Dalam konteks negara demokrasi perwakilan, partai politik memegang peranan yang sentral dan tidak tergantikan. Fungsi partai politik jauh melampaui sekadar kontestasi elektoral; ia adalah pilar vital yang memastikan berjalannya mekanisme demokrasi secara efektif. Ada tiga fungsi utama mengapa partai politik harus ada agar demokrasi dapat berfungsi: pertama, sebagai kendaraan utama untuk perwakilan politik; kedua, sebagai mekanisme utama bagi penyelenggaraan pemerintahan; dan ketiga, sebagai saluran utama untuk memelihara akuntabilitas demokrasi.

Di Indonesia, evolusi partai politik mencerminkan perjalanan historis bangsa, bergerak dari organisasi revolusioner yang berfokus pada kemerdekaan dan ideologi, beralih ke struktur yang sangat terfragmentasi, kemudian ditekan di bawah rezim otoriter, dan akhirnya bertransformasi menjadi aktor elektoral yang kompetitif di era liberalisasi pasca-1998.

Periodisasi Sejarah Sistem Kepartaian Indonesia (1908–Sekarang)

Untuk memahami dinamika ini, sistem kepartaian Indonesia dapat dibagi menjadi lima periode kronologis utama, yang masing-masing memiliki karakteristik unik dalam hal peran partai, regulasi, dan stabilitas politik:

  1. Pra-Kemerdekaan (1908–1945): Era cikal bakal dan organisasi pergerakan nasional.
  2. Demokrasi Parlementer (1945–1959): Era eksperimen pluralisme bebas dan fragmentasi tinggi.
  3. Demokrasi Terpimpin (1959–1965): Era sentralisasi kekuasaan dan kontrol politik.
  4. Orde Baru (1966–1998): Era kontraksi paksa dan hegemoni terkontrol.
  5. Era Reformasi (1998–Sekarang): Era liberalisasi politik dan pelembagaan multi-partai.

Kerangka Teori: Tiga Paradigma Sistem Kepartaian

Analisis historis menunjukkan pergeseran ekstrem dalam struktur kepartaian Indonesia. Awalnya, pada era 1950-an, Indonesia menganut sistem multipartai yang sangat fragmentatif, di mana terlalu banyak representasi ideologis menyebabkan tingginya instabilitas pemerintahan (low governability).

Transisi ke Orde Baru menciptakan sistem hegemoni terkontrol (Sistem Tripartai) yang memaksakan stabilitas politik dengan mengorbankan hak representasi dan menyebabkan depolitisasi masyarakat. Kegagalan konsolidasi demokrasi pada setiap transisi besar ini membuktikan bahwa stabilitas yang dicari oleh rezim Orde Baru adalah respon langsung terhadap ketidakmampuan partai-partai di era 1950-an untuk berkompromi secara efektif. Saat ini, di era Reformasi, Indonesia berupaya mencapai keseimbangan yang sulit, yaitu sistem multipartai yang terinstitusionalisasi, di mana kebebasan berorganisasi diakui, namun dibatasi oleh regulasi ketat seperti ambang batas (thresholds), yang kini menjadi sumber konflik struktural antara tuntutan representasi dan kebutuhan efektivitas pemerintahan.

Fajar Kepartaian: Organisasi Pergerakan Nasional (1908–1945)

Masa sebelum kemerdekaan menjadi arena bagi organisasi-organisasi yang, meskipun belum beroperasi sebagai partai politik modern, berfungsi sebagai cikal bakal wadah artikulasi kepentingan massa dan embrio bagi ideologi politik yang akan mendominasi panggung nasional di masa depan.

Cikal Bakal Politik: Divergensi Ideologi Awal

Sejak awal abad ke-20, pergerakan nasional terbagi berdasarkan basis ideologi utama: nasionalisme-sekuler, marxisme-sosialis, dan keagamaan.

  1. Basis Nasionalisme Revolusioner: Organisasi yang paling berpengaruh dalam membentuk kesadaran nasionalisme adalah Partai Nasional Indonesia (PNI). Sebagai salah satu partai massa terbesar dalam sejarah politik Indonesia, PNI berhasil menarik simpati masyarakat dan menjadi simbol perjuangan rakyat untuk meraih kemerdekaan dari penjajahan, meskipun menghadapi berbagai tantangan dari pemerintah kolonial. Setelah Soekarno ditangkap, sebagian anggota PNI mendirikan Partai Indonesia (Partindo) pada 1 Mei 1931 di bawah kepemimpinan Sartono, dengan tujuan utama mencapai kemerdekaan Indonesia. Partindo sempat berkembang pesat setelah Soekarno bergabung, namun lagi-lagi pemerintah Belanda menangkap Soekarno dan membuangnya ke Ende pada 1 Agustus 1933. Pada akhirnya, Partindo bubar pada tahun 1937.
  2. Basis Ideologi Marxisme-Sosial: Indische Sociaal Democratische Vereeniging (ISDV) didirikan dengan menganut paham marxisme. ISDV menjadi penanda introduksi ideologi Marxisme/Sosialisme ke dalam arena politik pribumi dan menjadi cikal bakal terbentuknya Partai Komunis Indonesia (PKI) pada Desember 1920. Tujuan ISDV adalah menyebarkan paham sosial demokrat dan membawa sosialisme ke masyarakat Bumiputra, tidak hanya terbatas pada anggota yang berasal dari Eropa.
  3. Basis Keagamaan (Islam): Organisasi Sarekat Islam (SI) awalnya berfokus pada pengembangan ekonomi Islam di bawah kepemimpinan Haji Umar Said Cokroaminoto. Organisasi ini berkembang pesat hingga menimbulkan kekhawatiran bagi pemerintah Belanda karena dianggap membahayakan kedudukan mereka. Selain itu, Muhammadiyah juga memainkan peran penting dalam perlawanan terhadap dominasi asing, terutama melalui peningkatan pendidikan masyarakat Indonesia.

Perbedaan ideologi yang sudah terbentuk tajam antara kelompok nasionalis-sekuler (PNI), sosialis-revolusioner (PKI), dan Islamis (SI) sejak masa pergerakan ini menjelaskan mengapa konflik politik di masa Demokrasi Parlementer tahun 1950-an sangat didominasi oleh ketegangan ideologis yang tidak terselesaikan. Ketiga ideologi ini (Nasionalisme, Agama, Komunisme) merupakan kontinum sejarah yang mendasari polarisasi politik Indonesia hingga saat ini.

Eksperimen Pluralisme Bebas: Demokrasi Parlementer (1945–1959)

Setelah proklamasi kemerdekaan, Indonesia memilih jalur demokrasi parlementer, sebuah sistem yang menekankan kebebasan berpolitik dan representasi yang luas.

Pelembagaan Multi-Partai Pasca-Kemerdekaan

Sistem multipartai dilembagakan melalui Maklumat Wakil Presiden No. X pada 3 November 1945. Kebijakan ini segera diikuti oleh pembentukan kabinet parlementer pertama yang dipimpin oleh Soetan Sjahrir. Langkah ini membuka pintu bagi sistem kepartaian yang sangat inklusif, memungkinkan setiap faksi ideologis mendirikan wadah politiknya sendiri.

Pemilihan Umum 1955: Puncak Pluralitas

Puncak dari era ini adalah penyelenggaraan pemilihan umum (Pemilu) pertama pada tahun 1955, yang merupakan Pemilu paling jujur dan paling plural dalam sejarah Indonesia. Pemilu tersebut diikuti oleh lebih dari 30 partai politik.

Meskipun sukses sebagai pesta demokrasi, Pemilu 1955 menghasilkan fragmentasi kekuatan politik yang ekstrem. Empat partai besar mendominasi (PNI, Masyumi, Nahdlatul Ulama, dan PKI), namun tidak ada satupun yang mampu memenangkan mayoritas absolut.

Faktor Kegagalan dan Transisi Kekuasaan

Sistem multi-partai yang ekstrem ini terbukti rentan terhadap konflik politik dan ketidakstabilan, ditandai oleh seringnya pergantian kabinet dan kurangnya budaya demokrasi yang kuat. Instabilitas yang kronis ini, ditambah dengan konflik ideologis yang mendalam di parlemen, menjadi pembenaran historis bagi intervensi kekuasaan.

Pada tahun 1959, Presiden Soekarno mengeluarkan Dekrit Presiden yang menandai transisi ke Demokrasi Terpimpin. Dalam sistem ini, kekuasaan politik terpusat pada presiden, dan kontrol pemerintah terhadap kehidupan politik semakin ketat, meskipun cenderung otoriter. Kegagalan sistem Demokrasi Parlementer inilah yang kemudian digunakan oleh rezim otoriter berikutnya, Orde Baru, sebagai argumen bahwa sistem multi-partai ala Barat tidak cocok, sehingga stabilitas negara harus dicapai melalui kontrol dan penyederhanaan partai politik.

Kontraksi dan Kontrol Negara: Orde Baru (1966–1998)

Setelah jatuhnya Soekarno, Orde Baru di bawah Soeharto mengambil alih kekuasaan dengan fokus utama pada pembangunan ekonomi yang didukung oleh stabilitas politik yang ketat. Untuk mencapai stabilitas ini, diterapkan kebijakan restriktif yang membatasi peran dan jumlah partai politik, sebuah proses yang disebut depolitisasi massa.

Kebijakan Fusi Partai Politik (1973): Pengurangan Paksa

Kebijakan paling menonjol dari Orde Baru adalah fusi (penggabungan) partai politik, yang bertujuan memangkas jumlah partai agar sistem kepartaian lebih sederhana dan mudah dikontrol. Fusi ini menghasilkan sistem Tripartai yang terdiri dari tiga entitas politik utama:

  1. Partai Persatuan Pembangunan (PPP): Merupakan fusi dari kelompok-kelompok berbasis Islam. Partai asal yang dilebur ke dalam PPP antara lain Partai NU, Perti, PSII, dan Parmusi.
  2. Partai Demokrasi Indonesia (PDI): Merupakan fusi dari kelompok Nasionalis dan non-Islam/Kristen. Partai asal yang dilebur ke dalam PDI meliputi PNI, Partai Katolik, Partai Murba, IPKI, serta Parkindo.
  3. Partai Golongan Karya (Golkar): Golkar berdiri sendiri dan tidak dibentuk melalui penggabungan dengan partai lain, melainkan merupakan organisasi kekaryaan yang ditransformasikan menjadi entitas elektoral utama rezim.

Tabel 1: Struktur Kepartaian Masa Orde Baru (Fusi 1973)

Partai Hasil Fusi Basis Ideologi Utama Partai Asal yang Dilebur
Partai Persatuan Pembangunan (PPP) Islam dan Agama NU, Parmusi, Perti, PSII
Partai Demokrasi Indonesia (PDI) Nasionalis dan Non-Islam PNI, Partai Katolik, Partai Murba, IPKI, Parkindo
Golongan Karya (Golkar) Fungsional/Integralistik Organisasi Kekaryaan/Fungsional (Non-fusi)

Analisis Golkar: Kekuatan Hegemonik yang Unik

Golkar memiliki asal-usul yang unik, muncul dari kolaborasi gagasan integralistik-kolektivitis tiga tokoh, Soekarno, Soepomo, dan Ki Hadjar Dewantara, sejak 1940. Awalnya, Golkar bukan diwujudkan sebagai partai politik, melainkan sebagai perwakilan golongan fungsional yang bertujuan menolak konsep partai. Namun, pada 1957, ia mulai berfungsi sebagai organisasi yang terdiri dari golongan-golongan fungsional.

Transformasi Golkar menjadi kekuatan politik hegemoni terjadi ketika Jenderal TNI (Purn) Abdul Haris Nasution bersama Angkatan Darat mengubah Golkar menjadi sebuah partai politik untuk melawan PKI dan sistem multipartai yang dianggap destabilisasi. Meskipun ide awalnya menolak konsep partai, Golkar justru menjadi instrumen elektoral yang dominan selama Orde Baru.

Mekanisme Kontrol Negara dan Dwifungsi ABRI

Kontrol terhadap partai politik diperkuat oleh konsep Dwifungsi ABRI, yang memberikan peran ganda kepada Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (ABRI), yaitu sebagai kekuatan militer dan sebagai pihak yang memegang kekuasaan serta mengatur jalannya negara. ABRI bertindak sebagai stabilisator dan dinamisator politik negara.

Kebijakan fusi partai dan Dwifungsi ABRI menciptakan bukan hanya stabilitas politik, melainkan juga stabilitas ideologis yang artifisial. Dengan memaksa berbagai faksi ideologi yang berbeda untuk bersatu dalam PPP dan PDI, Orde Baru meredam kemampuan setiap kelompok untuk mengartikulasikan kepentingan spesifik mereka, memaksa persaingan terjadi dalam kerangka yang sepenuhnya dikendalikan oleh Golkar.

Intervensi negara dalam urusan internal partai oposisi mencapai puncaknya pada dualisme kepemimpinan di Partai Demokrasi Indonesia (PDI). Pemerintah Orde Baru turut campur tangan dalam kongres PDI, mengakui kepemimpinan tandingan Soerjadi atas Megawati Soekarnoputri (Ketua Umum PDI periode 1993-1998 hasil Kongres Luar Biasa Surabaya). Pengakuan pemerintah terhadap hasil Kongres Medan yang mengukuhkan Soerjadi sebagai peserta Pemilu 1997 memicu peristiwa penyerbuan kantor DPP PDI pada 27 Juli 1996, yang dikenal sebagai peristiwa “Kuda Tuli”. Peristiwa ini menunjukkan batas otonomi partai di bawah rezim otoriter dan menjadi titik balik yang menggarisbawahi kegagalan total strategi depolitisasi Orde Baru. Konflik internal PDI inilah yang kemudian melahirkan Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P) di era Reformasi.

Liberalisasi dan Fragmentasi: Era Reformasi (1998–Sekarang)

Era Reformasi dimulai pada tahun 1998 setelah pengunduran diri Soeharto, yang ditandai dengan liberalisasi politik secara menyeluruh. Pencabutan pembatasan terhadap partai politik menghasilkan ledakan euforia dan pertumbuhan partai politik baru yang sangat pesat.

Ledakan Politik Pasca-Otoritarianisme (1998)

Pada Pemilu 1999, tidak kurang dari 45 partai politik berpartisipasi. Angka ini merupakan jumlah yang besar bagi negara dengan sistem pemerintahan presidensial, yang dalam literatur sistem politik lebih cocok dengan sistem dua partai. Indonesia, bagaimanapun, mengelaborasi antara sistem presidensial dengan sistem politik multi-partai. Perubahan politik ini menyebabkan persaingan ketat antar partai dan calon untuk mendapatkan kursi pemerintahan.

Transformasi Partai Lama dan Munculnya Kekuatan Baru

Liberalisasi memicu transformasi pada partai-partai lama yang telah dilebur dan mendorong munculnya partai-partai baru dengan basis ideologi yang terbarukan.

  1. Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P): PDI-P merupakan kelanjutan dari PDI yang mengalami dualisme kepemimpinan akibat intervensi Orde Baru. Partai ini sangat terkait dengan ideologi Marhaenisme (ideologi Soekarno) dan trah Soekarno. PDI-P dipimpin oleh Megawati Soekarnoputri, yang mendirikan partai ini setelah batasan terhadap partai politik dicabut. PDI-P memenangkan mayoritas suara dalam pemilihan legislatif 1999 dan menjadi partai terbesar di DPR sejak Pemilu 2014.
  2. Partai Kebangkitan Bangsa (PKB): Didirikan pada 23 Juli 1998 oleh tokoh-tokoh Nahdlatul Ulama (NU), termasuk Presiden RI ke-4 Abdurrahman Wahid, dengan dukungan kuat dari kiai-kiai NU. PKB berideologi moderat dan berfungsi sebagai wadah aspirasi politik NU. Tokoh kunci saat ini adalah A. Muhaimin Iskandar, yang merupakan keturunan salah satu ulama pendiri NU, KH. Bisri Syansyuri.
  3. Partai Keadilan Sejahtera (PKS): PKS adalah partai politik berbasis Islam yang berakar dari gerakan dakwah kampus yang menyebar di universitas-universitas Indonesia pada tahun 1980-an. Partai ini awalnya muncul dari penentangan sejumlah tokoh Islam terhadap kebijakan Soeharto yang mengharuskan Pancasila sebagai asas tunggal. PKS dikenal sebagai partai yang disiplin dan aktif dalam kebijakan publik, mencapai puncaknya pada Pemilu 2009.
  4. Partai Baru Populis (Gerindra dan NasDem):
    • Partai Gerakan Indonesia Raya (Gerindra): Dibentuk pada tahun 2008, Gerindra merupakan kendaraan politik bagi Prabowo Subianto. Partai ini berideologi nasionalisme Indonesia, konservatisme bangsa, dan populisme sayap kanan. Saat ini, Gerindra menjadi partai ketiga terbesar di DPR berdasarkan hasil Pemilu 2024.
    • Partai Nasional Demokrat (NasDem): Didirikan oleh Surya Paloh. Partai ini lahir di tengah ketatnya persyaratan dan persaingan antar partai pasca-Reformasi. Kelahiran partai-partai baru seperti NasDem harus menghadapi serangkaian peraturan dan syarat yang ketat, seperti harus memenuhi 75% kepengurusan Kabupaten/Kota di setiap provinsi dan 50% kepengurusan kecamatan.

Tantangan Pelembagaan Partai Pasca-Liberalisasi

Meskipun kebebasan politik pasca-otoritarian telah terwujud, liberalisasi ini disertai dengan konsekuensi struktural. Persaingan ketat di antara partai politik dan calon pejabat untuk mendapatkan kursi pemerintahan menyebabkan semakin meluasnya praktik politik uang (money politics) dan kebutuhan modal besar untuk bersaing di ranah politik.

Fenomena ini menunjukkan bahwa kebebasan politik yang dicapai di Era Reformasi tidak serta merta menghasilkan demokrasi yang berkualitas, melainkan menciptakan sistem politik yang didominasi oleh partai-partai dengan modal yang kuat. Oleh karena itu, upaya untuk meredam pertumbuhan partai politik yang terlalu subur dilakukan melalui pelembagaan yang ketat, terutama melalui regulasi ambang batas parlemen (parliamentary threshold).

Analisis Struktural dan Regulasi Elektoral: Rezim Ambang Batas

Setelah euforia Pemilu 1999 yang diikuti oleh 45 partai, sistem politik Indonesia menginjak fase baru yang bertujuan menciptakan stabilitas pemerintahan dengan mengurangi jumlah partai yang efektif di parlemen melalui regulasi ambang batas.

Peran Sentral Ambang Batas dalam Mengatur Pluralitas

Saat ini, sistem Pemilu Indonesia menggunakan setidaknya tiga jenis ambang batas (threshold) yang memiliki peran krusial dalam menentukan kelangsungan hidup partai:

  1. Electoral Threshold: Syarat yang harus dipenuhi oleh partai politik untuk dapat ikut serta dalam Pemilu.
  2. Parliamentary Threshold (PT): Ambang batas suara minimum (saat ini 4% dari suara sah nasional) yang harus dicapai oleh partai politik untuk mendapatkan kursi di parlemen pusat (DPR).
  3. Presidential Threshold (PT): Ambang batas suara partai (saat ini 20% kursi DPR atau 25% suara sah nasional) yang menjadi syarat untuk mengusung calon presiden dan wakil presiden.

Polemik Parliamentary Threshold (PT 4%)

Meskipun tujuan PT adalah menyederhanakan sistem multi-partai menjadi lebih efektif , implementasinya, terutama ambang batas 4% yang berlaku saat ini, memicu kontroversi. Kritik utama adalah bahwa PT berpotensi menimbulkan pelanggaran hak konstitusional warga negara dan menyebabkan pemborosan suara rakyat yang signifikan (wasted votes), karena jutaan suara dari partai yang gagal mencapai batas tersebut menjadi tidak terwakilkan di parlemen.

Dinamika mengenai pengaturan besaran parliamentary threshold adalah topik yang tidak pernah usai. Mahkamah Konstitusi (MK) telah melakukan judicial review terhadap pasal ini sebanyak tujuh kali. Putusan terbaru MK (Nomor 116/PUU-XXI/2023) menyatakan bahwa pembentuk undang-undang (DPR dan Pemerintah) perlu mengoreksi ketentuan 4% PT tersebut. MK mendesak agar penetapan angka ambang batas untuk Pemilu 2029 mendatang dilakukan berdasarkan kajian ilmiah dan argumentasi rasional demokratis, bukan lagi sekadar kebijakan terbuka (open legal policy).

Putusan MK ini menandai pergeseran signifikan, karena sebelumnya MK cenderung menyerahkan penentuan angka ambang batas sepenuhnya kepada DPR. Tuntutan MK untuk justifikasi empiris dan ilmiah terhadap ambang batas menginstitusionalisasi konflik antara kebutuhan stabilitas pemerintahan (yang menuntut sedikit partai) dan prinsip proporsionalitas representasi (yang menuntut ambang batas yang adil). Di sisi lain, terdapat pula usulan untuk menaikkan PT, misalnya menjadi 7%, dengan argumen bahwa hal itu akan mewujudkan pelembagaan demokrasi yang lebih matang dan berkualitas.

Kontradiksi Presidential Threshold (PT 20%)

Selain PT 4% untuk parlemen, ambang batas pencalonan presiden sebesar 20% juga menjadi polemik. Kritik berpendapat bahwa ambang batas ini dinilai terlalu tinggi dan membatasi ruang partisipasi, sehingga seharusnya dikoreksi, sama seperti koreksi yang didesak terhadap PT 4%. Ambang batas yang tinggi ini cenderung membatasi jumlah pasangan calon presiden dan mendorong koalisi yang gemuk, seringkali pragmatis, alih-alih koalisi ideologis.

Data Elektoral Komparatif dan Komposisi DPR RI Terkini

Analisis Tren Kinerja Elektoral (1999–2024)

Era Reformasi menunjukkan kontinuitas kekuatan dari partai-partai yang memiliki akar ideologis yang kuat (seperti PDI-P yang merupakan trah PNI/Marhaenisme) atau memiliki basis massa yang terorganisasi (seperti Golkar, yang meskipun instrumen Orde Baru, memiliki jaringan fungsional yang kuat). Sejak 1999, PDI-P dan Golkar secara konsisten bersaing di puncak perolehan suara, dan dalam beberapa tahun terakhir, dominasi ini ditantang oleh kekuatan baru seperti Gerindra.

Hasil Pemilihan Legislatif 2024: Konfirmasi Sistem Multi-Partai Dominan

Pemilihan umum legislatif 2024 menunjukkan sistem multi-partai yang terpolarisasi. Hanya delapan partai politik yang berhasil melewati ambang batas parlemen 4% dan mendapatkan kursi di Dewan Perwakilan Rakyat (DPR).

Tabel 2: Hasil Penghitungan Suara dan Kursi DPR RI Pemilu 2024

Peringkat Partai Politik Perolehan Suara Sah (Jumlah) Persentase Suara (%) Perolehan Kursi DPR Status PT 4%
1 PDIP 25,387,279 16.72 110 Lolos
2 Golkar 23,208,654 15.29 102 Lolos
3 Gerindra 20,071,708 13.22 86 Lolos
4 PKB 16,115,655 10.62 68 Lolos
5 NasDem 14,660,516 9.66 69 Lolos
6 PKS 12,781,353 8.42 53 Lolos
7 Demokrat 11,283,160 7.43 44 Lolos
8 PAN 10,984,003 7.24 48 Lolos
9 PPP 5,878,777 3.87 0 Gagal
10 PSI 4,260,169 2.81 0 Gagal
Total Sah 151,796,631 100.00 580

Dampak dan Proyeksi PT 4%

Data Pemilu 2024 memperjelas konsekuensi sistem ambang batas. Partai Persatuan Pembangunan (PPP), yang memiliki akar sejarah dari fusi partai-partai Islam di Orde Baru, memperoleh 5,878,777 suara, atau 3.87% dari total suara sah nasional. Meskipun PPP memperoleh jutaan suara, partai tersebut gagal mendapatkan satu pun kursi di DPR karena tidak mencapai batas minimum 4%. Kasus PPP ini menggarisbawahi kegagalan sistem representasi yang diakibatkan oleh PT, yang kemudian memicu kembali perdebatan mengenai keadilan regulasi ambang batas.

Hasil ini menunjukkan bahwa meskipun sistem kepartaian Indonesia tetap pluralis, ia didominasi oleh partai-partai mapan. Di masa depan, sistem kepartaian akan semakin didorong menuju multi-partai yang terinstitusionalisasi, di mana hanya partai-partai yang memiliki infrastruktur logistik dan modal politik besar yang dapat bertahan dari ketatnya persyaratan threshold dan persaingan modal politik yang intens.

Kesimpulan

Partai politik di Indonesia telah mengalami metamorfosis mendasar. Perannya bergeser dari agen revolusioner (Pra-Kemerdekaan) yang rentan terhadap fragmentasi (Demokrasi Parlementer), kemudian menjadi instrumen stabilitas yang dikendalikan negara (Orde Baru), dan kini beroperasi sebagai aktor elektoral yang sangat kompetitif namun terinstitusionalisasi (Era Reformasi). Transisi ini menunjukkan upaya berkelanjutan untuk mengatasi konflik struktural antara menjamin representasi yang luas dan mencapai efektivitas serta stabilitas pemerintahan.

Kontinuitas dan Diskontinuitas Ideologi

Meskipun rezim Orde Baru mencoba menghapus polarisasi ideologis melalui fusi paksa, akar ideologi historis tetap kuat dan muncul kembali di Era Reformasi. Hal ini terlihat dari keberlangsungan basis ideologis: PDI-P mewarisi Nasionalisme Soekarno (Marhaenisme) , PKB mewakili Islam tradisionalis (NU) , dan PKS mewakili Islam modernis (Dakwah kampus). Demikian pula, Golkar, meskipun telah bertransformasi, tetap menjadi pilar nasionalis-sekuler yang berorientasi pembangunan. Diskontinuitas terlihat pada kemunculan partai-partai baru yang lebih pragmatis dan populis, seperti Gerindra dan NasDem, yang sering kali berfokus pada figur pemimpin utama.

Rekomendasi Kebijakan (Perspektif Hukum Tata Negara)

Berdasarkan analisis terhadap konsekuensi Pemilu 2024 dan putusan Mahkamah Konstitusi, reformasi terhadap rezim ambang batas (threshold) menjadi sangat mendesak. Rekomendasi utama adalah agar pembentuk undang-undang menindaklanjuti Putusan MK Nomor 116/PUU-XXI/2023.

Penetapan parliamentary threshold harus dihitung ulang melalui penentuan rumus baku dan perhitungan yang konkret, didasarkan pada kajian ilmiah dan argumentasi rasional demokratis, seperti yang diminta oleh MK. Tujuan dari reformasi ini adalah meminimalisir terbuangnya suara rakyat (isu PPP pada 2024 adalah contoh empiris terbaru) guna memperkuat sistem multipartai yang berlandaskan nilai-nilai demokrasi. Hanya dengan menyesuaikan ambang batas secara proporsional dan adil, Indonesia dapat menyelesaikan konflik struktural antara stabilitas dan representasi yang telah mendefinisikan evolusi politiknya sejak kegagalan Demokrasi Parlementer 1959.

 

 

 

 

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

17 − = 8
Powered by MathCaptcha