Warisan Budaya sebagai Fondasi Kemanusiaan dan Objek Kerentanan Global
Warisan budaya (Cultural Heritage/CH) memiliki peran yang jauh melampaui nilai estetika atau historis semata. CH merupakan representasi fisik dan immaterial dari ‘Ingatan sebagai Warisan’ (Memory as Heritage) , yang merupakan fondasi esensial bagi kelangsungan hidup sebuah kelompok atau bangsa. Warisan budaya terikat erat dengan sejarah dan identitas suatu masyarakat, mencerminkan nilai spiritual, identitas kolektif, dan landasan peradaban.
Ketika warisan budaya menjadi sasaran penghancuran yang disengaja selama konflik bersenjata, dampaknya bersifat inter-generasional dan merusak struktur sosial masyarakat secara fundamental. Penghancuran sistematis ini berupaya memutus koneksi generasi mendatang dengan masa lalu mereka, secara efektif menciptakan amnesia paksa. Tindakan ini melemahkan kemampuan masyarakat untuk mencapai pemulihan dan rekonsiliasi pasca-konflik. Oleh karena itu, serangan terhadap CH dipandang sebagai bentuk kekerasan yang ditargetkan pada inti identitas kelompok, menjadikannya taktik perang yang kuat untuk subordinasi atau, dalam konteks ekstrem, pembersihan etnis.
Evolusi Kebutuhan Perlindungan dalam Konflik Bersenjata
Pengakuan hukum terhadap perlindungan warisan budaya telah berevolusi seiring dengan perkembangan Hukum Humaniter Internasional (HHI). Perlindungan awal dapat ditelusuri kembali ke Kode Lieber (1863), yang mengatur perilaku tentara dan melarang perusakan yang tidak perlu (wanton devastation). Secara normatif, warisan budaya diakui sebagai salah satu objek sipil yang dilindungi dalam HHI. Definisi objek sipil adalah semua objek yang bukan merupakan objek militer; oleh karena itu, objek sipil tidak boleh diserang selama sengketa bersenjata.
Landasan hukum perlindungan telah diatur dalam berbagai instrumen historis, termasuk Pasal 27 Konvensi Den Haag 1899, serta Pasal 4 dan Pasal 9 Konvensi Den Haag 1907. Namun, kerentanan CH kontemporer, yang sering menjadi target serangan yang disengaja dalam konflik bersenjata (seperti di Suriah pada tahun 2015, di mana terjadi penghancuran Kota Kuno Bosra) , menggarisbawahi perlunya kerangka hukum yang lebih spesifik dan mekanisme akuntabilitas yang tegas.
Latar Belakang dan Kerangka Analisis
Laporan ini menganalisis kerangka hukum internasional yang mengatur perlindungan warisan budaya dan mendalami mengapa penghancurannya telah dikriminalisasi sebagai kejahatan perang global. Tesis utama yang ditekankan adalah bahwa penghancuran Warisan budaya tidak hanya merupakan pelanggaran HHI, tetapi merupakan serangan terhadap fondasi peradaban, yang oleh karena itu, harus dipertanggungjawabkan secara pidana individual. Analisis akan mencakup landasan normatif, tantangan implementasi, serta preseden yurisprudensi penting dari Mahkamah Pidana Internasional (ICC).
Landasan Hukum Internasional: Kerangka Normatif Perlindungan Warisan budaya
Warisan Budaya dalam Hukum Humaniter Internasional (KHI) Umum
Perlindungan warisan budaya berakar pada prinsip fundamental HHI, terutama Prinsip Pembedaan (Distinction). Prinsip ini mensyaratkan bahwa pihak yang bersengketa harus selalu membedakan antara kombatan dan objek militer, serta objek sipil. Karena benda budaya diklasifikasikan sebagai objek sipil, mereka tidak boleh dijadikan sasaran serangan pada saat sengketa bersenjata.
Penghancuran Kota Kuno Bosra di Suriah pada tahun 2015 merupakan contoh nyata pelanggaran terhadap Prinsip Pembedaan dalam hukum humaniter. Kasus-kasus seperti ini menunjukkan bahwa meskipun perlindungan telah diatur secara historis sejak Konvensi Den Haag akhir abad ke-19 dan awal abad ke-20 , seringkali benda budaya mengalami penghancuran pada saat sengketa bersenjata.
Pilar Spesifik: Konvensi Den Haag 1954 dan Protokolnya
Konvensi Den Haag 1954 tentang Perlindungan Properti Budaya dalam Situasi Konflik Bersenjata menjadi instrumen hukum internasional utama yang secara spesifik berfokus pada isu ini. Konvensi ini mengatur perlindungan umum dan perlindungan khusus (menggunakan simbol Blue Shield). Penting untuk dicatat bahwa tidak semua benda budaya terdaftar atau mendapat status perlindungan khusus di bawah Konvensi ini. Meskipun demikian, benda budaya yang berada di luar daftar tersebut tetap menerima perlindungan sebagai objek sipil di bawah naungan Hukum Humaniter Internasional umum.
Namun, kedudukan dan daya mengikat Konvensi Den Haag 1954 menghadapi persoalan signifikan terkait efektivitas keberlakukannya. Ketika salah satu pihak yang bersengketa tidak terikat pada instrumen hukum internasional tersebut, status non-keterikatan ini sering dijadikan alasan pembenar untuk menghindari kewajiban melindungi objek budaya. Situasi ini menyoroti perlunya penguatan hukum kebiasaan internasional (HHI) yang mengikat semua pihak, terlepas dari status ratifikasi perjanjian spesifik.
Protokol Tambahan Konvensi Jenewa 1949
Selain Konvensi Den Haag, Protokol Tambahan Konvensi Jenewa 1949 juga memberikan lapisan perlindungan penting. Protokol Tambahan I (1977), Pasal 53, melarang tindakan permusuhan yang secara spesifik diarahkan terhadap monumen historis, karya seni, atau tempat ibadah dalam konflik bersenjata internasional. Selain itu, Protokol Tambahan II (1977), Pasal 16, memperluas perlindungan Warisan budaya ke dalam situasi konflik bersenjata non-internasional (NIAC).
Meskipun ketentuan-ketentuan dalam Protokol Tambahan ini sangat relevan dalam kriminalisasi kejahatan perang, ketentuan tersebut secara formal bersifat subordinat terhadap Konvensi Den Haag 1954. Hal ini disebabkan Konvensi 1954 merupakan hukum yang secara eksklusif dan spesifik mengatur perlindungan warisan budaya, menjadikannya pilar utama dalam kerangka normatif ini.
Kriminalisasi Penghancuran Warisan Budaya: Kejahatan Perang dalam Statuta Roma
Pengaturan Hukum Pidana Internasional: Statuta Roma ICC
Pengakuan penghancuran warisan budaya sebagai kejahatan perang global mencapai puncaknya dengan adopsi Statuta Roma 1998, yang mendirikan Mahkamah Pidana Internasional (ICC). Yurisdiksi ICC mencakup pelanggaran signifikan terhadap Konvensi Den Haag. Kejahatan perang penghancuran properti budaya secara spesifik dikriminalisasi dalam Pasal 8(2)(e)(iv) Statuta Roma. Ketentuan ini mencakup dua situasi, yaitu konflik bersenjata internasional dan non-internasional (NIAC), yang menunjukkan perluasan cakupan akuntabilitas pidana di luar konflik antar-negara.
Elemen Kejahatan dan Niat (Intent)
Penuntutan di bawah Pasal 8(2)(e)(iv) Statuta Roma berfokus pada konsep wilful destruction (penghancuran yang disengaja). Kriminalisasi ini memerlukan bukti bahwa serangan diarahkan secara sengaja terhadap objek budaya, yang merupakan syarat mens rea (niat jahat) yang tinggi. Proses penuntutan harus mampu membuktikan bahwa pelaku memiliki niat spesifik untuk menghancurkan objek tersebut, melampaui sekadar kerugian kolateral yang tidak disengaja.
Dalam konteks kejahatan serius yang berada di bawah yurisdiksi ICC, standar kerusakan yang ditimbulkan juga cenderung tinggi, seringkali menuntut kerusakan yang dilakukan secara sengaja (wilfully/intentionally), sistematis (systematic), dan menimbulkan dampak/kerusakan yang parah, meluas, dan berjangka panjang (severe, widespread and long-term damage). Penentuan ambang batas ini penting untuk membedakan antara pelanggaran HHI umum (yang mungkin diadili di tingkat nasional) dan kejahatan perang yang dapat diadili oleh ICC.
Hubungan Penghancuran Budaya dengan Kejahatan Massal Lainnya
Penghancuran warisan budaya seringkali tidak berdiri sendiri, melainkan terjalin dengan kejahatan massal yang lebih besar. Meskipun “pembersihan budaya” (cultural cleansing) bukanlah istilah hukum formal, istilah ini telah digunakan oleh mantan Direktur Jenderal UNESCO karena memiliki resonansi yang kuat dengan “pembersihan etnis”.
Kaitannya semakin mendalam melalui karya Raphael Lemkin, pencetus istilah genosida, yang menerapkan konsep ini pada “penghancuran suatu bangsa atau kelompok etnis”. Kejahatan genosida bertujuan untuk memusnahkan kelompok nasional, etnis, ras, atau agama secara keseluruhan atau sebagian. Jika warisan budaya adalah cerminan identitas esensial sebuah kelompok, maka penghancuran warisan budaya yang sistematis merupakan upaya untuk menghancurkan identitas kolektif dan memutus kelangsungan eksistensi kelompok dalam arti sosiologis. Kerusakan ini memperkuat argumen bahwa serangan terhadap CH merupakan kejahatan perang global karena menargetkan dan menyerang inti kemanusiaan dan identitas kolektif.
Preseden dan Akuntabilitas: Analisis Yurisprudensi Kunci
Studi Kasus ICC: The Prosecutor v. Ahmad Al Faqi Al Mahdi (Timbuktu)
Kasus Ahmad Al Faqi Al Mahdi merupakan tonggak sejarah bagi hukum pidana internasional karena ini adalah kasus pertama di mana ICC secara eksklusif menuntut kejahatan perang penghancuran properti budaya. Kasus ini berkaitan dengan konflik bersenjata non-internasional (NIAC) di Mali sejak tahun 2012, yang mengakibatkan pelanggaran Konvensi Den Haag 1954 melalui penghancuran berbagai situs budaya di Timbuktu oleh Al-Mahdi, anggota Ansar Dine.
Putusan Judgement and Sentence ICC pada 27 September 2016 menegaskan peran mahkamah dalam penegakan hukum pidana internasional dan perlindungan warisan budaya. Al-Mahdi dijatuhi hukuman sembilan tahun penjara. Hukuman ini diberikan dengan mempertimbangkan faktor mitigasi, termasuk adanya pengakuan bersalah serta pernyataan penyesalan dari Al-Mahdi. Namun, timbul perdebatan bahwa hukuman sembilan tahun tersebut dinilai tidak setimpal dengan besarnya kerugian materil dan immateril yang dialami oleh masyarakat Mali dan Timbuktu akibat serangan tersebut. Konflik antara keadilan pidana (yang mempertimbangkan mitigasi) dan tuntutan restoratif dari kejahatan yang berdampak pada peradaban ini menunjukkan kompleksitas hukuman dalam konteks kejahatan budaya.
Selain vonis pidana, ICC juga menetapkan mekanisme reparasi. ICC memutuskan reparasi tambahan dalam bentuk restitusi, kompensasi, dan rehabilitasi bagi para korban. Al-Mahdi dinyatakan bertanggung jawab untuk membayar €2,7 juta atas penurunan ekonomi yang diakibatkan aksinya, dan tambahan €1 juta dialokasikan kepada Mali dan UNESCO untuk mendukung proses reparasi kerusakan. Keputusan ini mengukuhkan prinsip penting bahwa tanggung jawab pidana individual juga mencakup tanggung jawab finansial atas pemulihan warisan budaya yang dihancurkan.
Tabel 4.1: Ringkasan Preseden ICC: Kasus Ahmad Al Faqi Al Mahdi (Timbuktu)
| Aspek Kasus | Detail Utama | Dampak Hukum (Preseden) |
| Kejahatan yang Dituduhkan | Penghancuran 10 situs historis (makam dan masjid) di Timbuktu, Mali (2012) | Pengakuan pertama kejahatan perang penghancuran warisan budaya oleh ICC |
| Pasal Statuta Roma | Pasal 8(2)(e)(iv) | Menegaskan yurisdiksi ICC dalam Konflik Bersenjata Non-Internasional (NIAC) |
| Vonis dan Hukuman | Hukuman 9 tahun penjara | Menunjukkan bahwa pengakuan bersalah dapat mengurangi hukuman, tetapi memunculkan debat tentang kesetaraan dengan dampak kerugian |
| Reparasi yang Ditentukan | Tanggung jawab individual sebesar €2,7 juta; tambahan €1 juta untuk Mali/UNESCO | Mengukuhkan tanggung jawab individu atas reparasi kerugian materiel dan immateriel akibat kehancuran budaya |
Preseden Tribunal Ad Hoc dan Perkembangan Norma Hukum
Selain ICC, tribunal ad hoc seperti International Criminal Tribunal for the former Yugoslavia (ICTY), yang didirikan oleh PBB untuk mengadili kejahatan perang di Balkan , telah berperan penting dalam meletakkan fondasi akuntabilitas individual dalam hukum pidana internasional. ICTY, melalui keputusan-keputusan yang menetapkan preseden terkait genosida, kejahatan perang, dan kejahatan terhadap kemanusiaan, telah menunjukkan bahwa posisi senior tidak dapat melindungi seseorang dari penuntutan. Tribunal ini memastikan bahwa kesalahan diindividualisasikan, yang merupakan norma yang diterima untuk resolusi konflik dan pembangunan pasca-konflik. Meskipun laporan ini tidak merinci kasus CH spesifik dari ICTY, peran tribunal ad hoc ini sangat penting dalam membentuk kerangka hukum pidana internasional yang memungkinkan yurisdiksi ICC untuk kejahatan CH.
Tantangan Implementasi dan Celah Impunitas Hukum
Konflik Prinsip: Military Necessity vs. Perlindungan Budaya
Salah satu tantangan struktural terbesar dalam perlindungan warisan budaya adalah ketegangan yang konstan antara prinsip kebutuhan militer (military necessity) dan prinsip kemanusiaan (humanity). Kebutuhan militer membenarkan penggunaan kekuatan bersenjata yang sah untuk mencapai tujuan militer, namun prinsip ini harus selalu dibatasi oleh prinsip kemanusiaan, yang bertujuan untuk membatasi penderitaan, cedera, dan penghancuran yang tidak terkait langsung atau berlebihan terhadap keuntungan militer tertentu.
Keseimbangan antara kedua prinsip ini terganggu oleh pengakuan terhadap pengecualian imperative military necessity (kebutuhan militer imperatif) yang dimasukkan dalam Konvensi Den Haag 1954. Para pihak yang bersengketa cenderung mengeksploitasi pengecualian ini sebagai dalih legal, memprioritaskan kepentingan militer di atas pelestarian warisan budaya, sehingga objek budaya menjadi rentan dalam konflik bersenjata. Meskipun tribunal internasional telah berupaya membatasi justifikasi ini dengan mengkriminalisasi serangan yang disengaja dan menerapkan standar proporsionalitas yang ketat, pengakuan berkelanjutan terhadap pengecualian kebutuhan militer mengungkap kelemahan struktural dalam HHI. Solusi hukum harus berfokus pada pengetatan definisi “imperatif” dan peningkatan standar bukti yang diperlukan untuk membenarkan kehancuran.
Tabel 5.1: Ketegangan Prinsip: Perlindungan Warisan Budaya vs. Kebutuhan Militer
| Prinsip Hukum | Deskripsi dan Sumber KHI | Konsekuensi terhadap CH Protection |
| Prinsip Kemanusiaan | Melarang penderitaan yang tidak perlu dan kerusakan yang tidak terkait langsung dengan tujuan militer. | Mewajibkan perlindungan maksimal CH (sebagai objek sipil). |
| Prinsip Kebutuhan Militer | Tindakan yang diperlukan untuk mencapai tujuan perang yang sah. | Digunakan sebagai pembenar untuk serangan, bahkan jika CH mengalami kerusakan. |
| Pengecualian Imperative Military Necessity (Konvensi 1954) | Memungkinkan serangan terhadap CH jika absolut perlu untuk tujuan militer yang mendesak. | Menciptakan celah hukum yang kritis dan dieksploitasi, menjadikan CH rentan. |
Tantangan Yurisdiksi ICC dan Isu Selektivitas
Efektivitas ICC dalam menangani kejahatan perang CH juga dipengaruhi oleh tantangan yurisdiksi dan isu imparsialitas. Yurisdiksi ICC dapat terancam jika terjadi praktik “selektivitas berbasis kelompok” (group-based selectivity), di mana penuntutan hanya difokuskan pada salah satu pihak yang bersengketa, sementara tuduhan kejahatan serupa yang dilakukan oleh pihak lain diabaikan.
Legitimasi ICC sebagai badan peradilan yang independen dan imparsial sangat bergantung pada kemampuannya untuk beroperasi sesuai dengan norma proses hukum internasional. Jika kejahatan CH yang dilakukan oleh satu kelompok dituntut (seperti pada kasus Al Mahdi), tetapi kejahatan yang setara di tempat lain diabaikan, hal ini merusak nilai deterensi preseden yang telah dibangun dan melemahkan upaya global untuk mengatasi impunitas kejahatan perang CH.
Ketiadaan Ratifikasi Universal
Isu mendasar yang sering memicu impunitas adalah ketiadaan ratifikasi universal Konvensi Den Haag 1954. Ketika salah satu pihak yang bersengketa tidak terikat pada instrumen hukum internasional tersebut, non-keterikatan ini dijadikan alasan pembenar untuk menghindari kewajiban perlindungan. Masalah ini harus diatasi melalui penguatan norma-norma perlindungan CH menjadi hukum kebiasaan internasional yang mengikat semua negara, terlepas dari status perjanjian mereka.
Dimensi Keamanan Global: Perdagangan Gelap Artefak Konflik
Hubungan Organisasi Non-Negara dan Pendanaan Terorisme Melalui Artefak
Penghancuran warisan budaya dalam konflik bersenjata seringkali diikuti oleh penjarahan, pengurangan, dan ekspor ilegal artefak dan karya seni. Perdagangan gelap aset budaya ini telah diidentifikasi sebagai sumber pendapatan yang signifikan bagi kelompok-kelompok teroris dan organisasi non-negara yang beroperasi di zona konflik. Hal ini mengaitkan perlindungan warisan budaya secara langsung dengan isu keamanan global dan kontra-terorisme.
Tanggapan PBB: Analisis Resolusi Dewan Keamanan PBB
Komunitas internasional, melalui Dewan Keamanan PBB, telah merespons nexus antara perdagangan gelap budaya dan pendanaan terorisme. Dewan Keamanan PBB mengesahkan Resolusi 2462 (2019) yang bertujuan untuk memperkuat upaya global memerangi cara-cara baru yang digunakan kelompok teroris untuk menggalang dana.
Resolusi 2462 memerintahkan semua negara untuk memastikan bahwa undang-undang domestik mereka memadai untuk menuntut dan menghukum mereka yang bertanggung jawab untuk mendanai, baik secara langsung maupun tidak langsung, “organisasi teroris”. Adopsi resolusi ini, yang juga disponsori oleh Indonesia, mempertegas komitmen global dalam menanggulangi pendanaan terorisme. Resolusi ini menandai pergeseran paradigma, menempatkan perlindungan CH tidak hanya sebagai isu budaya, tetapi sebagai isu keamanan internasional yang harus diatasi melalui kebijakan kontra-terorisme yang lebih tegas.
Instrumen Kontra-Perdagangan Gelap
Untuk melawan perdagangan gelap artefak konflik, diperlukan harmonisasi dan penegakan instrumen hukum yang ada. Konvensi UNIDROIT 1995 penting dalam memperkuat pelindungan benda budaya, dan upaya ratifikasi instrumen internasional ini harus didorong. Selain itu, kerja sama global antara badan penegak hukum seperti Interpol dan World Customs Organization (WCO) menjadi krusial dalam pencegahan ekspor ilegal, pelacakan artefak, dan koordinasi antar badan serta komite PBB. Peningkatan kapasitas dan pertukaran informasi antar aparat penegak hukum dan unit intelijen keuangan sangat diperlukan untuk mewaspadai risiko pendanaan terorisme dan meningkatkan transparansi transaksi keuangan.
Rekomendasi Penguatan Perlindungan Peradaban dan Akuntabilitas
Penguatan Instrumen Hukum dan Harmonisaasi
Untuk mengatasi celah impunitas, upaya harus diarahkan pada ratifikasi universal Konvensi Den Haag 1954 dan Protokolnya, untuk menghilangkan alasan pembenar non-keterikatan. Selain itu, negara-negara, khususnya di kawasan rawan konflik, diwajibkan untuk mengadopsi dan mengharmonisasikan prinsip-prinsip perlindungan budaya ke dalam hukum nasional mereka. Langkah-langkah ini termasuk penyusunan daftar nasional benda budaya yang dilindungi dan penggunaan simbol Blue Shield secara efektif.
Peningkatan Kapasitas Militer dan Prinsip Blue Shield
Perlindungan CH yang efektif memerlukan integrasi prinsip-prinsip HHI ke dalam doktrin militer. Organisasi Blue Shield, yang berfungsi sebagai “Palang Merah” untuk warisan budaya, harus didukung untuk menyediakan bantuan teknis, pelatihan, dan penilaian cepat di area konflik. Edukasi dan pelatihan bagi personel militer sangat krusial agar mereka memahami prinsip-prinsip HHI, mengetahui dampak hukum dari pelanggaran, dan mampu menerapkan prosedur operasional standar ketika berada di area sensitif budaya. Pembentukan unit khusus dalam struktur militer yang bertugas menjaga warisan budaya juga direkomendasikan.
Kolaborasi Internasional dan Pengawasan Digital
Di era modern, teknologi menawarkan alat penting dalam perlindungan CH. Penggunaan teknologi seperti satelit, pemetaan digital, dan sistem pengawasan real-time sangat membantu dalam memantau dan mendokumentasikan kerusakan situs budaya secara cepat dan akurat. Lembaga-lembaga seperti UNESCO berperan penting dalam mendokumentasikan kerusakan (misalnya di Ukraina) dan memfasilitasi misi pemulihan budaya pasca-konflik.
Perlindungan CH membutuhkan sinergi multi-sektor yang kuat—melibatkan sektor militer, hukum, teknologi, dan keuangan. Kegagalan koordinasi dalam pelacakan transaksi gelap artefak (yang diamanatkan oleh Resolusi 2462) berarti sumber daya teroris tetap tersedia, yang secara kausal akan membiayai operasi yang mungkin melibatkan penghancuran CH di masa depan. Oleh karena itu, kolaborasi antara lembaga penegakan hukum internasional dan unit intelijen keuangan harus ditingkatkan secara maksimal.
Mekanisme Akuntabilitas Transisional dan Restorasi Budaya Pasca-Konflik
Pentingnya pengadaan kerja sama internasional yang lebih kuat untuk melindungi warisan budaya, khususnya di daerah yang rentan terhadap konflik bersenjata, harus terus ditekankan. Komunitas internasional memiliki tanggung jawab untuk membantu proses rehabilitasi dan rekonstruksi situs budaya yang rusak melalui penggalangan dana darurat dan pembentukan misi pemulihan yang difasilitasi oleh UNESCO. Selain sebagai isu hukum, perlindungan warisan budaya harus dipahami sebagai instrumen perdamaian dan rekonsiliasi, membantu memulihkan dimensi afektif masyarakat dan mengatasi trauma kehilangan ingatan kolektif mereka.
Kesimpulan
Penghancuran warisan budaya merupakan kejahatan perang global yang secara fundamental ditujukan untuk menghapus ingatan dan identitas peradaban suatu kelompok. Hukum Humaniter Internasional telah menetapkan kerangka normatif yang kuat, terutama melalui Konvensi Den Haag 1954 dan Statuta Roma ICC, yang mengkriminalisasi tindakan ini secara individual melalui Pasal 8(2)(e)(iv).
Keputusan Mahkamah Pidana Internasional dalam kasus Ahmad Al Faqi Al Mahdi merupakan preseden yang vital, mengukuhkan akuntabilitas individu dan menetapkan tanggung jawab finansial atas reparasi kerusakan budaya. Namun, efektivitas kerangka hukum ini terus terhalang oleh tantangan struktural, termasuk eksploitasi celah imperative military necessity dan isu non-ratifikasi perjanjian. Selain itu, dimensi keamanan global semakin mendesak, mengingat perdagangan gelap artefak budaya menjadi sumber pendanaan terorisme.
Oleh karena itu, perlindungan warisan budaya harus diangkat menjadi prioritas keamanan internasional, didukung oleh penguatan hukum kebiasaan internasional, harmonisasi hukum nasional, edukasi militer yang komprehensif, pemanfaatan teknologi pengawasan canggih, dan kerja sama multi-sektor yang terpadu melawan pendanaan terorisme. Hanya melalui upaya terpadu ini, ingatan peradaban dapat dilindungi, dan akuntabilitas bagi kejahatan perang yang menghancurkan warisan budaya dapat ditegakkan secara universal.
