Eskalasi konflik kontemporer di Timur Tengah—terutama yang berpusat pada konflik Israel-Palestina—tidak dapat dipahami tanpa menganalisis peran krusial aktor non-negara (NSA) seperti Hamas dan Hizbullah, serta pengaruh kekuatan regional yang mendalam, terutama Iran dan Arab Saudi. Aktor non-negara berfungsi sebagai katalis dan pengganda kekuatan (force multipliers) yang memungkinkan Iran menjalankan strategi anti-hegemoni melalui apa yang disebut Doktrin Poros Perlawanan (Axis of Resistance). Strategi ini telah mengubah konflik lokal menjadi risiko sistemik multi-domain (meliputi serangan darat, rudal presisi, dan keamanan maritim global). Sementara itu, Arab Saudi, yang merupakan kekuatan regional pesaing utama Iran, telah berusaha menstabilkan kawasan melalui strategi rasionalisasi dan de-eskalasi. Namun, kemampuan aktor non-negara untuk memicu krisis ideologis dan militer secara efektif menyabotase upaya stabilisasi ini, memastikan bahwa ketegangan regional tetap menjadi kondisi permanen.
Kerangka Konseptual Dan Anatomi Aktor Non-Negara (Nsa) Sebagai Katalisator Eskalasi
Geopolitik Perang Proksi dan Keseimbangan Kekuatan Regional
Kondisi geopolitik di Timur Tengah selama dasawarsa terakhir telah ditandai oleh turbulensi yang diakibatkan oleh persaingan hegemoni regional yang berakar kuat. Iran dan Arab Saudi adalah dua aktor kunci dalam permainan kekuatan ini, masing-masing berusaha memenuhi agenda nasional mereka melalui pendekatan yang berbeda. Dalam konteks ini, perang proksi menjadi metode strategis utama yang digunakan oleh aktor negara untuk mencapai tujuan politik tanpa menanggung biaya dan risiko militer secara langsung. Keterlibatan ini, yang bisa berbentuk bantuan finansial, persenjataan, atau operasi intelijen, memindahkan biaya operasional dan biaya manusiawi ke medan perang pihak ketiga.
Aktor non-negara (NSA) seperti Hamas dan Hizbullah tidak hanya berfungsi sebagai alat tempur; mereka juga bertindak sebagai perwakilan strategis yang mampu memengaruhi kebijakan luar negeri negara inang. Keberadaan dan operasi mereka secara inheren menantang kedaulatan negara inang. Ketika aktor non-negara, dengan dukungan negara, mampu mengacaukan stabilitas regional, hal ini menunjukkan adanya ancaman nyata terhadap fondasi sistem negara-bangsa yang selama ini menjadi landasan tatanan internasional.
Hamas: Pemicu Eskalasi Inti dan Aktor Pemerintahan De Facto
Hamas (Harakat al-Muqawama al-Islamiyya) didirikan pada tahun 1987 selama Intifada Pertama dan merupakan organisasi Islam Sunni dengan akar ideologis yang kuat, berfokus pada perlawanan di Jalur Gaza dan Tepi Barat. Peran mereka melampaui kelompok bersenjata; mereka merupakan entitas hibrida yang memegang peran de facto dalam pemerintahan di Gaza. Hamas mengelola fasilitas kesehatan, pendidikan, dan terlibat aktif dalam kegiatan sosial dan politik, menjadikannya penting dalam kehidupan sehari-hari banyak warga Palestina.
Dari sisi taktis, Hamas cenderung menggunakan taktik perlawanan bersenjata, termasuk serangan roket dan serangan bersenjata massal. Tindakan eskalasi masif, seperti serangan pada 7 Oktober, berfungsi sebagai titik nyala (flashpoint) yang secara instan meningkatkan ketegangan regional, mengaktifkan jaringan proksi Iran, dan memaksa respon militer besar dari Israel.
Hizbullah: Aktor Hibrida dengan Kapabilitas Strategis yang Signifikan
Hizbullah, yang didirikan pada tahun 1982 sebagai gerakan perlawanan Syiah melawan pendudukan Israel di Lebanon selatan, adalah contoh utama aktor negara-non-negara (hybrid actor). Organisasi ini memiliki sayap militer (Jihad Council) dan sayap politik (Loyalty to the Resistance Bloc) yang memiliki kursi signifikan di Parlemen Lebanon (15 dari 128 kursi), menjadikannya kekuatan politik dan militer yang terintegrasi penuh dalam struktur negara.
Kekuatan militer Hizbullah diyakini jauh melampaui Hamas, diperkirakan setara dengan kekuatan tentara menengah (sekitar 100.000 personel pada 2021). Hizbullah berperan penting dalam meningkatkan level eskalasi melalui kemampuan teknologi militer yang didukung Iran. Pemimpinnya mengklaim telah lama berupaya meningkatkan kapabilitas militer, termasuk kemampuan untuk memproduksi drone dan mengembangkan rudal presisi. Penggunaan serangan gabungan rudal dan drone peledak dalam serangan lintas batas baru-baru ini menunjukkan peningkatan risiko konvensional, menciptakan “Deterrence Escalator” regional yang memaksa Israel untuk mempertimbangkan risiko perluasan konflik ke Lebanon. Organisasi ini juga menunjukkan ketahanan tinggi karena tidak hanya bergantung pada dukungan negara, tetapi juga diduga mendapatkan dana dari bisnis-bisnis yang tersebar di beberapa negara, bahkan dikaitkan dengan perdagangan narkoba (meskipun dibantah). Kemandirian finansial dan sosial ini memungkinkan Hizbullah mempertahankan konflik jangka panjang, menjamin kemampuan untuk terus menerus meningkatkan ketegangan sesuai kepentingan sponsor regional.
Perang Informasi dan Propaganda sebagai Dimensi Eskalasi Hibrida
Selain dimensi militer, eskalasi konflik juga diperburuk oleh perang informasi. Analis menemukan bahwa baik Israel maupun aktor non-negara, termasuk Hizbullah, terlibat dalam propaganda dan menyebarkan “informasi palsu” sebagai taktik perang psikologis. Tujuan dari taktik ini adalah mempertahankan moral pendukung dan melebih-lebihkan keberhasilan operasional, sementara menyembunyikan dampak sebenarnya dari serangan lawan.
Lingkungan digital, khususnya media sosial seperti X (Twitter), menjadi medan pertempuran disinformasi yang efektif. Konten palsu dan hoaks menyebar dengan cepat, yang memicu reaksi kebencian dan memperkeruh konflik, mempersulit upaya diplomatik untuk meredakan ketegangan. Tantangan dalam mengkaji dan menghapus disinformasi di platform-platform ini semakin meningkatkan polarisasi khalayak global, mengubah konflik fisik menjadi krisis persepsi yang sulit dikendalikan.
Iran Sebagai Arsitek Strategis: Doktrin Poros Perlawanan
. Strategi Kebijakan Luar Negeri Iran: Proyeksi Kekuatan Melalui Poros
Sejak Revolusi Islam tahun 1979, kebijakan luar negeri Iran secara fundamental menjadikan dukungan terhadap perjuangan Palestina dan perlawanan terhadap Israel sebagai komponen inti. Strategi utama Iran diwujudkan melalui Doktrin Poros Perlawanan (Axis of Resistance), sebuah aliansi militer yang dibangun selama empat dekade untuk melawan Israel dan Amerika Serikat di kawasan. Poros ini mencakup Hamas, Hizbullah di Lebanon, kelompok Houthi di Yaman, dan berbagai milisi Syiah di Irak dan Suriah.
Secara historis, Iran mengandalkan pendekatan tidak langsung melalui perang proksi untuk menghadapi Israel. Namun, pada April 2024, pola kebijakan ini menunjukkan perubahan signifikan ketika Iran melancarkan respons militer langsung dengan puluhan rudal ke wilayah Israel, menyusul serangan Israel terhadap kedutaan Iran di Damaskus. Meskipun serangan balasan ini berhasil ditangkal, langkah ini menunjukkan kesediaan Iran untuk mengubah pola kebijakan ketika kedaulatan dan kehormatan nasionalnya dipertanyakan. Respons langsung ini diyakini sebagai langkah yang dikalkulasi untuk memulihkan kredibilitas deterrence tanpa memicu perang total, menunjukkan batasan atas eskalasi yang diperbolehkan.
Mekanisme Dukungan Material dan Konsekuensi Eskalasi
Iran merupakan sumber utama dukungan finansial, logistik, dan militer bagi kelompok-kelompok inti Poros Perlawanan. Bagi Hizbullah, Iran menyediakan bantuan finansial yang besar, diperkirakan antara 700 juta USD hingga 1 miliar USD per tahun, di samping pelatihan militer dan persenjataan. Demikian pula, Iran adalah sumber utama dukungan bagi Hamas, yang menerima bantuan keuangan, senjata, dan pelatihan militer. Hubungan Iran-Hamas terjalin erat setelah tahun 1990-an, di mana Korps Garda Revolusi Iran (IRGC) dan Hizbullah memberikan pelatihan militer intensif kepada para pemimpin Hamas.
Dukungan material yang berkelanjutan ini mengubah aktor non-negara dari milisi lokal menjadi kekuatan yang mampu melakukan peperangan asimetris yang canggih terhadap kekuatan militer unggul. Transfer teknologi, terutama rudal dan drone, secara langsung meningkatkan skala dan kompleksitas eskalasi, memungkinkan proksi untuk menantang superioritas militer Israel di beberapa front sekaligus.
Orkestrasi Multi-Front dan Risiko Sistemik
Eskalasi konflik, terutama sejak serangan 7 Oktober, telah membuat barisan proksi Iran semakin solid dan memungkinkan gerakan yang terorkestrasi dengan baik dalam mendukung Hamas di Gaza. Strategi ini memungkinkan Iran untuk mempertahankan deterrence terintegrasi di berbagai domain:
- Front Lebanon (Hizbullah):Melancarkan serangan rutin di perbatasan untuk mengikat sumber daya militer Israel dan membuka front kedua.
- Front Maritim (Houthi):Kelompok Houthi di Yaman melakukan serangan terhadap kapal kargo di Laut Merah dan menembakkan rudal ke wilayah Israel.
Strategi multi-domain yang diterapkan melalui Poros Perlawanan ini memberikan Iran kendali efektif atas tingkat eskalasi regional, meskipun tidak langsung. Jika Israel menyerang keras satu proksi (misalnya Gaza), Iran dapat mengaktifkan proksi lain di domain fungsional yang berbeda (seperti Laut Merah atau Lebanon). Hal ini memaksa Israel dan sekutunya (AS) untuk menyebar sumber daya militernya dan secara signifikan meningkatkan biaya politik dan ekonomi konflik secara keseluruhan. Serangan Houthi di Laut Merah khususnya membuktikan bahwa aktor non-negara yang didukung negara kini memiliki kemampuan untuk mengguncang jalur perdagangan internasional vital, mengubah risiko regional menjadi ancaman terhadap stabilitas energi dan perdagangan global.
Table 1: Aktor Utama dalam Poros Perlawanan Iran (Axis of Resistance)
| Aktor Proksi | Lokasi Operasi | Sponsor Regional | Fungsi Strategis dalam Eskalasi | Dampak Lintas Domain |
| Hizbullah | Lebanon | Iran (IRGC) | Membuka Front Utara; Ancaman Deterrence berbasis Rudal Presisi | Mengancam kedaulatan Lebanon; Meningkatkan risiko konflik skala penuh. |
| Hamas & PIJ | Gaza & Palestina | Iran | Pemicu konflik inti; Menarik perhatian militer Israel ke selatan. | Menggagalkan Normalisasi (Abraham Accords); Krisis kemanusiaan. |
| Houthi | Yaman | Iran | Mengalihkan fokus global; Melancarkan peperangan di domain maritim. | Mengganggu perdagangan global dan rantai pasokan (Laut Merah). |
| Milisi Syiah | Irak & Suriah | Iran | Memperkuat kehadiran di Jalur Syiah; Menargetkan Pangkalan AS. | Erosi kedaulatan negara inang; Mempertahankan pengaruh Iran di Levant. |
Arab Saudi Dan Dinamika Keseimbangan Kekuatan Regional
Persaingan Historis dan Ideologis dengan Iran
Arab Saudi dan Iran telah lama bersaing untuk mendapatkan hegemoni di Timur Tengah, sebuah kontestasi yang diwarnai oleh pertarungan ideologis Sunni-Syiah, klaim kepemimpinan dunia Islam, dan kepentingan geopolitik terkait sumber daya minyak. Persaingan ini sering terwujud dalam bentuk perang proksi. Sebagai contoh, Saudi mendukung pemerintah Yaman yang Sunni melawan Houthi yang Syiah yang didukung Iran, menunjukkan bahwa peperangan antar-madzhab turut mewarnai konflik berkepanjangan. Untuk menyeimbangkan pengaruh Iran, Saudi secara tradisional mengandalkan dukungan keamanan dari Amerika Serikat, yang turut menjual alutsista dalam jumlah besar kepada Saudi dan membangun pangkalan militer sebagai upaya bersama untuk menghambat Iran secara geopolitik.
Strategi Rasional: Pivot ke Normalisasi dan Stabilitas Ekonomi
Dalam beberapa tahun terakhir, Arab Saudi telah mengadopsi strategi luar negeri yang lebih rasional, berorientasi pada stabilitas domestik dan ekonomi. Puncaknya adalah kesepakatan pada tahun 2023 untuk memulihkan hubungan diplomatik dengan Iran, yang dimediasi oleh Tiongkok. Keputusan ini dianalisis sebagai langkah logis yang selaras dengan kepentingan nasional Saudi, termasuk peningkatan keamanan regional, promosi stabilitas ekonomi, dan penguatan posisi global, terutama dalam konteks Visi 2030 yang bertujuan untuk diversifikasi ekonomi dari minyak.
Keputusan Saudi untuk berdamai secara langsung dengan Iran mengindikasikan upaya untuk menggeser manajemen risiko regional dari ketergantungan pada keamanan eksternal (AS) ke mekanisme resolusi konflik yang dikelola secara internal oleh kekuatan regional. Saudi menyadari bahwa ketergantungan pada Barat tidak menjamin stabilitas total (terlihat dari perang Yaman), dan melalui normalisasi, Saudi mencoba membangun saluran komunikasi langsung dengan Iran untuk membatasi aksi proksi dan melindungi rencana pembangunan domestiknya. Selain itu, Saudi juga berupaya mengubah citranya di panggung global menjadi mediator krisis, mengurangi intervensi eksternal dan mempromosikan solusi regional.
Eskalasi Non-Negara dan Tantangan Terhadap De-Eskalasi Saudi
Meskipun Saudi berinvestasi pada de-eskalasi, konflik yang dipicu oleh aktor non-negara terus menjadi pengganggu utama. Eskalasi yang dipicu Hamas, terutama setelah 7 Oktober, berhasil menyabotase inisiatif diplomasi tingkat negara, termasuk upaya normalisasi yang lebih luas antara Arab Saudi dan Israel (Abraham Accords). Aktor non-negara ini memiliki kekuatan veto yang unik terhadap perjanjian strategis regional. Serangan Hamas secara efektif memaksa Saudi menangguhkan negosiasi normalisasi, mengalihkan fokus kawasan kembali ke isu Palestina.
Hal ini menegaskan bahwa strategi stabilisasi Saudi akan selalu rapuh selama Poros Perlawanan yang didukung Iran dapat memicu konflik inti. Kendati demikian, dalam konteks persaingan yang berkelanjutan, konflik yang dipimpin Hamas juga memaksa Saudi kembali ke posisi solidaritas ideologis, ditunjukkan dengan dukungan diplomatik Saudi terhadap Iran dan pengutukan serangan Israel dalam ketegangan langsung Iran-Israel (yang terjadi di tahun 2025).
Analisis Eskalasi Konflik Dan Dampak Sistemik (Spillover)
Eskalasi Terpusat dan Globalisasi Risiko
Sistem Poros Perlawanan memastikan bahwa eskalasi di satu titik konflik segera merambat ke wilayah dan domain lain. Aksi Hamas di Gaza secara kausal terkait dengan mobilisasi militer Hizbullah di perbatasan Lebanon dan serangan Houthi di Laut Merah.
Dampak paling signifikan terhadap stabilitas global adalah peran Houthi dalam mengganggu keamanan maritim. Serangan Houthi terhadap kapal kargo Amerika Serikat dan Inggris di Laut Merah membuktikan bahwa aktor non-negara kini memiliki kapabilitas untuk mengguncang jalur perdagangan internasional yang vital, seperti Selat Bab el-Mandeb. Kemampuan satu milisi yang didukung negara untuk menciptakan krisis global menunjukkan bahwa tatanan internasional kini menghadapi ancaman eksistensial dari aktor hibrida, terutama yang beroperasi di bawah payung negara inang yang rapuh.
Tantangan Kedaulatan Negara dan Tatanan Global
Perang proksi yang didukung oleh kekuatan regional telah menginstitusionalisasikan ketidakstabilan di Timur Tengah sebagai kondisi permanen. Konflik berkepanjangan menyebabkan runtuhnya lembaga negara, pengungsian massal, dan kehancuran infrastruktur ekonomi di negara-negara inang yang rentan seperti Suriah, Irak, dan Lebanon.
Dalam konteks hukum internasional, penggunaan proksi memungkinkan negara sponsor (Iran) untuk menghindari tanggung jawab langsung atas tindakan kekerasan, sementara negara tuan rumah menjadi semakin rapuh. Selama mekanisme dukungan Iran (finansial, pelatihan, logistik) tetap utuh , kemampuan proksi untuk memicu krisis akan terus berlanjut. Hal ini menantang fondasi tatanan global karena aturan lama mengenai perang antar-negara menjadi tidak memadai untuk mengendalikan konflik yang dipimpin oleh aktor non-negara hibrida.
Dampak Ekonomi Jangka Panjang dan Tantangan Pembangunan
Konflik yang dipicu oleh aktor non-negara menghambat stabilitas politik yang merupakan prasyarat penting untuk pembangunan ekonomi berkelanjutan. Di negara-negara kaya minyak yang terlibat konflik (seperti Libya dan Irak), instabilitas politik dan tata kelola yang buruk menyebabkan resource curse, di mana kekayaan sumber daya tidak berhasil diubah menjadi kesejahteraan masyarakat. Meskipun negara-negara Teluk yang lebih stabil (seperti Arab Saudi dan Uni Emirat Arab) berupaya keras untuk melakukan diversifikasi ekonomi (Vision 2030), risiko spillover yang ditimbulkan oleh operasi Poros Perlawanan (khususnya di Laut Merah) terus menjadi ancaman bagi keamanan energi dan stabilitas investasi regional dan global.
Kesimpulan
Analisis komprehensif ini menyimpulkan bahwa eskalasi konflik di Timur Tengah adalah hasil dari interdependensi strategis yang kompleks:
- Aktor Non-Negara (Hamas & Hizbullah):Berfungsi sebagai instrumen operasional Iran dengan kapabilitas militer yang ditingkatkan (rudal presisi, drone). Keberadaan mereka, yang diperkuat oleh fungsi sosial dan politik ganda, memastikan konflik tetap berkelanjutan dan menjadi alat efektif untuk membatalkan inisiatif perdamaian tingkat negara.
- Kekuatan Regional Iran:Berperan sebagai arsitek strategis yang mendanai dan mempersenjatai Poros Perlawanan untuk memproyeksikan hegemoni dan menantang status quo yang dipimpin Israel/AS, sambil membatasi risiko konvensional melalui perang proksi.
- Kekuatan Regional Arab Saudi:Berperan sebagai penyeimbang rasional yang memprioritaskan de-eskalasi dan stabilitas ekonomi domestik, namun terus-menerus terganggu oleh kemampuan Poros Perlawanan untuk mengaktifkan front ideologis terkait isu Palestina, yang membatalkan upaya normalisasi yang lebih luas.
Proyeksi menunjukkan bahwa risiko eskalasi yang tak terkelola akan tetap tinggi. Meskipun baik Iran maupun Israel telah menunjukkan batas-batas yang terukur untuk menghindari perang langsung total (seperti de-eskalasi setelah serangan balasan April 2024), potensi miscalculation sangat besar. Jika Israel memutuskan untuk melancarkan operasi militer skala penuh untuk melumpuhkan Hizbullah di Lebanon, hal ini hampir pasti akan memicu respons dari seluruh Poros Perlawanan. Stabilitas jangka panjang hanya dapat terwujud jika ada upaya regional dan global yang terkoordinasi untuk menetralkan jaringan militer Poros Perlawanan atau, secara lebih ambisius, jika negara-negara inang (terutama Lebanon) mampu menegakkan kembali kedaulatan penuh mereka dan mengendalikan aktor non-negara di dalam wilayah mereka.
Berdasarkan analisis interdependensi ini, direkomendasikan tiga langkah strategis:
- Mendukung Penegakan Kedaulatan Negara Inang:Kebijakan harus dialihkan dari fokus pada upaya perdamaian hanya antara Israel dan Palestina menuju penguatan institusi dan pemerintahan di negara-negara yang menjadi basis proksi (Lebanon, Irak). Penguatan ini harus bertujuan untuk mengurangi ketergantungan dan pengaruh militer NSA di dalam struktur negara.
- Menargetkan Arteri Keuangan Proksi:Komunitas internasional harus meningkatkan penindakan secara spesifik terhadap jaringan pendanaan dan logistik Iran, termasuk pemblokiran transfer senjata, dukungan IRGC, dan penyelidikan mendalam terhadap sumber pendapatan non-negara (bisnis, dugaan perdagangan ilegal) yang memungkinkan NSA mempertahankan kapabilitas militer canggih mereka.
- Mengintegrasikan Arab Saudi sebagai Juru Damai Kunci:Kepentingan ekonomi jangka panjang Arab Saudi untuk menghindari konflik regional merupakan penyeimbang yang kredibel terhadap ambisi eskalasi ideologis Iran. Oleh karena itu, perlu diperkuat peran Saudi sebagai mediator regional, memberikan dukungan diplomatik untuk melanjutkan upaya de-eskalasi bilateral dan mendorong dialog inklusif regional yang mengatasi ketegangan Sunni-Syiah.
