Pendahuluan dan Kerangka Konseptual Keadilan Iklim
Konferensi Para Pihak (Conference of the Parties/COP) di bawah kerangka Konvensi Kerangka Kerja PBB tentang Perubahan Iklim (UNFCCC) berfungsi sebagai forum utama bagi masyarakat internasional untuk mengatasi krisis iklim. Titik balik diplomatik yang paling signifikan adalah adopsi Perjanjian Paris pada COP21 tahun 2015, yang merupakan perjanjian internasional mengikat secara hukum yang disetujui oleh 195 Pihak.
Tujuan utama Perjanjian Paris adalah menahan kenaikan suhu rata-rata global agar “jauh di bawah 2∘C” di atas tingkat pra-industri dan mengejar upaya untuk membatasinya hingga 1.5∘C. Imperatif ilmiah ini ditekankan oleh Panel Antarpemerintah tentang Perubahan Iklim (IPCC), yang menyatakan bahwa melampaui batas 1.5∘C berisiko melepaskan dampak iklim yang jauh lebih parah. Untuk mencapai batas 1.5∘C, emisi gas rumah kaca global harus mencapai puncaknya paling lambat sebelum 2025 dan menurun sebesar 43% pada 2030.
Kerangka Keadilan dan Prinsip CBDR-RC
Perjanjian Paris menetapkan implementasinya harus mencerminkan prinsip Keadilan dan Tanggung Jawab Bersama Tetapi Berdiferensiasi dan Kapabilitas Masing-Masing (Common But Differentiated Responsibilities and Respective Capabilities/CBDR-RC), dengan mempertimbangkan kondisi dan kapasitas nasional yang berbeda. Mekanisme implementasi utama Perjanjian Paris adalah siklus lima tahunan yang mendorong negara-negara untuk mengajukan Kontribusi yang Ditentukan Secara Nasional (NDCs) yang semakin ambisius (ratcheting up) sejak 2020.
Secara normatif, COP dan Perjanjian Paris adalah sebuah keberhasilan legal-diplomatik karena berhasil menyatukan hampir semua negara di bawah satu kerangka kerja yang mengikat. Namun, fokus evaluasi harus bergeser dari keberhasilan adopsi menuju kinerja operasional. Jika target 1.5∘C adalah garis pertahanan ilmiah untuk kelangsungan hidup manusia , dan kemajuan secara kolektif dinilai “terlalu lambat” , maka dapat disimpulkan bahwa meskipun prinsip CBDR-RC diakui , kerangka kerja tersebut belum berhasil mendorong tingkat ambisi dan dukungan finansial yang proporsional dari pihak-pihak yang secara historis bertanggung jawab.
Analisis Kinerja COP: Hasil Global Stocktake dan Arah Kebijakan Bahan Bakar Fosil
Penilaian Global (Global Stocktake/GST) Pertama
COP28 di Dubai menandai kesimpulan dari Global Stocktake (GST) pertama, sebuah proses inventarisasi yang dirancang untuk mengevaluasi kemajuan kolektif dunia menuju tujuan Perjanjian Paris, mengidentifikasi kesenjangan, dan menyepakati jalur solusi.
Temuan GST pertama bersifat kritis dan mengungkapkan kegagalan implementasi kolektif: kemajuan dinilai “terlalu lambat” di semua bidang aksi iklim—mulai dari mitigasi (pengurangan gas rumah kaca) hingga penguatan ketahanan dan penyediaan dukungan finansial. GST secara eksplisit mencatat bahwa Pihak-pihak berada “di luar jalur” dalam memenuhi tujuan Perjanjian Paris mereka. Meskipun sains menuntut emisi global dipotong 43% pada 2030 (dibandingkan 2019) untuk menjaga batas 1.5∘C, penilaian menunjukkan kesenjangan yang signifikan antara janji dan tindakan.
Keputusan Historis versus Ambang Batas Ambisi Mitigasi
Meskipun hasilnya suram, COP28 mencapai kesepakatan yang menandai “awal dari akhir” era bahan bakar fosil, dengan seruan untuk transisi menjauhi bahan bakar fosil dalam sistem energi secara adil, tertib, dan merata. Ini adalah pertama kalinya bahasa tentang bahan bakar fosil secara eksplisit dimasukkan dalam perjanjian final COP.
Persetujuan GST menyerukan tindakan kuantitatif penting, yaitu:
- Peningkatan tiga kali lipat kapasitas energi terbarukan secara global pada tahun 2030.
- Peningkatan dua kali lipat perbaikan efisiensi energi secara global pada tahun 2030.
Namun, keberhasilan pengakuan eksplisit terhadap bahan bakar fosil harus disandingkan dengan kegagalan politik untuk merumuskan solusi yang benar-benar tegas. Dokumen akhir hanya menyerukan percepatan upaya menuju pengurangan bertahap (phase-down) pembangkit listrik tenaga batu bara yang tidak diatasi (unabated coal power) dan penghapusan bertahap subsidi bahan bakar fosil yang tidak efisien. Penggunaan istilah phase-down alih-alih phase-out total, dan kualifikasi seperti unabated (yang memungkinkan teknologi penangkapan karbon) dan inefficient subsidies, menciptakan ruang ambiguitas yang dapat dieksploitasi oleh kepentingan industri.
Kegagalan ambisi mitigasi ini diperburuk oleh konteks negosiasi. Kehadiran lebih dari 2.400 pelobi bahan bakar fosil di COP28 menegaskan bahwa keputusan tersebut merupakan kompromi politik yang dilemahkan, bukan respons langsung terhadap tuntutan ilmiah. Dengan mempertahankan ambiguitas, perjanjian tersebut berisiko memperpanjang dan memperdalam risiko bagi komunitas yang paling rentan secara ekonomi dan lingkungan. Meskipun GST berhasil mengidentifikasi secara akurat bahwa Pihak-pihak berada di luar jalur, kekuatan politik dalam perundingan final menunjukkan bahwa keberhasilan identifikasi masalah dikalahkan oleh kegagalan politik dalam merumuskan solusi yang ambisius, sehingga menghambat aksi global yang diperlukan.
Beban Tanggung Jawab: Analisis Disparitas Historis dan Prinsip CBDR-RC
Prinsip CBDR-RC—yang menyatakan bahwa negara maju harus memimpin mitigasi GRK —berakar pada fakta ketidaksetaraan historis dalam kontribusi emisi. Karbon dioksida (CO₂) bertahan di atmosfer selama ratusan tahun, menjadikan emisi kumulatif sebagai metrik utama untuk menentukan tanggung jawab iklim.
Akar Kontroversi: Emisi Kumulatif Historis
Sejak 1751, dunia telah melepaskan lebih dari 1,5 triliun ton CO2 ke atmosfer. Analisis menunjukkan dominasi kontribusi oleh negara-negara yang berindustrialisasi lebih awal:
- Amerika Serikat: Merupakan penyumbang emisi kumulatif terbesar, bertanggung jawab atas hampir seperempat dari emisi historis, melebihi kontribusi Tiongkok (penyumbang terbesar kedua) lebih dari 1,5 kali.
- Uni Eropa: Secara kolektif, negara-negara UE menyumbang hampir seperlima dari semua emisi kumulatif.
- Inggris: Menjelang tahun 1882, Inggris Raya sendiri bertanggung jawab atas lebih dari setengah emisi kumulatif global, yang mencerminkan statusnya sebagai pelopor Revolusi Industri.
Sebaliknya, sebagian besar negara di Afrika telah bertanggung jawab atas kurang dari 0,02% dari seluruh emisi sejak 1750.
Kesenjangan Emisi Per Kapita
Ketidaksetaraan emisi juga terlihat jelas dalam metrik per kapita. Terdapat hubungan erat antara pendapatan tinggi dan jejak karbon per kapita yang tinggi.
Negara-negara padat penduduk dengan emisi per kapita tertinggi, seperti Amerika Serikat, Australia, dan Kanada, memiliki rata-rata emisi sekitar 3 kali lebih tinggi dari rata-rata global. Disparitas ini sangat kontras dengan negara-negara termiskin di Afrika Sub-Sahara, yang memiliki jejak karbon rata-rata sekitar 150 kali lebih rendah dibandingkan rata-rata AS atau Australia. Rata-rata orang Amerika atau Australia memproduksi emisi yang sama dalam waktu kurang dari dua hari seperti yang dilakukan rata-rata orang di Mali atau Niger selama setahun penuh.
Disparitas Emisi Kumulatif dan Per Kapita CO2 Global (Analisis Keadilan Historis)
| Indikator | Amerika Serikat | Uni Eropa (Gabungan) | Afrika Sub-Sahara (Sebagian Besar) |
| Emisi Kumulatif (Sejak 1751) | ≈ 25% dari total global | ≈ 20% dari total global | < 0.02% dari total global |
| Emisi Per Kapita (Rata-rata) | ≈ 3x Rata-rata Global | Bervariasi (Tinggi/Sedang) | ≈ 150x Lebih Rendah dari AS/Australia |
| Implikasi Tanggung Jawab | Kewajiban Mitigasi Terdalam dan Reparatif | Kewajiban Finansial & Teknologi | Prioritas Akses Energi & Adaptasi |
Beban Ganda Negara Berkembang
Disparitas historis ini menjelaskan mengapa krisis iklim dianggap sebagai utang historis yang didominasi oleh industrialisasi Barat. Di sisi lain, peningkatan emisi tahunan di Asia dalam beberapa dekade terakhir terjadi sebagai efek samping dari peningkatan standar hidup yang masif, termasuk penurunan kemiskinan ekstrem dan peningkatan pendidikan.
Negara-negara berkembang (DN) menghadapi beban ganda: mereka dituntut untuk melakukan dekarbonisasi cepat untuk memenuhi target global (yang didorong oleh emisi masa lalu negara maju/DM), sambil secara bersamaan harus memenuhi agenda pembangunan ekonomi secara keseluruhan, termasuk pemberantasan kemiskinan dan penyediaan akses energi. Kegagalan DM untuk mengambil kepemimpinan yang tegas dalam mitigasi dan pembiayaan merusak legitimasi sistem CBDR-RC di mata DN, karena menuntut pengorbanan pembangunan dari pihak yang paling sedikit berkontribusi terhadap masalah ini.
Kesenjangan Keadilan Finansial: Analisis Loss and Damage Fund (LDF)
Dalam kerangka CBDR-RC, peran negara maju tidak hanya mencakup mitigasi yang lebih ambisius, tetapi juga penyediaan dukungan finansial dan teknologi untuk membantu negara berkembang beradaptasi dan mengatasi dampak iklim yang tak terhindarkan.
Pencapaian Normatif LDF
Salah satu keberhasilan normatif utama COP adalah pendirian Dana Kerugian dan Kerusakan (Loss and Damage Fund/LDF). LDF, yang disepakati di COP27 dan dioperasionalisasikan secara historis pada hari pertama COP28 , adalah mekanisme reparasi yang dirancang untuk menyediakan bantuan pemulihan bencana bagi negara-negara rentan yang menanggung beban dampak iklim yang berat. Dana ini ditujukan untuk mengimbangi kerugian dan kerusakan dari bencana alam akibat perubahan iklim, termasuk hilangnya nyawa, kerusakan infrastruktur, dan gangguan mata pencaharian.
Pengakuan ini merupakan kemenangan yang diperjuangkan selama 28 tahun, mengakui bahwa negara-negara yang bertanggung jawab atas sebagian besar emisi harus menanggung kerusakan yang ditimbulkan.
Kegagalan Kuantitatif: Jurang Pembiayaan yang Masif
Meskipun merupakan tonggak sejarah, operasionalisasi LDF segera menghadapi krisis kuantitatif. Komitmen total terhadap LDF setelah COP28 mencapai antara USD 661 juta hingga USD 788 juta.
Angka ini sangat tidak memadai jika dibandingkan dengan kebutuhan nyata negara berkembang. Kerugian ekonomi tahunan di negara berkembang dari dampak iklim diperkirakan mencapai USD 400 miliar hingga USD 800 miliar pada tahun 2030, dan dapat melampaui USD 1 triliun jika kerugian non-ekonomi dimasukkan.
Kesenjangan pendanaan yang masif ini (kebutuhan tahunan melebihi janji total lebih dari 500 kali lipat) telah membuat LDF dicap sebagai “konsesi simbolis daripada aksi nyata”. Misalnya, kontribusi Amerika Serikat sebesar USD 17,5 juta dianggap “tidak berarti (paltry)” mengingat statusnya sebagai penyumbang emisi kumulatif terbesar.
Kesenjangan Pendanaan Loss and Damage (LDF): Sebuah Metrik Kegagalan Finansial
| Metrik Pendanaan | Total Janji LDF (Pasca COP28) | Estimasi Kebutuhan Tahunan Negara Berkembang | Signifikansi Analisis |
| Skala Pendanaan | ≈ $661 – $788 Juta | $400 Miliar hingga $1 Triliun (pada 2030) | Janji yang ada hanya memenuhi kurang dari 0.2% dari kebutuhan minimum tahunan yang diproyeksikan, menunjukkan kegagalan proporsionalitas. |
| Kontribusi AS | $17.5 Juta | Terbesar dalam Emisi Kumulatif | Kontribusi finansial yang dianggap tidak berarti relatif terhadap tanggung jawab historis sebagai penyumbang emisi kumulatif terbesar. |
Jurang pendanaan ini menciptakan krisis kredibilitas bagi negara maju. Hal ini menunjukkan bahwa meskipun negara maju setuju secara prinsip untuk membayar kerusakan, mereka menolak untuk menyediakan kapasitas finansial yang sebanding dengan tanggung jawab historis mereka.
Kebutuhan Reformasi Arsitektur Keuangan
Global Stocktake menyoroti bahwa aliran pendanaan iklim saat ini dari sumber multilateral, bilateral, dan swasta secara keseluruhan masih jauh dari triliunan yang pada akhirnya dibutuhkan untuk mendukung transisi energi bersih, implementasi NDC, dan upaya adaptasi di negara berkembang.
Oleh karena itu, GST menggarisbawahi perlunya mereformasi arsitektur keuangan multilateral, meningkatkan pendanaan iklim melalui hibah dan pendanaan konsesional, serta mempercepat pembentukan sumber pendanaan baru dan inovatif. Tanpa reformasi ini, LDF berisiko gagal memenuhi tujuannya, dan upaya mitigasi global akan terhenti.
Tantangan Transisi Energi di Negara Berkembang: Memprioritaskan Pembangunan
Transisi energi di negara berkembang (DN) harus dilihat dalam konteks pembangunan yang berkeadilan (Just Transition). Bagi negara-negara seperti Indonesia, transisi energi harus melayani dan mendukung kewajiban agenda pembangunan ekonomi secara keseluruhan.
Dilema Transisi dan Kebutuhan Pembangunan
Di banyak DN, bahan bakar fosil (batu bara, minyak, dan gas) masih merupakan sumber energi penting untuk pemanasan, transportasi, dan pembangkit listrik. Terdapat tantangan besar dalam beralih karena kebutuhan akan ketersediaan energi dasar (base load) yang terjangkau.
Transisi yang adil menuntut agar pengalihan dari batu bara ke energi terbarukan harus dilakukan secara merata, termasuk mengalokasikan proyek energi terbarukan di provinsi yang paling terdampak, sehingga menciptakan peluang lapangan kerja hijau dan keterampilan baru bagi masyarakat yang kehilangan pekerjaan akibat penutupan tambang/pembangkit fosil. Keberhasilan transisi ini dilihat sebagai peluang ekonomi, di mana pertumbuhan tenaga surya (PLTS) dapat menjadi tulang punggung, menciptakan efek domino yang menghasilkan pekerjaan di bidang green job dan mengembangkan industri pendukung.
Hambatan Finansial dan Risiko
Hambatan terbesar dalam transisi energi di DN adalah pembiayaan. DN sering menghadapi risiko investasi yang lebih tinggi dan kurangnya akses ke modal yang terjangkau.
Kemitraan yang setara adalah kunci. Lembaga keuangan pembangunan dan negara maju harus berani melampaui praktik bisnis biasa (business as usual). Ini termasuk merancang struktur pembiayaan baru dan instrumen pengurangan risiko yang efektif untuk menarik investasi swasta dalam skala triliunan, bukan miliaran, yang diperlukan oleh GST. Jika pendanaan konsesional dan instrumen mitigasi risiko tidak memadai, DN akan terpaksa mengandalkan bahan bakar fosil yang lebih murah untuk mempertahankan pembangunan, yang pada akhirnya menggagalkan tujuan iklim global.
Peran Transfer Teknologi dan Pembangunan Kapasitas
Selain dukungan finansial, transfer teknologi (ToT) yang efektif dari negara maju ke negara berkembang sangat penting. ToT tidak hanya harus berfokus pada pengurangan emisi gas, tetapi juga harus memastikan bahwa DN memiliki kapasitas untuk menyerap teknologi yang diperoleh.
UNFCCC telah membentuk mekanisme seperti Komite Eksekutif Teknologi (TEC) dan Pusat dan Jaringan Teknologi Iklim (CTCN) untuk memfasilitasi kebutuhan ini. CTCN menyediakan solusi teknologi, pembangunan kapasitas, dan saran tentang kerangka kebijakan, hukum, dan regulasi yang disesuaikan dengan kebutuhan nasional. Pembangunan kapasitas ini beroperasi pada tiga tingkatan penting:
- Individual: Pengembangan pelatihan dan peningkatan kesadaran.
- Institusional: Penguatan organisasi, mandat, dan sumber daya manusia/finansial.
- Sistemik: Penciptaan lingkungan yang memungkinkan melalui kebijakan ekonomi dan regulasi yang mendukung transfer teknologi dan inovasi iklim untuk mencapai NDC.
Kesimpulan dan Rekomendasi Kebijakan Mendalam
COP sebagai mekanisme multilateral telah berhasil menciptakan kerangka hukum universal (Perjanjian Paris) yang mengakui prinsip keadilan dan tanggung jawab historis (CBDR-RC). Namun, analisis GST pertama menunjukkan bahwa sistem ini gagal dalam implementasi operasionalnya, yang ditandai oleh kecepatan aksi yang “terlalu lambat” dan kegagalan total dalam menutup jurang pendanaan iklim. Kegagalan utama terletak pada keengganan negara maju untuk mengambil tindakan yang ambisius dan menyediakan sumber daya yang proporsional dengan tanggung jawab emisi kumulatif mereka yang masif.
Kegagalan berkelanjutan dalam aspek finansial, khususnya jurang pendanaan LDF yang masif, bukan hanya menghambat aksi mitigasi dan adaptasi, tetapi juga merusak kepercayaan geopolitik yang esensial antara Utara dan Selatan. Tanpa pemenuhan tanggung jawab reparatif ini, siklus ratcheting up ambisi NDC yang diamanatkan oleh Perjanjian Paris akan terhenti, menjadikan tujuan 1.5∘C secara kolektif mustahil dicapai.
Rekomendasi Strategis untuk Mengaktifkan CBDR-RC
Untuk Negara Maju (DM): Peningkatan Aksi Reparatif dan Finansial
DM harus segera mengubah LDF dari mekanisme “simbolis” menjadi mekanisme yang berfungsi dengan menjembatani kesenjangan pendanaan tahunan ($400 miliar hingga $1 triliun) melalui komitmen yang substansial, bukan kontribusi yang tidak berarti. Selain itu, DM harus memimpin dengan mengajukan target pengurangan emisi yang mencakup seluruh perekonomian dan selaras dengan batas 1.5∘C dalam putaran NDC berikutnya pada awal 2025. Kepemimpinan ini juga mencakup penghapusan total subsidi bahan bakar fosil yang tidak efisien dan percepatan phase-down batubara tanpa ambiguitas.
Untuk Negara Berkembang (DN): Integrasi dan Kapasitas
DN harus mengintegrasikan target transisi energi (seperti JetP) ke dalam perencanaan nasional untuk memastikan transisi energi menjadi pendorong pembangunan ekonomi yang adil, menciptakan lapangan kerja hijau, dan memitigasi dampak sosial. Pemanfaatan mekanisme seperti CTCN untuk pembangunan kapasitas sistemik dan institusional harus dioptimalkan guna memastikan penyerapan teknologi yang efektif. Selain itu, DN harus memprioritaskan alokasi dana LDF untuk mengatasi kerugian non-ekonomi dan gangguan mata pencaharian komunitas yang rentan terhadap iklim.
