Integrasi sosial merupakan prasyarat fundamental bagi stabilitas dan pembangunan berkelanjutan suatu masyarakat. Dalam era globalisasi kontemporer, tantangan terhadap integrasi semakin kompleks dan multidimensi. Globalisasi telah secara signifikan mempercepat mobilitas manusia, memicu gelombang migrasi yang tak terhindarkan , dan menghasilkan masyarakat penerima yang semakin heterogen secara etnis dan budaya. Namun, proses ini berjalan seiring dengan peningkatan tekanan disintegratif, terutama yang diakibatkan oleh konflik identitas, diskriminasi, dan ketidaksetaraan sosial-ekonomi yang kronis.
Integrasi sosial sendiri didefinisikan secara akademis bukan sekadar sebagai koeksistensi pasif, melainkan sebagai proses penyesuaian unsur-unsur yang berbeda dalam masyarakat untuk membentuk satu kesatuan yang berfungsi, diatur melalui norma, fungsi, dan kekuasaan bersama. Tantangan integrasi saat ini melibatkan aspek ekonomi, yang menentukan akses sumber daya, politik, yang mengatur partisipasi dan representasi, serta budaya, yang menyangkut penerimaan identitas dan norma.
Definisi Kunci: Integrasi Sosial, Kohesi Sosial, dan Reintegrasi
Secara sosiologis, integrasi dapat dipandang melalui berbagai lensa. Paul B. Horton mendefinisikan integrasi sebagai serangkaian proses sosial dan interaksi yang mengarah pada penyatuan semua kelompok etnis dan ras, sehingga mereka dapat menunjang kehidupan ekonomi dan budaya bersama. Proses ini dipengaruhi oleh faktor-faktor sosio-demografis seperti homogenitas masyarakat, ukuran kelompok, tingkat mobilitas, dan efektivitas komunikasi.
Dalam menghadapi dinamika masyarakat modern, khususnya pasca-konflik, konsep Reintegrasi Sosial menjadi relevan. Reintegrasi bertujuan untuk menyatukan kembali anggota masyarakat setelah terjadinya konflik, melalui penyesuaian kembali norma dan struktur yang rusak. Dalam konteks analisis ini, dimensi integrasi yang menjadi fokus adalah integrasi struktural (akses yang sama ke institusi dan sumber daya) dan integrasi kultural (penerimaan timbal balik terhadap norma dan identitas kelompok lain).
Faktor Penentu dan Penghambat Integrasi (Tinjauan Teoretis)
Integrasi sosial dapat dicapai melalui adanya berbagai faktor internal dan eksternal. Faktor pendorong utama termasuk toleransi terhadap kelompok-kelompok dengan kebudayaan yang berbeda. Toleransi, ketika dipasangkan dengan komunikasi yang efektif, akan mendorong terciptanya integrasi yang kokoh antar kebudayaan yang berlainan.
Dari perspektif teoretis, norma sosial memainkan peran sentral sebagai kunci untuk menganalisis integrasi (Ronald Freedman). Dalam kehidupan sehari-hari, norma berfungsi mengatur perilaku individu agar sesuai dengan ekspektasi masyarakat. Selain itu, Sosialisasi merupakan proses pembelajaran tentang nilai dan norma, yang memungkinkan pemahaman tentang integrasi dapat diajarkan kepada masyarakat sejak dini.
Di sisi lain, hambatan utama terhadap integrasi seringkali bersumber dari ketidakmampuan sistem sosial untuk mengakomodasi perbedaan, yang pada akhirnya memicu konflik di dalam kehidupan bermasyarakat. Pada tingkat makro, hambatan utama ini sering berbentuk diskriminasi sistemik dan ketidaksetaraan struktural yang mencegah kelompok marginal mengakses sumber daya dan kekuasaan.
Metodologi Komparatif: Membandingkan Dinamika Integrasi Struktural Lintas Benua
Laporan ini memanfaatkan analisis kualitatif komparatif untuk mengidentifikasi pola kausal utama di balik tantangan integrasi di tiga kawasan makro global: Eropa, Asia, dan Amerika. Pendekatan ini memungkinkan pembedaan sumber tekanan disintegratif yang unik di setiap kawasan:
- Eropa:Tantangan utama didorong oleh migrasi eksternal berskala besar dan dampak politiknya, yaitu kebangkitan populisme sayap kanan.
- Asia:Tantangan berpusat pada konflik identitas internal (etnis dan agama) yang mengakar, serta dinamika struktural pasca-kolonial dan konflik sumber daya.
- Amerika:Tantangan didominasi oleh isu ketidaksetaraan ekonomi kronis (khususnya Amerika Latin) dan polarisasi politik-rasial yang mendalam (khususnya Amerika Utara).
Eropa—Krisis Migrasi, Identitas, dan Kebangkitan Populisme
Gelombang Migrasi 2015 dan Dampak Multidimensi
Gelombang migran signifikan yang memasuki Eropa sejak tahun 2015 telah menjadi katalisator bagi krisis multidimensi yang menguji kohesi sosial dan ketahanan sistem politik Uni Eropa (UE). Tantangan yang dihadapi Eropa saat ini bukanlah sekadar masalah kemanusiaan, tetapi masalah struktural yang diperburuk oleh kontradiksi demografis dan keamanan.
Di satu sisi, banyak negara Eropa, termasuk Jerman, menghadapi penurunan populasi yang signifikan—proyeksi menunjukkan populasi Jerman dapat turun dari 83 juta menjadi 53 juta pada tahun 2100 tanpa imigrasi. Hal ini menunjukkan adanya ketergantungan struktural jangka panjang pada migran untuk menjaga stabilitas demografis dan ekonomi. Namun, kebutuhan demografis jangka panjang ini tumpang tindih dengan kekhawatiran jangka pendek mengenai keamanan, kriminalitas, dan terorisme yang sering dikaitkan secara prematur dengan sebagian migran. Polarisasi masyarakat pun terjadi, terbelah antara kelompok pro-solidaritas yang mendukung pengungsi dan kelompok anti-migran.
Gelombang migrasi ini juga memberikan tekanan besar pada infrastruktur sosial. Kota-kota penerima utama seperti Berlin dan Athena mengalami tekanan substansial pada sistem perumahan, kesehatan, dan pendidikan. Ketidakmampuan pemerintah nasional dan lokal untuk secara efektif dan cepat mengelola tekanan infrastruktur ini menciptakan ketegangan sosial, yang kemudian dimanfaatkan untuk tujuan politik. Krisis ini merupakan kegagalan negara-negara anggota dalam mengkomunikasikan manfaat integrasi struktural jangka panjang sambil mengatasi biaya sosial jangka pendek yang dirasakan oleh masyarakat tuan rumah.
Kegagalan Politik Multikulturalisme dan Wacana Islamofobia
Sejak tahun 1970-an, multikulturalisme dipromosikan sebagai sebuah ideologi di negara-negara Barat, menggantikan narasi ‘Dunia Lama’ yang konservatif dan rasis, dan sempat dianggap sebagai sebuah ‘kisah sukses’. Namun, dalam beberapa dekade terakhir, muncul perdebatan hangat mengenai kegagalan ideologi multikulturalisme dalam mengintegrasikan kaum imigran, terutama kelompok Muslim, dengan nilai-nilai Barat.
Kegagalan yang diklaim ini bukanlah semata-mata berakar pada ketakutan terhadap Islamisasi, melainkan sering kali timbul dari rasa ketakutan terhadap ideologi multikulturalisme itu sendiri. Berbagai peristiwa kekerasan dan teror yang dilakukan oleh kelompok ekstremis telah mengembangkan sikap Islamofobia dan sentimen anti-Islam, yang memicu argumen bahwa ideologi ini telah gagal memperkuat identitas negara. Krisis identitas di Eropa saat ini bahkan dapat dilihat dalam kasus fundamentalisme Kristen, seperti pemboman di Oslo, Norwegia, yang dilakukan oleh aktor sayap kanan yang anti-imigran dan bertujuan meredam perkembangan populasi Muslim. Hal ini menunjukkan bahwa Eropa tengah menghadapi krisis identitas yang kompleks, di mana isu identitas menjadi pusaran konflik, bukan sekadar masalah yang diimpor oleh migran.
Populisme Sayap Kanan sebagai Ancaman Kohesi Sosial
Kebangkitan populisme sayap kanan merupakan respons politik yang signifikan terhadap peningkatan imigrasi dan integrasi supranasional seperti Uni Eropa. Gerakan ini memandang integrasi supranasional sebagai ancaman terhadap kedaulatan nasional dan identitas budaya negara-negara Eropa.
Secara politik, partai-partai—baik yang berkuasa maupun oposisi—telah memanfaatkan isu anti-imigran sebagai komoditas kampanye politik. Gelombang migrasi 2015 berfungsi sebagai katalis yang kuat bagi kemenangan partai-partai anti-imigrasi yang berhaluan populis atau sayap kanan, terbukti dari kesuksesan Giorgia Meloni di Italia dan peningkatan popularitas Alternative für Deutschland (AfD) di Jerman. Retorika populisme ini sering menyalurkan ketidakpuasan warga masyarakat terhadap kegagalan demokrasi representatif yang dianggap elitis dan pro-establishment.
Populisme sayap kanan berhasil karena mereka secara efektif menghubungkan imigrasi dengan erosi kedaulatan (melalui kritik terhadap UE) dan kegagalan elit. Strategi ini menciptakan musuh ganda: imigran (eksternal) dan elit (internal). Konsekuensi struktural dari fenomena ini adalah fragmentasi masyarakat tuan rumah menjadi kubu-kubu yang saling bertentangan (pro dan anti-migran), sebuah bentuk disintegrasi yang lebih sulit diatasi daripada sekadar masalah integrasi migran itu sendiri.
Asia—Fragmentasi Etnis-Religius dan Dinamika Pasca-Kolonial
Konflik Identitas Inti: Diskriminasi Etnis dan Persekusi Agama
Tantangan integrasi di Asia seringkali berakar pada konflik etnis dan agama yang mengakar dalam struktur negara-negara pasca-kolonial. Kasus Etnis Rohingya di Myanmar adalah studi kasus ekstrem dari kegagalan integrasi yang berujung pada persekusi dan genosida. Konflik antara etnis Rohingya dan etnis Rakhine telah berlangsung lama, bahkan sejak kemerdekaan Myanmar. Diskriminasi terhadap Rohingya diperlakukan secara tidak manusiawi, meliputi penganiayaan, pembunuhan, dan yang paling krusial, penghapusan kewarganegaraan. Kasus ini merupakan contoh di mana negara menjadi aktor utama disintegrasi, gagal memberikan pengakuan identitas dan perlindungan dasar.
Di Tiongkok, tantangan integrasi terhadap kelompok minoritas seperti Muslim Uighur juga menunjukkan intervensi negara dalam penindasan identitas. Pengetatan peraturan keagamaan bagi warga Uighur adalah hambatan struktural terhadap integrasi kultural, yang menggarisbawahi kegagalan untuk mengakomodasi keragaman identitas dalam bingkai politik yang kohesif.
Tantangan Integrasi Kelompok Minoritas Etnis dan Pendatang
Dinamika integrasi kelompok minoritas di Asia sangat bervariasi. Di Asia Tenggara, Etnis Tionghoa memiliki sejarah konflik besar yang berkepanjangan dengan etnis lokal di beberapa wilayah, yang mengakibatkan pandangan buruk yang berlangsung lama di antara kedua kelompok. Namun, terdapat variasi regional, di mana integrasi didukung secara institusional. Sebagai contoh, di Yogyakarta, etnis Tionghoa pernah mendapatkan tempat istimewa dan perlindungan hukum dari Kraton, menunjukkan bahwa dukungan kelembagaan dapat memfasilitasi integrasi struktural.
Sebaliknya, kasus Etnis Arab di Pasar Kliwon, Solo, menunjukkan integrasi yang sukses pada tingkat komunitas. Meskipun berstatus pendatang dan menghadapi hambatan, Etnis Arab mampu hidup berdampingan secara harmonis dengan Etnis Jawa dalam bidang agama, pendidikan, dan ekonomi. Kesuksesan ini dicapai melalui integrasi sosial yang baik pada aspek sosial, budaya, dan agama, menunjukkan bahwa toleransi dan adaptasi budaya di tingkat akar rumput dapat mengatasi tantangan tanpa intervensi pemerintah yang signifikan.
Integrasi di Asia, oleh karena itu, bersifat biner: di satu sisi terdapat konflik yang mengakar yang berpusat pada status kewarganegaraan dan pengakuan identitas di negara-negara pasca-kolonial , dan di sisi lain terdapat keberhasilan integrasi yang didorong oleh toleransi komunitas dan adaptasi kultural.
Kesenjangan Ekonomi Struktural dan Konflik Kelas-Sumber Daya Internal
Selain konflik identitas, kesenjangan ekonomi struktural turut menjadi pemicu disintegrasi di Asia. Urbanisasi memang membawa dampak positif bagi penduduk perdesaan, seperti peningkatan permintaan produksi dan transfer informasi, serta pengetahuan yang dapat mendorong pembangunan perdesaan. Perkotaan juga menawarkan akses pendidikan dan kesehatan yang lebih baik. Namun, ketidakseimbangan pembangunan regional dan vertikal memicu ketegangan sosial yang terwujud sebagai konflik sumber daya dan kelas.
Konflik di tingkat lokal sering terjadi antara kelompok rentan dengan pihak yang memegang kekuasaan ekonomi. Misalnya, konflik antara komunitas pemulung dan pihak pabrik di Surabaya , di mana pabrik sering memonopoli harga, membeli barang berkualitas dengan harga murah, dan mempersulit proses penjualan. Bentuk disintegrasi vertikal serupa terlihat dalam konflik antara nelayan kelas kecil melawan perusahaan atau pemerintah mengenai akses sumber daya.
Menariknya, tekanan eksternal ini justru dapat meningkatkan integrasi di dalam kelompok yang tertekan. Dalam kasus pemulung, konflik yang merugikan justru mendorong mereka bersatu untuk mendirikan organisasi Ikatan Pemulung Indonesia (IPI) Jawa Timur. Organisasi ini berperan sebagai katup penyelamat saat terjadi konflik dan telah mampu merubah kehidupan para pemulung, menunjukkan bahwa tekanan dari luar dapat memicu kohesi internal dan pemberdayaan terstruktur di tingkat komunitas.
Amerika—Ketidaksetaraan Kronis dan Disintegrasi Politik
Amerika Utara (AS): Warisan Rasial, Ketimpangan Ekonomi, dan Polarisasi Afektif
Ketidaksetaraan Sosio-Ekonomi dan Diskriminasi Rasial
Kondisi sosial di Amerika Utara, khususnya Amerika Serikat, ditandai oleh kompleksitas dan keragaman yang luar biasa, namun beberapa tren umum terkait integrasi dapat diidentifikasi. Ketidaksetaraan ekonomi merupakan masalah besar. Sejarah perbudakan dan kolonialisme telah meninggalkan warisan diskriminasi rasial dan etnis yang mendalam, yang terus berdampak pada akses yang tidak merata terhadap pendidikan, pekerjaan, perumahan, dan sistem peradilan. Ketimpangan sosial-ekonomi yang diukur (Indeks Gini AS c. 41.5) menunjukkan adanya kesenjangan yang signifikan.
Selain itu, migrasi internal (pedesaan ke perkotaan) dan internasional telah membentuk lanskap sosial. Meskipun imigrasi memperkaya budaya, hal itu juga menimbulkan tantangan substansial dalam hal integrasi struktural dan akses terhadap sumber daya, memicu perdebatan kebijakan yang intens.
Polarisasi Politik dan Peran Media Massa
Disintegrasi sosial di Amerika Utara dipercepat oleh polarisasi politik yang tajam, terutama sejak Pemilihan Presiden 2016, yang membelah masyarakat secara mendalam antara kelompok konservatif dan liberal. Polarisasi ini adalah perwujudan politik dari ketidaksetaraan sosial yang sudah ada; aktor politik dan media mengeksploitasi perpecahan yang ada, mengubah ketidaksetaraan struktural menjadi antagonisme politik yang akut.
Media massa, seperti Fox News, yang dikenal memiliki kecenderungan konservatif dan berafiliasi kuat dengan Partai Republik, berperan signifikan dalam memperkuat pembelahan ini. Media bertindak sebagai aktor aktif yang membentuk wacana publik melalui narasi yang memihak, sehingga memperkuat polarisasi afektif di antara pemirsa. Konsekuensi dari polarisasi ekstrem ini sangat merusak norma-norma demokrasi mendasar, meningkatkan potensi kekerasan politik, dan mempromosikan penghinaan terhadap fakta.
Amerika Latin: Ketidaksetaraan Pendapatan Ekstrem dan Marjinalisasi Masyarakat Adat
Analisis Indeks Gini: Mengukur Tantangan Ketidaksetaraan Struktural
Amerika Latin menghadapi tantangan integrasi yang didominasi oleh ketidaksetaraan pendapatan ekstrem, yang merupakan hambatan fundamental terhadap kohesi sosial. Kawasan ini memiliki beberapa negara dengan Indeks Gini (ukuran ketidaksetaraan) tertinggi di dunia. Data menunjukkan bahwa tingkat ketidaksetaraan di atas 50 adalah hal yang umum di kawasan tersebut, yang secara langsung berkorelasi dengan eksklusi sosial, kemiskinan ekstrem, dan kesenjangan pembangunan.
Koefisien Gini (Indeks Ketidaksetaraan Pendapatan) di Negara-Negara Pilihan Amerika Latin (2021)
| Negara (Amerika Latin) | Indeks Ketidaksetaraan Gini (2021) | Peringkat Global (Indikatif) |
| Kolombia | 55.1 | 1 |
| Brasil | 52.9 | 2 |
| Panama | 50.9 | 3 |
| Kosta Rika | 48.7 | 4 |
| Argentina | 42.4 | 7 |
| Bolivia | 40.9 | 8 |
| Uruguay | 40.8 | 9 |
Tingkat Gini yang sangat tinggi ini menunjukkan bahwa integrasi sosial di Amerika Latin terhambat secara struktural karena adanya batasan akses yang parah terhadap kesempatan ekonomi bagi kelompok marginal.
Subordinasi Politik dan Rasisme Internal terhadap Masyarakat Adat
Kelompok masyarakat adat di Amerika Latin, seperti di Bolivia dan Ekuador, terus mengalami marjinalisasi ekonomi dan subordinasi politik. Meskipun organisasi-organisasi politik mencoba menjalin aliansi dengan masyarakat adat, terutama partai-partai kiri, studi menunjukkan bahwa masih terdapat rasisme internal yang mendalam terhadap penduduk asli.
Ketidaksetaraan ekstrem ini membatasi kesempatan bagi kelompok-kelompok marginal dan diperburuk oleh belum optimalnya sistem perlindungan sosial. Perlindungan sosial adaptif sangat krusial untuk membangun ketahanan masyarakat rentan terhadap guncangan eksternal (misalnya perubahan iklim). Dengan demikian, masalah integrasi di Amerika Latin adalah masalah pengakuan hak-hak dasar dan distribusi kekayaan yang adil, di mana ketidaksetaraan struktural mengunci masyarakat adat dalam lingkaran kemiskinan dan eksklusi politik.
Analisis Komparatif Lintas Kontinen dan Implikasi Global
Matriks Komparatif Karakteristik Utama Tantangan Integrasi
Perbandingan mendalam menunjukkan bahwa meskipun ketiga kawasan menghadapi tantangan integrasi, sumber dan manifestasi disintegrasi sangat berbeda.
| Dimensi Tantangan | Eropa | Asia | Amerika |
| Pendorong Utama | Populisme Sayap Kanan (Reaksi terhadap Migrasi) | Konflik Etnis-Religius Historis & Kebijakan Negara | Ketidaksetaraan Ekonomi Kronis (Gini Tinggi) & Warisan Rasial |
| Fokus Konflik | Imigran Baru vs. Masyarakat Tuan Rumah (Fokus Eksternal) | Negara vs. Minoritas/Konflik Sumber Daya Lokal (Fokus Internal Struktural) | Polarisasi Kelas/Rasial dan Politik |
| Ancaman terhadap Kohesi | Erosi Norma Demokrasi, Krisis Identitas | Persekusi/Genosida, Kegagalan Pengakuan Kewarganegaraan | Polarisasi Afektif, Subordinasi Politik Masyarakat Adat |
| Respons Kebijakan Khas | Kontrol Perbatasan, Kebijakan Anti-Imigran | Asimilasi Paksa, Negosiasi Internal (Organisasi Komunitas) | Perlindungan Sosial Terbatas, Upaya Reformasi Rasial |
Aktor Pendorong Disintegrasi: Populisme Politik vs. Struktur Historis-Ekonomi
Perbedaan mendasar terlihat pada peran aktor utama disintegrasi. Eropa menghadapi krisis integrasi yang didorong oleh populisme politik sebagai tanggapan terhadap perubahan demografis yang cepat. Populisme ini berhasil mengalihkan ketidakpuasan kelas ekonomi ke isu identitas, menciptakan musuh luar (imigran).
Sebaliknya, Asia menghadapi tantangan dari struktur historis (warisan pasca-kolonial) yang gagal memberikan kewarganegaraan dan perlindungan kepada minoritas, menjadikan negara sebagai aktor diskriminasi. Sementara itu, Amerika, khususnya Amerika Latin, menunjukkan bahwa ketidaksetaraan ekstrem adalah akar masalah utama , membatasi integrasi sosial sebelum faktor identitas lainnya muncul.
Namun, terdapat korelasi kausal global: di ketiga kawasan, ketidaksetaraan dan distribusi sumber daya yang tidak adil sering kali menjadi titik awal kerentanan. Di Amerika Latin, masalah ketidaksetaraan ini dihadapkan secara langsung, sementara di Eropa dan Amerika Utara, ketidaksetaraan tersebut dieksploitasi dan diubah menjadi antagonisme identitas dan politik.
Dampak Kebijakan Imigrasi dan Akses Hukum terhadap Integrasi Global
Kebijakan imigrasi berfungsi sebagai instrumen penting dalam pembentukan struktur sosial dan politik suatu negara. Negara transit, seperti yang ada di Asia, Timur Tengah, dan Afrika, memainkan peran krusial dalam proses perpindahan warga asing.
Kebijakan yang tidak holistik dan tidak berorientasi pada integrasi hanya akan memperburuk disintegrasi. Perlakuan hukum terhadap imigran, termasuk penerapan prinsip teritorialitas dalam hukum pidana , secara langsung memengaruhi potensi integrasi mereka. Oleh karena itu, penelitian menekankan perlunya kebijakan imigrasi yang holistik, yang tidak hanya bertujuan mengelola arus migrasi, tetapi juga memberikan pedoman praktis untuk integrasi sosial dan partisipasi politik yang adil.
Pembelajaran dari Upaya Integrasi Regional
Kasus Uni Eropa (UE) memberikan pembelajaran unik mengenai upaya integrasi regional. UE telah mencoba mengatasi disparitas ekonomi dan sosial (yang menjadi pemicu disintegrasi) melalui kerangka kelembagaan yang kuat, menggunakan instrumen keuangan khusus seperti Dana Kohesi dan Dana Pembangunan Regional Eropa, serta fokus pada pembangunan infrastruktur. Meskipun menghadapi tantangan politik akibat populisme , model UE menunjukkan pentingnya upaya terstruktur untuk memeratakan ketidaksetaraan.
Di Asia, upaya integrasi sering terhambat oleh kepentingan elit yang mengakar, khususnya di wilayah pasca-kolonial. Hal ini menyoroti bahwa upaya integrasi, termasuk upaya “demokratisasi” gaya Barat, harus direvisi agar bersifat kontekstual dan menghargai identitas penduduk asli dan elemen etnokultural lokal.
Rekomendasi Kebijakan dan Strategi Integrasi Holistik
Analisis komparatif menunjukkan bahwa tantangan integrasi sosial tidak hanya bersifat kultural, tetapi secara fundamental terkait dengan kegagalan institusional dalam menciptakan keadilan sosial dan distribusi kesempatan yang merata. Rekomendasi kebijakan harus menargetkan reformasi struktural dan institusional.
Strategi Mengatasi Polarisasi Politik dan Media
Sistem demokrasi harus mengakui dimensi disensus (pertentangan yang tidak terselesaikan secara argumentatif). Namun, strategi harus dikembangkan untuk mencegah disensus ini berubah menjadi antagonisme yang merusak kohesi sosial. Hal ini memerlukan regulasi dan transparansi media untuk mengatasi peran aktor media yang secara sistematis memperkuat polarisasi. Penting untuk mendorong standar keberimbangan informasi yang melawan narasi yang mempromosikan penghinaan terhadap fakta dan meningkatkan potensi kekerasan politik.
Pendekatan Komprehensif terhadap Pengelolaan Migrasi yang Berorientasi Integrasi
Negara-negara penerima harus mengembangkan kebijakan imigrasi yang holistik, yang secara eksplisit berorientasi pada integrasi sosial dan partisipasi politik migran, bukan hanya kontrol batas. Landasan untuk membangun masyarakat yang inklusif dan adil mencakup pemberdayaan masyarakat dan advokasi suara imigran. Integrasi sosio-ekonomi yang efektif dan penegakan hukum yang adil bagi imigran (sesuai prinsip teritorialitas) juga akan mengurangi potensi ketegangan sosial dan perilaku kriminal.
Reformasi Struktural untuk Mengurangi Ketidaksetaraan Ekonomi
Mengingat bahwa ketidaksetaraan ekstrem adalah penghalang dominan di Amerika Latin (Indeks Gini tinggi) dan pendorong konflik kelas di Asia , reformasi harus fokus pada perataan kesempatan ekonomi. Diperlukan penguatan sistem perlindungan sosial adaptif, yang krusial untuk membangun ketahanan kelompok rentan terhadap guncangan. Selain itu, belajar dari pengalaman regional (seperti UE), investasi infrastruktur dan inisiatif sosial yang sebanding harus diimplementasikan untuk mengatasi kesenjangan pembangunan, terutama antara wilayah urban dan rural.
Penguatan Toleransi dan Pembangunan Norma Sosial Inklusif
Untuk membangun kohesi jangka panjang, proses sosialisasi yang mengajarkan pemahaman tentang integrasi harus diperkuat. Fokus harus diberikan pada pembangunan norma-norma sosial yang menekankan toleransi terhadap kelompok dengan kebudayaan yang berbeda. Di Amerika Latin, hal ini harus mencakup pengakuan penuh terhadap hak-hak masyarakat adat, mengatasi rasisme internal yang masih ada, dan mengakhiri marjinalisasi politik serta ekonomi mereka. Integrasi kultural dan struktural harus berjalan seiring, didukung oleh nilai-nilai kebebasan berbicara dan berekspresi yang melindungi hak-hak semua orang untuk hidup menurut budaya dan bentuk agama yang beraneka.
