Latar Belakang Transformasi Konflik Bersenjata Modern
Penggunaan teknologi drone, atau Unmanned Aerial Vehicles (UAV), menandai sebuah pergeseran fundamental dalam karakter konflik bersenjata modern. Drone mewakili revolusi di medan tempur, berpindah dari peperangan fisik jarak dekat ke peperangan jarak jauh (remote warfare). Perkembangan ini didorong oleh integrasi sensor canggih, kemampuan pengawasan yang berkelanjutan, dan Kecerdasan Buatan (AI) untuk analisis data.
Dari sudut pandang operasional, drone membawa efisiensi yang signifikan. Teknologi ini memungkinkan pemantauan wilayah secara real-time dan serangan presisi tanpa menempatkan personel militer dalam risiko langsung, secara efektif mengurangi kebutuhan pasukan di lapangan. Meskipun demikian, kemajuan teknologi ini secara simultan melahirkan tantangan etis, moral, dan hukum yang mendalam. Isu-isu serius yang muncul meliputi potensi pelanggaran privasi individu, keraguan mengenai akuntabilitas serangan yang salah sasaran, dan peningkatan risiko korban sipil akibat pengambilan keputusan jarak jauh.
Definisi dan Klasifikasi Drone Militer (UAV, RPAS, LAWS)
Penting untuk mendefinisikan terminologi yang tepat dalam konteks hukum internasional. Meskipun istilah umum yang digunakan adalah ‘drone’, kerangka hukum formal sering merujuk pada Unmanned Aerial Vehicle (UAV). Istilah lain yang juga digunakan termasuk Remotely Piloted Vehicle (RPV), Remotely Piloted Aircraft (RPA/RPAS), atau Unmanned Aerial Combat Vehicle (UACV) untuk sistem yang dirancang khusus untuk peran tempur. Secara teknis, definisi ini dapat mencakup berbagai sistem tanpa awak, seperti rudal jelajah atau proyektil artileri, namun diskusi modern cenderung berfokus pada pesawat yang dikendalikan dari jarak jauh atau secara otonom.
Penggunaan drone diatur oleh kerangka hukum ganda. Hukum Humaniter Internasional (HHI), atau jus in bello, berlaku ketika drone digunakan dalam situasi konflik bersenjata. Sementara itu, Hukum Hak Asasi Manusia Internasional (IHRL) berlaku dalam situasi di luar konflik bersenjata, seperti operasi kontraterorisme atau penegakan hukum. Ketegangan antara Hukum Humaniter Internasional dan IHRL yang mengatur penggunaan drone di zona kontraterorisme menciptakan “zona abu-abu.” Pihak pengguna mungkin berupaya memilih kerangka hukum yang paling menguntungkan, yang biasanya adalah HHI, yang secara tradisional memiliki standar penargetan yang lebih luwes terhadap anggota kelompok bersenjata non-negara. Pilihan kerangka hukum ini secara langsung menentukan legalitas pembunuhan yang ditargetkan dan menyulitkan penegakan hak-hak sipil.
Kerangka Etika Peperangan: Jus Ad Bellum dan Jus In Bello
Etika peperangan tradisional dianalisis melalui kerangka Just War Theory (JWT), yang membagi penilaian moral dan hukum menjadi dua bagian utama yang bersifat independen :
- Jus Ad Bellum (Keadilan untuk Perang): Merupakan seperangkat prinsip yang membenarkan dimulainya perang atau penggunaan kekuatan. Prinsip-prinsip ini meliputi kepemilikan tujuan yang adil (just cause), penggunaan sebagai jalan terakhir (last resort), deklarasi oleh otoritas yang tepat, niat yang benar (right intention), peluang keberhasilan yang wajar, dan proporsionalitas tujuan terhadap sarana yang digunakan.
- Jus In Bello (Keadilan dalam Perang): Prinsip-prinsip ini (yang tercakup dalam HHI) mengatur perilaku pihak-pihak yang terlibat setelah konflik dimulai. Fokus utamanya adalah pada Prinsip Pembedaan (Discrimination), yang mengharuskan pembedaan antara sasaran militer dan warga sipil, serta Prinsip Proporsionalitas, yang membatasi kerusakan tambahan yang berlebihan terhadap warga sipil.
Hukum Humaniter Internasional memiliki sifat murni kemanusiaan, berupaya membatasi penderitaan yang disebabkan oleh perang. Hukum Humaniter Internasional beroperasi secara independen dari jus ad bellum; ini berarti kewajiban kepatuhan terhadap hukum perang berlaku bagi semua pihak yang bertikai tanpa memandang apakah alasan mereka memulai konflik itu sah atau tidak.
Penggunaan drone secara radikal juga telah menghapuskan batas-batas geografis tradisional peperangan. Medan tempur tidak lagi terbatas pada garis depan. Ia meluas hingga ke kontainer kendali di pangkalan militer ribuan kilometer jauhnya dan bahkan ke wilayah kedaulatan negara lain. Perluasan geografis dan penghapusan jarak fisik ini menuntut redefinisi konsep konflik bersenjata dalam Hukum Humaniter Internasional, di mana konteks operasi menjadi lebih penting daripada batas wilayah.
Perbandingan Jus Ad Bellum dan Jus In Bello dalam Konteks Penggunaan Drone
| Aspek Hukum | Jus Ad Bellum (Keadilan Perang) | Jus In Bello (Keadilan dalam Perang) |
| Fokus Utama | Alasan dan pembenaran untuk memulai perang atau menggunakan kekuatan. | Perilaku pihak-pihak yang terlibat dalam konflik bersenjata. |
| Prinsip Etika yang Ditantang Drone | Menurunkan Ambang Batas Konflik (“Too Easy”); Pelanggaran Kedaulatan. | Diskriminasi/Pembedaan; Proporsionalitas Kerusakan Tambahan; Akuntabilitas. |
| Kerangka Hukum Utama | Piagam PBB (Pasal 2(4), Pasal 51 – Hak Bela Diri); Hukum Kebiasaan Internasional. | Hukum Humaniter Internasional (Konvensi Jenewa 1949, Protokol Tambahan I 1977). |
| Isu Sentral Drone | Legalitas serangan drone di wilayah negara berdaulat tanpa deklarasi perang. | Penentuan status kombatan/sasaran militer dan minimisasi korban sipil. |
Penggunaan Drone dalam Konflik Bersenjata: Dilema Jus Ad Bellum
Argumen “Perang yang Terlalu Mudah” (The “Too Easy” Argument)
Salah satu perubahan etika perang yang paling menonjol akibat drone adalah dampaknya terhadap ambang batas penggunaan kekuatan. Drone memungkinkan pengawasan dan serangan dari jarak jauh tanpa risiko langsung bagi personel militer, secara signifikan mengurangi biaya politik, ekonomi, dan personel dalam memulai intervensi militer.2 Minimisasi biaya ini menimbulkan kekhawatiran etis yang dikenal sebagai argumen “perang yang terlalu mudah”.
Asimetri risiko yang diciptakan—operator aman di pangkalan ribuan kilometer jauhnya sementara target dan populasi sekitarnya menghadapi bahaya—dianggap secara struktural mengurangi disinsentif alami perang. Secara praktis, asimetri ini dikhawatirkan mendorong negara-negara pengguna untuk memilih kekuatan militer sebagai pilihan pertama (first resort) dibandingkan jalan terakhir (last resort), yang melanggar prinsip fundamental jus ad bellum. Keengganan politik untuk mengambil risiko fisik bagi pasukan sendiri menjadi pendorong utama intervensi drone.
Beberapa analis mengkritik argumen “terlalu mudah” ini sebagai konsep yang tidak koheren. Mereka berpendapat bahwa peningkatan efisiensi yang dihasilkan oleh drone dalam konteks jus in bello (mengurangi bahaya di medan perang melalui presisi) tidak secara otomatis berarti inefisiensi dalam konteks jus ad bellum (peningkatan insentif untuk berperang). Namun, perdebatan yang lebih dalam menunjukkan bahwa penggunaan drone menelanjangi dikotomi ideal antara jus ad bellum dan jus in bello. Jika teknologi yang dirancang untuk mematuhi perilaku yang adil dalam perang (presisi) justru secara struktural mendorong penggunaan kekuatan militer yang tidak perlu, maka ada kegagalan koherensi etika dalam kerangka hukum perang itu sendiri. Teknologi ini menciptakan peperangan yang “tidak berbiaya” bagi penyerang, yang meniadakan disinsentif alami dan etika untuk menghindari konflik.
Tantangan Terhadap Kedaulatan Negara (State Sovereignty)
Penggunaan drone dalam operasi kontraterorisme sering melanggar prinsip kedaulatan negara. Serangan-serangan ini, yang dilakukan di wilayah kedaulatan negara lain seperti Pakistan dan Yaman, sering terjadi tanpa persetujuan eksplisit dari negara yang bersangkutan.
Tindakan tersebut secara langsung menantang prinsip kedaulatan negara dan non-intervensi yang diabadikan dalam Piagam PBB (Pasal 2(4)). Perdebatan hukum internasional berkisar pada apakah negara pengguna dapat secara sah mengklaim hak bela diri (self-defense) terhadap ancaman terorisme yang tidak berasal dari entitas negara, terutama ketika operasi dilakukan di luar zona konflik bersenjata tradisional. Kasus-kasus serangan drone di Yaman dan Pakistan, yang disorot oleh kelompok hak asasi manusia, telah memicu seruan internasional untuk penyelidikan yang imparsial dan transparansi data, menyoroti potensi pelanggaran hukum HAM dan dugaan kejahatan perang.
Selain itu, kemudahan dan keamanan operasional drone memungkinkan negara-negara untuk melanjutkan operasi militer berkepanjangan dan terfragmentasi dalam konteks kontraterorisme tanpa perlu mendeklarasikan konflik bersenjata formal. Keadaan ini menciptakan kondisi “peperangan abadi” dengan intensitas rendah. Fenomena ini merusak stabilitas regional dan memungkinkan pelanggaran kedaulatan tanpa konsekuensi politik domestik yang signifikan bagi negara pengguna.
Kepatuhan Drone terhadap Prinsip Jus In Bello (Hukum Humaniter)
Kepatuhan drone terhadap jus in bello, khususnya prinsip pembedaan (distinction) dan proporsionalitas (proportionality), merupakan inti dari perdebatan etika.
Prinsip Diskriminasi/Pembedaan (Distinction)
Drone modern diklaim mampu meningkatkan kepatuhan terhadap prinsip pembedaan. Mereka dilengkapi dengan sensor canggih, kemampuan analisis pola berbasis AI, dan kamera resolusi tinggi, yang secara teoretis memungkinkan operator untuk memverifikasi dan membedakan sasaran militer dari warga sipil secara lebih baik daripada platform konvensional. Prinsip Hukum Humaniter Internasional membutuhkan pembedaan yang jelas antara anggota militer dan warga sipil.
Namun, meskipun presisi teknisnya tinggi, banyak laporan menunjukkan bahwa praktik di lapangan sering kali melanggar prinsip pembedaan. Pelanggaran ini bukan disebabkan oleh kegagalan teknologi drone itu sendiri, melainkan oleh kegagalan intelijen, atau kebijakan penargetan yang secara sengaja memperlonggar definisi “kombatan” atau “sasaran militer” di zona kontraterorisme. Korban sipil yang timbul akibat penargetan yang tidak andal menimbulkan pertanyaan serius mengenai kepatuhan terhadap prinsip-prinsip inti Hukum Humaniter Internasional .
Prinsip Proporsionalitas (Proportionality)
Prinsip proporsionalitas dalam Hukum Humaniter Internasional mensyaratkan bahwa kerusakan tambahan terhadap warga sipil (collateral damage) yang diantisipasi tidak boleh berlebihan dibandingkan dengan keuntungan militer yang diharapkan dari serangan tersebut.
Penggunaan drone menimbulkan dilema unik dalam penilaian proporsionalitas. Jarak yang jauh dan ketergantungan operator pada feed video dua dimensi dapat mendistorsi persepsi mereka terhadap risiko di lapangan, mempersulit penilaian proporsionalitas secara akurat. Laporan yang mendokumentasikan ribuan kematian warga sipil akibat serangan drone (misalnya, sekitar 4.700 orang antara 2004 hingga 2013) menunjukkan bahwa banyak serangan dianggap “tidak proporsional” dengan tujuan militernya.
Jarak fisik operator membuat penerapan prinsip kemanusiaan dan kesopanan yang dituntut oleh Hukum Humaniter Internasional menjadi abstrak. Operator, yang melihat target sebagai gambar 2D beresolusi tinggi di layar, mungkin tidak mampu membuat penilaian moral kontekstual yang sama kompleksnya dengan tentara yang hadir secara fisik. “Distorsi kemanusiaan jarak jauh” ini berpotensi mempermudah keputusan untuk menyerang dan melanggar larangan penderitaan yang tidak perlu.
Analisis lebih lanjut menunjukkan bahwa peperangan drone menuntut konsep proporsionalitas yang dinamis. Karena drone memungkinkan pengawasan yang berkelanjutan dan real-time, kewajiban untuk membatalkan serangan (cancel the attack) jika kerugian sipil menjadi jelas, seharusnya lebih tinggi daripada dalam skenario senjata konvensional. Kapabilitas superior ini seharusnya meningkatkan kepatuhan terhadap prinsip kehati-hatian (precaution), namun analisis lapangan menunjukkan bahwa kewajiban ini sering gagal ditegakkan.
Kesenjangan Akuntabilitas (Accountability Gap) dan Tanggung Jawab Hukum
Kompleksitas Atribusi Legalitas dalam Serangan Jarak Jauh
Salah satu perubahan etika paling signifikan yang dibawa oleh drone adalah kaburnya akuntabilitas. Kesenjangan akuntabilitas ini muncul karena serangan drone melibatkan rantai komando dan eksekusi yang panjang, melibatkan analis intelijen, operator di lokasi yang berbeda, dan komandan yang memberikan otorisasi, sering kali dalam konteks operasi rahasia.
Meskipun pelanggaran Hukum Humaniter Internasional, seperti serangan terhadap instalasi atau personel kemanusiaan, merupakan kejahatan perang, komunitas internasional menghadapi kesulitan besar dalam penegakan hukum. Meskipun ada seruan untuk penyelidikan imparsial, faktanya belum ada kasus serangan drone yang secara definitif berhasil diajukan ke pengadilan internasional atau nasional untuk dimintai pertanggungjawaban.
Tanggung Jawab Komando Militer (Command Responsibility)
Hukum internasional telah menetapkan prinsip Tanggung Jawab Komando. Statuta International Criminal Court (ICC), khususnya Pasal 28, menyatakan bahwa seorang komandan militer bertanggung jawab secara pidana atas kejahatan yang dilakukan oleh pasukan di bawah komandonya.
Dalam konteks drone, penerapan prinsip ini menjadi rumit. Sulit menentukan di mana letak tanggung jawab ketika operator hanya bertindak berdasarkan data intelijen yang salah, atau ketika komandan yang memberi otorisasi berada di benua lain dan tidak menyaksikan situasi secara real-time. Kegagalan untuk menegakkan command responsibility dalam kasus-kasus serangan drone yang melanggar Hukum Humaniter Internasional secara implisit memberikan impunitas kepada komandan militer untuk melanjutkan operasi berisiko tinggi terhadap warga sipil. Kurangnya hukuman menghilangkan disinsentif untuk mematuhi Hukum Humaniter Internasional. Hukum Humaniter Internasional hanya efektif jika ada ancaman penegakan; operasi drone yang rahasia memfasilitasi impunitas, sehingga merusak peran Hukum Humaniter Internasional sebagai pembatas konflik yang efektif.
Akuntabilitas Sistem Senjata Otonom Mematikan (LAWS)
Transisi dari RPAS (kendali jarak jauh) ke Lethal Autonomous Weapon Systems (LAWS) menciptakan tantangan akuntabilitas yang lebih parah. LAWS adalah sistem senjata otonom yang dapat memilih dan menyerang target tanpa intervensi manusia secara langsung (Human out of the Loop)
Kasus nyata seperti penggunaan drone otonom STM Kargu-2 dalam konflik Libya (2020) menunjukkan bahwa sistem ini dapat menyerang target yang mundur secara independen, menyebabkan korban signifikan tanpa memerlukan koneksi data atau perintah operator. Eksistensi LAWS sangat dilematis karena mesin sebagai agen non-manusia tidak memiliki akal dan nurani untuk mempertimbangkan dampak dan efek serangan.
Jika LAWS melakukan kesalahan, seperti serangan terhadap warga sipil, muncul accountability gap yang hampir tidak dapat dijembatani. Tanggung jawab harus dialamatkan kepada manusia: negara, komandan, operator awal, atau pabrikan (jika terjadi malfungsi).
Untuk mengatasi tantangan akuntabilitas di era LAWS, diperlukan pergeseran hukum. Solusi terletak pada penerapan prinsip auditability dan ketertelusuran digital. Ini menyiratkan bahwa di masa depan, bukti utama pelanggaran Hukum Humaniter Internasional mungkin bukan kesaksian fisik, melainkan log data digital yang dihasilkan oleh mesin. Negara perlu diwajibkan oleh traktat internasional untuk mempertahankan log tersebut (audit log yang tidak dapat dimanipulasi).
Dimensi Psikologis dan Etika Moral bagi Operator Drone
Mengkritisi Mitos Jarak Moral (Moral Distance)
Ada pandangan yang tersebar luas bahwa operator drone, karena jarak fisiknya dari medan tempur, secara moral terlepas dan sebanding dengan pemain video game. Namun, bukti yang muncul menunjukkan sebaliknya.
Operator drone sering kali terlibat secara moral yang sangat intens (highly-engaged morally). Mereka tidak hanya melihat, tetapi juga menyaksikan pembunuhan secara real-time melalui kamera yang sangat kuat, sering kali dalam periode pengawasan yang lama. Mereka dipaksa untuk menghadapi hasil mematikan dari tindakan mereka secara visual dan langsung, meskipun dari ribuan kilometer jauhnya.
Konsep Cedera Moral (Moral Injury)
Keterlibatan moral yang intens ini menempatkan operator pada risiko yang signifikan terhadap moral injury (cedera moral). Moral injury didefinisikan sebagai trauma yang muncul ketika seseorang bertindak, menyaksikan, atau gagal bertindak dalam situasi yang melanggar standar moral atau nilai-nilai pribadinya.
Pembunuhan jarak jauh yang diizinkan oleh Hukum Humaniter Internasional atau perintah militer dapat tetap melanggar identitas moral operator sebagai “orang baik.” Disonansi antara tuntutan militer dan nurani pribadi ini merupakan inti dari cedera moral, yang dapat bermanifestasi sebagai rasa bersalah, malu, kecemasan, depresi, atau burnout. Cedera moral dapat terjadi karena empati dan persepsi kemanusiaan operator, di mana semakin seseorang berempati pada target, semakin besar tekanan psikologis yang dialami ketika menyaksikan hilangnya martabat atau kemanusiaan mereka.
Transferensi Risiko dan Dampak Psikologis Jangka Panjang
Pengakuan atas risiko cedera moral (risiko non-fisik) melemahkan rasionalisasi utama penggunaan drone, yaitu penghindaran risiko total bagi pasukan sendiri. Drone tidak menghilangkan risiko, melainkan mentransfernya dari risiko fisik (luka atau kematian) ke risiko psikologis (cedera moral dan stres tempur, seringkali pada tingkat yang lebih tinggi daripada pilot pesawat berawak).
Sebuah operasi tidak dapat dianggap etis jika secara sistematis merusak integritas moral para pelaksananya sendiri. Cedera moral yang tidak ditangani dapat menyebabkan disfungsi operasional dan memicu mekanisme koping, seperti penghindaran atau moral numbing—penataan ulang kognitif untuk mengurangi penderitaan moral. Operator yang mengalami moral numbing mungkin menjadi kurang hati-hati dalam penargetan di masa depan, yang secara paradoks dapat meningkatkan pelanggaran Hukum Humaniter Internasional.
Kamera beresolusi tinggi pada drone berfungsi sebagai senjata ganda: sebagai perangkat penargetan yang mendukung jus in bello, sekaligus sebagai alat pemicu trauma moral yang memperparah moral injury. Kehadiran visual yang intens dan berkelanjutan ini adalah faktor unik yang harus menjadi fokus riset etika ke depan.
Tantangan Masa Depan: Sistem Senjata Otonom Mematikan (LAWS)
Ancaman Fundamental Terhadap Hukum Humaniter Internasional
Ancaman terbesar terhadap etika perang di masa depan adalah Lethal Autonomous Weapon Systems (LAWS). LAWS, yang diperkirakan akan mampu membuat keputusan pertempuran secara otonom, berpotensi melanggar prinsip-prinsip fundamental Hukum Humaniter Internasional secara maksimal.
Kekhawatiran utama adalah bahwa LAWS, sebagai sistem digital dan agen non-manusia, tidak memiliki penilaian kontekstual, akal, atau nurani yang diperlukan untuk memenuhi prinsip kemanusiaan, pembedaan, dan proporsionalitas. Prinsip-prinsip Hukum Humaniter Internasional menuntut keputusan yang diambil dengan pertimbangan moral, empati, dan penilaian kemanusiaan.
Kegagalan LAWS untuk bertindak dengan nurani (hati nurani publik) melanggar semangat Martens Clause. Martens Clause mewajibkan bahwa warga sipil dan kombatan berada di bawah perlindungan dan kekuasaan prinsip-prinsip hukum bangsa, yang berasal dari kebiasaan yang mapan, dari prinsip-prinsip kemanusiaan, dan dari tuntutan hati nurani publik. LAWS tidak dapat memenuhi tuntutan hati nurani publik ini.
Studi Kasus dan Konsekuensi Otonomi
Studi kasus STM Kargu-2 di Libya (2020) menggarisbawahi risiko penggunaan senjata otonom. LAWS tersebut diprogram untuk menyerang target tanpa konektivitas data operator, dan berhasil menekan pasukan yang mundur, menyebabkan korban signifikan.
Jika sistem otonom gagal, pertanyaan tentang tanggung jawab—apakah itu programmer, komandan yang mengizinkan, atau pabrikan—menjadi sangat rumit, memperburuk accountability gap. Perdebatan mengenai LAWS kini bergeser dari sekadar hukum senjata konvensional ke hukum algoritma. Hukum Humaniter Internasional harus berevolusi untuk mengatur design dan training dari perangkat lunak untuk memastikan kepatuhan inheren terhadap prinsip pembedaan dan proporsionalitas.
Proliferasi Teknologi Drone dan Karakter Konflik Masa Depan
Perkembangan teknologi militer terus berlanjut dengan konsep seperti Aerial Drone Mothership dan Swarm Drone. Aerial Drone Mothership berfungsi sebagai pusat komando yang mampu membawa, mengendalikan, dan melepaskan sejumlah besar Swarm Drone. Kombinasi ini meningkatkan efektivitas taktis dan pengumpulan intelijen secara signifikan.
Namun, kecepatan dan volume serangan yang dihasilkan oleh Swarm Drone mempersulit kendali manusia yang efektif, membuat pengawasan etika dan hukum menjadi tidak praktis. Kegagalan untuk mengatur LAWS secara efektif akan memicu perlombaan senjata otonom. Negara-negara akan merasa terpaksa untuk mengembangkan sistem Human out of the Loop untuk mengimbangi kecepatan dan efisiensi lawan, mengesampingkan kekhawatiran etika demi kepentingan militer jangka pendek.
Proliferasi drone yang diperkuat AI juga menghadirkan ancaman asimetris. Teknologi ini berpotensi jatuh ke tangan kelompok tidak bertanggung jawab, memicu terorisme otonom dan meningkatkan kompleksitas ancaman terhadap keamanan nasional.
Kesimpulan
Penggunaan drone telah mengubah etika perang secara mendalam. Di satu sisi, drone telah mengubah kalkulus risiko dalam Jus Ad Bellum, menurunkan ambang batas politik dan fisik untuk memulai konflik, yang menimbulkan kekhawatiran tentang “perang yang terlalu mudah.” Di sisi lain, drone menantang penerapan prinsip Jus In Bello, terutama dalam hal akuntabilitas dan proporsionalitas, melalui distorsi kemanusiaan jarak jauh dan kompleksitas penelusuran tanggung jawab.
Transisi menuju otonomi penuh (LAWS) menimbulkan ancaman yang bersifat eksistensial bagi prinsip kemanusiaan Hukum Humaniter Internasional, karena mesin tidak memiliki kapasitas untuk meniru penilaian moral atau nurani yang diwajibkan oleh hukum perang.
Untuk memitigasi risiko etika dan hukum yang ditimbulkan oleh teknologi drone, terutama yang menuju otonomi penuh, diperlukan tindakan regulasi yang tegas:
- Penerapan Prinsip Meaningful Human Control (MHC): MHC harus ditetapkan sebagai standar wajib internasional. Ini harus memastikan bahwa manusia mempertahankan kendali penuh atas keputusan mematikan (kill chain). MHC adalah persyaratan fundamental untuk menjamin bahwa akuntabilitas dan kepatuhan terhadap prinsip kemanusiaan tetap utuh, mencegah sistem senjata kehilangan arah normatif.
- Penguatan Prinsip Auditability dan Transparansi: Negara-negara pengguna harus diwajibkan oleh traktat internasional untuk mengadopsi sistem audit digital yang transparan dan dapat diverifikasi secara independen (verifiable digital audit systems) untuk semua operasi drone. Kewajiban untuk mempertahankan audit log digital yang tidak dapat dimanipulasi sangat penting untuk mengatasi kesenjangan akuntabilitas dan memastikan ketertelusuran tindakan sistem otonom.
- Seruan untuk Traktat Internasional Khusus tentang LAWS: Komunitas internasional, didorong oleh PBB dan ICRC, harus bergerak cepat untuk menetapkan traktat internasional yang mengikat, baik dalam bentuk larangan total atau batasan yang sangat ketat terhadap pengembangan dan penggunaan sistem senjata yang sepenuhnya otonom.
- Penegakan Akuntabilitas Komando yang Efektif: Lembaga penegak hukum internasional dan nasional harus secara aktif memperkuat penegakan Command Responsibility untuk kasus-kasus pelanggaran Hukum Humaniter Internasional yang melibatkan drone, untuk memastikan bahwa impunitas tidak menjadi norma operasional.
- Perlindungan Kesejahteraan Operator: Doktrin militer harus mengakui dan secara sistematis mengatasi risiko Moral Injury pada operator drone, menyediakan dukungan psikologis yang memadai. Biaya moral ini harus diintegrasikan ke dalam kalkulasi keputusan operasional untuk menjamin integritas etika pasukan.
Tantangan Etika dan Hukum Drones: Dari RPAS ke LAWS
| Karakteristik Sistem | Remotely Piloted Aircraft Systems (RPAS) | Lethal Autonomous Weapon Systems (LAWS) |
| Tingkat Intervensi Manusia | Human in the Loop (Operator membuat keputusan tembak). | Human out of the Loop (Mesin memilih dan menyerang target secara independen). |
| Tantangan Akuntabilitas Utama | Akuntabilitas Komando; Distorsi Jarak Moral/Psikologis. | Kesenjangan Akuntabilitas (Accountability Gap); Kurangnya Nurani Manusia. |
| Prinsip HHI yang Paling Berisiko | Proporsionalitas (karena data sensor yang salah) dan Diskriminasi (kesalahan intelijen) | Pembedaan/Kemanusiaan (Mesin tidak memiliki penilaian kontekstual); Hukum Martens. |
| Solusi Regulasi yang Diusulkan | Transparansi Operasional; Mekanisme Penyelidikan Independen. | Meaningful Human Control (MHC); Auditability dan Traktat Internasional. |
