Laut Cina Selatan (LCS) merupakan perairan yang memiliki signifikansi geostrategis dan ekonomi yang luar biasa bagi kawasan Indo-Pasifik dan global. LCS berfungsi sebagai jalur perdagangan maritim tersibuk di dunia, sangat penting untuk rantai pasok global, dan menghubungkan Asia Timur dengan Samudra Hindia. Diperkirakan sepertiga dari perdagangan maritim global melewati perairan ini. Oleh karena itu, krisis terbuka di LCS akan menimbulkan dampak langsung pada stabilitas ekonomi regional dan global secara signifikan.

Kawasan LCS adalah panggung utama bagi persaingan geopolitik yang intens antara dua kekuatan besar dunia: Amerika Serikat (AS) dan Republik Rakyat Tiongkok (RRT). Dinamika ini melibatkan negara-negara anggota ASEAN, baik negara-negara yang memiliki klaim teritorial langsung (claimant states)—seperti Filipina, Vietnam, Malaysia, dan Brunei—maupun negara-negara yang berbatasan namun secara formal non-klaiman (seperti Indonesia di Laut Natuna Utara). Konflik yang tidak terselesaikan ini telah berlangsung selama beberapa dekade dan kini diperparah oleh tekanan proyeksi kekuatan dari Washington dan Beijing.

Mandat Doktrinal ASEAN: Sentralitas dan ASEAN Way

Untuk mengelola dinamika eksternal dan menjaga ketahanan kawasan, ASEAN berpegang teguh pada dua prinsip doktrinal utama. Pertama, Sentralitas ASEAN , prinsip yang menegaskan bahwa ASEAN harus menjadi penggerak utama dalam arsitektur keamanan dan kerjasama regional. Kedua, ASEAN Way, sebuah mekanisme yang mengutamakan musyawarah, mufakat (consensus), dan non-interferensi sebagai landasan dalam penyelesaian konflik dan pengambilan keputusan.

Namun, konteks geopolitik saat ini menguji relevansi dan efektivitas mandat ini. Keberhasilan ASEAN dalam mempertahankan stabilitas dan otonomi strategisnya sangat bergantung pada kemampuannya menyeimbangkan tekanan ganda dari Tiongkok dan AS, sambil mengatasi fragmentasi kepentingan internal.

Diagnosis Tantangan Struktural dari Persaingan Kekuatan Besar (Ancaman Eksternal)

Persaingan antara AS dan Tiongkok di LCS menciptakan tekanan eksistensial, memaksa negara-negara ASEAN untuk menyeimbangkan kebutuhan keamanan maritim dengan ketergantungan ekonomi yang besar, khususnya pada Tiongkok. Strategi kedua kekuatan besar ini bersifat konsisten, bertahap, dan multidomain.

Strategi Tiongkok: Konsistensi, Gradualisme, dan Multi-Domain

Strategi Tiongkok bertujuan mengubah fakta di lapangan (facts on the sea) menjadi status quo yang sulit dibalik tanpa memicu biaya eskalasi yang tinggi bagi pihak lain.

Militaritas dan A2/AD (Anti-Access/Area Denial)

Tiongkok telah secara sistematis memperkuat infrastrukturnya di LCS. Fitur maritim hasil reklamasi, seperti Fiery Cross, Subi, dan Mischief Reefs, dikonversi menjadi kompleks udara-laut yang terintegrasi, yang dirancang untuk memperkuat kemampuan Anti-Access/Area Denial (A2/AD). Kemampuan A2/AD ini bertujuan membatasi pergerakan militer AS dan sekutunya di kawasan tersebut.

Implikasi militer bagi ASEAN sangat mendalam, menciptakan ketidakseimbangan kekuatan yang masif. Meskipun negara-negara ASEAN berupaya melakukan modernisasi militer (misalnya, Vietnam memperkuat armada kapal selamnya), peningkatan kekuatan ini masih sangat kecil dibandingkan dengan proyeksi kekuatan Beijing. Negara-negara seperti Indonesia, Malaysia, dan Filipina menghadapi dilema alutsista yang menua, keterbatasan logistik, dan fragmentasi strategi pertahanan, yang secara struktural membuat mereka tidak berdaya menghadapi kemampuan PLA Navy.

Lawfare dan Aksi Grey Zone

Tiongkok secara simultan menerapkan perang hukum strategis (lawfare) untuk memajukan agenda geopolitiknya. Strategi hibrida ini menggunakan manuver hukum dan narasi informasi untuk mendefinisikan “normal baru”. Klaim ‘Sembilan Garis Putus-Putus’ yang tidak berlandaskan hukum internasional dan telah ditolak oleh Mahkamah Arbitrase Permanen pada 2016 (berdasarkan UNCLOS 1982) menjadi instrumen utama dalam lawfare.

Instrumen lawfare lainnya adalah Larangan Penangkapan Ikan Unilateral tahunan (Mei-Agustus) yang diberlakukan sepihak di seluruh LCS, termasuk Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) sah milik negara-negara ASEAN. Tindakan ini dikemas sebagai upaya konservasi, padahal tujuannya adalah perluasan wilayah dan perampasan sumber daya. Strategi ini diperkuat oleh pemanfaatan kehadiran maritim semi-negara, seperti Coast Guard dan milisi maritim, untuk mengubah fakta lapangan tanpa memicu eskalasi militer konvensional secara terbuka. Tiongkok menggunakan narasi lawfare ini untuk melegitimasi proyeksi kekuatan fisik A2/AD, memaksa negara-negara ASEAN memilih antara menantang klaim hukumnya (dengan biaya politik dan ekonomi) atau menantang militerisasi (dengan biaya eskalasi keamanan).

Strategi AS dan Sekutu: Penyeimbangan dan Penguatan Aliansi

Amerika Serikat berupaya menyeimbangkan pengaruh Tiongkok, terutama melalui penegasan kebebasan navigasi dan penguatan jaringan aliansi.

Patroli Kebebasan Navigasi (FONOPs)

AS menerapkan program Freedom of Navigation Operations (FONOPs) yang bertujuan menentang klaim teritorial Tiongkok dan menegakkan prinsip kebebasan navigasi di perairan internasional, sejalan dengan UNCLOS. Meskipun penting untuk menjaga hukum laut internasional, patroli ini sering dipandang oleh Beijing sebagai provokatif dan berkontribusi pada ketegangan militer di LCS.

Penguatan Blok Aliansi

AS memperkuat aliansi regional seperti Quad dan AUKUS. AUKUS, aliansi pertahanan antara Australia, Inggris, dan AS, menimbulkan kekhawatiran serius di kawasan. Indonesia dan Malaysia menyatakan kekhawatiran mendalam bahwa AUKUS akan memicu perlombaan senjata nuklir di Asia Tenggara.

Penguatan aliansi ini menciptakan risiko besar bagi ASEAN, yang dapat terbagi menjadi blok-blok aliansi yang mengancam dan merentankan ketahanan regional secara keseluruhan. Respon terhadap AUKUS memperjelas perpecahan ini; sementara Indonesia dan Malaysia khawatir, Filipina memberikan dukungan eksplisit, berargumen bahwa kerja sama AUKUS diperlukan untuk menghadapi tindakan agresif Tiongkok, mengingat ASEAN dianggap tidak memiliki kekuatan militer yang memadai.

Tindakan kedua kekuatan besar tersebut secara kolektif mengikis otonomi strategis ASEAN. Persaingan ini memaksa negara-negara anggota untuk mengambil sikap, bertentangan dengan upaya ASEAN untuk menjaga netralitas. Dimensi keamanan di LCS semakin didorong oleh dinamika eksternal, yang mengubah negara-negara ASEAN menjadi “pion catur” dalam permainan geopolitik global. Oleh karena itu, ASEAN dihadapkan pada kebutuhan mendesak untuk secara proaktif mendefinisikan dan melaksanakan otonomi strategisnya.

Tabel 1: Perbandingan Strategi Geopolitik AS dan Tiongkok di LCS

Aktor Strategi Utama di LCS Instrumen Kunci Implikasi bagi Stabilitas Regional
Tiongkok (RRT) Gradualisme & Multidomain Dominance A2/AD melalui pulau buatan, Lawfare (9/10-dash line, larangan penangkapan ikan unilateral), Milisi Maritim Mengubah status quo menjadi realitas de facto; Menciptakan ketidakseimbangan kekuatan militer; Memaksa konflik normatif terhadap UNCLOS.
Amerika Serikat (AS) Penyeimbangan & Penegasan Tatanan Hukum FONOPs (Freedom of Navigation Operations), Penguatan Aliansi (AUKUS) dan Kemitraan Bilateral Menegakkan hukum internasional; Memicu reaksi Tiongkok; Berpotensi memecah belah ASEAN menjadi blok aliansi militer.

Tantangan Intrinsik ASEAN: Kohesi Internal dan Dilema Institusional

Kelemahan internal dan institusional ASEAN adalah tantangan terbesar dalam menghadapi tekanan eksternal. Fragmentasi ini memungkinkan Tiongkok untuk menerapkan strategi diplomatik “bilateral menekan, multilateral mengulur”.

Fragmentasi Kepentingan Nasional

Kohesi ASEAN terhambat oleh perbedaan kepentingan nasional yang mendasar di antara anggotanya. Terdapat perbedaan signifikan antara negara claimant yang menghadapi konflik teritorial langsung (seperti Filipina dan Vietnam) dan negara non-claimant yang cenderung tidak merasa terganggu oleh klaim Tiongkok (seperti Thailand atau Indonesia sebelum eskalasi Natuna). Perbedaan kepentingan ini menjadi penghalang utama dalam mencapai konsensus regional yang diperlukan untuk mengambil sikap kolektif dan tegas terhadap Tiongkok.

Erosi Sentralitas ASEAN dan Kebijakan Individual

Kegagalan ASEAN dalam mengambil sikap bersama mengindikasikan minimnya upaya menjunjung tinggi prinsip Sentralitas ASEAN yang memerlukan kesamaan persepsi dan netralitas di antara anggota.

Kasus respons terhadap pembentukan AUKUS menunjukkan keraguan terhadap Sentralitas ASEAN. Terdapat keragaman respons yang tajam: Filipina memberikan dukungan eksplisit, sementara Indonesia dan Malaysia menyuarakan kekhawatiran mendalam mengenai potensi perlombaan senjata. Pelemahan Sentralitas ini berimplikasi pada hilangnya netralitas dan berpotensi memicu perpecahan di antara negara anggota. Negara-negara yang merasa keamanan mereka tidak terjamin oleh kolektivitas ASEAN cenderung mencari jaminan keamanan bilateral dari kekuatan eksternal (AS), yang pada gilirannya meningkatkan fragmentasi blok.

Perubahan sikap Indonesia, yang merupakan negara non-claimant dan mediator historis, juga menambah kerumitan. Pernyataan bersama Indonesia-Tiongkok mengenai kerja sama maritim di wilayah yang diistilahkan sebagai “tumpang tindih” (overlapping claims) dinilai oleh pakar hukum internasional sebagai pengakuan diam-diam terhadap klaim Tiongkok atas LCS, khususnya Laut Natuna Utara. Meskipun Pemerintah Indonesia membantah, tindakan ini memiliki konsekuensi geopolitik yang serius.

Langkah ini dapat dianggap sebagai contoh “ketidakberanian struktural” yang dipengaruhi oleh ketergantungan ekonomi pada Tiongkok. Keputusan tersebut berpotensi menguntungkan Indonesia dalam jangka pendek (misalnya, meredakan gesekan coast guard) , tetapi dalam jangka panjang, hal ini dapat merugikan karena mengubah posisi Indonesia di mata negara-negara Asia Tenggara lain dan Barat, serta memungkinkan Tiongkok untuk mengkapitalisasi pengakuan tersebut guna menekan negara claimant lainnya. Ini adalah ujian apakah ASEAN mampu memisahkan kepentingan geoeconomic jangka pendek dari integritas geostrategic dan hukum kolektif jangka panjang.

Keterbatasan Mekanisme “ASEAN Way”

Prinsip ASEAN Way, yang didasarkan pada musyawarah mufakat dan konsensus, seringkali menjadi penghalang dalam mengambil keputusan yang cepat dan tegas, khususnya ketika berhadapan dengan isu high issue seperti kedaulatan dan pertahanan di LCS.

Keterbatasan ini dimanfaatkan secara strategis oleh Tiongkok, yang sering menggunakan ASEAN Way agar blok tersebut tidak melakukan intervensi kolektif terhadap kebijakan suatu negara, sehingga menghambat kolektivitas anggota. Upaya mediasi yang dilakukan oleh Indonesia sejak tahun 1990-an untuk mendorong dialog telah menunjukkan hasil konkret yang terbatas. Ketidakmampuan ASEAN Way dalam menyelesaikan isu LCS dalam kerangka waktu yang memadai menunjukkan keterbatasan serius dari pendekatan ini, dan oleh karenanya, diperlukan reformasi agar lebih adaptif terhadap sengketa modern.

Instrumen Sentralitas ASEAN: Deklarasi Perilaku (DOC) dan Kode Etik (CoC)

Instrumen diplomatik, yaitu Deklarasi Perilaku (DOC) dan Kode Etik (CoC), adalah peluang terbaik ASEAN untuk mengatur perilaku di LCS secara proaktif dan menegaskan sentralitasnya.

DOC (Declaration on the Conduct of Parties) 2002

DOC, yang diadopsi pada tahun 2002, mencerminkan konsensus antara negara-negara anggota ASEAN dan Tiongkok untuk mencari solusi damai, menghindari tindakan yang memperkeruh sengketa, dan mengejar kerja sama maritim. DOC menekankan pembangunan kepercayaan (confidence-building) dan kepatuhan pada prinsip hukum internasional, termasuk UNCLOS 1982. Meskipun DOC merupakan kerangka kerja yang signifikan, sifatnya yang non-mengikat secara hukum membatasi kemampuannya untuk secara efektif mencegah tindakan agresif di LCS.

Status dan Potensi Kode Etik (Code of Conduct/CoC)

Negosiasi CoC telah berlangsung sejak 2018. Pada tahun 2023, ASEAN dan Tiongkok sepakat pada pedoman untuk mempercepat negosiasi, dengan target penyelesaian yang diusulkan pada tahun 2026, bertepatan dengan keketuaan Filipina.

Potensi CoC sebagai instrumen stabilitas sangat besar. CoC yang kuat dapat mencegah eskalasi konflik dengan menetapkan panduan perilaku yang disepakati bersama di antara negara-negara. Secara normatif, CoC memperkuat rezim hukum internasional, khususnya UNCLOS 1982, sebagai kerangka global yang mengatur domain maritim dan berfungsi sebagai penentang legitimasi klaim unilateral seperti “nine-dash line”. CoC juga memungkinkan pembangunan kepercayaan melalui mekanisme pencegahan konflik antara Angkatan Laut dan Coast Guard negara-negara yang bersengketa. Keberhasilan CoC merupakan penentu apakah ASEAN dapat mempertahankan relevansi dan sentralitasnya di tengah dinamika geopolitik yang kompleks.

Batasan Kunci dan Ancaman Efektivitas CoC

Meskipun memiliki potensi besar, keberhasilan CoC dibayangi oleh batasan-batasan kunci. Tantangan utama adalah ketidakmampuan untuk mencapai komitmen yang mengikat secara hukum (legally binding). Tiongkok secara konsisten menolak ketentuan yang dianggap membatasi kebebasan militer dan tindakan klaimnya. Jika CoC yang dihasilkan tidak memiliki kekuatan hukum yang mengikat, potensinya untuk menjaga stabilitas regional akan sangat berkurang.

Fragmentasi internal ASEAN (perbedaan kepentingan nasional) juga membuat blok tersebut rentan terhadap dominasi negosiasi Tiongkok. Kegagalan CoC dalam mencapai substansi yang mengikat akan menjadi bukti kemenangan Lawfare Tiongkok, yang secara de facto mempertahankan status quo yang menguntungkannya. Hal ini akan mendorong negara-negara claimant mencari solusi keamanan di luar kerangka multilateral ASEAN, melemahkan legitimasi blok secara keseluruhan. CoC yang substantif dan mengikat adalah ujian penentu bagi Sentralitas ASEAN dalam menegakkan tatanan berbasis aturan.

Tabel 2: Analisis Potensi vs. Keterbatasan Kode Etik (CoC) Laut Cina Selatan

Aspek CoC Potensi (Peluang Stabilitas) Keterbatasan (Tantangan)
Perilaku Menetapkan panduan perilaku untuk mencegah eskalasi konflik. Efektivitas sangat bergantung pada kohesi internal ASEAN dan komitmen Tiongkok.
Legalitas Memperkuat kerangka UNCLOS 1982 dan menentang klaim unilateral. Kekuatan mengikat secara hukum masih belum pasti; Tiongkok menolak pembatasan militer.
Institusi Memperkuat Sentralitas ASEAN dan relevansi regional. Dominasi negosiasi Tiongkok dapat merongrong kohesi ASEAN jika CoC lemah.

Peluang ASEAN untuk Memperkuat Ketahanan Regional (Strategic Autonomy)

Meskipun menghadapi tekanan yang sangat besar, ASEAN memiliki peluang untuk memperkuat ketahanan regionalnya. Otonomi strategis tidak didefinisikan sebagai isolasi, melainkan sebagai penguatan ketahanan kolektif untuk menghindari pembentukan blok aliansi yang destabilisasi.

Pilar Otonomi Strategis: Menghindari Blok Aliansi

ASEAN harus secara hati-hati melakukan strategi hedging multilateral, memanfaatkan forum-forum regional seperti ASEAN Regional Forum (ARF) dan ASEAN Defence Ministers’ Meeting Plus (ADMM-Plus) untuk menyeimbangkan kehadiran kedua kekuatan besar. Tujuan utama adalah mempertahankan national interest setiap negara dan memastikan bahwa ASEAN tidak menjadi sekadar arena, tetapi pemain yang mampu memproyeksikan kepentingannya sendiri. Hal ini merupakan upaya kolektif untuk mempertahankan ruang strategis di tengah dinamika eksternal.

Penguatan Ketahanan Ekonomi (Geoeconomic Resilience)

Salah satu langkah paling signifikan yang diambil ASEAN untuk memitigasi risiko geopolitik lintas domain adalah percepatan Konektivitas Pembayaran Regional (Regional Payment Connectivity/RPC) dan penggunaan Local Currency Settlement (LCS).

Tujuan strategis dari inisiatif ini adalah untuk mengurangi kerentanan kawasan terhadap fluktuasi nilai tukar dan guncangan ekonomi dan keuangan eksternal, khususnya yang berasal dari ketergantungan pada Dolar AS. Ini adalah langkah de-dolarisasi regional yang bertujuan menurunkan biaya transaksi lintas batas, meningkatkan stabilitas dan ketahanan mata uang ASEAN, dan memberikan kontrol yang lebih besar atas masa depan ekonomi kawasan.

Progres LCS/RPC telah signifikan dan nyata. Dalam Rencana Strategis Komunitas Ekonomi ASEAN 2026–2030, blok tersebut berjanji untuk mempromosikan penggunaan mata uang lokal. Inisiatif RPC telah berkembang dari lima bank sentral pendiri pada tahun 2022 menjadi sembilan anggota pada tahun 2025. Sistem pembayaran cepat nasional—seperti PromptPay Thailand, QRIS Indonesia, PayNow Singapura, dan DuitNow Malaysia—telah ditautkan, dengan target interoperabilitas penuh di seluruh ASEAN pada akhir tahun 2025. Keberhasilan RPC/LCS mendukung inklusi keuangan, terutama untuk Usaha Kecil dan Menengah (UKM), dan berfungsi sebagai bantalan ekonomi regional terhadap guncangan moneter eksternal.

Konektivitas dan Integrasi Intra-ASEAN

Selain stabilitas moneter, ASEAN harus mempercepat konektivitas intra-ASEAN, mencakup konektivitas fisik (transportasi laut, darat, udara), institusional (ASEAN Single Window), dan people-to-people. Konektivitas yang lebih kuat diharapkan meningkatkan pertumbuhan ekonomi anggota.

Pembangunan fondasi stabilitas yang berasal dari integrasi internal, alih-alih ketergantungan eksternal, memungkinkan ASEAN untuk membeli waktu dan ruang strategis. Jika perdagangan intra-ASEAN dapat dilakukan secara stabil menggunakan mata uang lokal, kawasan ini memiliki daya tahan yang lebih besar untuk menahan guncangan eksternal (resilience) dan dapat meningkatkan daya tawar kolektif dalam negosiasi geopolitik LCS.

Tabel 3: Progres Konektivitas Pembayaran Regional (RPC/LCS) ASEAN

Fase Implementasi RPC/LCS Tahun Kunci Pencapaian Utama Implikasi Geoeconomic
Inisiatif Awal 2021 Penautan sistem pembayaran cepat (PromptPay-PayNow) antara Thailand dan Singapura. Pembayaran real-time, biaya rendah, mengurangi ketergantungan mata uang pihak ketiga.
Penguatan Kerangka Kerja 2023 Deklarasi Pemimpin ASEAN mengadopsi kemajuan RPC dan pembentukan gugus tugas LCS. Pemanfaatan mata uang lokal untuk pembayaran lintas batas; Peningkatan ketahanan mata uang ASEAN.
Ekspansi dan Interoperabilitas 2025 (Target Akhir) RPC berkembang menjadi sembilan anggota; Penautan penuh sistem nasional (QRIS, DuitNow, dll.) ditargetkan. Interoperabilitas penuh untuk UKM dan pariwisata; Mengurangi kerentanan terhadap kebijakan moneter AS.

Kesimpulan

ASEAN terperangkap dalam dilema keamanan-ekonomi yang mendasar: kebutuhan untuk menjaga kedaulatan maritim dan integritas hukum (melawan Lawfare Tiongkok) berbenturan dengan ketergantungan ekonomi masif pada Tiongkok. Prioritas strategis utama ASEAN adalah mempertahankan Otonomi Strategis di tengah tekanan ganda, memastikan bahwa dinamika eksternal tidak mendikte tatanan keamanan internal.

Untuk menjamin stabilitas dan memperkuat Sentralitas ASEAN, analisis ini merekomendasikan langkah-langkah struktural berikut:

  1. Mendorong CoC yang Mengikat dan Substantif: ASEAN harus bersatu dalam negosiasi untuk memastikan Kode Etik memiliki kekuatan mengikat secara hukum dan mencakup mekanisme pencegahan konflik yang jelas, termasuk untuk perilaku Coast Guard dan milisi maritim Tiongkok. CoC harus secara eksplisit memperkuat UNCLOS 1982 dan mengabaikan klaim unilateral (9/10 garis putus-putus) untuk menjaga integritas hukum kolektif kawasan.
  2. Reformasi Mekanisme Pengambilan Keputusan: ASEAN Way harus diadaptasi untuk isu-isu high politics yang mendesak, seperti kedaulatan dan pertahanan, untuk menghindari veto yang menghambat. Mekanisme perlu dipertimbangkan untuk mengkombinasikan konsensus dengan strategi tegas, memungkinkan keputusan diambil tanpa menunggu persetujuan dari negara-negara yang memiliki kepentingan berbeda.
  3. Memperkuat Ketahanan Geoeconomic sebagai Soft Power Otonomi: Implementasi penuh RPC/LCS (ditargetkan 2025) harus diselesaikan untuk mengurangi kerentanan finansial eksternal. Ketahanan ekonomi intra-ASEAN ini harus digunakan sebagai sumber stabilitas internal dan daya tawar diplomatik yang lebih besar dalam isu-isu keamanan.
  4. Meningkatkan Interoperabilitas Maritim Regional: Negara-negara claimant dan non-claimant harus meningkatkan interoperabilitas dan Maritime Domain Awareness bersama untuk menghadapi aksi grey zone secara kolektif. Hal ini penting untuk memastikan tindakan yang cepat, tepat, dan terpadu dalam koridor aturan hukum.
  5. Mempertahankan Integritas Posisi Hukum Kolektif: Negara-negara anggota, terutama mediator seperti Indonesia, harus secara tegas kembali menegaskan penolakan kolektif terhadap klaim nine-dash line. Penting untuk memastikan bahwa kerja sama maritim bilateral tidak diinterpretasikan sebagai pengakuan yuridis terhadap klaim Tiongkok, demi mencegah pemanfaatan pengakuan tersebut oleh Beijing untuk menekan negara claimant lain dan melemahkan posisi kolektif ASEAN.

 

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

57 − 54 =
Powered by MathCaptcha