Sistem penanggalan, atau kalender, merupakan salah satu fondasi peradaban manusia yang paling krusial, berfungsi sebagai sistem terorganisir untuk menghitung dan merekam waktu dalam periode yang diperpanjang. Kalender pada dasarnya adalah upaya sistematis untuk mereplikasi siklus astronomi utama dengan menggunakan aturan tetap. Tiga siklus astronomi utama yang menjadi landasan bagi hampir semua kalender dunia meliputi Hari (berbasis rotasi Bumi pada porosnya), Bulan (berbasis siklus lunasi atau revolusi Bulan mengelilingi Bumi), dan Tahun (berbasis revolusi Bumi mengelilingi Matahari).
Problematika Dasar Penanggalan (The Incommensurability Problem)
Kompleksitas yang inheren dalam perumusan kalender muncul dari kenyataan astronomi bahwa siklus-siklus ini tidak sesuai secara matematis; yaitu, Tahun tidak terdiri dari bilangan bulat Hari atau bilangan bulat Bulan Sinodik. Tahun tropis sejati, yang mendefinisikan musim, memiliki durasi sekitar hari. Sementara itu, siklus sinodik Bulan (lunasi penuh) adalah sekitar hari. Jika hari dibagi dengan hari, hasilnya adalah sekitar bulan, bukan angka bulat.
Ketidaksesuaian ini menuntut setiap sistem penanggalan untuk menggunakan mekanisme interkalasi—penambahan hari atau bulan kabisat—untuk mengkompensasi pecahan waktu tersebut. Tanpa interkalasi yang tepat, kalender akan mengalami pergeseran musiman secara progresif, mengganggu kegiatan agraria dan keagamaan yang terikat pada musim tertentu.
Evolusi Kebutuhan dan Prioritas
Secara historis, perkembangan kalender mencerminkan pergeseran prioritas peradaban. Kalender paling awal, seperti yang mungkin terlihat di Aberdeenshire, Skotlandia, berfokus pada siklus Bulan (Lunar) karena fase bulan relatif mudah diamati di langit malam. Namun, seiring berkembangnya masyarakat agraria, kebutuhan untuk memprediksi musim tanam dan panen menjadi sangat penting. Hal ini mendorong evolusi dari kalender yang mudah dilacak (Lunar) ke sistem yang lebih kompleks—Solar atau Luni-Solar—yang memprioritaskan akurasi musiman. Oleh karena itu, perbedaan jenis kalender yang ada di dunia tidak semata-mata merupakan pilihan astronomi, tetapi merupakan cerminan langsung dari hierarki kebutuhan sosial, ekonomi, dan teologis peradaban yang merumuskannya.
Taksonomi Sistem Penanggalan Dunia: Acuan Astronomi dan Prinsip Dasar
Sistem penanggalan modern diklasifikasikan menjadi tiga tipe dasar, didasarkan pada siklus astronomi mana yang diprioritaskan untuk menentukan panjang tahun dan bulan.
Kalender Sistem Solar (Syamsiah)
Kalender Sistem Solar menggunakan regularitas pergerakan tahunan Matahari sebagai acuan utama. Pergerakan ini, yang didefinisikan sebagai perpindahan posisi Matahari dari langit utara ke selatan dan kembali ke ekuator, menentukan panjang tahun tropis.
Kalender solar memiliki karakteristik utama menjaga musim tetap berada pada tanggal yang sama setiap tahunnya. Meskipun bulan-bulan di dalamnya mungkin secara kasar mendekati panjang siklus lunar, sistem solar tidak berusaha menjaga bulan-bulan tersebut sinkron dengan fase bulan. Keunggulan ini menjadikannya ideal untuk wilayah beriklim sedang yang mengalami empat musim yang jelas, di mana kegiatan pertanian sangat bergantung pada konsistensi tanggal musiman. Contoh paling dominan dari sistem ini adalah Kalender Gregorian dan Kalender Julian.
Kalender Sistem Lunar (Kamariah)
Kalender Sistem Lunar sepenuhnya didasarkan pada peredaran Bulan atau siklus lunasi (bulan sinodik). Satu bulan ditetapkan sebagai satu siklus penuh fase bulan, biasanya dimulai dengan New Moon atau penampakan hilal (bulan sabit pertama).
Karena satu tahun lunar (12 bulan) hanya berlangsung sekitar 354 atau 355 hari, sistem ini memiliki durasi sekitar 11 hari lebih pendek daripada tahun solar. Konsekuensinya, bulan-bulan dan hari-hari raya yang dihitung menggunakan kalender lunar akan bergeser secara progresif melalui semua musim selama periode sekitar 33 tahun. Kalender lunar mudah diadopsi karena fase bulan mudah dilacak; sistem ini sangat sesuai untuk ritual keagamaan dan wilayah yang minim variasi musiman, seperti di sekitar Ekuator. Contoh utama kalender ini adalah Kalender Hijriah (Islam).
Kalender Sistem Luni-Solar (Suryacandra)
Sistem Luni-Solar adalah kalender hibrida yang berupaya menyeimbangkan siklus bulanan lunar dengan siklus tahunan solar. Tujuan utamanya adalah memastikan bahwa tahun memiliki jumlah bulan yang utuh dan tetap selaras dengan musim.
Untuk mencapai keseimbangan ini, kalender Luni-Solar secara berkala harus menambahkan bulan kabisat (embolismic month atau intercalary month). Penambahan bulan ke-13 ini biasanya dilakukan setiap dua atau tiga tahun sekali, agar kalender tidak terlalu jauh melenceng dari tahun solar dan, dengan demikian, memastikan festival yang terkait dengan panen atau musim tertentu (misalnya Paskah Yahudi atau Imlek Tiongkok) selalu jatuh pada periode musiman yang benar. Meskipun kemampuannya melacak Matahari dan Bulan menjadikannya fungsional di berbagai wilayah, mekanisme interkalasinya yang rumit juga menjadikannya sulit dipelajari dan digunakan. Contoh kalender Lunisolar termasuk Kalender Ibrani, Tiongkok, Hindu, dan kalender Babilonia kuno.
Ketiga tipe ini mencerminkan tujuan mendasar yang berbeda: Kalender Solar memprioritaskan kebutuhan agraria, Kalender Lunar memprioritaskan siklus ibadah bulanan, dan Kalender Luni-Solar berusaha menengahi, mencerminkan kebutuhan masyarakat yang ingin mempertahankan festival spiritual mereka dalam konteks musiman.
Table 1: Klasifikasi dan Karakteristik Tiga Tipe Dasar Kalender
Tipe Kalender | Acuan Utama | Durasi Tahun Rata-rata | Mekanisme Koreksi | Contoh Utama |
Solar (Syamsiah) | Revolusi Bumi (Tahun Tropis) | hari | Hari Kabisat (Leap Day) | Gregorian, Julian |
Lunar (Kamariah) | Siklus Lunasi (Bulan Sinodik) | hari | Variasi panjang bulan/tahun | Hijriah (Islam) |
Luni-Solar | Kombinasi Matahari dan Bulan | Bervariasi (12 atau 13 bulan) | Bulan Kabisat (Leap Month) | Ibrani, Tiongkok |
Sistem Solar Dominan: Evolusi dari Julian ke Gregorian
Sistem penanggalan solar paling berpengaruh di dunia Barat adalah Kalender Julian dan penerusnya, Kalender Gregorian. Evolusi dari Julian ke Gregorian menunjukkan pencarian presisi astronomi yang didorong oleh kebutuhan teologis.
Kalender Julian: Fondasi Romawi
Kalender Julian, dinamai dari Julius Caesar yang memperkenalkannya pada 46 SM, mulai berlaku pada 1 Januari 45 SM, menggantikan kalender Romawi yang sebelumnya sebagian besar bersifat lunisolar. Kalender ini menetapkan sistem solar sederhana: satu tahun normal 365 hari, dengan penambahan hari kabisat setiap empat tahun tanpa pengecualian.
Dengan aturan ini, panjang tahun Julian rata-rata adalah hari. Meskipun jauh lebih baik daripada sistem Romawi sebelumnya, nilai ini terlalu panjang dibandingkan dengan tahun tropis sejati ( hari). Kelebihan sekitar hari per tahun ini menyebabkan kalender Julian mendapatkan kelebihan satu hari setiap 129 tahun. Sepanjang penggunaannya selama lebih dari 1.600 tahun, akumulasi kesalahan ini menjadi masalah signifikan. Hingga abad ke-16, kalender telah bergeser sekitar 10 hari dari posisi astronomi yang seharusnya, menyebabkan Ekuinoks Musim Semi jatuh jauh sebelum tanggal nominal 21 Maret.
Dalam konteks perhitungan waktu astronomi, meskipun Kalender Gregorian telah menggantikannya, satuan Julian Year (tepat hari) dan Julian Period (7980 tahun) tetap dipertahankan sebagai alat ukur yang stabil dan baku (misalnya untuk menentukan epoch J2000.0). Ini menunjukkan dualitas penggunaan: skala Julian matematis digunakan untuk ilmu falak, sementara Gregorian digunakan untuk waktu sipil.
Kalender Gregorian: Akurasi dan Standardisasi Global
Reformasi Gregorian diprakarsai oleh Paus Gregorius XIII pada Oktober 1582. Tujuannya yang paling mendesak adalah teologis: mengoreksi pergeseran Ekuinoks agar Paskah, yang perhitungannya fundamental pada tanggal 21 Maret, dapat dihitung dengan benar.
Reformasi ini mencapai akurasi yang lebih tinggi dengan memodifikasi aturan kabisat Julian :
- Tahun yang habis dibagi 4 adalah tahun kabisat.
- Kecuali, tahun yang habis dibagi 100 bukan tahun kabisat (misalnya, 1900).
- Kecuali lagi, tahun yang habis dibagi 400 adalah tahun kabisat (misalnya, 1600 dan 2000).
Dengan menghilangkan tiga hari kabisat yang berlebihan dalam periode 400 tahun, sistem Gregorian berhasil menghasilkan tahun rata-rata hari. Akurasi ini hanya berbeda sekitar 26 detik per tahun dari tahun tropis sebenarnya, yang berarti kalender ini hanya akan melenceng satu hari setelah sekitar 3.323 tahun. Akurasi ilmiah superior ini, meskipun dimotivasi oleh kebutuhan teologis, secara tidak sengaja menjadikannya standar yang ideal untuk logistik, perdagangan, dan ilmu pengetahuan global.
Sebaran Geokultural
Kalender Gregorian saat ini merupakan kalender sipil yang paling banyak digunakan di seluruh dunia. Adopsi sistem ini terjadi secara bertahap: negara Katolik mengadopsi segera pada 1582. Negara Protestan menyusul perlahan selama dua abad berikutnya. Sementara itu, sebagian besar negara Ortodoks mengadopsi Gregorian sebagai kalender sipil pada abad ke-20, tetapi mereka umumnya mempertahankan Kalender Julian untuk tujuan liturgi keagamaan. Perbedaan perhitungan antara keduanya bersifat kumulatif, di mana antara tahun 1901 dan 2099, tanggal Julian adalah 13 hari di belakang tanggal Gregorian.
Sistem Lunar Murni: Kalender Hijriah (Islam)
Kalender Hijriah (Islamic Calendar, HC) adalah sistem waktu murni lunar, yang digunakan secara global untuk menentukan hari-hari raya dan ritual keagamaan Islam, seperti puasa Ramadhan dan ibadah Haji tahunan.
Basis Astronomis dan Pergeseran Musiman
Kalender Hijriah terdiri dari 12 bulan lunar dengan total 354 atau 355 hari per tahun. Karena tidak adanya interkalasi yang mengikatnya dengan siklus Matahari, tahun lunar murni secara konsisten memiliki defisit sekitar 10 hingga 11 hari dibandingkan tahun tropis. Ini menjelaskan mengapa hari raya Islam (misalnya Idul Fitri) bergeser secara tidak menentu melalui musim kemarau dan musim hujan, sangat kontras dengan kalender Lunisolar seperti Tiongkok, yang sengaja disinkronkan agar tahun barunya selalu jatuh pada musim semi.
Penetapan Epoch (Anno Hegirae – AH)
Epoch Kalender Hijriah adalah Anno Hegirae (AH), yang ditetapkan pada tahun terjadinya Hijrah—migrasi Nabi Muhammad dan para pengikutnya dari Mekkah ke Madinah pada 622 M.
Meskipun Hijrah terjadi sekitar 66 hari setelah tahun baru, Khalifah Umar pada tahun 638 M (enam tahun setelah wafatnya Nabi Muhammad) menetapkan era ini untuk menggantikan sistem penamaan tahun yang tidak terstandardisasi yang digunakan sebelumnya. Penetapan era ini dimulai pada 1 Muharram 1 AH, yang bertepatan dengan tanggal Julian 16 Juli 622 CE. Keputusan untuk menetapkan era baru ini didorong oleh kebutuhan praktis administrasi di wilayah kekhalifahan yang baru ditaklukkan, di mana berbagai kalender solar (seperti Sasanid, Bizantium Julian, dan Koptik) digunakan.
Tantangan Unifikasi dan Visibilitas Hilal
Walaupun Kalender Hijriah digunakan untuk ritual keagamaan secara global, penentuannya menghadapi tantangan harmonisasi yang unik. Awal bulan baru Hijriah ditentukan oleh penampakan hilal, bulan sabit yang sangat tipis yang terlihat pertama kali setelah Matahari terbenam.
Para ahli astronomi dan falak di seluruh dunia menghadapi konflik metodologis antara penentuan berdasarkan perhitungan astronomi (hisab) dan pengamatan aktual (rukyat). Karena kriteria visibilitas hilal (misalnya kriteria Ilyas C) bervariasi tergantung pada posisi geografis, ketinggian bulan, dan nilai azimut, tidak ada kepastian seragam di seluruh dunia mengenai waktu dimulainya bulan baru. Hal ini menciptakan kesulitan dalam upaya standardisasi kalender Islam global yang dapat menyatukan hari-hari ibadah, terutama Hari Arafah.
Tantangan untuk menciptakan kalender Hijriah yang seragam secara global bukan hanya masalah teknis, tetapi juga konflik epistemologis antara tradisi observasi lokal dan tuntutan modernitas untuk konsistensi matematis global. Upaya untuk memperkenalkan sistem global berbasis perhitungan—seperti menetapkan bulan baru berdasarkan kelahiran Bulan sebelum atau sesudah waktu tertentu (misalnya 12:00 WU)—seringkali sulit diterima oleh masyarakat yang sangat terikat pada praktik rukyat regional. Situasi ini menunjukkan adanya kebutuhan mendesak bagi otoritas Islam untuk menetapkan aturan universal, sebanding dengan peran yang dimainkan oleh Julian atau Gregorius XIII dalam standardisasi kalender solar.
Sistem Luni-Solar Kompleks: Ibrani dan Tiongkok
Sistem Luni-Solar adalah sistem yang paling rumit karena ia secara aktif mencoba memaksa dua siklus kosmik yang tidak sesuai, Bulan dan Matahari, untuk bekerja secara harmonis. Upaya ini memerlukan mekanisme interkalasi yang sangat canggih.
Kalender Ibrani (Hebrew Calendar)
Kalender Ibrani adalah kalender Luni-Solar yang memiliki tujuan utama untuk menjaga hari-hari raya pertanian (terkait panen) agar selalu jatuh pada musim yang tepat.
Penetapan Epoch (Anno Mundi)
Epoch kalender Ibrani adalah Anno Mundi (AM, “Tahun Dunia”), yang mengukur usia dunia berdasarkan perhitungan kitab suci. Titik awal dihitung sebagai matahari terbenam pada tanggal Julian proleptic 6 Oktober 3761 BCE. Perhitungan ini didasarkan pada Seder Olam Rabbah (sekitar 160 M) dan dipopulerkan oleh Maimonides pada abad ke-12.
Pemilihan Anno Mundi sebagai titik awal (berbeda dengan epoch yang didasarkan pada peristiwa sejarah, seperti kelahiran Kristus atau Hijrah) mencerminkan lingkup narasi agama tersebut: kalender Ibrani bertujuan untuk mengukur seluruh usia kosmos, memberikan kedalaman waktu yang melampaui sejarah manusia yang tercatat.
Mekanisme Interkalasi Metonik
Kalender Ibrani menggunakan siklus Metonik 19 tahun untuk menyelaraskan waktu lunar dengan waktu solar. Dalam setiap siklus ini, 7 tahun adalah tahun kabisat (dengan 13 bulan) dan 12 tahun adalah tahun biasa (12 bulan). Untuk menyesuaikan ketidaksesuaian kecil, tahun Ibrani dapat bervariasi panjangnya secara internal: tahun biasa dapat memiliki 353, 354, atau 355 hari, sementara tahun kabisat dapat memiliki 383, 384, atau 385 hari. Kompleksitas penambahan bulan kabisat—yang merupakan upaya yang jauh lebih drastis daripada penambahan hari kabisat dalam sistem solar—menunjukkan kesulitan inheren dalam memaksa dua siklus astronomi yang tidak cocok untuk bekerja secara harmonis.
Kalender Tiongkok (Chinese Lunisolar Calendar)
Kalender Tiongkok adalah sistem Lunisolar kuno yang diyakini telah digunakan sejak Dinasti He (2205 SM) dan hingga kini mempengaruhi praktik penanggalan di seluruh Asia Timur.
Sinkronisasi Melalui Solar Terms
Berbeda dengan kalender lunar murni, Kalender Tiongkok menggunakan 24 Solar Terms (Jieqi) untuk memastikan sinkronisasi yang ketat dengan tahun tropis dan musim. Solar Terms didasarkan pada posisi ekliptika Matahari. Delapan istilah kunci, seperti Vernal Equinox dan Winter Solstice, menandai transisi empat musim dan telah ada sejak Periode Negara-Negara Berperang (475–221 SM).
Bulan Kabisat Tiongkok
Mirip dengan kalender Ibrani, Kalender Tiongkok menggunakan bulan kabisat untuk menyesuaikan kembali siklus bulan dengan siklus solar, memastikan bahwa Tahun Baru Imlek, yang menandai awal musim semi, selalu jatuh dalam periode waktu yang konsisten (akhir Januari hingga pertengahan Februari). Hal ini sangat kontras dengan Kalender Hijriah yang murni lunar, di mana tahun baru bergeser secara signifikan dari musim ke musim.
Perbandingan Kritis Disparitas, Epoch, dan Mekanisme Interkalasi
Perbedaan mendasar antara sistem penanggalan global terangkum dalam titik awal penanggalan (epoch) dan metode yang digunakan untuk menjaga akurasi temporal (interkalasi).
Perbandingan Epoch dan Signifikansi Teologis
Epoch (titik awal penghitungan tahun) yang berbeda-beda berfungsi sebagai jangkar historis dan teologis bagi setiap sistem. Kalender-kalender epoch memiliki stabilitas abadi karena mereka menandai titik balik spiritual yang lebih tahan lama daripada dinasti atau pemerintahan politik.
Table 2: Perbandingan Epoch Tiga Kalender Historis Utama
Kalender | Nama Era | Epoch (Titik Awal) | Peristiwa yang Diacu | Tipe Acuan |
Gregorian/Julian | Anno Domini (AD/CE) | 1 Januari, 1 M | Kelahiran Yesus (tradisional) | Solar |
Hijriah (Islam) | Anno Hegirae (AH) | 1 Muharram 1 AH (16 Juli 622 M) | Hijrah ke Madinah | Lunar |
Ibrani (Yahudi) | Anno Mundi (AM) | 6 Oktober 3761 SM (Proleptic Julian) | Penciptaan Dunia | Luni-Solar |
Penentuan titik awal ini mencerminkan orientasi filosofis. Sementara Kalender Gregorian (berbasis Julian) berfokus pada peristiwa tunggal yang signifikan bagi peradaban, dan Kalender Hijriah berfokus pada pemersatuan komunitas, Kalender Ibrani mengambil titik awal yang jauh lebih ambisius, mengukur seluruh usia kosmos sejak Penciptaan, memberikan dimensi waktu yang mendalam.
Kontras Mekanisme Interkalasi dan Presisi Matematis
Akurasi sistem penanggalan dapat diukur dari seberapa dekat durasi tahun rata-ratanya dengan tahun tropis sejati ( hari).
Sistem Solar, Julian, dengan rata-rata hari , memiliki disparitas yang jelas yang harus dikoreksi. Aturan 400 tahun Gregorian yang menghilangkan tiga hari kabisat Julian setiap empat abad adalah solusi matematis yang diperlukan untuk mengkompensasi kelebihan hari yang terjadi di Julian. Koreksi ini menghasilkan Kalender Gregorian yang sangat akurat ( hari).
Mekanisme koreksi yang digunakan juga sangat berbeda berdasarkan jenis kalendernya:
- Solar Murni (Gregorian/Julian): Koreksi dicapai dengan penambahan hari kabisat (Leap Day).
- Luni-Solar (Ibrani/Tiongkok): Koreksi dicapai dengan penambahan bulan kabisat (embolismic month) untuk menyesuaikan seluruh siklus lunar dengan kerangka waktu solar.
- Lunar Murni (Hijriah): Secara tradisional tidak ada interkalasi terhadap siklus solar, yang menyebabkan pergeseran musiman. Untuk sistem tabular (yang matematis), hanya ada penambahan hari kabisat dalam siklus 30 tahun untuk menjaga hari tetap utuh.
Table 3: Detail Mekanisme Interkalasi Kalender Solar dan Lunisolar
Kalender | Periode Rata-rata | Aturan Kabisat Dasar | Presisi terhadap Tahun Tropis | Sumber Disparitas |
Julian | hari | Tambah 1 hari setiap 4 tahun | Berlebih hari/tahun | Bergeser 1 hari per 129 tahun |
Gregorian | hari | Habis dibagi 4, kecuali habis dibagi 100 tetapi tidak 400 | Akurasi sangat tinggi | Bergeser 1 hari per 3323 tahun |
Ibrani | Siklus 19 tahun | 7 Tahun Kabisat (13 bulan) dalam 19 tahun | Dirancang untuk menjaga festival sesuai musim | Kompleksitas matematis dan penundaan hari |
Tantangan Harmonisasi dan Masa Depan Penanggalan Global
Meskipun Kalender Gregorian telah menjadi bahasa waktu universal untuk urusan sipil, politik, dan komersial karena akurasi dan prediktabilitasnya , kalender tradisional tetap dipertahankan untuk tujuan keagamaan dan budaya, menciptakan fenomena duality penanggalan.
Dualitas Penanggalan dan Evolusi Standarisasi
Evolusi standardisasi penanggalan menunjukkan pergeseran dari motivasi spiritual dan agraria ke kebutuhan logistik dan prediktif. Meskipun Kalender Gregorian pada awalnya didorong oleh kebutuhan teologis (menjaga Paskah), akurasi ilmiahnya yang superior memenangkan dominasi global sebagai standar sipil. Sebaliknya, kalender keagamaan (seperti Hijriah dan Ibrani) tetap berpegang pada siklus yang mendefinisikan ritme spiritual mereka.
Tantangan Harmonisasi Kalender Keagamaan
Tantangan unifikasi Kalender Hijriah secara global menyoroti ketegangan antara otonomi spiritual dan tuntutan globalisasi. Karena penentuan awal bulan bergantung pada rukyat (pengamatan lokal) yang bervariasi secara geografis dan terikat pada interpretasi fikih, implementasi garis tanggal internasional yang seragam (seperti yang diusulkan oleh Mohammad Ilyas) sulit diterima.
Resistensi terhadap standardisasi matematis ini mencerminkan keengganan untuk kehilangan otonomi penentuan waktu yang secara tradisional dimiliki oleh komunitas lokal. Unifikasi kalender berbasis hisab global akan mengambil otoritas penentuan waktu dan menyerahkannya kepada perhitungan matematis terpusat, menimbulkan konflik politik-yuridis selain teknis.
Kesimpulan
Sistem penanggalan global dibedakan secara fundamental oleh prioritas astronomi yang mereka dukung: Solar (presisi musiman), Lunar (presisi siklus bulanan), atau Luni-Solar (kompromi yang menuntut kompleksitas interkalasi tinggi). Epoch yang berbeda—berkisar dari peristiwa sejarah (Hijrah) hingga narasi kosmologis (Anno Mundi)—memberikan jangkar teologis yang memastikan kelangsungan hidup mereka melintasi zaman.
Dominasi Kalender Gregorian di ranah sipil bersifat tak terhindarkan karena tingkat akurasi matematisnya yang sangat tinggi, yang memungkinkan perencanaan jangka panjang yang vital bagi peradaban global. Namun, keberlanjutan kalender Lunar dan Luni-Solar menunjukkan bahwa waktu bukanlah entitas tunggal yang ditentukan oleh Matahari semata. Sebaliknya, waktu memiliki dimensi ganda: waktu sekuler yang membutuhkan kepastian matematis (Gregorian) dan waktu spiritual yang diatur oleh ritme kosmik (Lunar/Luni-Solar) dan otoritas lokal.
Masa depan penanggalan global akan terus didominasi oleh Kalender Gregorian untuk urusan sipil. Sementara itu, upaya untuk menstandardisasi kalender keagamaan, seperti Kalender Hijriah, akan terus berlanjut. Upaya ini harus menavigasi kompleksitas teknis astronomi sekaligus mengatasi resistensi kultural dan teologis yang timbul dari hilangnya otonomi penentuan waktu, suatu proses yang memerlukan konsensus global dan, mungkin, otoritas reformasi yang setara dengan sosok Julius Caesar atau Paus Gregorius XIII dalam konteksnya masing-masing.