.

Salah satu mekanisme penting dalam mendukung keberlanjutan finansial Kawasan Konservasi Perairan adalah Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP). Kegiatan pemanfaatan Kawasan Konservasi Perairan, termasuk Pariwisata Alam Perairan, Penelitian, dan Pendidikan, merupakan objek PNBP yang wajib disetorkan kepada negara. Secara spesifik, objek PNBP dari pariwisata mencakup tiket masuk atau Surat Izin Masuk Kawasan Konservasi (SIMAKSI), biaya penggunaan kapal wisata, peralatan selam (snorkeling/scuba set), kamera, dan peralatan selancar.

Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) mencatat total PNBP di bidang Pengelolaan Kelautan dan Ruang Laut (PKRL) mencapai Rp325 Miliar pada Semester I tahun 2024. Meskipun angka ini signifikan, mayoritas pendapatan tersebut, senilai Rp282 Miliar, berasal dari Persetujuan Kesesuaian Kegiatan Pemanfaatan Ruang Laut (PKKPRL)—yaitu perizinan dasar non-wisata—menunjukkan bahwa PNBP yang berasal dari pariwisata KKP adalah porsi yang lebih kecil.

Kondisi ini menyoroti adanya tantangan struktural terkait mekanisme alokasi dana konservasi. Kritik utama muncul karena meskipun PNBP pariwisata ditarik dari kegiatan di Kawasan Konservasi Perairan, dana tersebut disetorkan ke kas negara sebelum dialokasikan kembali ke unit pengelola Kawasan Konservasi Perairan di tingkat lokal. Kurangnya transparansi dan mekanisme alokasi balik yang cepat menyebabkan potensi defisit pendanaan operasional di lapangan untuk kegiatan vital seperti patroli dan monitoring ekologis. Keberlanjutan ekowisata menuntut agar kontribusi finansial dari wisatawan dapat segera dimanfaatkan untuk menjaga aset konservasi yang mereka nikmati, bukan terhenti dalam birokrasi anggaran pusat.

Kesehatan Ekosistem Bahari Indonesia: Fondasi Ekowisata

Kesehatan ekosistem, khususnya terumbu karang, adalah barometer utama keberhasilan ekowisata bahari, mengingat karang merupakan daya tarik utama dan fondasi keanekaragaman hayati.

Status Kritis Ekosistem Terumbu Karang dan Ancaman Mayor

Terumbu karang Indonesia saat ini menghadapi krisis ekologis yang mendalam. Data historis menunjukkan bahwa hanya sekitar 30% terumbu karang yang berada dalam kondisi baik, 37% dalam kondisi sedang, dan sisanya (33%) rusak parah. Bahkan, beberapa laporan observasi menunjukkan bahwa sekitar 43% terumbu karang di 324 lokasi pengamatan berada di ambang kepunahan.

Degradasi ini dipicu oleh gabungan tekanan antropogenik langsung dan ancaman iklim global. Aktivitas manusia seperti pengambilan karang ilegal, penangkapan ikan dengan bom dan sianida, serta sedimentasi dari aktivitas daratan, merupakan kontributor utama kerusakan. Kerusakan karang akibat pembuangan jangkar, khususnya di situs selam yang ramai, merupakan masalah fisik yang terus-menerus terjadi, mengubah habitat produktif menjadi puing-puing. Selain itu, pembangunan fasilitas pariwisata dan infrastruktur pendukung (jalan, pelabuhan) di tepi pantai seringkali melibatkan pembabatan hutan bakau, yang juga merusak lingkungan pesisir dan memicu erosi serta sedimentasi.

Ancaman global berupa perubahan iklim menambah kerentanan ekosistem. Sensitivitas terumbu karang terhadap suhu air telah dibuktikan dengan dampak pemanasan global, seperti yang terjadi pada tahun 1998, di mana kenaikan suhu sebesar 2-3°C di atas suhu normal memicu pemutihan karang massal, yang diikuti dengan kematian hingga 90–95% karang di perairan Indonesia.

Mitigasi Kerusakan Fisik dan Rehabilitasi Ekosistem

Menyikapi kerusakan fisik akibat aktivitas kapal, pemasangan mooring buoy (pelampung tambat) menjadi solusi manajemen yang esensial. Sistem ini memungkinkan kapal untuk menambatkan diri pada konstruksi permanen di dasar laut alih-alih melempar jangkar, sehingga mengurangi kerusakan berulang pada terumbu karang. Adanya panduan standar pemasangan dan penggunaan pelampung tambat sangat dibutuhkan oleh praktisi pariwisata, khususnya di kawasan Taman Nasional, untuk meminimalkan konflik dan kerusakan.

Sementara itu, upaya rehabilitasi dilakukan melalui program transplantasi karang, seperti yang dilaksanakan di Bali, yang terbukti meningkatkan stok ikan, tangkapan nelayan, dan menambah situs selam. Namun, harus diakui bahwa rehabilitasi karang hanya dapat mengembalikan fungsi ekologis secara parsial dan memerlukan waktu puluhan tahun untuk mengembalikan keanekaragaman hayati ke tingkat semula.

Data kritis mengenai waktu pemulihan karang ini menunjukkan bahwa strategi mitigasi harus berfokus secara dominan pada pencegahan kerusakan yang ketat dan penegakan hukum, bukan mengandalkan program rehabilitasi reaktif yang mahal dan memakan waktu lama. Tingkat kerusakan karang yang mencapai 43%  adalah indikasi kuat bahwa kontrol pariwisata saat ini gagal melindungi aset utama.

Selain terumbu karang, restorasi ekosistem pesisir juga penting. Indonesia telah merehabilitasi 35.103 hektar hutan mangrove antara tahun 2010 hingga 2013. Mangrove memiliki potensi besar sebagai produk ekowisata, seperti susur sungai atau spot foto, yang dapat diintegrasikan dengan upaya konservasi. Contohnya adalah rencana pengembangan ekowisata mangrove di Desa Gisik Cemandi yang memanfaatkan lahan milik TNI Angkatan Laut, menunjukkan potensi kolaborasi multi-pihak.

Tata Kelola Zonasi, Regulasi, dan Manajemen Dampak

Pengelolaan ekowisata bahari yang berkelanjutan sangat bergantung pada kemampuan otoritas dalam mengimplementasikan instrumen tata kelola spasial, yaitu Rencana Zonasi (RZ), dan menetapkan batas Daya Dukung Kawasan (DDK).

Instrumen Pengelolaan Ruang Laut (Zonasi dan Regulasi KKP)

Rencana Zonasi adalah alat fundamental yang menentukan arah pemanfaatan sumber daya, menetapkan struktur ruang, dan membagi kawasan menjadi zona-zona dengan kegiatan yang diperbolehkan, diperbolehkan bersyarat, atau tidak diperbolehkan. KKP umumnya membagi ruang menjadi Zona Inti (perlindungan mutlak), Zona Suaka, dan Zona Pemanfaatan Umum (KPU), di mana pariwisata alam perairan tergolong dalam kegiatan pemanfaatan terbatas (KPU-PT).

Kriteria penetapan Zona Pariwisata Bahari sangat spesifik, antara lain harus memiliki daya tarik alam unik berupa biota dan ekosistem perairan yang indah, serta memiliki luasan yang memadai untuk menjamin kelestarian potensi tersebut saat dimanfaatkan untuk pariwisata. Zona ini berfungsi untuk perlindungan habitat, rekreasi, penelitian, dan pendidikan.

Meskipun kerangka regulasi ini sudah tersedia, efektivitas penegakan di lapangan masih menjadi tantangan. Studi kasus di Taman Nasional Taka Bonerate (TNT), atol terbesar ketiga di dunia, menunjukkan bahwa statusnya sebagai Taman Nasional belum secara inheren memberikan perlindungan hukum yang kuat. Diperlukan payung hukum yang lebih konkrit dan penegakan zonasi yang lebih tegas untuk melindungi ekosistem terumbu karangnya.

Manajemen Limbah dan Penerapan Daya Dukung Kawasan (DDK)

Daya Dukung Kawasan (DDK) adalah prinsip kunci ekowisata, yang didefinisikan sebagai batas maksimum penggunaan untuk mencegah degradasi lingkungan. Daya Dukung Kawasan harus dihitung berdasarkan tiga aspek: ekologis, ekonomi, dan sosial. Daya Dukung Kawasan ekologis dihitung berdasarkan daya tampung fisik kawasan, seringkali menggunakan faktor koreksi yang mempertimbangkan kondisi biofisik seperti curah hujan, kekuatan angin, dan kualitas pantai. Kementerian Kelautan dan Perikanan telah menerbitkan panduan teknis terkait perhitungan Daya Dukung dan Daya Tampung (DDK/DDT) kawasan konservasi.

Tabel Analisis Daya Dukung Kawasan Rekreasi Pantai

Jenis Kegiatan Kriteria Pengunjung (K) Unit Area (LT) Aspek DDK/Sumber Data
Rekreasi Pantai 1 orang setiap 50m panjang pantai 50 m² Daya Dukung Fisik (Yulianda, 2007)
Rekreasi Ruang Terbuka 0.029908 pengunjung per hari 592 Daya Dukung Efektif (Kampung Malaumkarta, 2019)
Rekreasi Hutan 0.029908 pengunjung per hari 616 Daya Dukung Efektif (Kampung Malaumkarta, 2019)

Meskipun pedoman perhitungan Daya Dukung Kawasan teknis tersedia, masalah lingkungan yang masif di destinasi pariwisata menunjukkan bahwa batasan kapasitas ini seringkali diabaikan atau ditegakkan secara lemah. Indonesia menghadapi tantangan berat dengan 3.2 juta ton sampah plastik yang tidak terkelola setiap tahunnya, di mana sekitar 1.29 juta ton berakhir di laut.

Peningkatan limbah ini disebabkan oleh pembangunan fasilitas wisata, aktivitas transportasi, dan volume wisatawan yang melebihi batas kelola kawasan. Adanya regulasi dari Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif terkait standar sanitasi dan pengelolaan sanitasi ramah lingkungan  harus diimplementasikan secara tegas. Kontradiksi antara regulasi teknis Daya Dukung Kawasan yang komprehensif dengan realitas kerusakan ekologis dan polusi parah menegaskan bahwa tantangan utama ekowisata bukanlah kurangnya metodologi, melainkan kegagalan manajemen dalam membatasi volume kunjungan atau investasi yang melebihi daya dukung. Apabila batasan kapasitas ini terus diabaikan, ekowisata hanya akan menjadi “wisata massal merusak” di mana aset lingkungan dikorbankan demi volume kunjungan dan pendapatan jangka pendek.

Konservasi Megafauna dan Wisata Minat Khusus Berkelanjutan

Ekowisata bahari minat khusus, seperti pengamatan megafauna, menawarkan nilai ekonomi tinggi sekaligus tantangan konservasi yang unik.

Potensi dan Konflik dalam Whale Shark Watching

Pengamatan hiu paus (Rhincodon typus), yang diklasifikasikan sebagai spesies Endangered (Terancam Punah) oleh IUCN, merupakan produk ekowisata unggulan di Indonesia Timur, dengan destinasi populer seperti Teluk Cenderawasih, Botubarani (Gorontalo), dan Teluk Saleh (Sumbawa). Keunikan pariwisata hiu paus di Indonesia adalah interaksi di sekitar bagan (platform jaring angkat tradisional), di mana hiu paus tertarik pada umpan (teri dan rebon).

Namun, popularitas ini membawa risiko antropogenik yang signifikan. Penelitian di Bird’s Head Seascape (Papua Barat) menemukan data yang sangat mengkhawatirkan: 62% hiu paus mengalami luka atau bekas luka, yang sebagian besar berasal dari sebab buatan manusia. Ancaman terbesar adalah tabrakan dengan bagan dan perahu wisata pengamatan hiu paus itu sendiri. Cedera yang diakibatkan oleh interaksi pariwisata ini menimbulkan pertanyaan etika mendasar mengenai model pengelolaan yang diterapkan.

Tingkat cedera yang tinggi ini mengindikasikan bahwa batas etika dan keberlanjutan telah dilanggar. Model wisata yang menghasilkan pendapatan namun secara aktif melukai spesies yang terancam punah ini berisiko menjadi “konservasi yang gagal”. Interaksi negatif yang intens dan berulang dapat menyebabkan gangguan perilaku rutin, yang secara jangka panjang, seperti yang diamati pada populasi paus bungkuk, dapat memengaruhi dampak reproduksi. Jika populasi hiu paus yang menjadi aset utama pariwisata terus terluka, industri ini akan menghadapi ancaman keruntuhan.

Standard Operasional Prosedur (SOP) dan Tata Kelola Megafauna

Untuk memitigasi risiko cedera, diperlukan Standard Operasional Prosedur (SOP) yang ketat. Meskipun SOP sudah dikembangkan di beberapa lokasi, terdapat variasi yang menunjukkan kurangnya standar nasional terpadu. Misalnya, SOP Kwatisore berfokus pada larangan menyentuh, larangan menggunakan flash, larangan membuat kebisingan, dan penentuan jarak aman berenang; sementara SOP Probolinggo lebih mengatur jumlah, kecepatan, dan jarak kapal wisata dari hiu paus.

Diperlukan adopsi kebijakan NO TOUCHING yang seragam dan penegakan ketat di seluruh destinasi. Rekomendasi teknis yang mendesak adalah intervensi pada sumber cedera, yaitu mendesain ulang alat tangkap (bagan) dan peralatan perahu untuk mengurangi risiko luka pada hiu paus. Hal ini harus didukung oleh model pengelolaan berbasis komunitas (Community Based Management) yang didukung oleh mayoritas masyarakat lokal (87.4% responden).

Studi Kasus Wisata Konservasi Pantai (Penyu dan Tukik)

Selain wisata megafauna, produk ekowisata konservasi pantai berfokus pada kegiatan edukasi dan penyelamatan spesies terancam. Program konservasi penyu, seperti yang ada di Pulau Pahat (Kepulauan Anambas)  dan pelepasan tukik di Pantai Pelangi, menawarkan paket wisata edukatif berbasis komunitas.

Model ini menawarkan peluang ekonomi alternatif yang secara langsung terikat pada tujuan konservasi. Wisatawan dapat berpartisipasi dalam kegiatan pelepasan tukik selama musim peneluran (Maret hingga September). Keberhasilan model ini terletak pada pemberdayaan pemandu lokal dan pemanfaatan pendapatan untuk kesinambungan program konservasi, yang sejalan dengan prinsip Community-Based Ecotourism (CBET).

Model Tata Kelola dan Kemitraan: Pelajaran dari KKP Utama

Perbedaan mendasar dalam model tata kelola dan pendanaan KKP antara Raja Ampat dan Taman Nasional Komodo memberikan pelajaran penting bagi kebijakan pariwisata berkelanjutan.

Studi Kasus 1: Raja Ampat (Model Keuangan Mandiri dan Inklusif)

Kawasan Konservasi Perairan Kepulauan Raja Ampat (KKP Raja Ampat), yang berada di jantung Segitiga Terumbu Karang, diakui sebagai episentrum keanekaragaman hayati global, melindungi lebih dari 75% spesies karang dunia.

Model tata kelola di Raja Ampat dicirikan oleh pendekatan kolaboratif yang kuat antara pemerintah daerah, lembaga swadaya masyarakat (LSM) seperti Conservation International, dan masyarakat adat.39 Kunci keberhasilan finansial dan legitimasi sosial Raja Ampat adalah mekanisme Pin Konservasi atau Kartu Jasa Lingkungan (KJL), yang merupakan Environmental Services Fee yang wajib dibayarkan oleh semua pengunjung. Saat ini, biaya masuk tersebut dikenakan sebesar Rp 250.000 untuk wisatawan domestik dan Rp 500.000 untuk wisatawan mancanegara, berlaku selama satu tahun.

Dana yang dikumpulkan melalui Pin Konservasi dialokasikan untuk kegiatan konservasi pesisir dan laut, serta untuk pembangunan sosial-ekonomi masyarakat lokal. Pengelolaannya berada di bawah Badan Layanan Umum Daerah (BLUD) UPTD KKP Raja Ampat, yang memfasilitasi alokasi dana secara langsung dan transparan kembali ke fungsi operasional konservasi seperti patroli dan monitoring ekologis. Model ini memperoleh legitimasi tinggi di mata masyarakat dan operator wisata. Selain itu, jaringan KKP Raja Ampat mengintegrasikan praktik pengelolaan tradisional (seperti Sasi—penutupan ruang dan waktu) yang ditentukan oleh masyarakat adat, memastikan bahwa konservasi memiliki basis sosial yang kuat.

Studi Kasus 2: Taman Nasional Komodo (Model Kritis Konflik Tata Kelola)

Taman Nasional Komodo (TNK) juga merupakan situs warisan dunia UNESCO dengan potensi laut yang luar biasa. TNK sebelumnya berusaha menerapkan model pengelolaan kolaboratif (KCMI) yang melibatkan swasta (Putri Naga Komodo) dan pemerintah, dengan tujuan mencapai kemandirian pendanaan konservasi.

Namun, model ini mengalami krisis kredibilitas parah pada pertengahan tahun 2022 ketika PT Flobamor (BUMD) berupaya secara sepihak menaikkan tarif masuk ke Pulau Komodo dan Pulau Padar secara drastis menjadi Rp 3,75 Juta per wisatawan. Kenaikan tarif ini memicu mogok masal oleh pelaku wisata lokal dan penolakan keras, yang pada akhirnya memaksa pembatalan tarif tersebut pada Desember 2022.

Konflik ini menyingkap kelemahan struktural: adanya upaya komersialisasi yang berlebihan dan eksklusif di dalam kawasan konservasi, didukung oleh isu konsesi bisnis swasta di kawasan TNK , serta maraknya industri perhotelan di Labuan Bajo yang melanggar batas sempadan pantai (Perpres No 51), yang mengorbankan ruang publik dan ruang hidup masyarakat pesisir.

Perbandingan antara kedua kasus ini sangat penting: Raja Ampat berhasil karena legitimasi keuangannya didukung oleh transparansi alokasi dana dan inklusivitas sosial. Sebaliknya, Komodo menjadi contoh peringatan bahwa upaya privatisasi atau komersialisasi berlebihan, yang mengabaikan partisipasi dan kepercayaan masyarakat lokal, akan merusak keberlanjutan sosial dan politik kawasan konservasi, terlepas dari potensi keuntungan konservasi yang diklaim.

Model Berbasis Komunitas (CBET) Alternatif

Model Community-Based Ecotourism (CBET) terbukti menjadi pendekatan yang sangat berkelanjutan. Studi kasus Clungup Mangrove Conservation (CMC) di Malang menunjukkan bahwa status pengelolaan CBET-nya dikategorikan “sangat berkelanjutan” (highly sustainable), dengan nilai tertinggi pada dimensi konservasi dan partisipasi.

Model CBET menjamin bahwa masyarakat lokal memperoleh manfaat ekonomi langsung, seperti peningkatan pendapatan dan kesejahteraan. Lebih lanjut, pendekatan ini memberdayakan kelembagaan di tingkat desa, memungkinkan mereka untuk membuat dan menegakkan peraturan konservasi mereka sendiri, seperti yang dicontohkan oleh Desa Bahoi. Desa Bahoi di Minahasa Utara, misalnya, mengatur pengelolaan kawasan pesisir dan laut, termasuk Daerah Perlindungan Laut (DPL) dan Mangrove, melalui Peraturan Desa No. 2 Tahun 2010. Peraturan yang berasal dari inisiatif akar rumput ini seringkali memiliki kekuatan penegakan yang lebih besar dan legitimasi sosial yang lebih tinggi dibandingkan regulasi top-down di KKP yang besar.

Kesimpulan dan Proyeksi Kebijakan Strategis

Sintesis Tantangan Utama Ekowisata Bahari Indonesia

Analisis mendalam terhadap ekowisata bahari di Indonesia mengungkapkan bahwa sektor ini menghadapi tiga tantangan utama yang saling terkait, yaitu kesenjangan antara regulasi dan implementasi, ancaman green-washing yang mengorbankan pilar edukasi dan konservasi, serta konflik sosial-politik akibat tata kelola yang eksklusif.

  1. Kesenjangan Implementasi Konservasi: Meskipun Indonesia memiliki KKP yang luas (20,87 juta ha)  dan kerangka zonasi yang terperinci, kerusakan ekosistem terumbu karang yang mencapai 43%  dan tingginya tingkat cedera pada megafauna (62% hiu paus terluka)  menunjukkan kegagalan dalam menegakkan Daya Dukung Kawasan (DDK) dan menerapkan mitigasi kerusakan fisik.
  2. Ancaman Green-Washing: Destinasi populer gagal memenuhi prinsip inti ekowisata, terutama pada aspek edukasi dan nature-based. Hal ini mengarah pada pariwisata yang merusak dan meningkatkan limbah, di mana 1.29 juta ton sampah plastik berakhir di laut setiap tahun.
  3. Konflik Tata Kelola: Model pengelolaan yang mengutamakan privatisasi atau komersialisasi sepihak, seperti yang dialami oleh TN Komodo, merusak kepercayaan komunitas lokal dan menyebabkan krisis sosial-politik, yang pada akhirnya menghambat tujuan konservasi jangka panjang.

Rekomendasi Kebijakan Strategis untuk Blue Economy

Untuk mengoptimalkan potensi ekowisata bahari sebagai pilar Blue Economy—yang mensinergikan konservasi sumber daya dengan pemanfaatan berkelanjutan —diperlukan langkah-langkah kebijakan strategis yang terintegrasi dan berorientasi pada ketahanan ekologis dan sosial.

Reformasi Tata Kelola Keuangan dan Spasial KKP

  1. Mandat dan Penegakan DDK/DDT: Diperlukan penegakan hukum yang tegas terhadap batasan Daya Dukung Kawasan (DDK) di semua zona pemanfaatan. Pengabaian DDK harus dikenakan sanksi berat, memastikan volume kunjungan pariwisata tidak melebihi kapasitas ekologis, fisik, dan sosial kawasan.
  2. Optimalisasi Pendanaan Konservasi Lokal: Pemerintah harus mereformasi mekanisme PNBP pariwisata. Model Environmental Services Fee atau Pin Konservasi Raja Ampat harus distandarisasi dan diterapkan, dengan menjamin bahwa proporsi yang signifikan (minimal 50–70%) dari pungutan tersebut dapat segera dialokasikan dan dikelola di tingkat unit KKP atau BLUD/UPTD untuk patroli, penegakan hukum, dan program konservasi lokal. Langkah ini akan meningkatkan kemandirian finansial dan legitimasi sosial KKP.

Mitigasi Dampak Ekologis dan Standarisasi Etika Wisata

  1. Regulasi Mooring Buoy Wajib dan Tuntas: Diperlukan peraturan yang mewajibkan dan membiayai pemasangan serta pemeliharaan mooring buoy di semua titik selam dan penambatan berintensitas tinggi. KKP harus memprioritaskan ini sebagai investasi pencegahan kerusakan terumbu karang.
  2. Standardisasi SOP Wisata Megafauna: Menerapkan SOP whale watching yang seragam secara nasional dengan penekanan pada jarak aman, kecepatan kapal, larangan interaksi pakan, dan sanksi tegas bagi pelanggar. Selain itu, harus dilakukan intervensi teknis yang didanai pariwisata untuk memodifikasi alat tangkap tradisional (bagan) guna mengurangi cedera pada hiu paus.
  3. Penegakan Regulasi Sanitasi Total: Mengimplementasikan Peraturan Menteri terkait Sanitasi Ramah Lingkungan  secara konsisten di destinasi bahari, didukung oleh infrastruktur pengelolaan sampah yang memadai, termasuk kendaraan pengumpul sampah dan Tempat Penampungan Sementara (TPS) yang ramah lingkungan.

Penguatan Kelembagaan Berbasis Masyarakat (CBET)

  1. Prioritaskan Inisiatif Bottom-Up: Pemerintah harus secara aktif mendorong dan mengakui inisiatif konservasi berbasis desa, seperti pembentukan Daerah Perlindungan Laut (DPL) melalui Peraturan Desa. Hal ini memastikan bahwa manfaat ekonomi dari ekowisata (peningkatan pendapatan, kesejahteraan)  dapat dinikmati secara inklusif oleh komunitas lokal, memperkuat fungsi pengawasan mereka terhadap konservasi.
  2. Keterlibatan Pentahelix yang Seimbang: Memastikan keterlibatan multi-pihak (Pentahelix: pemerintah, akademisi, bisnis, masyarakat, media) dalam perencanaan ekowisata bahari berkelanjutan. Kemitraan harus dilakukan dengan prinsip keadilan dan transparansi, menghindari konflik konsesi yang merusak tata kelola.

Peta jalan menuju ekowisata bahari yang benar-benar berkelanjutan di Indonesia harus bergeser dari fokus pada pertumbuhan volume menuju penekanan pada kualitas pengelolaan, etika lingkungan, dan inklusivitas sosial. Kegagalan untuk melindungi fondasi ekologis saat ini akan menghancurkan prospek pariwisata bahari Indonesia di masa depan.

 

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

+ 62 = 65
Powered by MathCaptcha