Komunitas diaspora di Eropa secara inheren mendiami ruang liminal, sebuah kondisi eksistensial yang terletak di antara budaya asal dan budaya tuan rumah. Ruang ini, yang dikenal sebagai “Ruang Antara Dua Dunia,” adalah lokasi di mana identitas budaya terus-menerus dibangun, ditantang, dan dinegosiasikan ulang. Penulis dan intelektual Salman Rushdie pernah menggambarkan kondisi ini sebagai “terkadang kami merasa kami menjangkau dua budaya; di lain waktu, kami merasa kami jatuh di antara dua kursi”. Deskripsi ini menangkap dualitas identitas yang menjadi karakteristik pengalaman diaspora, menunjukkan bahwa liminalitas bukanlah fase transisional sementara, melainkan kondisi perpetual.
Argumentasi sentral dalam analisis ini adalah bahwa konflik identitas yang dialami oleh diaspora di Eropa tidak hanya terbatas pada perjuangan sosiopolitik makro atau transnasional, tetapi juga melibatkan proses negosiasi mikro-level yang dinamis dan berkelanjutan. Penelitian cenderung fokus pada teori transportasi konflik yang melihat konteks sosietaL dan transnasional. Namun, pendekatan ini berisiko mengesensialisasi identitas diaspora dan gagal menangkap sifat keberadaan yang berubah-ubah (shifting nature of existence) yang dialami oleh individu. Sebaliknya, laporan ini berpendapat bahwa interaksi sehari-hari dan lintasan hidup individu memainkan peran penting dalam bagaimana kaum muda diaspora berhubungan dengan kategori identitas, memicu mereka untuk terus-menerus menegosiasikan dan mengubah apa arti identitas asal mereka (misalnya, menjadi ‘Lebanese’ atau ‘Maghrebi’) dalam eksistensi mereka. Hasil dari negosiasi berkelanjutan ini adalah spektrum identitas hibrida yang heterogen, yang secara fundamental menantang narasi homogenisasi struktural yang sering dipaksakan oleh negara-negara Eropa.
Definisi Kunci dan Kontekstualisasi Eropa
Dalam konteks Eropa modern, istilah diaspora mencakup generasi pertama imigran serta generasi kedua dan seterusnya. Generasi kedua, khususnya, menghadapi tantangan unik karena mereka lahir dan dididik di negara tuan rumah, tetapi memiliki warisan budaya yang kuat yang ditransmisikan oleh orang tua mereka. Untuk memahami bagaimana mereka mengelola dualitas ini, penting untuk memperkenalkan konsep Identitas Hibrida Diaspora.
Identitas hibrida merupakan hasil penyatuan dua atau lebih budaya di dalam satu individu. Proses ini tidak pasif, melainkan melibatkan Asimilasi Selektif, sebuah mekanisme strategis di mana pemuda generasi kedua memilih elemen-elemen untuk berasimilasi dengan masyarakat tuan rumah sambil mempertahankan ikatan yang tidak terhindarkan dengan sejarah migrasi masa lalu dan identitas ko-etnis. Penguatan ikatan etnis ini dapat diperlambat jika ada konsentrasi tinggi di kota atau lingkungan tertentu, yang memungkinkan etnisitas memanjang dari “fajar hingga senja” daripada memudar. Dengan demikian, hibridisasi adalah adaptasi yang cerdas terhadap tuntutan masyarakat ganda.
Tinjauan Konflik Inti
Konflik yang dihadapi oleh komunitas diaspora dapat dikategorikan menjadi tiga poros utama yang saling terkait, masing-masing memvalidasi kondisi liminal mereka:
- Konflik Struktural: Dipicu oleh kebijakan integrasi negara-negara Eropa (seperti model asimilasionis atau civic integrationist baru) yang membatasi pengakuan identitas etnis atau agama di ruang publik.
- Konflik Intergenerasi: Terjadi di dalam komunitas dan keluarga, di mana perbedaan laju asimilasi selektif antara generasi pertama dan kedua menimbulkan ketegangan mengenai pelestarian warisan budaya.
- Konflik Eksistensial (Internal): Perjuangan individu untuk merekonsiliasi identitas ganda, yang seringkali diperburuk oleh tekanan eksternal seperti diskriminasi atau Islamofobia.
Landasan Teoritis: Identitas sebagai Konstruksi yang Bergeser
Teori Konflik Diaspora dan Kritik Esensialisasi
Studi tentang diaspora sering kali menggunakan teori transportasi konflik untuk menjelaskan reproduksi hubungan antagonis, cenderung fokus pada konteks sosietaL dan transnasional, seperti keterlibatan komunitas diaspora dalam konflik di tanah air mereka. Namun, fokus yang berlebihan pada konflik makro ini berisiko mengesensialisasi identitas diaspora—memandang mereka sebagai kelompok yang homogen dan terikat secara kaku pada kategori etnis asal mereka.
Analisis yang lebih mendalam menunjukkan bahwa interaksi sehari-hari dan lintasan hidup memainkan peran yang jauh lebih kritis dalam membentuk identitas dibandingkan hanya konteks transnasional semata. Identitas adalah konstruksi yang terus-menerus dinegosiasikan ulang. Misalnya, kaum muda diaspora Lebanon di Montreal secara kontinu mendefinisikan ulang apa artinya menjadi ‘Lebanese’ dalam konteks eksistensi mereka yang berubah. Oleh karena itu, kerangka teoritis harus mengakomodasi fluiditas identitas ini, di mana konflik identitas berakar pada ketidakmampuan kerangka sosiopolitik makro untuk mengakomodasi sifat fluiditas identitas di tingkat mikro. Ketika negara tuan rumah memaksakan kategori yang kaku, individu dipaksa untuk bernegosiasi secara terus-menerus.
Transnationalism dan Politik Identitas (Negotiating Belonging)
Politik identitas diaspora melibatkan perjuangan kompleks untuk pengakuan, pengaruh politik, dan penegasan kekhasan budaya di negara tuan rumah maupun negara asal. Komunitas diaspora harus mengatasi pertanyaan tentang kesetiaan, representasi, dan pelestarian budaya saat mereka bergerak di antara akar leluhur dan tanah air adopsi mereka.
Meskipun mobilisasi politik dan aktivisme merupakan alat yang kuat bagi perubahan sosial dan politik, memungkinkan diaspora untuk menegaskan agensi mereka dan berkontribusi pada perjuangan yang lebih luas , solidaritas internal sering kali terhalang oleh perpecahan internal. Perpecahan dan konflik di dalam komunitas diaspora dapat muncul dari perbedaan ideologi politik, identitas, atau kepentingan, yang pada gilirannya melemahkan aksi kolektif. Kegagalan dalam mencapai solidaritas internal ini menjadi kompleks, karena masyarakat tuan rumah mungkin melihat perpecahan tersebut sebagai bukti kurangnya integrasi, padahal hal itu hanyalah manifestasi dari keragaman dan negosiasi yang kompleks.
Hybridity, Asimilasi Selektif, dan Dinamika Intergenerasi
Identitas hibrida adalah produk utama dari negosiasi identitas, di mana dua atau lebih budaya bersatu dalam diri individu. Proses yang mendorong pembentukan identitas hibrida di kalangan pemuda generasi kedua adalah asimilasi selektif. Ini adalah strategi aktif di mana anak-anak imigran mengambil elemen-elemen fungsional dari budaya tuan rumah sambil secara sadar mempertahankan ikatan yang tak terhindarkan dengan latar belakang etnis mereka, yang melampaui ruang dan waktu.
Fenomena asimilasi selektif sangat penting karena ia menyediakan mekanisme bagi generasi kedua untuk mengatasi transmisi identitas ganda yang kuat yang mereka terima dari orang tua mereka. Penelitian menunjukkan adanya transmisi intergenerasi yang kuat, baik untuk identitas kelompok etnis maupun identitas negara tuan rumah, dari satu generasi ke generasi berikutnya. Misalnya, pola transmisi identitas ganda yang serupa diamati pada orang tua Maroko-Belanda dan anak-anak mereka. Anak-anak imigran yang mengidentifikasi diri dengan label asal tunggal atau bergaris tengah (misalnya, Haiti atau Haiti-Amerika) menunjukkan tingkat keterikatan terhadap pengalaman imigran. Oleh karena itu, asimilasi selektif adalah kunci untuk memahami bagaimana negosiasi di Generasi Kedua mengubah konflik identitas menjadi bentuk agensi yang strategis.
Arena Konflik Struktural: Politik Integrasi Eropa
Struktur konflik terbesar bagi komunitas diaspora di Eropa berakar pada kebijakan integrasi yang diadopsi oleh negara-negara tuan rumah. Kebijakan ini dapat diklasifikasikan berdasarkan model historis, meskipun terjadi konvergensi signifikan dalam dua dekade terakhir.
Model Nasional Klasik dan Tipologi Integrasi
Secara historis, penelitian migrasi di Eropa sering menggunakan model nasional integrasi untuk menjelaskan kebijakan yang muncul dari konteks sejarah dan kelembagaan spesifik.
- Model Asimilasionis (Prancis): Berakar pada pemahaman khas negara tersebut tentang kebangsaan yang nasionalis dan universalis (laïcité). Model ini menuntut peleburan total ke dalam budaya dominan, yang secara struktural menolak pengakuan identitas etnis atau agama di ruang publik. Hal ini berpotensi menciptakan tingkat konflik identitas tertinggi karena memaksa penolakan bagian-bagian penting dari identitas pribadi.
- Model Differentialist (Jerman): Kewarganegaraan didasarkan pada pemahaman etnokultural (keturunan). Migran awalnya dipandang sebagai pekerja sementara (guestworker), yang menghasilkan pengecualian diferensial (differential exclusion) yang membatasi hak dan integrasi sosial-budaya.
- Model Pluralis/Multikultural (Belanda dan Inggris Awal): Belanda, misalnya, mengadopsi pendekatan multikulturalis yang berakar pada tradisi pillarization kewarganegaraan, di mana masyarakat diatur oleh pilar-pilar agama atau sosial-budaya. Model ini, yang mengakui komunitas terpisah (here, but different), menawarkan tingkat pengakuan awal, namun kemudian dikritik sebagai ‘terlalu pasif’.
Analisis Pergeseran Pasca-2000: Kemunduran Multikulturalisme
Sejak awal tahun 2000-an, terjadi pergeseran signifikan di seluruh Eropa yang dikenal sebagai ‘kemunduran multikulturalisme’ (‘retreat of multiculturalism’). Pergeseran ini menandai adanya konvergensi kebijakan di UE, meskipun negara-negara sebelumnya dianggap memiliki logika integrasi yang berlawanan.
Pergeseran ini ditandai dengan kebangkitan pendekatan Integrasi Kewarganegaraan (Civic Integrationist). Pendekatan ini secara eksplisit menolak multikulturalisme karena dianggap terlalu toleran terhadap perbedaan budaya. Sebaliknya, pendekatan ini menuntut penerimaan yang jauh lebih kuat terhadap norma, nilai, dan institusi masyarakat tuan rumah. Hal ini diwujudkan melalui kebijakan seperti tes kewarganegaraan dan penekanan pada nilai-nilai inti.
Contoh nyata dari pergeseran ini terlihat di Belanda, di mana model multikulturalis telah digantikan oleh pendekatan yang lebih asimilasionis, yang menuntut migran beradaptasi dengan nilai-nilai dan keyakinan arus utama Belanda. Perubahan ini telah memprioritaskan integrasi sosial-budaya (sistem nilai) daripada integrasi struktural. Pergeseran menuju Civic Integrationism ini menjadi sumber konflik struktural utama, karena secara efektif menggeser definisi identitas yang dapat diterima.
Dampak Kebijakan Eropa Terhadap Konflik Identitas
Kebijakan yang menolak pluralitas secara efektif menginstitusionalisasi konflik identitas. Dengan menuntut penerimaan norma yang ketat, negara-negara Eropa menjadikan identitas etnis atau agama yang menonjol sebagai penghalang integrasi. Meskipun ada ‘kemunduran multikulturalisme’, banyak negara UE juga mengembangkan kebijakan anti-diskriminasi, menciptakan kontradiksi di mana negara secara bersamaan mendorong integrasi nilai yang ketat namun melarang diskriminasi. Hal ini meningkatkan kebingungan di antara komunitas diaspora mengenai batasan negosiasi identitas yang diizinkan.
Selain itu, kebijakan makroekonomi Eropa juga memperburuk marginalisasi. Proteksionisme dan subsidi pertanian UE dapat membuat hidup lebih sulit bagi negara-negara berkembang, yang pada gilirannya meningkatkan tekanan bagi orang untuk bermigrasi. Ironisnya, kebijakan ini berkontribusi pada masalah migrasi yang kemudian berusaha diatasi oleh kebijakan integrasi. Diaspora juga menghadapi tekanan untuk menyeimbangkan kewajiban transnasional (seperti keterlibatan sukarela dalam brain circulation untuk membatasi brain drain di negara asal) dengan kehidupan mereka di Eropa, menambah lapisan negosiasi identitas.
Perbandingan Model Integrasi Diaspora di Eropa dan Dampaknya pada Identitas
| Model Integrasi | Karakteristik Utama | Konteks Historis Utama | Dampak Kunci pada Identitas Diaspora (Tingkat Konflik) | Cakupan Identitas yang Diakui |
| Asimilasionis | ‘Di sini, tapi sama’. Peleburan total ke budaya dominan. | Prancis (Laïcité, Universalism) | Konflik tinggi; penolakan identitas etnis/agama di ruang publik. Menghasilkan Otherization dan resistensi. | Identitas Tunggal (Host) |
| Differential Exclusion | Migran sebagai pekerja sementara (Guestworker). Minim implikasi keragaman permanen. | Jerman (Etnokultural/Keturunan) | Konflik terkait status hukum, pengakuan etnokultural terbatas, dan marginalisasi struktural. | Identitas Transisional/Eksklusi |
| Multikulturalis/Pluralis Awal | ‘Di sini, tapi berbeda’. Pengakuan komunitas terpisah. | Belanda (Pillarization), Inggris (Awal) | Meringankan konflik awal, namun dianggap terlalu pasif. Memicu ‘Kemunduran Multikulturalisme’ pasca-2000. | Identitas Ganda/Komunitas Terpisah |
| Civic Integrationist (Pasca-2000) | Menuntut penerimaan norma dan institusi secara ketat. | Konvergensi di Seluruh Eropa | Meningkatkan tekanan pada negosiasi nilai-nilai fundamental, memaksa hibridisasi dan respons yang terpolarisasi. | Identitas Bersyarat (Civic Identity) |
Konflik dan Negosiasi Identitas dalam Konteks Empiris Spesifik
Konflik Internal: Intergenerasi dan Dualitas Identitas
Generasi kedua diaspora berperan sebagai juru navigasi, dituntut untuk menyeimbangkan ekspektasi budaya yang kontras antara negara asal dan negara tuan rumah. Konflik intergenerasi muncul dari perbedaan laju dan jenis asimilasi selektif yang dipilih oleh generasi muda dibandingkan dengan harapan orang tua mereka. Meskipun orang tua berkontribusi pada transmisi identitas ganda (etnis dan nasional) , kaum muda menggunakan formasi identitas dinamis ini untuk bergerak melampaui biner kaku, seperti dalam kasus diaspora Turki-Jerman generasi kedua yang kembali ke Turki. Kemampuan untuk menavigasi ekspektasi yang kontras ini menunjukkan bahwa identitas mereka tidak hanya diwarisi, tetapi secara aktif dibentuk sebagai strategi bertahan hidup.
Konflik Eksternal: Menghadapi Xenofobia dan Marginalisasi Struktural
Salah satu sumber konflik eksternal paling akut adalah Islamofobia dan diskriminasi, yang memaksa kelompok diaspora Muslim mengalami serangan identitas dan marginalisasi. Kondisi ini sangat penting dalam pembentukan identitas diaspora Muslim baru di Eropa.
Studi kasus komunitas Maghrebi di Prancis menggambarkan bagaimana konflik struktural diperburuk oleh faktor geografis dan kebijakan. Eksklusi geografis, seperti tinggal di banlieues, memiliki implikasi serius terhadap ketenagakerjaan dan pendidikan, mengikat identitas Maghrebi dengan status sosial yang terpinggirkan. Kebijakan Prancis, terutama laïcité dan universalisme, sering kali bertentangan secara langsung dengan identitas Maghrebi/Muslim. Konflik ini memaksa adanya resistensi yang terorganisir, seperti pembentukan organisasi untuk mengubah narasi tentang perempuan Muslim (Lallab) atau tim sepak bola untuk perempuan berhijab (Les Hijabeuses), yang menentang larangan hijab dalam olahraga. Kasus-kasus resistensi ini menunjukkan bahwa konflik struktural tidak selalu mengarah pada asimilasi pasif, tetapi memicu agen kolektif yang bertujuan mengubah narasi publik.
Konflik Transnasional dan Peran Diaspora dalam Konflik Tanah Air
Banyak komunitas diaspora di Eropa, termasuk Armenia, Kurdi, dan Albania, menunjukkan keterlibatan politik yang ekstensif dalam konflik di tanah air mereka. Keterlibatan ini memperkuat status ganda diaspora sebagai anggota masyarakat sipil Eropa dan sebagai bagian dari jaringan etnis atau agama global.
Terdapat analisis teoretis yang menunjukkan bahwa ukuran diaspora memainkan peran. Di atas ambang batas ukuran diaspora tertentu, migran dapat memberikan kontribusi positif terhadap upaya kelompok asal mereka. Keterlibatan transnasional ini, meskipun vital bagi identitas etnis, dapat meningkatkan pengawasan dari negara tuan rumah, yang sering kali melihat keterlibatan ini sebagai indikasi kurangnya kesetiaan atau integrasi.
Strategi Negosiasi dan Spektrum Identitas Hibrida
Negosiasi Identitas sebagai Apropriasi Nilai
Menghadapi marginalisasi dan diskriminasi yang diakibatkan oleh Islamofobia, diaspora Muslim di Eropa dipaksa untuk menegosiasikan identitas mereka karena tiga status yang saling bertabrakan: status mereka sebagai anggota masyarakat sipil Eropa, status mereka sebagai pendatang atau orang asing, dan status mereka sebagai bagian dari ummah transnasional. Kewajiban yang timbul dari ketiga status ini sering bertabrakan, seperti doktrin agama tentang penutup kepala yang bertentangan dengan hukum sipil Eropa (misalnya, laïcité di Prancis).
Strategi negosiasi utama yang dilakukan adalah penyesuaian nilai-nilai Islam dengan nilai-nilai kebudayaan Barat (terutama liberalisme, yang sering digunakan sebagai penanda jati diri Eropa). Serangan identitas dan Islamofobia, yang bertujuan untuk menyingkirkan identitas Muslim dari ruang Eropa, secara paradoks justru memaksa komunitas untuk secara kreatif menyesuaikan dan mendefinisikan ulang identitas mereka di Eropa, menghasilkan identitas yang lebih kompleks dan terinternalisasi.
Hasil Negosiasi: Spektrum Identitas Hibrida
Negosiasi ini menghasilkan kelompok diaspora Muslim yang heterogen, menentang narasi homogenisasi yang sering diwacanakan oleh kelompok sayap kanan di Eropa. Hasil negosiasi identitas dapat diklasifikasikan ke dalam spektrum respons yang berbeda:
- Muslim Liberal (Peleburan Positif): Kelompok ini menanggapi positif nilai-nilai Barat, secara aktif merekonfigurasi identitas agama dan sekuler mereka, dan menggabungkan keduanya. Contoh termasuk kelompok LGBT Islam di Prancis atau “Masjid Inklusif” di Jerman yang dipimpin oleh Seyran Ates. Wanita imigran Muslim queer di Prancis, misalnya, menggunakan media sosial sebagai saluran untuk menegosiasikan identitas mereka dan mencari rekonsiliasi antara homoseksualitas dan agama mereka, menciptakan safe space digital yang mendukung. Kelompok ini mewakili hibridisasi tingkat tinggi dan interseksionalitas.
- Moderat (Asimilasi Selektif Pragmatis): Kelompok ini mengambil sebagian nilai-nilai dari kebudayaan Barat, mempraktikkan asimilasi selektif yang berimbang dan pragmatis. Mereka mewakili populasi dual identitas yang stabil.
- Radikal (Penolakan Total): Kelompok ini menolak sepenuhnya nilai-nilai yang ada di tempat tinggal mereka, seringkali dengan memperkuat ikatan transnasional Islam sebagai ummah sebagai kerangka berpikir utama. Kelompok ini cenderung memilih enclavement dan resisten terhadap integrasi struktural.
Peran Institusi dan Ruang Digital dalam Negosiasi
Pembentukan identitas diaspora Muslim dipengaruhi oleh interaksi tiga aktor utama: institusi negara, institusi keagamaan, dan masyarakat sipil. Ketika institusi negara gagal memberikan pengakuan atau memaksakan konflik (misalnya melalui undang-undang yang ketat), ruang negosiasi alternatif menjadi krusial.
Ruang digital, khususnya media sosial, telah muncul sebagai third space penting untuk negosiasi identitas. Ruang ini melampaui batas-batas fisik yang bermusuhan, memungkinkan individu dengan identitas ganda yang termarginalisasi (seperti queer Muslim) untuk menemukan dukungan, validasi, dan membentuk komunitas solidaritas di luar batas-batas teritorial tradisional. Digitalisasi hibriditas ini merupakan respons terhadap kegagalan ruang fisik Eropa untuk mengakomodasi identitas interseksional.
Spektrum Negosiasi Identitas Diaspora Muslim di Eropa
| Kategori Identitas Hibrida | Strategi Negosiasi Kunci | Sikap terhadap Nilai Budaya Barat | Implikasi/Fungsi Identitas | Cakupan Identitas |
| Muslim Liberal | Penyesuaian/Rekonfigurasi nilai-nilai agama dengan prinsip-prinsip liberalisme. | Positif; peleburan harmonis dan inovatif. | Menciptakan safe space dan memimpin perubahan teologis inklusif. Melampaui biner kaku. | Identitas Interseksional/Hibrida Tinggi |
| Moderat | Asimilasi Selektif; mengambil sebagian nilai budaya Barat yang tidak bertentangan. | Pragmatis; mengambil nilai-nilai fungsional. | Upaya hidup berdampingan yang stabil; menunjukkan transmisi identitas ganda yang kuat. | Dual Identitas (Etnis & Nasional) |
| Radikal | Penolakan total terhadap nilai-nilai yang bertentangan dengan pandangan agama/etnis. | Negatif; memperkuat ikatan transnasional (Ummah). | Menghambat integrasi struktural; cenderung memilih enclavement. | Identitas Tunggal (Transnasional/Ummah) |
Kesimpulan
Analisis menunjukkan bahwa “Ruang Antara Dua Dunia” adalah arena konflik dinamis di mana tekanan struktural (khususnya kebijakan Civic Integrationist dan Islamofobia yang meningkat) memaksa diaspora untuk terlibat dalam negosiasi eksistensial yang intens. Konflik ini, yang sering digambarkan oleh masyarakat tuan rumah sebagai masalah integrasi, pada kenyataannya berfungsi sebagai mesin yang menghasilkan identitas diaspora yang sangat dinamis dan heterogen.
Identitas diaspora bukanlah entitas yang statis atau esensial, tetapi merupakan konstruksi yang harus terus-menerus dinegosiasikan ulang dan diubah. Ironisnya, upaya untuk memaksakan kategori identitas yang kaku dan homogen melalui kebijakan (seperti yang terlihat dalam model Asimilasionis Prancis atau pergeseran Civic Integrationism pasca-2000 ) justru menghasilkan beragam spektrum respons identitas—mulai dari adaptasi Liberal yang inovatif hingga penolakan Radikal.
Untuk mengatasi konflik identitas di Eropa secara efektif, kebijakan integrasi harus mengakui dan mendukung heterogenitas diaspora daripada memaksakan homogenisasi:
- Pengakuan Heterogenitas dan Agensi: Kebijakan harus bergerak melampaui model biner (asimilasi vs. segregasi) dan mengakui spektrum hasil negosiasi (Liberal, Moderat) sebagai produk yang sah dan fungsional dari kehidupan diaspora. Pendekatan ini mengakui bahwa asimilasi selektif adalah strategi adaptasi, bukan kegagalan integrasi.
- Membongkar Konflik Struktural Berbasis Nilai: Negara-negara Eropa perlu meninjau ulang kebijakan yang secara eksplisit memicu konflik langsung dengan identitas minoritas, seperti penerapan ketat laïcité atau batasan pada atribut religius yang memaksa negosiasi identitas publik. Mengurangi tekanan struktural ini akan memungkinkan negosiasi identitas berlangsung di tingkat individu dan komunitas tanpa memicu resistensi kolektif yang dipicu oleh marginalisasi.
- Mendukung Infrastruktur Komunitas: Penting untuk mendukung organisasi diaspora dan inisiatif sipil yang membantu generasi muda menavigasi masyarakat tuan rumah dan melawan Otherization. Organisasi-organisasi ini memainkan peran vital dalam transmisi budaya dan memberikan alat kepada generasi kedua untuk menegaskan agen mereka.
Penelitian selanjutnya harus berfokus pada studi komparatif lintas generasi yang lebih mendalam mengenai hasil negosiasi di berbagai model integrasi Eropa, misalnya, membandingkan bagaimana strategi negosiasi menghasilkan identitas Liberal di Prancis (dengan model asimilasionis yang ketat) versus di Jerman (dengan latar belakang differential exclusion). Selain itu, eksplorasi peran dan dampak ruang digital dalam membentuk dan memperkuat solidaritas dan agen identitas (seperti yang terlihat dalam studi kasus queer Muslim di Prancis ) harus diperluas, karena teknologi terus memberikan arena baru yang melampaui batasan geografis dan kebijakan negara.
