Konteks Urbanisasi dan Urgensi Transformasi Digital Perkotaan
Indonesia, sebagai negara dengan populasi terpadat keempat di dunia, menghadapi tantangan urbanisasi yang masif dan krisis perkotaan yang kronis. Masalah-masalah seperti kemacetan serius, polusi udara dan air, kekurangan energi, dan meningkatnya angka kriminalitas telah menjadi isu sosial yang merajalela, terutama di kawasan Greater Jakarta (Jabodetabek). Kawasan ini merupakan aglomerasi metropolitan terbesar kedua di dunia setelah Tokyo, menampung sekitar 40 juta penduduk dalam area padat. Permasalahan ini kemudian menyebar ke kota-kota besar lainnya di Indonesia, seperti Surabaya dan Bandung.
Menanggapi tantangan yang semakin mendalam ini, Pemerintah Indonesia di bawah Presiden Joko Widodo mengusung visi ‘Smart Nation’ dan secara serius memulai inisiatif smart city. Konsep awal smart city muncul dari gagasan IBM pada tahun 1990-an yang berfokus pada pemanfaatan Teknologi Informasi dan Komunikasi (TIK), menjadikannya lebih sebagai ‘Digital City’. Namun, seiring berjalannya waktu, peranan TIK bergeser dari objek utama menjadi pendukung pembangunan perkotaan yang berkelanjutan. Transformasi ini menuntut fokus pada keberlanjutan, efektivitas, dan efisiensi, memastikan bahwa solusi yang ditawarkan berbasis manusia (people-centred).
Kerangka Kebijakan Nasional: Gerakan Menuju 100 Smart City (2017-2045)
Pemerintah Indonesia secara resmi mengumumkan inisiatif “Gerakan Menuju 100 Smart City” pada tahun 2017. Program ini bertujuan untuk memandu kabupaten dan kota di seluruh Indonesia dalam menetapkan pengembangan berbasis digital yang mempertimbangkan potensi dan tantangan masing-masing wilayah. Target ambisius ditetapkan untuk membina 100 kota percontohan pada tahun 2045.
Filosofi implementasi Gerakan 100 Smart City menekankan bahwa arah pembangunan tidak hanya sebatas pengenalan teknologi inovatif (technology shopping) yang menarik secara visual, melainkan harus berfokus pada peningkatan kualitas hidup masyarakat dan modernisasi layanan publik.
Pengembangan smart city di Indonesia didasarkan pada enam pilar utama yang dirumuskan untuk menjadi panduan bagi pemerintah daerah dan kolaborator potensial :
- Smart Governance: Bertujuan pada transisi penuh ke e-governance. Penerapannya melibatkan penggunaan aplikasi dan platform seluler untuk transaksi pemerintah sehari-hari, pembangunan pusat komando kota, dan di masa depan, penggabungan aset Artificial Intelligence (AI) untuk pengawasan cerdas dan analisis big data. Pilar ini menekankan efektivitas, efisiensi, transparansi, dan koneksi antara pemerintah, warga, industri, dan pemangku kepentingan.
- Smart People: Pilar ini krusial untuk menciptakan populasi yang melek teknologi (tech-literate). Tujuannya adalah membangun komunitas proaktif melalui platform pelaporan daring dan program pembelajaran digital yang sukses.
- Smart Infrastructure & Mobility: Meliputi pengembangan jaringan dan sistem berbasis TIK yang aman. Contoh implementasinya adalah Adaptive Traffic Control System (ATCS) yang menyesuaikan lampu lalu lintas berdasarkan volume kendaraan untuk mengurangi waktu tunggu. Kemitraan dengan perusahaan ride-hailing dan pengembang aplikasi juga dicari untuk meningkatkan mobilitas yang efisien.
- Smart Economy: Bertujuan untuk menumbuhkan produktivitas melalui semangat kewirausahaan.
- Smart Environment: Fokus pada pengelolaan sumber daya alam yang ramah lingkungan.
- Smart Living: Bertujuan meningkatkan kualitas hidup sehari-hari, menjamin akses terbuka ke pendidikan, kesehatan (telemedicine), dan keamanan.
Meskipun filosofi nasional secara eksplisit menekankan aspek humanis dan sosial, dalam praktiknya, terdapat ketegangan antara visi dan realitas implementasi. Analisis terhadap beberapa kasus menunjukkan kecenderungan implementasi yang bias, di mana pembangunan berfokus pada aspek infrastruktur (fisik dan TIK) dan smart governance yang mudah diukur keberhasilannya. Sementara itu, dimensi kualitatif seperti modal sosial (smart people) dan isu lingkungan seringkali terabaikan. Prioritas ini menciptakan risiko bahwa smart city hanya menjadi proyek teknologi yang tidak didasarkan pada pemecahan masalah komunitas yang nyata.
Evaluasi Empiris Implementasi Smart Governance dan Pelayanan Publik
Capaian E-Government di Kota Percontohan
Sejumlah kota di Indonesia telah menunjukkan inisiatif yang signifikan dalam mewujudkan smart governance. Kota-kota percontohan membangun pusat komando kota dan mengintegrasikan layanan publik melalui platform digital. Jakarta Smart City (JSC), yang didirikan sejak 2014 dan aktif dalam Gerakan 100 Smart City sejak 2017 , berfokus pada tata kelola yang transparan, informatif, dan responsif. Jakarta menggunakan aplikasi super JAKI (Jakarta Kini) sebagai sarana pelaporan warga, yang bekerja sama dengan Qlue dan sistem Customer Relationship Management (CRM) Pemerintah Provinsi. JAKI mentransformasi hubungan pemerintah-warga dari model tradisional (pemerintah sebagai produsen, warga sebagai konsumen) menjadi lebih responsif terhadap keluhan publik, sesuai dengan konsep New Public Management (NPM).
Kota lain, seperti Bandung, secara konsisten menjadi percontohan dan dinilai patut dicontoh oleh daerah lain. Bandung berinovasi dengan portal layanan Sadayana dan program yang mendukung kegiatan masyarakat seperti Braga Beken dan Buruan SAE (budidaya tanaman di pekarangan rumah).
Penerapan e-government terbukti mampu memperbaiki citra pelayanan publik pemerintah. Penelitian di daerah menunjukkan bahwa implementasi e-government dalam mewujudkan smart city dapat mengubah pandangan masyarakat terhadap pelayanan. Keberhasilan ini, seperti yang terjadi di Kabupaten Tapanuli Selatan, bergantung pada terpenuhinya aspek dukungan, keberdayaan, dan manfaat yang terlaksana. Ketersediaan sumber daya, termasuk sumber daya manusia, finansial, serta sarana dan prasarana yang mencukupi, merupakan faktor penentu keberhasilan.
Tantangan Implementasi: Sumber Daya, Kapasitas, dan Komunikasi
Meskipun banyak capaian, implementasi smart city secara umum masih menghadapi tantangan serius. Keberhasilan smart governance sangat dipengaruhi oleh faktor-faktor internal seperti komunikasi kebijakan yang efektif, ketersediaan sumber daya (SDM, finansial, infrastruktur), disposisi, dan struktur birokrasi yang mendukung.
Kritik utama yang muncul adalah bahwa implementasi seringkali bersifat top-down, di mana pemerintah berfokus pada penyediaan infrastruktur TIK. Pendekatan ini berisiko menjadi tidak berkelanjutan karena ketersediaan infrastruktur belum diimbangi dengan kemampuan masyarakat dalam memanfaatkan TIK.
Studi kasus menunjukkan bahwa jika kebijakan smart city tidak didasarkan pada masalah aktual komunitas dan modal sosial, dan justru berfokus berlebihan pada pembangunan infrastruktur, hal ini dapat merusak modal sosial dan mengurangi tingkat kepercayaan masyarakat. Kualitas Smart Governance sangat bergantung pada kapasitas pemerintah daerah untuk menindaklanjuti keluhan atau mengoperasikan sistem yang kompleks. Jika pemerintah hanya fokus pada penyediaan platform yang canggih tetapi gagal dalam menindaklanjuti data yang masuk, hal itu akan menyebabkan penurunan kepercayaan, mengubah teknologi menjadi sekadar alat kosmetik, bukan transformasi tata kelola yang efektif.
Peta Digital Divide: Disparitas Akses dan Literasi Urban-Rural
Perkembangan smart city tidak dapat dipisahkan dari isu kesenjangan digital yang terbagi menjadi dua dimensi utama: kesenjangan material (akses infrastruktur) dan kesenjangan imaterial (literasi dan keterampilan).
Kesenjangan Material: Infrastruktur dan Akses Broadband
Data pada awal tahun 2024 menunjukkan bahwa Indonesia memiliki 185,3 juta pengguna internet, dengan penetrasi mencapai 66,5% dari total populasi. Namun, ketika dianalisis berdasarkan klasifikasi urban dan rural, ketidakmerataan akses infrastruktur menjadi jelas.
Secara global, pada tahun 2024, 83% penduduk urban menggunakan internet, sementara di wilayah rural angkanya kurang dari setengah (48%). Di Indonesia, data Badan Pusat Statistik (BPS) tahun 2023 menunjukkan bahwa rata-rata persentase rumah tangga yang mengakses internet dalam tiga bulan terakhir adalah 91,01% di area urban dan 81,60% di area rural. Meskipun secara nasional perbedaan ini terlihat kecil (rasio Urban/Rural sekitar 1.12), angka-angka tersebut menyembunyikan disparitas regional yang parah.
Sebagai perbandingan, DKI Jakarta hampir mencapai saturasi akses internet sebesar 98,08% di wilayah urban. Sebaliknya, provinsi Papua menunjukkan kesenjangan ekstrem: 87,31% di urban berbanding hanya 18,73% di rural. Disparitas ini menunjukkan bahwa pengembangan infrastruktur digital dan akses internet yang merata masih menjadi hambatan utama dalam mewujudkan keadilan digital di seluruh kepulauan.
Tabel 1: Disparitas Akses Internet Rumah Tangga Urban vs. Rural (2023)
Wilayah | Akses Internet Urban (%) | Akses Internet Rural (%) | Rasio Urban/Rural | Implikasi Kesenjangan |
DKI Jakarta | 98.08 | N/A | N/A | Kematangan infrastruktur TIK tinggi |
Jawa Barat | 90.29 | 79.48 | 1.13 | Kesenjangan moderat |
Nusa Tenggara Timur | 93.53 | 73.18 | 1.28 | Kesenjangan menengah-tinggi |
Papua | 87.31 | 18.73 | 4.66 | Kesenjangan digital yang sangat parah |
INDONESIA (Rata-rata) | 91.01 | 81.60 | 1.12 | Kesenjangan material masih dominan di wilayah terpencil |
Kesenjangan Imaterial: Paradoks Literasi Digital
Selain masalah akses material, terdapat pula kesenjangan imaterial yang berfokus pada literasi dan keterampilan. Beberapa penelitian di Indonesia menemukan bahwa perbedaan indeks literasi digital antara wilayah rural (3,542) dan urban (3,540) dapat dianggap tidak signifikan. Namun, analisis kualitatif menunjukkan perbedaan yang menarik dan kritis.
Masyarakat rural menunjukkan tingkat yang lebih tinggi dalam aspek Etika Digital, Budaya Digital, dan Keamanan Digital. Sementara itu, masyarakat urban menunjukkan keunggulan dalam aspek Keterampilan Digital (kemampuan operasional).
Paradoks ini memiliki konsekuensi penting bagi implementasi smart city. Meskipun masyarakat rural memiliki fondasi etika yang baik—sebuah bentuk modal sosial yang penting—kurangnya kecakapan dalam digital skills (akses imaterial kapabilitas) menjadi penghalang fungsional untuk berpartisipasi dalam ekosistem smart city yang sarat dengan layanan e-governance yang kompleks. Hambatan utama bagi mereka adalah infrastruktur dan integrasi teknologi ke dalam rutinitas sehari-hari. Oleh karena itu, smart city yang terlalu fokus pada penyediaan aplikasi canggih tanpa mengimbangi dengan pelatihan keterampilan yang memadai, secara tidak terhindarkan akan memperparah kesenjangan fungsional ini.
Secara lebih luas, urbanisasi yang cepat, didorong sebagian oleh transformasi digital, berisiko menciptakan ‘brain drain’ dari wilayah rural, yang selanjutnya menekan tingkat penggunaan internet dan kemampuan adaptasi digital di populasi rural yang tersisa, memperburuk siklus kesenjangan.
Realitas Sosial dan Risiko Eksklusi dalam Ekosistem Smart City
Kritik Pembangunan yang Teknokratis dan Tidak Merata
Konsep smart city cenderung memposisikan teknologi digital sebagai cara optimum untuk mengatasi berbagai masalah perkotaan—mulai dari kemacetan hingga efisiensi layanan—menggeser fokus dari inisiatif kebijakan spesifik, politik, atau demokrasi deliberatif. Kecenderungan untuk mengandalkan solusi teknologi tunggal ini menimbulkan risiko teknokrasi.
Kritik akademis menunjukkan bahwa kebijakan smart city di Indonesia, yang kerap didorong oleh fokus infrastruktur, sering mengabaikan isu sosial dan lingkungan. Ketika pembangunan tidak didasarkan pada masalah komunitas dan tidak memberikan manfaat yang merata, muncul risiko eksklusi sosial. Fenomena ini dikritik sebagai “Pembangunan untuk ‘1 Persen’,” di mana manfaat smart city hanya dinikmati oleh kelompok masyarakat yang sudah terdigitalisasi atau elit, yang pada akhirnya memperburuk segregasi sosial di kota.
Marginalisasi Kelompok Rentan dan Sektor Informal
Peralihan ke layanan publik digital di era smart city secara spesifik menimbulkan hambatan bagi kelompok rentan. Kelompok usia lanjut (lansia), misalnya, seringkali menghadapi kesulitan signifikan dalam beradaptasi dan mengakses layanan publik yang kini didominasi oleh platform digital. Meskipun smart city bercita-cita untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat dan mewujudkan kota layak huni , jika akses ke layanan esensial seperti kesehatan dan administrasi dialihkan sepenuhnya ke platform digital tanpa opsi inklusif, kelompok ini secara efektif terpinggirkan.
Sementara data eksplisit mengenai dampak pada sektor informal terbatas, jika smart city berfokus pada peningkatan efisiensi formal dan ekonomi digital, sektor informal yang kekurangan modal teknologi dan literasi yang memadai berpotensi terdiskualifikasi dari manfaat ekonomi kota cerdas.
Technocracy vs. Co-Creation: Transformasi Partisipasi Warga
Cita-cita smart city adalah menciptakan kota yang adil dan beradab, di mana masyarakat berpartisipasi sebagai co-creator kebijakan. Partisipasi ini dapat ditingkatkan melalui teknologi seperti platform digital untuk feedback dan keterlibatan (seperti JAKI/Qlue).
Namun, terdapat kontradiksi fundamental antara cita-cita partisipatif ini dan risiko algorithmic technocracy. Smart Governance di masa depan direncanakan untuk menggunakan AI dan big data analytics. Penerapan sistem algoritmik otonom, yang beroperasi dalam mode human-off-the-loop (algoritma bekerja tanpa pengawasan manusia), memindahkan otoritas pengambilan keputusan dari mekanisme politik deliberatif ke teknokrat algoritmik. Dalam konteks ini, smart city berisiko menjadi instrumen untuk disiplin dan kontrol warga, sebuah fenomena yang disebut smartmentality.
Eksklusi sosial tidak hanya disebabkan oleh kurangnya akses internet, tetapi juga oleh hilangnya suara publik dalam pengambilan keputusan yang semakin diotomatisasi. Efisiensi yang dihasilkan oleh teknologi dalam pelayanan publik berisiko dicapai dengan mengorbankan transparansi politik dan partisipasi demokratis.
Tata Kelola Digital, Privasi, dan Ancaman Teknokrasi
Risiko Pengawasan dan Tata Kelola Algoritmik
Infrastruktur smart city beroperasi sebagai sistem cyber-physical yang mampu mengubah data dari dunia fisik menjadi data siber dan memonitornya secara real-time. Walaupun ini menghasilkan layanan cerdas di berbagai bidang (transportasi, kesehatan, lingkungan), risiko terbesar adalah pengawasan massal.
Kemampuan infrastruktur smart city untuk memproses dan menganalisis data dalam jumlah besar—termasuk lokasi geografis, karakteristik, dan aktivitas—memungkinkan penciptaan profiling individu yang secara inheren melanggar hak privasi mereka. Kekhawatiran mengenai keamanan informasi dan pelanggaran privasi telah diidentifikasi sebagai tantangan paling mungkin terjadi dalam pengembangan smart city global, terutama karena meningkatnya kerentanan dan kurangnya kesadaran publik terhadap perlindungan data pribadi.
Kerangka Hukum dan Tantangan Perlindungan Data Pribadi (PDP)
Menyadari risiko ini, Indonesia telah mengambil langkah besar dengan mengesahkan Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2022 tentang Perlindungan Data Pribadi (UU PDP). Undang-undang ini merupakan kerangka hukum komprehensif pertama di Indonesia, menggantikan perlindungan data yang sebelumnya tersebar di 48 undang-undang sektoral. UU PDP secara resmi berlaku penuh pada Oktober 2024, setelah periode transisi dua tahun.
Namun, lahirnya UU PDP bukanlah solusi instan. Keberhasilan perlindungan data sangat bergantung pada kesiapan operasional organisasi, termasuk pemerintah daerah, untuk menerapkan ketentuannya. UU PDP masih membutuhkan regulasi turunan yang lebih jelas untuk mengatur keseimbangan antara kebutuhan perlindungan data dan kebutuhan keterbukaan informasi publik, serta penetapan tanggung jawab yang proporsional bagi pengontrol dan pemroses data publik.
Kasus Keamanan dan Pelanggaran Privasi Aplikasi Kota Cerdas
Isu privasi data tetap menjadi taruhan dalam implementasi smart city di Indonesia. Aplikasi seperti JAKI, yang bertujuan meningkatkan transparansi dan responsivitas, mengumpulkan data warga secara masif. Laporan menunjukkan bahwa aplikasi super ini, yang berkolaborasi dengan Qlue, menghadapi permasalahan terkait privasi data pelapor yang harus segera diatasi.
Meskipun Dinas Komunikasi, Informatika, dan Statistik (Kominfotik) DKI Jakarta telah merespons dugaan peretasan dan memastikan bahwa keamanan privasi data pengguna adalah prioritas , insiden-insiden ini menyoroti kesenjangan antara kerangka legislatif (UU PDP) dan kapasitas operasional teknis pemerintah daerah (Pemda) dalam mengelola dan melindungi data dalam jumlah besar. Pengumpulan big data dalam smart city secara langsung meningkatkan permukaan serangan (attack surface), dan jika pengontrol data kota tidak siap, hal ini menciptakan risiko legal dan reputasi yang signifikan.
Strategi Transformasi Menuju Kota Cerdas yang Inklusif dan Berkeadilan Sosial
Mewujudkan smart city yang berkelanjutan dan berkeadilan sosial menuntut pergeseran prioritas dari sekadar penerapan teknologi menuju pendekatan yang berpusat pada manusia (people-centred).
Fokus pada Pendekatan People-Centred Smart Cities
Laporan global menekankan bahwa keberhasilan smart city di masa depan, terutama di tengah urbanisasi yang kompleks dan krisis iklim, bergantung pada: akses teknologi yang merata, kebijakan digital inklusif, dan keterlibatan aktif warga. Transformasi digital perkotaan harus dipandang sebagai revolusi sosial dan tata kelola yang menjamin keadilan digital, bukan hanya proyek TIK.
Mengatasi Kesenjangan Imaterial: Konsep Communicative City
Karena implementasi smart city di Indonesia masih didominasi pendekatan top-down dan penyediaan infrastruktur yang tidak diimbangi oleh kapasitas pemanfaatan oleh warga (kesenjangan imaterial) , konsep Communicative City diusulkan sebagai kerangka yang efektif untuk menjembatani disparitas ini.
Communicative City berfokus pada pembangunan sistem komunikasi yang ideal untuk mendukung implementasi kebijakan yang berkelanjutan. Tujuannya adalah memastikan bahwa manfaat smart city dirasakan secara adil oleh seluruh lapisan masyarakat, dengan sistem TIK yang memfasilitasi dialog dua arah dan umpan balik yang efektif, bukan hanya berfungsi sebagai alat pelaporan atau pengawasan satu arah.
Rekomendasi Kebijakan Tiga Lapis
Untuk mengatasi dualitas teknologi dan kesenjangan sosial, diperlukan strategi kebijakan yang terintegrasi di tiga tingkatan: akses, kapasitas, dan tata kelola etika.
Kebijakan Akses dan Infrastruktur (Menangani Kesenjangan Material)
- Pemerataan Konektivitas: Pemerintah harus memprioritaskan penyediaan konektivitas internet secara merata, khususnya di wilayah rural dengan disparitas akses yang sangat tinggi, seperti yang terlihat di Papua.
- Kolaborasi Swasta: Pemerintah daerah perlu meningkatkan kerja sama dengan penyedia layanan internet swasta untuk memperluas penyediaan infrastruktur dan layanan internet yang terjangkau.
- Layanan Dasar Terintegrasi: Memanfaatkan teknologi digital untuk mengintegrasikan dan memberikan subsidi pada layanan dasar (misalnya air minum PDAM) guna mengurangi beban biaya hidup masyarakat rentan, sesuai dengan pilar Smart Living.
Kebijakan Kapasitas Manusia (Menangani Kesenjangan Imaterial/Skills)
- Pelatihan Keterampilan Fungsional: Program literasi digital harus direorientasi untuk fokus pada peningkatan digital skills fungsional (kemampuan operasional), terutama di wilayah rural, untuk menutup kelemahan yang diidentifikasi dalam penelitian.
- Program Inklusi Digital: Diperlukan program spesifik yang menargetkan inklusi digital bagi kelompok rentan seperti lansia dan penyandang disabilitas, untuk memastikan mereka dapat mengakses layanan publik digital tanpa hambatan.
- Peningkatan Kapasitas SDM Pemda: Pelatihan intensif pemanfaatan TIK harus diberikan kepada pemerintah daerah untuk memastikan kapasitas sumber daya manusia mampu mengoperasikan dan menindaklanjuti data dari sistem smart city secara efektif dan berkelanjutan.
Kebijakan Tata Kelola Etika dan Regulasi (Menangani Risiko Teknokrasi dan Privasi)
- Penegakan UU PDP: Pemerintah wajib menjamin penegakan implementasi UU PDP 2022 secara ketat di seluruh Organisasi Perangkat Daerah (OPD) yang mengelola data warga. Penguatan sistem keamanan data untuk aplikasi publik seperti JAKI adalah hal mendesak untuk mencegah pelanggaran privasi.
- Transparansi Algoritma: Untuk melawan risiko algorithmic technocracy, perlu didorong transparansi mengenai algoritma yang digunakan dalam sistem Smart Governance (misalnya, sistem ATCS atau pengawasan). Hal ini penting untuk mencegah bias algoritmik dan meningkatkan pemahaman warga tentang proses pengambilan keputusan kota.
- Integrasi Etika Digital: Mengintegrasikan aspek digital ethics dan digital culture—yang menjadi keunggulan masyarakat rural —ke dalam kurikulum pendidikan di perkotaan. Tujuannya adalah memastikan bahwa masyarakat kota tidak hanya cakap secara operasional, tetapi juga bertanggung jawab dan beretika dalam menggunakan teknologi.
Kesimpulan
Smart City di Indonesia berada di persimpangan antara janji efisiensi teknologi dan tantangan realitas sosial yang kompleks. Program Gerakan 100 Smart City telah berhasil mendorong adopsi e-governance dan infrastruktur TIK di banyak daerah. Namun, analisis kritis menunjukkan adanya bias implementasi yang cenderung mengutamakan proyek infrastruktur yang terlihat nyata, sementara modal sosial dan penanganan isu kesenjangan digital dan sosial terabaikan.
Kesenjangan digital, meskipun secara indeks nasional tidak signifikan, menunjukkan disparitas kualitatif yang mengkhawatirkan: kurangnya digital skills fungsional di wilayah rural menghambat pemanfaatan layanan smart city yang semakin kompleks. Secara bersamaan, adopsi teknologi pengawasan dan analisis big data di perkotaan menimbulkan risiko serius terhadap hak privasi warga, sebuah ancaman yang diperparah oleh kerentanan operasional aplikasi pemerintah daerah, meskipun UU PDP telah berlaku.
Jalan menuju Smart City yang berkelanjutan dan berbasis kemanusiaan harus melewati reformasi tata kelola yang bersifat inklusif. Transformasi tidak boleh hanya berfokus pada teknologi, melainkan harus memprioritaskan keadilan digital dan partisipasi aktif warga sebagai co-creator. Konsep Communicative City menawarkan kerangka kerja untuk menjembatani kesenjangan imaterial dengan memastikan bahwa teknologi digunakan untuk memfasilitasi dialog, bukan hanya untuk kontrol dan pengawasan, sehingga manfaat kota cerdas dapat dirasakan secara merata dan berkeadilan oleh seluruh lapisan masyarakat Indonesia. Kegagalan dalam mengelola tantangan teknokrasi dan menjamin keadilan data akan mengubah smart city menjadi instrumen efisiensi bagi segelintir orang, alih-alih menjadi katalisator bagi transformasi sosial yang adil dan beradab.