Pendahuluan dan Konteks Historis-Politik: Titik Didih Asas Tunggal
Peristiwa Tanjung Priok yang terjadi pada 12 September 1984 merupakan salah satu tragedi kemanusiaan paling serius dalam sejarah Orde Baru, dikenang sebagai pelanggaran hak asasi manusia (HAM) berat yang melibatkan pembunuhan, penangkapan tanpa dasar hukum, dan penyiksaan. Tragedi ini tidak muncul dalam ruang hampa, melainkan merupakan manifestasi puncak dari ketegangan politik-ideologis antara rezim otoriter Orde Baru dan kelompok-kelompok masyarakat yang menolak monopoli ideologi negara.
Stabilitas Otoriter dan Upaya Penghancuran Pesaing Politik
Rezim Orde Baru membangun kekuasaannya di atas fondasi stabilitas yang represif, ditandai dengan upaya sistematis untuk menyingkirkan semua pesaing politik yang dianggap mengancam. Setelah eliminasi organisasi komunis pada tahun 1960-an, fokus represi dialihkan kepada kekuatan yang tersisa. Pada era 1980-an, analisis menunjukkan bahwa Islam politik dipandang sebagai satu-satunya kekuatan yang mampu menandingi dan mengancam hegemoni rezim.
Negara menginstitusionalisasikan represi ideologi melalui berbagai kebijakan, termasuk Ketetapan MPR Nomor IV Tahun 1978 tentang Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila (P4). Kebijakan-kebijakan ini menjadi alat untuk mengukur loyalitas dan menekan perbedaan pandangan.
Analisis kontekstual menunjukkan bahwa Peristiwa Tanjung Priok bukan sekadar bentrokan lokal yang sporadis, melainkan sebuah respons sistematis terhadap resistensi ideologis yang sengaja diciptakan oleh kebijakan negara yang terencana. Tujuan kebijakan tersebut adalah melumpuhkan pesaing ideologis terakhir rezim. Oleh karena itu, tanggung jawab struktural atas kekerasan di Priok harus ditarik mundur hingga ke tingkat perumusan kebijakan, bukan hanya dibebankan pada pelaksanaan di lapangan.
Pergulatan Ideologi: Kebijakan Asas Tunggal Pancasila
Pemicu langsung bagi peningkatan ketegangan adalah rencana pengundangan Undang-Undang tentang Organisasi Kemasyarakatan dan Organisasi Politik, yang menetapkan Pancasila sebagai satu-satunya asas (Azas Tunggal) bagi seluruh organisasi di Indonesia.
Bagi sebagian besar umat Islam, penetapan Asas Tunggal dipandang sebagai upaya rezim untuk mengecilkan peran politik Islam dan merupakan gejala penindasan ideologi, yang secara populer disebut sebagai Islamisasi Pancasila. Penolakan terhadap kebijakan ini melahirkan aksi protes reaktif dari masyarakat dan organisasi-organisasi Islam, yang merasa hak politik dan identitasnya dikepung.
Dalam proses hukum di kemudian hari, terdapat upaya reduksi narasi yang dilakukan oleh Jaksa Penuntut Umum (JPU). JPU cenderung menyatakan bahwa peristiwa ini dipicu oleh penceramah yang menghasut jamaah untuk melawan pemerintah, tanpa menguraikan konteks kebijakan Asas Tunggal Pancasila yang menjadi akar permasalahan. Upaya post-factum ini bertujuan mengalihkan fokus dari kegagalan kebijakan negara dan penindasan ideologi, menuju kesalahan individu di tengah masyarakat.
Kronologi Insiden Pemicu dan Eskalasi Massal (10-12 September 1984)
Ketegangan politik yang terpendam di Tanjung Priok akhirnya meledak melalui serangkaian insiden mikro yang melibatkan aparat militer dan masyarakat lokal, memuncak menjadi bentrokan massal yang fatal.
Pemicu Awal: Perselisihan Spanduk dan Aksi Babinsa
Kronologi insiden bermula dari perselisihan antara masyarakat dan Bintara Pembina Desa (Babinsa). Babinsa meminta warga untuk mencopot spanduk dan brosur yang dianggap berisi propaganda yang tidak sesuai dengan Pancasila, sejalan dengan perintah rezim Orde Baru yang melarang paham anti-Pancasila.
Setelah warga tidak mematuhi permintaan tersebut, Babinsa (diidentifikasi sebagai Sertu Hermanu) mengambil langkah untuk mencopot spanduk itu sendiri. Insiden yang menyulut kemarahan massa terjadi ketika Babinsa tersebut diduga melakukan tindakan pencemaran terhadap rumah ibadah (masjid/musholla) karena tidak melepas alas kaki saat memasuki area tersebut.
Eskalasi Konflik dan Penahanan Warga
Tindakan Babinsa yang dianggap menghina rumah ibadah menyulut kemarahan dan emosi masyarakat yang telah lama terpendam oleh isu Asas Tunggal. Masyarakat merespons dengan membakar sepeda motor milik petugas Babinsa.
Perlu dipahami bahwa insiden ini menandai transformasi taktis konflik dari isu murni politik (menentang Asas Tunggal) menjadi isu penistaan agama. Perubahan sifat konflik ini berhasil memobilisasi massa secara emosional dan cepat, melampaui batas diskusi politik formal. Hal ini pada gilirannya mempermudah respons kekerasan dari rezim, yang kemudian dapat dengan mudah digambarkan sebagai penertiban ‘kerusuhan’ belaka, alih-alih penindasan terhadap oposisi ideologis.
Empat orang warga yang diduga terlibat dalam pembakaran sepeda motor segera ditangkap oleh aparat. Penahanan ini kemudian dicatat oleh Komnas HAM sebagai penangkapan sewenang-wenang tanpa prosedur hukum yang sah. Pada 11 September 1984, masyarakat meminta bantuan kepada Amir Biki, seorang tokoh setempat, untuk melakukan negosiasi pembebasan warga yang ditahan.
Puncak Konflik: 12 September 1984
Amir Biki kemudian mengadakan pertemuan dan menyampaikan permintaan agar tahanan dibebaskan. Ia mengancam bahwa jika permintaan tersebut tidak dituruti, massa akan mendatangi Komando Distrik Militer (Kodim).
Pada 12 September 1984, massa dalam jumlah besar berkumpul dan melakukan pawai (defile) sambil merusak sejumlah gedung. Kedatangan massa diadang oleh aparat militer yang dilengkapi senjata lengkap. Bentrokan pun pecah, dan aparat menembaki massa. Tragedi ini terjadi di kawasan Tanjung Priok, Jakarta Utara, dengan tokoh militer yang terlibat dalam rantai komando saat itu termasuk Try Sutrisno dan Leonardus Benyamin Moerdani. Data menunjukkan sedikitnya belasan orang tewas akibat terbakar dalam kerusuhan, dan setidaknya 100 orang tewas atau terluka akibat tindakan aparat.
Dokumentasi Pelanggaran HAM Berat dan Disparitas Data Korban
Pasca-Reformasi, Peristiwa Tanjung Priok diangkat ke ranah akuntabilitas HAM. Hasil penyelidikan Komisi Penyelidikan dan Pemeriksaan Pelanggaran HAM Tanjung Priok (KP3T) Komnas HAM menegaskan bahwa kejahatan yang terjadi bersifat sistematis dan memenuhi kriteria pelanggaran HAM berat.
Temuan Komisi Penyelidikan dan Pemeriksaan (KP3T) Komnas HAM
KP3T dibentuk oleh Ketua Komnas HAM pada 8 Maret 2000 untuk menyelidiki secara komprehensif insiden yang terjadi antara Agustus hingga September 1984. Kesimpulan KP3T menyatakan bahwa telah terjadi pelanggaran HAM berat yang dilakukan oleh kelompok massa dan aparat keamanan. Namun, KP3T juga menyoroti ketidakseimbangan penegakan hukum di masa Orde Baru, di mana pelaku dari kelompok massa telah dihukum, sementara aparat keamanan di lapangan belum pernah dikenakan sanksi pidana.
Jenis Pelanggaran HAM Berat yang Terjadi
Penyelidikan KP3T mengidentifikasi empat kategori utama Kejahatan terhadap Kemanusiaan (Crimes Against Humanity) yang dilakukan oleh aparat keamanan :
- Pembunuhan Kilat (Summary Killing):Terjadi di depan Mapolres Jakarta Utara. Tindakan penembakan massal oleh regu di bawah pimpinan Sutrisno Mascung dkk. ini mengakibatkan sedikitnya 24 orang tewas, dan 54 orang luka berat/ringan.
- Penangkapan dan Penahanan Sewenang-wenang (Unlawful Arrest and Detention):Aparat TNI menahan sekitar 160 orang korban tanpa mengikuti prosedur hukum dan tanpa surat perintah yang sah. Penahanan dilakukan di beberapa fasilitas militer, termasuk Laksusda Jaya Kramat V, Mapomdam Guntur, dan Rumah Tahanan Militer (RTM) Cimanggis.
- Penyiksaan (Torture):Semua korban yang ditahan di fasilitas militer tersebut (Laksusda Jaya, Guntur, dan Cimanggis) dilaporkan mengalami penyiksaan, intimidasi, dan teror berat dari aparat.
- Penghilangan Orang Secara Paksa (Enforced Disappearance):Pelanggaran ini melibatkan pemakaman rahasia 24 jenazah tak teridentifikasi dari RSPAD. Pemakaman dilakukan pada malam hari di lokasi terpisah, tanpa upaya identifikasi atau pencatatan yang layak, dan keluarga korban dilarang mengetahui keberadaan dan kondisi mereka.
Analisis Disparitas Data Korban
Terdapat disparitas signifikan antara data korban yang dirilis resmi (24 tewas, 54 terluka) dan estimasi publik (lebih dari 100 tewas atau terluka). Disparitas ini terkait erat dengan temuan KP3T mengenai penghilangan paksa dan penguburan rahasia 24 jenazah tak teridentifikasi. Upaya ini mencerminkan mekanisme sistematis untuk menyembunyikan jumlah korban sebenarnya dan menghilangkan bukti kejahatan.
Lebih jauh, bukti Kejahatan terhadap Kemanusiaan yang dilakukan pasca-insiden, khususnya penyiksaan terhadap 160 orang yang disebar di tiga fasilitas militer berbeda (Laksusda Jaya, Guntur, Cimanggis) , menunjukkan adanya koordinasi di tingkat Komando Militer. Ini adalah bukti adanya rantai komando dan perencanaan yang sistematis dalam penanganan pasca-insiden, sebuah prasyarat kunci untuk pembuktian Crimes Against Humanity.
Table 1: Ringkasan Data Korban dan Jenis Pelanggaran HAM Berat Tanjung Priok (1984)
| Sumber Data | Korban Tewas (Konfirmasi/Resmi) | Korban Terluka | Korban Ditahan/Tersiksa | Pelanggaran HAM Berat Ditemukan KP3T |
| Pemerintah (Awal) | 24 | 54 | Tidak Dinyatakan | Subversi (Massa) |
| Estimasi Publik | > 100 | > 100 | > 160 | Pembunuhan, Penyiksaan |
| KP3T Komnas HAM | 24 (di depan Mapolres) + Penghilangan Paksa | 54 (di depan Mapolres) | 160 (di Laksusda, Guntur, Cimanggis) | Pembunuhan Kilat, Penyiksaan, Penghilangan Paksa, Penahanan Sewenang-wenang |
Proses Akuntabilitas Hukum: Dari Rezim Subversi ke Peradilan Ad Hoc yang Cacat
Perjalanan hukum kasus Tanjung Priok menunjukkan bagaimana mekanisme keadilan dapat diinstrumentalisasi untuk melindungi aktor komando tertinggi, baik pada masa Orde Baru maupun pasca-Reformasi.
Proses Hukum Masa Orde Baru (Fokus pada Subversi)
Selama Orde Baru, penegakan hukum secara eksklusif difokuskan pada penindakan terhadap kelompok massa dan tokoh masyarakat yang dituduh melakukan subversi dan kerusuhan. Tuntutan ini menghasilkan hukuman berat terhadap tokoh seperti Amir Biki. Sebaliknya, aparat keamanan yang bertanggung jawab atas kekerasan, penahanan sewenang-wenang, dan penyiksaan tidak pernah dikenakan sanksi pidana.
Mandat dan Pelaksanaan Pengadilan HAM Ad Hoc
Setelah Reformasi, kasus ini dibawa ke Pengadilan HAM Ad Hoc Jakarta Pusat, berdasarkan temuan Komnas HAM. Terdakwa mencakup pelaku langsung (Sutrisno Mascung dkk.) dan perwira komando seperti Mayjend TNI (Purn). Rudolf A. Butar-Butar (Mantan Dandim 0506 Jakarta Utara) dan Mayjend TNI (Purn). Pranowo (mantan Dan Pomdam Jaya).
Kritik Terhadap Surat Dakwaan Jaksa Penuntut Umum (JPU)
Analisis kritis yang dilakukan oleh Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (ELSAM) terhadap surat dakwaan JPU menunjukkan adanya kelemahan fundamental yang menghalangi pembuktian kejahatan terhadap kemanusiaan :
- Distorsi Latar Belakang:JPU menyatakan peristiwa dipicu oleh hasutan penceramah, menghilangkan konteks kebijakan Asas Tunggal negara yang memicu resistensi ideologis. Hal ini menciptakan pemahaman bahwa peristiwa tersebut berdiri sendiri, bukan konsekuensi dari kebijakan represif negara.
- Kelemahan Unsur Sistematis atau Meluas (Widespread or Systematic):JPU hanya menunjuk unsur meluas melalui jumlah korban yang banyak, dan luasan geografis penahanan hanya sampai Mapomdam Guntur dan RTM Cimanggis. ELSAM mengkritik bahwa JPU gagal menguraikan luasan geografis yang lebih jauh yang melibatkan penangkapan di luar Jakarta Utara, dan gagal menggambarkan unsur sistematis (koordinasi komando tingkat tinggi), sehingga dikhawatirkan unsur Crimes Against Humanity gagal dibuktikan.
- Pemutusan Rantai Komando:Surat dakwaan secara eksplisit memutuskan hubungan atau rantai komando pada tingkat yang lebih tinggi dari jajaran Kodim Jakarta Utara. Ini berarti tokoh-tokoh komando tertinggi, seperti Try Sutrisno dan Benny Moerdani, dilepaskan dari pertanggungjawaban.
Kegagalan untuk mengaitkan kasus ini dengan kebijakan negara (Asas Tunggal) dan pemutusan rantai komando di tingkat Kodam menunjukkan bahwa kegagalan yudisial ini adalah hasil rekayasa parsial. Proses hukum diinstrumentalisasi untuk memastikan bahwa tuntutan tidak menyentuh inti kekuasaan Orde Baru yang masih berpengaruh pasca-Reformasi, menjadikan Pengadilan HAM Ad Hoc sebagai arsitektur impunitas struktural.
Hasil Putusan dan Impunitas Hukum
Hasil persidangan mayoritas terdakwa dari kalangan perwira militer (termasuk Pranowo dan Butar-Butar) pada akhirnya divonis bebas atau lepas dari segala tuntutan. Impunitas ini merupakan konsekuensi langsung dari pemutusan rantai komando dan kegagalan membuktikan unsur sistematis atau meluas, yang efektif melindungi aktor komando tertinggi.
Warisan, Ishlah, dan Keadilan Transisional yang Tertunda
Meskipun proses yudisial gagal, perjuangan korban dan keluarga korban terus berlanjut melalui upaya penyelesaian konflik dan menuntut keadilan transisional yang komprehensif.
Strategi Ishlah (Perdamaian)
Tuntutan keadilan keluarga korban telah ada sejak masa Orde Baru. Penanggung jawab keamanan berupaya mendekati korban untuk melakukan perdamaian yang disebut Ishlah, dengan tujuan utama mendapatkan jaminan agar kasus Priok 1984 tidak dibawa ke pengadilan.
Proses Ishlah ini terbukti bermasalah karena seringkali bersifat koersif. Terdakwa di luar proses pengadilan menawarkan Ishlah, yang mengakibatkan banyak korban dan saksi menarik kesaksian atau mencabut pernyataan mereka. Ishlah ini secara de facto menjadi alat untuk menangguhkan proses yudisial formal.
Dampak Sosial dan Ekonomi terhadap Korban
Selain trauma fisik dan psikologis, masyarakat Tanjung Priok dan keluarga korban menghadapi dampak sosial-ekonomi yang signifikan, terutama berupa pengucilan (ostracization). Represi pasif ini, yang terjadi dalam bentuk diskriminasi sosial dan ekonomi, menunjukkan bahwa penderitaan korban tidak berhenti setelah tragedi kekerasan berlalu.
Posisi Tanjung Priok dalam Kerangka Keadilan Nasional
Pada Januari 2023, Presiden Joko Widodo mengakui dan menyesali terjadinya 12 kasus pelanggaran HAM berat di masa lalu. Namun, secara signifikan, tragedi Tanjung Priok tidak termasuk dalam daftar 12 kasus yang diakui secara resmi tersebut.
Pengecualian ini menegaskan adanya kegagalan keadilan yang bersifat selektif. Mengingat kasus Tanjung Priok terkait langsung dengan resistensi ideologi kelompok Islam terhadap kebijakan Asas Tunggal Orde Baru , kegagalan untuk mengakui kasus ini mengindikasikan bahwa negara masih enggan sepenuhnya menghadapi trauma sejarah yang berhubungan dengan penggunaan kekerasan negara terhadap kelompok Islam politik, menjadikannya salah satu kasus yang paling sensitif untuk diakui secara penuh dalam kerangka keadilan transisional.
Table 2: Perbandingan Status Hukum dan Akuntabilitas Kasus Tanjung Priok
| Aspek Keadilan | Proses Hukum Orde Baru (1984-1998) | Proses Hukum HAM Ad Hoc (Pasca-2000) | Status Keadilan Transisional (2023) |
| Fokus Tuntutan | Subversi (terhadap warga/tokoh Islam) | Kejahatan terhadap Kemanusiaan (terhadap aparat) | Impunitas terhadap Aktor Utama Komando |
| Penyelesaian Konflik | Ishlah yang dipaksakan/koersif | Pengadilan Yudisial Cacat/Gagal | Non-yudisial (Pengakuan Parsial, Tidak masuk daftar resmi) |
| Hasil | Hukuman berat terhadap massa/penceramah | Vonis bebas atau lepas dari tuntutan (sebagian besar perwira) | Kasus tertunda, tidak masuk daftar pengakuan resmi negara (2023) |
Kesimpulan
Peristiwa Tanjung Priok 1984 adalah kejahatan negara yang lahir dari kebijakan represif Asas Tunggal dan dieksekusi melalui rantai komando militer, ditandai dengan Pelanggaran HAM Berat yang sistematis berupa pembunuhan, penyiksaan, dan penghilangan paksa. Akuntabilitas yang diupayakan melalui Pengadilan HAM Ad Hoc terbukti dangkal dan cacat, gagal menjangkau komandan tingkat tinggi dan secara sengaja mengaburkan unsur sistematis. Kegagalan hukum ini pada akhirnya menghasilkan impunitas efektif bagi aktor-aktor komando.
Rekomendasi Politik dan Hukum
Untuk mewujudkan keadilan dan pemulihan bagi para korban, diperlukan komitmen politik dan hukum yang tegas:
- Pengakuan Resmi dan Penyelesaian Hukum:Pemerintah harus merevisi daftar kasus pelanggaran HAM berat masa lalu, memasukkan Tragedi Tanjung Priok 1984 ke dalam pengakuan resmi negara. Selain itu, pentingnya penegakan hukum yang adil dan penghormatan terhadap HAM harus ditekankan untuk mencegah terulangnya tragedi serupa.
- Pemulihan Korban yang Komprehensif:Mendesak mekanisme non-yudisial yang bersifat inklusif, transparan, dan adil, yang tidak didasarkan pada Ishlah koersif, untuk memastikan pemulihan yang komprehensif bagi korban. Pemulihan ini harus mencakup rehabilitasi sosial dan ekonomi untuk mengatasi dampak pengucilan dan diskriminasi yang dialami keluarga korban.
- Penuntasan Kasus Hilang:Upaya pencarian kebenaran mengenai nasib korban yang hilang dan jenazah yang dikuburkan secara rahasia harus dituntaskan sebagai bagian integral dari pemulihan hak-hak korban dan keluarga.
