Toleransi beragama di Eropa modern berakar kuat pada kerangka hak asasi manusia universal. Kebebasan Beragama atau Berkeyakinan (FoRB) dinyatakan sebagai hak fundamental yang dijamin oleh Piagam Hak Fundamental Uni Eropa dan diperkuat oleh Pasal 9 Konvensi Hak Asasi Manusia Eropa. Uni Eropa (UE) secara tegas menekankan bahwa FoRB harus dikembangkan dalam kebijakan luar negerinya berdasarkan prinsip-prinsip kesetaraan, non-diskriminasi, dan universalitas, memastikan hak ini dapat digunakan oleh semua orang di manapun mereka berada.

Konsep toleransi yang dianut dalam kajian kurikulum di negara-negara anggota UE melampaui sekadar ketiadaan konflik. Nilai toleransi mencakup dimensi interpersonal, seperti kompetensi sosial, empati, kontak antarpribadi, dan perilaku hormat di ruang publik. Selain itu, toleransi terhadap kelompok budaya yang berbeda mencakup pengakuan keragaman etnis, kebebasan beragama, dan penghormatan terhadap hak-hak minoritas. Dalam konteks masyarakat inklusif, toleransi dipandang sebagai komitmen untuk mengurangi ketidaksetaraan, diskriminasi, dan ketidakadilan sosial.

Keragaman Agama di Eropa Kontemporer: Transformasi Demografi

Masyarakat Eropa saat ini ditandai oleh dualitas transformasi agama yang kontradiktif. Di satu sisi, terjadi gelombang sekularisasi yang signifikan di kalangan populasi mayoritas. Survei menunjukkan bahwa mayoritas generasi milenial di Eropa mengaku tidak beragama, menandakan penurunan tajam dalam afiliasi Kristen tradisional. Di sisi lain, terjadi pertumbuhan cepat komunitas agama minoritas, terutama Islam. Pertumbuhan ini didorong oleh migrasi global di mana para migran melarikan diri dari konflik, kekerasan sektarian, dan kemiskinan dengan harapan menemukan perlindungan, keamanan, dan masa depan yang lebih baik di Eropa.

Lonjakan populasi Muslim ini, yang diproyeksikan dapat melonjak persentasenya di negara-negara Eropa, tidak hanya menguji kapasitas negara dalam mengintegrasikan pendatang baru tetapi juga memicu diskusi tajam mengenai identitas nasional dan dinamika hubungan antaragama dan antarbudaya. Kontras antara penurunan afiliasi agama historis dan peningkatan populasi minoritas yang visibel sering kali memicu reaksi politik dan sosial yang kaku. Penurunan pengaruh agama tradisional semestinya menciptakan ruang publik yang lebih netral. Namun, peningkatan populasi Muslim secara bersamaan seringkali menyebabkan dorongan untuk secara kaku menegaskan identitas sekuler atau nasional yang restriktif, yang kemudian diarahkan untuk mengendalikan visibilitas agama minoritas baru (Islam). Fenomena ini, alih-alih mempertahankan netralitas sejati, menciptakan konflik yang berakar pada politik identitas, bukan hanya perbedaan agama.

Struktur Laporan dan Ruang Lingkup Analisis

Laporan ini akan menganalisis secara mendalam dialektika toleransi beragama di Eropa melalui tiga lensa utama: kerangka normatif Uni Eropa, varian model sekularisme di tingkat negara anggota, dan realitas empiris diskriminasi. Analisis akan ditutup dengan mengeksplorasi peran aktor sipil dan proyeksi masa depan hubungan agama-negara.

Kerangka Normatif dan Kelembagaan Uni Eropa

Pilar Hukum dan Kebijakan Uni Eropa

Uni Eropa telah menetapkan kerangka hukum yang kuat untuk memerangi intoleransi dan diskriminasi. Secara spesifik, dalam upaya memerangi Islamofobia, Komisi Eropa merilis “Rencana Aksi Anti Rasisme 2020-2025.” Rencana aksi ini dianggap sebagai tonggak penting dalam upaya UE melawan rasisme dan diskriminasi rasial karena UE secara eksplisit mengkategorikan kebencian anti-Muslim sebagai bentuk rasisme. Pengkategorian ini menunjukkan pengakuan institusional bahwa diskriminasi terhadap Muslim seringkali didorong oleh motif rasial dan xenofobia, bukan semata-mata konflik teologis.

Selain itu, negara-negara anggota Dewan Eropa memiliki tanggung jawab untuk mencegah dan memerangi rasisme serta diskriminasi anti-Muslim. Sebelum rencana aksi ini, kebebasan beragama telah dinyatakan sebagai hak konstitusional di beberapa negara Eropa (misalnya Austria sejak 1867), mengakui berbagai agama minoritas seperti Kristen Ortodoks, Protestan Lutheran, dan Yahudi. Islam sendiri diakui resmi di Austria pada tahun 1912.

Peran Badan Pemantau Intoleransi (FRA dan ECRI)

Dalam memantau dan menganalisis isu hak fundamental, Uni Eropa memiliki badan khusus. European Union Agency for Fundamental Rights (FRA) berpusat di Wina dan bertugas mengumpulkan serta menganalisis data mengenai hak fundamental, termasuk diskriminasi berbasis agama. Laporan FRA telah menyoroti bahwa Muslim yang tinggal di UE menghadapi diskriminasi dalam berbagai konteks, terutama ketika mencari pekerjaan, di tempat kerja, dan ketika mengakses layanan publik atau swasta.

Lembaga lain, European Commission against Racism and Intolerance (ECRI) dari Dewan Eropa, juga berperan aktif. ECRI membentuk General Policy Recommendation (GPR) yang berisi berbagai kebijakan terkait memerangi intoleransi dan diskriminasi terhadap Muslim, serta rasisme dan diskriminasi secara umum. ECRI melakukan pemantauan berkelanjutan terhadap transposisi dan implementasi undang-undang UE di negara-negara anggota.

Paradoks Implementasi

Meskipun UE telah berhasil menginstitusionalisasikan perjuangan melawan intoleransi dengan menetapkan Islamofobia sebagai rasisme  dan membentuk badan pemantau seperti FRA dan ECRI , terdapat jurang pemisah yang besar antara aspirasi normatif ini dan efektivitas implementasi di lapangan.

Paradoks ini muncul karena UE memberikan “kebijakan akan kebebasan negara-negara anggotanya”. Ini berarti implementasi dan pelaksanaan rencana aksi anti-diskriminasi tidak dapat dilakukan secara menyeluruh di semua negara anggota. Kurangnya mekanisme penegakan hukum yang kuat di tingkat supranasional untuk mengatasi implementasi yang buruk di tingkat nasional menyebabkan komitmen normatif UE sering kali hanya berlaku secara efektif di tataran kebijakan luar negeri. Hal ini gagal menjamin perlindungan yang konsisten dan menyeluruh bagi minoritas agama di dalam negeri, menciptakan “celah” yang harus diisi, sebagaimana diakui oleh Komisi Eropa.

Model Hubungan Negara-Agama: Varian Sekularisme Eropa

Eropa tidak menganut satu model tunggal dalam mengatur hubungan negara dan agama. Perbedaan mendasar dalam model sekularisme yang diterapkan di tingkat nasional menjadi faktor utama yang menentukan tingkat toleransi terhadap minoritas agama yang visibel. Secara umum, terdapat perbedaan signifikan antara sekularisme restriktif dan sekularisme kooperatif.

Sekularisme Restriktif: Model Laïcité di Prancis

Prinsip konstitusional sekularisme di Prancis dikenal sebagai Laïcité. Prinsip ini didasarkan pada Undang-Undang Pemisahan Gereja dan Negara tahun 1905. Secara historis, Laïcité bertujuan untuk membongkar kekuasaan politik Gereja Katolik dan menetapkan pemisahan total antara masyarakat sipil dan agama. Prinsip ini menjamin kebebasan hati nurani setiap warga negara, tetapi juga mengorganisir pemisahan agama dan negara.

Dalam konteks kontemporer, interpretasi Laïcité telah terpecah. Ada konsepsi inklusif (historical laïcité) yang menekankan kebebasan individu untuk mempraktikkan agama dan kesetaraan antaragama. Namun, muncul konsepsi restriktif yang melarang semua simbol agama yang visibel dari ruang publik, memperluas prinsip netralitas negara ke seluruh warga negara yang berhadapan dengan publik (seperti guru dan pegawai negeri).

Konflik Simbol Agama di Ruang Publik

Penerapan Laïcité yang restriktif telah menimbulkan konflik yang menargetkan minoritas Muslim. Kebijakan ini, seperti pelarangan penggunaan abaya di sekolah dan sebelumnya niqab atau burqa di ruang publik, telah menjadi sumber kontroversi. Prancis dan Belgia adalah negara-negara Eropa Barat yang memelopori pelarangan penutup wajah di ruang publik (masing-masing pada 2010 dan 2011). Kebijakan ini dianggap melanggar hak asasi manusia, khususnya hak perempuan untuk berekspresi keagamaan.

Dampak dari implementasi kebijakan Laïcité yang kaku di Prancis telah menimbulkan diskriminasi, kekerasan fisik dan verbal, serta ketiadaan toleransi terhadap Muslim di institusi pendidikan negeri. Tujuan awal Laïcité untuk menciptakan landasan bersama dalam keberagaman justru tidak tercapai. Sejumlah analisis menunjukkan bahwa pelaksanaan Laïcité telah bergeser dari prinsip organisasional negara menjadi ideologi budaya yang secara tersirat menuntut asimilasi identitas, terutama identitas Muslim yang visibel, yang dianggap tidak kompatibel dengan identitas Republik kontemporer. Hal ini menunjukkan bahwa sekularisme yang restriktif difungsikan sebagai alat politik untuk mendefinisikan dan mengendalikan batas-batas identitas nasional dan publik.

Model Sekularisme Kooperatif (Jerman dan Austria)

Berbeda dengan model restriktif Prancis, beberapa negara Eropa menerapkan model sekularisme yang lebih kooperatif. Di Austria, Islam telah diakui secara resmi sejak 1912. Model kooperatif memungkinkan negara untuk mengakui dan berinteraksi secara kelembagaan dengan agama-agama tertentu, yang sering kali memfasilitasi integrasi minoritas ke dalam kerangka struktural negara, termasuk melalui dukungan pendanaan atau pendidikan agama di sekolah negeri. Model ini cenderung lebih fleksibel dalam mengakomodasi keberagaman agama.

Realitas Diskriminasi dan Kejahatan Kebencian

Data empiris dari badan-badan pengawas dan studi kasus menunjukkan bahwa intoleransi agama adalah masalah persisten yang secara signifikan mempengaruhi kehidupan minoritas di Eropa.

Islamofobia sebagai Ancaman Utama Minoritas

Data kejahatan kebencian berbasis agama menunjukkan bahwa Muslim merupakan kelompok minoritas yang paling rentan. Menurut statistik dari Home Office Inggris, hampir setengah dari semua korban kejahatan kebencian berbasis agama di Inggris dan Wales antara Maret 2020 hingga Maret 2021 merupakan kelompok Muslim. Data ini memperkuat temuan diskriminasi struktural yang dihadapi Muslim, terutama dalam mendapatkan pekerjaan dan mengakses layanan publik.

Selain diskriminasi harian, sensitivitas lingkungan toleransi Eropa terhadap peristiwa global terbukti nyata. Laporan menunjukkan bahwa insiden kekerasan terhadap Muslim meningkat tajam sejak konflik geopolitik, seperti Perang Gaza. Selain itu, kebencian anti-Muslim juga menjadi masalah signifikan di ranah digital, terbukti dari data tahun 2020 yang menunjukkan bahwa 9,4% dari ujaran kebencian online berasal dari kebencian anti-Muslim.

Antisemitisme dan Tantangan Hidup Beragama Terbuka

Antisemitism juga tetap menjadi realitas yang meluas bagi banyak orang Yahudi di UE. Prasangka dan permusuhan menyebabkan sebagian besar komunitas Yahudi merasa tidak mampu menjalani kehidupan Yahudi secara terbuka. Meskipun ada upaya pemantauan, laporan Fundamental Rights Agency (FRA) menunjukkan adanya kesenjangan yang persisten dalam pencatatan insiden antisemitism di seluruh Eropa, yang menghambat upaya penanggulangan yang efektif terhadap kebencian ini.

Ekstremisme Sayap Kanan Neo-Nazi

Ancaman terhadap toleransi tidak hanya datang dari diskriminasi sehari-hari tetapi juga dari ekstremisme politik yang terorganisir. Mayoritas serangan kekerasan yang terjadi di kawasan Eropa dilakukan dengan motif ekstremisme sayap kanan Neo-Nazi, yang merupakan ancaman sistemik terhadap kohesi sosial dan keamanan minoritas agama.

Intoleransi agama di Eropa dapat dipahami sebagai siklus yang reaktif dan rapuh. Ketegangan global, seperti konflik di Gaza, dengan cepat memicu lonjakan kejahatan kebencian yang menargetkan Muslim. Pada saat yang sama, pertumbuhan populasi minoritas  digunakan sebagai bahan bakar oleh narasi ekstremisme sayap kanan. Kondisi ini menunjukkan bahwa toleransi di Eropa berada dalam keseimbangan yang rentan, mudah terganggu oleh polarisasi yang diperkuat oleh narasi “kami versus mereka,” baik yang berasal dari dalam maupun luar benua.

Berikut adalah gambaran ringkas realitas diskriminasi agama berdasarkan data pasca-2020:

Table 2: Realitas Diskriminasi Agama di Eropa (Pasca-2020)

Minoritas Target Bentuk Intoleransi Utama Data Kuantitatif Kunci Implikasi (Dampak)
Muslim Islamofobia (Online & Fisik), Diskriminasi Struktural Hampir 50% korban kejahatan kebencian agama di UK/Wales adalah Muslim (2020-2021). Peningkatan insiden kekerasan pasca konflik Gaza. Menghambat integrasi sosio-ekonomi dan menempatkan komunitas pada risiko tinggi.
Yahudi Antisemitisme (Online & Fisik) Sebagian besar merasa tidak bisa hidup Yahudi secara terbuka. Gaps dalam pencatatan insiden. Menurunkan rasa aman dan mengancam kehidupan fundamental keagamaan.
Umum Ekstremisme Politik Mayoritas serangan teror bermotif ekstremisme sayap kanan Neo-Nazi. Ancaman sistemik terhadap kohesi sosial dan demokrasi liberal.

Dinamika Integrasi Sosial dan Kohesi Komunitas

Tantangan Integrasi Minoritas Muslim

Minoritas Muslim di Eropa menghadapi dilema yang kompleks antara keinginan untuk berintegrasi dan adaptasi dengan kelompok mayoritas, atau mempertahankan identitas keagamaan mereka dengan segala konsekuensinya. Secara internal, minoritas Muslim dihadapkan pada kesulitan untuk menyatukan visi gerakan karena sebagian besar masih berafiliasi pada ideologi dan aliran agama dari negara asal mereka.

Secara eksternal, marginalisasi sosio-ekonomi, terutama di lingkungan pinggiran kota Prancis yang dipengaruhi oleh sejarah kolonial dengan Afrika Utara, memperburuk perpecahan. Peristiwa internasional secara berkala memperkuat stereotip negatif terhadap Muslim.

Studi Kasus Komparatif Integrasi

Studi komparatif, seperti Religion Monitor 2017 dari Bertelsmann Institute, memberikan bukti bahwa tingkat integrasi sangat bervariasi antarnegara dan sangat bergantung pada kebijakan nasional. Studi ini membandingkan partisipasi sosial-ekonomi Muslim di lima negara Eropa.

Studi kasus Jerman menunjukkan keberhasilan relatif: Muslim di Jerman menunjukkan tingkat integrasi yang baik ke pasar tenaga kerja. Tingkat pengangguran Muslim di Jerman tercatat 5%, lebih rendah dibandingkan angka pengangguran non-Muslim sebesar 7%. Selain itu, 64% Muslim di Jerman merasa “sangat terikat” dengan negara tersebut. Keberhasilan ini juga meluas ke bidang politik, di mana partisipasi Muslim di parlemen Jerman cukup tinggi.

Sebaliknya, negara-negara dengan model sekularisme yang lebih restriktif atau hambatan struktural yang lebih besar menunjukkan hasil yang kurang memuaskan. Prancis mencatat kesenjangan pengangguran yang lebih besar (Muslim 14% vs. non-Muslim 8%), sementara Austria menunjukkan disparitas signifikan (Muslim 11% vs. non-Muslim 3%).

Tabel 3: Indikator Integrasi Muslim Sosial-Ekonomi Komparatif (2017)

Negara Anggota Tingkat Pengangguran Muslim Tingkat Pengangguran Non-Muslim Rasa Keterikatan (Attachment) pada Negara
Jerman 5% 7% 64%
Inggris 4% 4% 45%
Swiss 6% 4% 75%
Prancis 14% 8% 68%
Austria 11% 3% 37%

Data komparatif ini secara eksplisit menunjukkan bahwa keberhasilan integrasi (diukur dari partisipasi ekonomi dan rasa kepemilikan) sangat dipengaruhi oleh kebijakan nasional, bukan semata-mata kemauan minoritas untuk beradaptasi. Tingkat pengangguran Muslim yang jauh lebih rendah di Jerman dibandingkan di Prancis—meskipun Prancis memiliki rasa keterikatan yang tinggi—mengisyaratkan bahwa model sekularisme yang lebih kooperatif dan kebijakan integrasi ekonomi yang proaktif terbukti lebih efektif dalam membangun toleransi dan kohesi sosial daripada model yang berfokus pada pengendalian simbol keagamaan.

Penguatan Toleransi Melalui Dialog dan Keterlibatan Sipil

Peran Dewan Pimpinan Agama Eropa (ECRL)

Masyarakat sipil dan jaringan antaragama memainkan peran vital dalam mempromosikan toleransi. European Council of Religious Leaders (ECRL) merupakan salah satu dari lima dewan regional dalam gerakan Religions for Peace (RfP). ECRL menyatukan pemimpin senior dari tradisi Yudaisme, Kristen, dan Islam, bersama dengan Buddha, Hindu, Sikh, dan Zoroaster, untuk bekerja sama dalam isu-isu perdamaian, harmoni sosial, dan pencegahan konflik di seluruh Eropa.

ECRL berfungsi sebagai badan konsultatif bagi organisasi multinasional dan pemerintah mengenai isu-isu yang berkaitan dengan praktik keagamaan. Melalui kerjasama dengan organisasi seperti Muslim-Jewish Leaders Council (MJLC), ECRL berupaya memperkuat suara minoritas yang termarginalisasi di tengah gelombang populisme yang meningkat di benua tersebut. ECRL secara konsisten menyerukan otoritas di tingkat lokal, nasional, dan Eropa untuk terlibat secara konstruktif dengan komunitas agama dalam semangat saling menghormati dan mendorong “dialogue of life” di komunitas lokal.

Inisiatif Pertukaran Global Uni Eropa

Uni Eropa juga menyadari pentingnya dialog antarbudaya dan antaragama. European External Action Service (EEAS) Komisi Eropa meluncurkan program “Religion in Society Global Exchange” sebagai upaya untuk mempromosikan pertukaran pengalaman positif dan menjalin persaudaraan global di antara para aktivis sosial-keagamaan.

Secara signifikan, Wakil Presiden Komisi Eropa dan Perwakilan Tinggi Uni Eropa untuk Hubungan Internasional, Federica Mogherini, mengakui secara eksplisit bahwa inisiatif ini terinspirasi oleh pengalaman toleransi beragama dan kehidupan masyarakat yang inklusif di Indonesia, yang dinilai sebagai pelajaran bagi dunia. Pengakuan ini mencerminkan bahwa UE menyadari keterbatasan model tradisionalnya sendiri, yang seringkali didasarkan pada sejarah konflik Gereja-Negara di Barat, dalam mengelola keragaman agama kontemporer. Hal ini mengimplikasikan bahwa solusi untuk masalah intoleransi Eropa mungkin tidak ditemukan dalam sejarah politik Barat, tetapi dalam praktik hidup berdampingan di masyarakat multikultural, yang dapat menawarkan wawasan tentang bagaimana mengelola keragaman di tingkat akar rumput tanpa menuntut penghapusan identitas agama.

Peran Aktor Muslim Transnasional

Selain inisiatif UE dan ECRL, organisasi transnasional seperti Organization of Islamic Cooperation (OKI) juga memainkan peran dalam menanggulangi isu Islamofobia. OKI telah berupaya menanggulangi Islamofobia di negara-negara seperti Prancis melalui inisiatif diplomatik, mediasi, dan fasilitasi, termasuk bertemu dengan pejabat politik dan memberikan bantuan kemanusiaan.

Kesimpulan

Intisari Kontradiksi: Toleransi Normatif vs. Realitas Sosial

Toleransi beragama di Eropa saat ini berada dalam keadaan yang kompleks dan kontradiktif. Terdapat kerangka normatif yang ideal, di mana Uni Eropa mengakui FoRB sebagai hak asasi dan secara eksplisit mendefinisikan Islamofobia sebagai rasisme. Namun, kerangka ini berhadapan dengan kegagalan implementasi di tingkat negara anggota, yang tercermin dalam penerapan model sekularisme restriktif (Laïcité) dan diskriminasi struktural (khususnya di pasar kerja). Realitas sosial diperburuk oleh lonjakan kejahatan kebencian yang sensitif terhadap konflik geopolitik, menunjukkan rapuhnya kohesi sosial di tengah pertumbuhan minoritas dan ancaman ekstremisme sayap kanan Neo-Nazi.

Proyeksi Masa Depan Hubungan Agama-Negara

Proyeksi menunjukkan bahwa tren utama—pertumbuhan minoritas Muslim yang berkelanjutan dan meningkatnya sekularisasi populasi mayoritas—akan terus memberikan tekanan pada model hubungan agama-negara yang ada. Polarisasi yang diperparah oleh ekstremisme sayap kanan Neo-Nazi  akan menjadikan penguatan narasi toleransi dan literasi keagamaan semakin mendesak. Masa depan toleransi di Eropa akan sangat ditentukan oleh apakah negara-negara bersedia beralih dari model yang fokus pada pengendalian agama minoritas menuju model yang mempromosikan kerja sama dengan agama dalam bingkai kenegaraan.

Berdasarkan analisis kerangka normatif, varian sekularisme, dan realitas diskriminasi, laporan ini merekomendasikan langkah-langkah kebijakan berikut untuk memperkuat toleransi beragama di Eropa:

  1. Harmonisasi Interpretasi Sekularisme Nasional:UE harus mengembangkan panduan yang jelas untuk memastikan bahwa interpretasi sekularisme di tingkat nasional (seperti Laïcité) tidak melanggar hak individu untuk berekspresi agama secara publik, sejalan dengan prinsip FoRB yang inklusif. Negara-negara anggota harus didorong untuk beralih dari model restriktif menuju model kooperatif yang memungkinkan integrasi minoritas secara struktural.
  2. Penguatan Pemantauan dan Penegakan Hukum Anti-Diskriminasi:Mandat dan pendanaan FRA dan ECRI perlu diperkuat. Negara anggota harus diwajibkan untuk memperbaiki kesenjangan dalam pencatatan data kejahatan kebencian (termasuk antisemitisme)  dan memastikan penindakan hukum yang konsisten terhadap kebencian anti-Muslim online, sesuai dengan kategorisasinya sebagai rasisme.
  3. Mendorong Integrasi Inklusif dan Berbasis Sosio-Ekonomi:Kebijakan integrasi harus bergeser dari tuntutan asimilasi budaya menuju inklusi sosio-ekonomi. Negara-negara Eropa harus mengadopsi praktik terbaik dari negara-negara yang menunjukkan keberhasilan dalam integrasi pasar tenaga kerja bagi Muslim (seperti Jerman) , dan mengurangi hambatan struktural yang menyebabkan disparitas pengangguran yang tinggi.
  4. Pemanfaatan Dialog Sipil dan Internasional:Pemerintah harus secara aktif berdialog dan memanfaatkan jaringan dialog sipil multireligius seperti ECRL untuk mempromosikan “dialogue of life” di tingkat akar rumput. Selain itu, UE harus terus mengembangkan inisiatif pertukaran global, mengambil pelajaran dari praktik koeksistensi yang sukses di luar Eropa, untuk merumuskan kebijakan yang lebih inklusif.
  5. Mitigasi Dampak Geopolitik:Lembaga penegak hukum dan pemerintah perlu membangun mekanisme respons cepat untuk melindungi minoritas agama dari serangan reaktif yang dipicu oleh konflik internasional, seperti yang terjadi pasca-Perang Gaza , untuk memastikan rasa aman yang stabil bagi semua komunitas beragama.

 

 

 

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

92 − = 85
Powered by MathCaptcha