Tulisan ini menyajikan analisis mendalam mengenai migrasi yang diinduksi oleh iklim, khususnya ancaman kenaikan permukaan air laut (sea-level rise), sebagai faktor utama yang mendorong perubahan sosial drastis dan memicu konflik komunal di wilayah penerima. Analisis ini menunjukkan bahwa perpindahan penduduk yang masif bukan lagi ancaman hipotetis, melainkan tantangan demografis global yang akan mendominasi agenda keamanan intranasional di masa depan.

Temuan utama menyoroti skala ancaman yang luar biasa: tanpa tindakan iklim global yang mendesak, diperkirakan lebih dari 216 juta individu mungkin harus bermigrasi secara internal di enam wilayah global pada tahun 2050. Perpindahan ini diperburuk oleh celah tata kelola yang signifikan, terutama karena migran iklim tidak diakui di bawah kerangka hukum internasional formal, membebankan seluruh tanggung jawab manajemen kepada pemerintah nasional dan lokal. Yang paling penting, migrasi skala besar ini akan berinteraksi dengan kelangkaan sumber daya yang sudah ada, khususnya Kelangkaan Struktural (Structural Scarcity), di mana kebijakan dan institusi yang timpang mengubah persaingan sumber daya menjadi konflik identitas dan sengketa lahan yang keras. Laporan ini mendesak pergeseran kebijakan dari adaptasi inkremental menuju perencanaan relokasi yang adil dan reformasi kelembagaan di wilayah penerima.

Kerangka Konseptual dan Prognosis Global Migrasi Iklim

Membedah Terminologi dan Tipologi Perpindahan Lingkungan

Laporan ini beranjak dari pemahaman yang presisi mengenai perpindahan yang diinduksi oleh iklim, membedakannya dari terminologi pengungsi politik tradisional. Migrasi lingkungan (Environmental Migration) secara luas didefinisikan sebagai pergerakan individu atau kelompok yang dipicu oleh perubahan lingkungan yang progresif atau mendadak yang memengaruhi kondisi hidup mereka, baik secara sementara maupun permanen. Migrasi Iklim (Climate Migration) adalah subtipe spesifik di mana perubahan lingkungan tersebut disebabkan oleh perubahan iklim global.

Status Legalitas dan Celah Tata Kelola

Salah satu aspek paling penting yang diakui oleh komunitas internasional adalah keengganan untuk menggunakan istilah “pengungsi iklim” (climate refugees) atau “pengungsi lingkungan.” Hal ini didasarkan pada konsensus bahwa sebagian besar perpindahan yang diinduksi iklim bersifat internal (di dalam batas negara) dan tidak selalu merupakan perpindahan yang dipaksakan secara hukum di bawah Konvensi Pengungsi 1951. Ketidaksesuaian ini menciptakan celah tata kelola dan kerentanan yang masif.

Jika perpindahan skala masif benar-benar terjadi, pemerintah nasional dan lokal akan menanggung seluruh beban tata kelola dan perlindungan hak asasi manusia, tanpa adanya kerangka bantuan atau perlindungan hukum internasional yang baku. Hal ini diperburuk di negara-negara seperti Indonesia, yang belum meratifikasi Konvensi Pengungsi 1951 , sehingga menekankan perlunya kerangka hukum domestik yang kuat untuk melindungi hak-hak individu yang mengalami perpindahan akibat lingkungan. Celah tata kelola ini secara inheren meningkatkan risiko konflik dan eksploitasi di tingkat akar rumput karena kurangnya legitimasi formal bagi para migran ini.

Tipologi Perpindahan dan Kerentanan

Di wilayah pesisir, terdapat dua jenis perpindahan utama. Pertama, Perpindahan Akibat Bencana (Disaster Displacement), yang merujuk pada situasi di mana orang terpaksa meninggalkan tempat tinggal akibat dampak bencana sudden-onset, seperti banjir, siklon, atau tanah longsor. Kedua, dampak slow-onset yang disebabkan oleh perubahan progresif, seperti kenaikan permukaan air laut, intrusi salinitas, atau degradasi lingkungan secara perlahan. Tipe kedua ini adalah pendorong migrasi jangka panjang yang memicu perubahan sosial.

Selain itu, terdapat pula fenomena Populasi Terperangkap (Trapped Populations)—individu yang tinggal di zona risiko ekstrem tetapi tidak mampu bermigrasi karena keterbatasan finansial, tidak adanya jaringan sosial yang memadai, atau hambatan fisik. Kelompok ini menciptakan kantong kerentanan yang memerlukan intervensi kemanusiaan dan pengembangan kapasitas adaptasi segera.

Proyeksi Global dan Skala Ancaman Migrasi Internal 2050

Perubahan iklim telah bertransformasi dari isu lingkungan menjadi tantangan stabilitas demografis global yang masif. Data dari International Displacement Monitoring Centre (IDMC) menunjukkan bahwa perpindahan internal akibat bencana sudah mendominasi tren global, dengan 53% dari 60,9 juta perpindahan internal baru pada tahun 2022 disebabkan oleh bencana alam.

Namun, ancaman di masa depan jauh lebih besar. Laporan Groundswell Bank Dunia memberikan prognosis yang mengkhawatirkan: tanpa implementasi tindakan iklim dan pembangunan yang segera dan efektif, diperkirakan lebih dari 216 juta individu di enam wilayah global mungkin terpaksa bermigrasi di dalam batas negara mereka sendiri pada tahun 2050. Proyeksi awal yang fokus pada Afrika Sub-Sahara, Asia Selatan, dan Amerika Latin saja sudah mencapai angka lebih dari 140 juta migran internal.

Krisis migrasi iklim yang akan datang akan menjadi krisis keamanan intranasional yang berpusat pada urbanisasi cepat dan tekanan sumber daya di dalam negeri. Mayoritas perpindahan skala besar ini bersifat internal  dan secara alami akan menargetkan wilayah perkotaan atau daerah yang relatif lebih aman dan stabil secara ekonomi (pull factors). Dengan demikian, fokus kebijakan keamanan harus bergeser dari pertahanan perbatasan ke manajemen tata ruang, infrastruktur, dan kohesi sosial di kota-kota dan wilayah penerima yang akan menghadapi lonjakan populasi yang belum pernah terjadi sebelumnya.

Table I: Proyeksi Migrasi Internal Akibat Iklim (Groundswell World Bank 2050)

Wilayah Global Estimasi Jumlah Migran Internal (2050) (Juta) Sifat Ancaman Migrasi
Afrika Sub-Sahara, Asia Selatan, Amerika Latin > 140 Juta Perpindahan massal ke area yang relatif lebih stabil, membebani kapasitas urban.
Total Enam Wilayah Global (Skema Terburuk) 216 Juta Krisis demografis yang memerlukan restrukturisasi tata kelola nasional dan investasi adaptasi skala besar.

Air Pasang dan Ancaman Keamanan Manusia di Pesisir

Kenaikan permukaan air laut (sea-level rise) adalah pendorong migrasi slow-onset yang paling merusak karena menimbulkan efek domino yang meluas pada seluruh aspek keamanan manusia.

Kerentanan Geografis dan Ancaman Eksistensial Atol (Studi Kasus Kiribati)

Kasus Republik Kiribati di Pasifik Selatan menyoroti ancaman eksistensial yang ditimbulkan oleh kenaikan air laut. Kiribati adalah negara atol yang sangat rentan karena sebagian besar daratannya berada kurang dari 2 meter di atas permukaan laut rata-rata. Tingkat kenaikan permukaan air laut menjadi fenomena yang paling sering dialami oleh rumah tangga, memengaruhi sekitar 80% dari mereka.

Ancaman ini jauh lebih kompleks daripada sekadar tenggelam. Kontaminasi air dan tanah membuat pulau-pulau tersebut tidak layak huni jauh sebelum terendam sepenuhnya. Intrusi air laut (seawater intrusion), yang berdampak pada 50% rumah tangga, merusak kesuburan tanah dan pasokan air tanah bersih, yang terbatas sejak awal. Selain itu, Kiribati telah kehilangan 12,5% wilayahnya, dengan dua pulau tak berpenghuni tenggelam pada tahun 1999 , dan diprediksi menghadapi kerugian ekonomi tahunan sebesar 17–34% dari PDB akibat kerusakan iklim.

Degradasi Lahan Pesisir dan Dampak Domino (Asia dan Indonesia)

Ancaman iklim pesisir di Asia, khususnya di wilayah padat penduduk, menunjukkan bagaimana kerusakan lingkungan berubah menjadi hilangnya keamanan ekonomi dan pangan. Di Bangladesh, dampak perubahan iklim seperti kenaikan permukaan air laut, salinitas kronis, kekeringan, dan siklon tropis tahunan (misalnya Siklon Amphan pada 2020 yang merugikan $131 juta) menciptakan faktor push yang kuat.

Dampak-dampak ini menimbulkan efek domino yang merusak keamanan lingkungan, keamanan ekonomi, keamanan pangan, dan keamanan kesehatan manusia. Hilangnya mata pencaharian pesisir menjadi pendorong utama perpindahan penduduk.

Kegagalan Adaptasi Inkremental

Di Indonesia, komunitas pesisir telah mencoba strategi adaptasi fisik inkremental. Misalnya, di Probolinggo, masyarakat meninggikan fondasi rumah (0,5–1,0 meter) sebagai respons terhadap banjir rob yang meningkat setiap tahunnya. Studi di Semarang dan Demak, Jawa Tengah, juga berfokus pada adaptasi komunitas untuk mencapai ketahanan berkelanjutan. Namun, data mengenai dampak slow-onset seperti intrusi air asin dan kerentanan geografis (seperti di Kiribati ) menunjukkan bahwa strategi adaptasi fisik lokal seperti peninggian rumah atau pembangunan tanggul pantai hanya akan bersifat sementara. Adaptasi inkremental ini akan gagal melawan laju kerusakan kronis. Kegagalan adaptasi ini secara tidak terhindarkan memaksa transisi dari adaptation menjadi migration (relokasi) sebagai satu-satunya opsi yang tersisa, sehingga mempercepat laju migrasi internal dan meningkatkan potensi konflik di daerah penerima.

Strategi Pemerintahan dalam Menghadapi Ancaman (Kasus Kiribati)

Respons pemerintah terhadap ancaman iklim menentukan apakah perpindahan akan tertib atau kacau. Pemerintah Kiribati telah mengembangkan tiga strategi komprehensif: Adaptasi, Mitigasi, dan Relokasi. Secara formal, adaptasi dan mitigasi diidentifikasi sebagai prioritas, sementara relokasi dianggap sebagai pilihan terakhir.

Keputusan untuk menjadikan relokasi sebagai “pilihan terakhir” mencerminkan dilema kedaulatan negara dan ikatan budaya/identitas. Namun, penundaan relokasi terencana dapat membawa konsekuensi serius, yaitu lonjakan migrasi internal yang tidak terkelola. Kiribati telah mengalami ini, di mana kerentanan pulau-pulau luar telah memicu migrasi internal ke South Tarawa. South Tarawa, yang sudah merupakan kota padat penduduk, kini menghadapi masalah serius seperti sanitasi buruk, polusi, dan, yang paling kritis, konflik kepemilikan lahan yang dipicu oleh kepadatan yang berlebihan. Ini menunjukkan bahwa penundaan relokasi terencana hanya memindahkan kerentanan ke lokasi lain.

Mekanisme Konflik: Dari Kelangkaan Lingkungan menuju Ketegangan Komunal

Migrasi iklim bertindak sebagai multiplikat risiko (risk multiplier), mengubah kelangkaan sumber daya yang disebabkan oleh lingkungan menjadi ketegangan komunal dan konflik identitas.

Teori Kelangkaan Sumber Daya Thomas Homer-Dixon

Model kausal Thomas Homer-Dixon secara eksplisit menghubungkan kelangkaan lingkungan dengan potensi konflik kekerasan. Perpindahan penduduk menjadi mekanisme transmisi kritis dalam model ini, terutama melalui tiga sumber kelangkaan:

  1. Supply-Induced Scarcity (Kelangkaan Pemicu Pasokan): Kelangkaan ini disebabkan oleh hilangnya sumber daya fisik, seperti berkurangnya air minum berkualitas atau lahan subur. Penerapan iklimnya jelas: intrusi air asin dan kenaikan air laut secara langsung menghilangkan lahan pertanian subur di pesisir , mengurangi pasokan sumber daya esensial yang memadai per kapita.
  2. Demand-Induced Scarcity (Kelangkaan Pemicu Permintaan): Kelangkaan ini terjadi ketika pertumbuhan populasi, yang dipercepat oleh migrasi skala masif, meningkatkan permintaan per kapita, sementara pasokan terbatas atau menurun. Proyeksi 216 juta migran internal global  yang pindah ke pusat-pusat urban (misalnya, South Tarawa  atau kota-kota penerima di Jawa) akan secara dramatis meningkatkan persaingan untuk perumahan, pekerjaan, dan air bersih, sehingga memicu ketegangan.
  3. Structural Scarcity (Kelangkaan Struktural): Jenis kelangkaan ini diakibatkan oleh distribusi sumber daya yang timpang atau akses yang tidak adil, yang sering kali didorong oleh kebijakan yang menguntungkan kelompok yang kuat (resource capture). Dalam konteks migrasi iklim di Indonesia, ini terlihat jelas dalam kebijakan yang mendukung relokasi/transmigrasi, yang mungkin memberikan hak milik lahan kepada transmigran tetapi tidak kepada masyarakat lokal yang telah lama menguasai tanah, menciptakan ketimpangan struktural. Kelangkaan struktural inilah yang paling berpotensi memicu konflik komunal.

Tabel II: Tautan Kausal Kelangkaan Lingkungan Menuju Konflik Komunal (Model Homer-Dixon)

Jenis Kelangkaan Penyebab (Aplikasi Kenaikan Air Laut) Mekanisme Sosial/Konflik
Supply-Induced Scarcity Hilangnya lahan subur dan sumber air bersih akibat salinitas kronis. Penurunan sumber daya yang tersedia per kapita, hilangnya mata pencaharian.
Demand-Induced Scarcity Kepadatan populasi ekstrem di daerah penerima (urbanisasi migran iklim). Persaingan ketat untuk pekerjaan, perumahan, dan infrastruktur yang terbatas.
Structural Scarcity Kebijakan yang tidak adil (sengketa lahan transmigrasi) yang mendiskriminasi masyarakat lokal. Marginalisasi ekologis dan pemicu konflik identitas kelompok.

Migrasi sebagai Pemicu Konflik Identitas Kelompok

Menurut Homer-Dixon, pergerakan populasi skala besar akibat kelangkaan lingkungan dapat memicu konflik identitas kelompok. Mekanisme ini terjadi ketika migrasi memaksa populasi (yang seringkali berbeda identitas etnis, agama, atau budaya) masuk ke dalam wilayah yang sudah padat. Ketika ketegangan akibat kelangkaan sumber daya meningkat (Demand-Induced Scarcity), perbedaan identitas berfungsi sebagai garis pemisah yang memperkuat polarisasi sosial.

Perpindahan masif tidak hanya membebani infrastruktur, tetapi juga menyebabkan restrukturisasi ekonomi di masyarakat penerima. Persaingan ekonomi yang meningkat dengan migran iklim dapat memicu resistensi budaya dari komunitas lokal. Contoh dari ketegangan lintas batas ini terlihat pada ketidakmampuan menahan masuknya migran ilegal dari Bangladesh ke India, di mana faktor push lingkungan bertemu dengan kebijakan yang membatasi dan resistensi di negara penerima.

Jika kelangkaan struktural dan kelangkaan permintaan bertemu dengan perbedaan identitas, konflik yang dipicu oleh migrasi iklim bukan hanya tentang memperebutkan air atau tanah secara fisik. Sebaliknya, konflik akan berpusat pada masalah siapa yang berhak atas sumber daya tersebut berdasarkan status sosial, historis, dan legalitas. Hal ini meningkatkan risiko kekerasan komunal yang terinstitusionalisasi dan bersifat jangka panjang.

Studi Kasus Dinamika Sosial dan Konflik Komunal

Krisis Eksistensial dan Konflik Internal di Negara Atol

Meskipun Kiribati menghadapi ancaman luar biasa dari lautan, konflik sosial paling parah muncul dari tekanan internal. Kerentanan pulau-pulau luar telah memicu migrasi internal masif ke ibukota, South Tarawa. Karena kepadatan yang ekstrem, South Tarawa menghadapi masalah serius, termasuk sanitasi yang buruk, bangunan non-permanen, dan yang paling rentan konflik, adalah sengketa kepemilikan lahan (land ownership conflicts) yang diakibatkan oleh lonjakan populasi yang tiba-tiba. Hal ini menggambarkan bagaimana perpindahan ekologis secara cepat bertransformasi menjadi sengketa hak properti di wilayah penerima.

Kelangkaan Sumber Daya Lintas Batas dan Kebijakan yang Membatasi (Bangladesh – India)

Di Asia Selatan, degradasi lingkungan pesisir di Bangladesh (karena siklon, kenaikan air laut, dan salinitas) berfungsi sebagai faktor push yang kuat, memaksa penduduk bermigrasi, seringkali secara ilegal, ke India, didorong oleh faktor pull berupa peluang ekonomi.

Pemerintah India menghadapi tantangan tata kelola yang besar, termasuk masuknya migran secara ilegal dan kendala dalam implementasi kebijakan yang didasarkan pada informasi yang terbatas tentang migran. Status ilegal migran ini membuat mereka sangat rentan dan pada saat yang sama memperkuat narasi resistensi budaya dan persaingan ekonomi di masyarakat penerima.

Sengketa Lahan dan Konflik Struktural di Indonesia

Di Indonesia, kebijakan tata ruang dan relokasi dapat menjadi katalis yang memperburuk kelangkaan struktural. Contoh yang paling relevan terlihat dalam potensi konflik lahan yang terkait dengan program Transmigrasi.

Dalam kasus pengujian materiil di Mahkamah Konstitusi, Pemohon menyoroti Pasal 24 ayat (3) Undang-Undang tentang Ketransmigrasian, yang memberikan status hak milik atas tanah hanya kepada pihak transmigran, tanpa memberikan perlakuan serupa kepada penduduk lokal yang telah lama tinggal dan mengolah tanah di wilayah tersebut. Kebijakan ini secara eksplisit menciptakan ketimpangan struktural dan diskriminasi terhadap masyarakat lokal dan adat.

Kasus sengketa lahan di Rempang Eco City (terkait tumpang tindih kawasan hutan) dan konflik agraria di Kabupaten Konawe Selatan, Sulawesi Tenggara, menunjukkan bagaimana kebijakan relokasi dapat memicu konflik horizontal (antara masyarakat lokal dan transmigran). Bahkan tanpa migrasi iklim, sengketa batas tanah antara komunitas (seperti Negeri Porto dan Negeri Haria di Ambon) telah menjadi isu laten. Tekanan demografis dari migrasi iklim hanya akan memperparah sengketa lahan yang sudah lama ada. Ini menegaskan bahwa konflik komunal bukanlah hasil otomatis dari migrasi, tetapi merupakan kegagalan kelembagaan dalam mengelola Kelangkaan Struktural dan menjamin hak kepemilikan yang adil di daerah penerima.

Ancaman Kelangkaan Air dan Konflik Intranasional (Refleksi dari Dataran Tinggi Tibet)

Meskipun fokus utama laporan ini adalah kenaikan air laut, studi kasus kelangkaan air di Dataran Tinggi Tibet (Asian Water Tower/AWT) memberikan pelajaran penting mengenai bagaimana perubahan iklim menciptakan pola sumber daya baru yang sangat kompetitif. Pemanasan regional di AWT telah terjadi dua kali lipat lebih cepat daripada rata-rata global , menyebabkan pencairan gletser dan salju yang sangat cepat.

Dampak utama adalah terciptanya ketidakseimbangan air ekstrem, dengan air melimpah di utara tetapi persediaan air menyusut di cekungan sungai selatan. Padahal, wilayah AWT menyalurkan air ke banyak negara hilir (termasuk Tiongkok, India, Pakistan, dan Nepal) yang bergantung pada sumber daya ini untuk hampir 2 miliar orang. Kesenjangan sumber daya yang memburuk, ditambah dengan peningkatan permintaan populasi, berpotensi menyebabkan peningkatan risiko perselisihan internasional (seperti ketegangan irigasi India-Pakistan) bahkan konflik intranasional.

Implikasi Tata Kelola, Legalitas, dan Strategi Ketahanan

Mengelola migrasi iklim skala masif membutuhkan kerangka kerja legal, kebijakan pembangunan, dan strategi pencegahan konflik yang terintegrasi.

Status Hukum dan Kepatuhan Internasional

Keterbatasan status legal bagi migran iklim memaksa penanganan masalah ini melalui kerangka disaster displacement dan perlindungan hak asasi manusia yang ada. Tanpa kategori formal “Pengungsi Iklim,” negara-negara harus proaktif. Dewan IOM mendorong tata kelola migrasi berdasarkan tiga pilar utama: kepatuhan terhadap standar internasional, perumusan kebijakan berbasis bukti, dan kemitraan antar-negara. Meskipun Indonesia belum meratifikasi Konvensi Pengungsi 1951, penting untuk memperkuat kerangka perlindungan domestik bagi migran non-tenaga kerja dan korban perpindahan akibat bencana.

Strategi Adaptasi Makro dan Mitigasi

Solusi jangka panjang menuntut pendekatan global dan nasional yang terkoordinasi. Mitigasi harus menjadi prioritas utama, melibatkan pengurangan emisi Gas Rumah Kaca secara drastis. Di sisi adaptasi, kegagalan adaptasi inkremental menuntut transisi menuju strategi adaptasi transformasional skala besar dan relokasi terencana.

Relokasi harus dirancang dengan cermat, memastikan hak dan martabat para migran terlindungi dan, yang krusial, tidak menciptakan konflik baru di wilayah penerima. Penundaan relokasi terencana, seperti yang terlihat pada Kiribati yang menganggapnya sebagai opsi terakhir , hanya akan menyebabkan perpindahan yang kacau dan memperparah masalah sosial di destinasi internal.

Strategi Pencegahan Konflik Komunal di Masyarakat Penerima

Untuk memitigasi risiko konflik yang berakar pada kelangkaan sumber daya dan identitas kelompok, intervensi di tingkat lokal dan struktural sangat dibutuhkan. Di tingkat lokal, pemerintah daerah harus melakukan sosialisasi, mediasi, dan membangun keharmonisan yang melibatkan unsur masyarakat, tokoh pemuda, dan tokoh agama di kecamatan penerima. Tujuannya adalah meredakan ketegangan horizontal, mirip dengan upaya penyelesaian sengketa batas tanah antar-Negeri yang dilakukan di Ambon.

Namun, strategi pencegahan konflik tidak boleh hanya berfokus pada dialog (ad hoc); ia harus mengatasi masalah struktural yang mendasarinya. Mengatasi Kelangkaan Struktural memerlukan reformasi kebijakan pembangunan yang inklusif, memastikan migran tidak membebani infrastruktur tanpa kontribusi, dan yang paling vital, memastikan bahwa masyarakat lokal (terutama komunitas adat) tidak didiskriminasi haknya atas tanah dan sumber daya. Pencegahan konflik yang efektif harus berakar pada keadilan institusional.

Kesimpulan

Migrasi iklim, yang didorong oleh bencana slow-onset seperti kenaikan air laut, merupakan tantangan demografis yang berpotensi memicu kerusuhan sosial dan konflik komunal berskala besar di masa depan. Skala perpindahan internal yang diproyeksikan (lebih dari 216 juta pada 2050) akan membebani pusat-pusat urban dan wilayah penerima, mengubah kelangkaan lingkungan menjadi Kelangkaan Permintaan dan, yang paling berbahaya, Kelangkaan Struktural akibat kebijakan yang timpang.

Berdasarkan analisis ancaman, kerentanan, dan mekanisme konflik yang disajikan, laporan ini menyimpulkan dengan empat rekomendasi strategis utama:

  1. Desain Kebijakan Relokasi dan Tata Ruang yang Adil: Pemerintah harus meninjau ulang kerangka hukum dan kebijakan yang secara tidak sengaja menciptakan Kelangkaan Struktural, seperti ketentuan sengketa lahan dalam undang-undang relokasi/transmigrasi, untuk memastikan perlindungan hak masyarakat lokal/adat, sehingga meminimalisir konflik horizontal di wilayah penerima.
  2. Fokus Keamanan Intranasional dan Investasi Urban: Mengingat proyeksi masif migrasi internal, perlu ada pergeseran fokus kebijakan keamanan dari pertahanan perbatasan ke investasi infrastruktur skala besar di kota-kota penerima. Investasi ini harus mencakup air, sanitasi, dan perumahan untuk mencegah Demand-Induced Scarcity dan menjaga stabilitas sosial.
  3. Memperkuat Kerangka Hukum Nasional bagi Migran Iklim: Mengembangkan status perlindungan dan mekanisme kompensasi khusus bagi Migran Lingkungan/Iklim di tingkat nasional. Langkah ini krusial untuk mengisi celah tata kelola yang timbul dari absennya kerangka hukum internasional formal dan memastikan bahwa hak asasi manusia para korban perpindahan terpenuhi.
  4. Implementasi Adaptasi Transformasional: Menghentikan ketergantungan pada adaptasi inkremental (peninggian rumah, tanggul kecil) yang terbukti tidak berkelanjutan melawan dampak slow-onset (intrusi air asin). Diperlukan investasi dalam strategi adaptasi skala besar, seperti pengelolaan air tanah dan reklamasi lingkungan, yang dapat secara signifikan memperlambat laju perpindahan paksa.

 

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

24 + = 28
Powered by MathCaptcha