Gerakan hak-hak perempuan di seluruh dunia telah mengalami evolusi signifikan, bergeser dari perjuangan yang terisolasi di tingkat nasional menjadi jaringan advokasi transnasional yang kompleks. Feminisme global hari ini bukan hanya sekadar ekspor ideologi dari satu belahan dunia ke belahan dunia lain. Sebaliknya, ia merupakan praktik yang bersifat lokal dan berinteraksi, di mana prinsip-prinsip universal tentang kesetaraan harus senantiasa diadaptasi dan dinegosiasikan ulang dengan realitas sosial, budaya, dan politik yang sangat beragam.
Perjuangan ini menghadapi tantangan mendasar: bagaimana menyatukan agenda global—seperti melawan Kekerasan Berbasis Gender (GBV) dan menuntut keadilan ekonomi—dengan kerangka lokal yang dipengaruhi oleh sejarah kolonialisme, struktur kasta, sistem hukum berbasis agama, dan patriarki yang mengakar. Analisis mendalam memerlukan kerangka teoritis yang mampu mengurai lapisan-lapisan penindasan yang berbeda ini, yang mengarah pada penggunaan lensa interseksionalitas sebagai fondasi analisis.
Lensa Interseksionalitas: Mengurai Kompleksitas Penindasan Struktural
Konsep Dasar dan Relevansi Global
Interseksionalitas, sebuah konsep yang dipopulerkan oleh Kimberlé Crenshaw, menyediakan kerangka penting untuk memahami mengapa pengalaman penindasan perempuan sangat bervariasi di seluruh dunia. Konsep ini menuntut agar para aktivis dan akademisi melihat dunia dengan lensa yang lebih luas, memahami kerentanan yang dialami setiap individu, dan memperjuangkan keadilan yang benar-benar inklusif. Interseksionalitas menegaskan bahwa penindasan melampaui gender saja, mencakup ras, kelas, kemampuan, status, identitas gender, dan seksualitas.
Dalam konteks global, feminisme kontemporer didefinisikan sebagai gerakan yang secara fundamental berupaya mengatasi penindasan interseksional melintasi berbagai batas identitas terpinggirkan. Dengan demikian, kerangka ini menjadi alat penting untuk menolak universalitas pengalaman perempuan dan mengakui bahwa perempuan dari kelompok berbeda mengalami sistem penindasan yang unik.
Patriarki dalam Konteks Interseksional
Patriarki, yang didefinisikan sebagai “sistem struktur dan praktik sosial di mana laki-laki mendominasi, menindas, dan mengeksploitasi perempuan,” bekerja di dua tingkatan: tingkat struktural (sistem ekonomi dan hukum) dan tingkat interpersonal (relasi antar-individu). Interseksionalitas menyempurnakan pemahaman ini dengan menyatakan bahwa tekanan patriarki dianggap setara dengan bentuk penindasan struktural lainnya, seperti rasisme, klasisme, dan kolonialisme.
Kenyataan ini memiliki implikasi strategis yang mendalam. Misalnya, perempuan Afrika-Amerika cenderung mengalami tekanan patriarki yang diperburuk oleh stigma rasisme dibandingkan dengan perempuan kulit putih. Hal ini menunjukkan bahwa tingkat penindasan berbeda secara signifikan tergantung pada identitas dan posisi sosial mereka. Oleh karena itu, strategi feminisme liberal yang berfokus utama pada reformasi kebijakan dan perundang-undangan untuk menjamin kesetaraan gaji atau akses pekerjaan dianggap tidak memadai di konteks global. Jika ketidaksetaraan adalah hasil dari penindasan yang berlapis—misalnya, kombinasi patriarki, klasisme, dan kolonialisme—maka hanya mengubah hukum tentang gaji tidak akan menghilangkan hambatan struktural yang dialami oleh perempuan dari kelompok ras atau kelas terpinggirkan. Pendekatan ini menuntut agar gerakan feminis global mengalihkan fokus dari sekadar menuntut akses ke pasar atau hukum, menjadi upaya yang lebih radikal dalam mencari reparasi struktural.
Kritik Pascakolonial: Tantangan terhadap Universalitas Feminisme
Gerakan feminisme global harus bergulat dengan kritik keras dari wacana pascakolonial, yang mempertanyakan klaim universalitas yang sering diasumsikan oleh feminisme yang berasal dari Global Utara.
Konflik Wacana dan Generalisasi
Terdapat penolakan kuat terhadap hegemoni narasi feminis yang secara historis hanya ditulis dari sudut pandang kelas tertentu, seringkali mengabaikan perbedaan kelas, ras, dan seksualitas yang mendalam di Global Selatan. Feminisme pascakolonial menekankan bahwa diskursus gerakan tidak boleh hanya menjadi reaksi terhadap lingkungan global atau disempitkan sebatas slogan “dominasi kulit putih terhadap kulit berwarna”. Pandangan yang menggeneralisasi semua “kulit berwarna” sebagai satu entitas universal justru berisiko melanggengkan logika kolonialisme itu sendiri. Tuntutan fundamental dari perspektif ini adalah mengalihkan fokus dari isu-isu personal (seperti penampilan) menuju pembongkaran sistem patriarki yang lebih luas dan struktural.
Kritik terhadap Bantuan Pembangunan dan Intervensi Asing
Interaksi dalam bentuk bantuan pembangunan internasional sering menciptakan dilema kontradiktif. Intervensi asing, seperti Program MAMPU di Indonesia, seringkali dilakukan dengan tujuan ganda: kemanusiaan dan peningkatan reputasi negara donor. Walaupun program pengarusutamaan gender (PUG) tersebut memberikan dukungan penting bagi pemerintah daerah melalui peraturan-peraturan baru untuk melindungi hak perempuan dan anak , implementasinya menghadapi kendala signifikan. Kendala ini terutama berasal dari adat, kebudayaan, dan penolakan kelompok lain di tingkat lokal, seperti yang terjadi di Kabupaten Lombok Timur.
Keberadaan resistensi lokal menunjukkan bahwa bantuan luar negeri, ketika memaksakan kerangka PUG tanpa negosiasi yang cermat, dapat dianggap sebagai bentuk neo-kolonialisme feminis. Program internasional (seperti UN Women dan CARE di India) dituntut untuk tidak hanya menerapkan solusi generik, tetapi harus secara efektif mengatasi diskriminasi yang diperparah oleh sistem sosial lokal seperti kasta dan sistem patrilineal. Keberhasilan adaptasi lokal bergantung pada kemampuan gerakan dan lembaga internasional untuk menyeimbangkan tuntutan norma global dengan pemeliharaan agensi budaya dan otoritas lokal.
Adaptasi Regional Terhadap Struktur Budaya Dan Politik (Studi Kasus)
Studi Kasus Asia Timur: Resiliensi Patriarki Konfusianisme
Gerakan feminisme di Asia Timur, khususnya Korea Selatan dan Jepang, menghadapi tantangan unik yang dipengaruhi oleh nilai-nilai Konfusianisme yang mengakar dan trauma historis.
Tantangan Budaya dan Sejarah
Di Korea Selatan, nilai-nilai Konfusianisme merupakan salah satu faktor utama yang menyebabkan stagnasi perkembangan feminisme, meskipun negara tersebut telah mengalami transformasi ekonomi yang luar biasa. Kesenjangan gender tetap bertahan; misalnya, meskipun upaya reformasi dilakukan, Jepang masih mencatat bahwa perempuan melakukan pekerjaan rumah tangga 3,6 kali lebih banyak daripada laki-laki. Ketidaksetaraan upah dan rendahnya representasi perempuan dalam kepemimpinan merupakan masalah struktural yang terlihat di Tiongkok dan Korea Selatan. Selain itu, gerakan hak perempuan di Korea Selatan dan wilayah lain juga terus menuntut akuntabilitas atas kejahatan perang historis, seperti sistem perbudakan seksual comfort women yang dilakukan Jepang.
Strategi Adaptasi Kontemporer
Menghadapi hambatan struktural ini, pendekatan feminisme liberal telah diterapkan, berfokus pada reformasi kebijakan dan perundang-undangan untuk menjamin kesetaraan gaji dan akses pekerjaan. Namun, perjuangan yang paling emosional dan berkelanjutan terlihat di tingkat akar rumput. Gerakan feminis di Korea Selatan menunjukkan intensitas yang luar biasa dan telah berlangsung lebih lama dari yang diperkirakan banyak orang, berjuang melawan kekerasan dan intimidasi online (termasuk isu spycam).
Secara diplomatik, Korea Selatan berupaya mengintegrasikan trauma historis mereka dengan kerangka perdamaian global melalui peluncuran kebijakan Action with Women and Peace pada tahun 2018. Inisiatif ini bertujuan untuk meningkatkan kontribusi perempuan dalam perdamaian, sejalan dengan agenda internasional UNSCR 1325 (Women, Peace and Security).
Studi Kasus Kawasan MENA: Negosiasi dalam Kerangka Hukum Agama
Adaptasi gerakan perempuan di Timur Tengah dan Afrika Utara (MENA) seringkali melibatkan negosiasi yang rumit dengan hukum Syariah dan tradisi yang mengakar, menghasilkan strategi internal yang berbeda dari oposisi eksternal.
Feminisme Islam dan Evolusi Wacana Fiqh
Pemikiran hukum Islam mengenai hak gender umumnya terbagi menjadi tiga wacana yang berbeda :
- Wacana Tradisionalis: Berasal dari teks fikih klasik, wacana ini secara apriori menerima ketidaksetaraan gender. Wanita seringkali digambarkan sebagai “makhluk seksual” dan hak-hak mereka hanya dibahas dalam konteks hukum keluarga.
- Wacana Neo-Tradisionalis: Berkembang melalui kodifikasi hukum modern di awal abad ke-20 di negara-negara muslim, namun wacana ini sebagian besar masih didasarkan pada bentuk ketidaksetaraan.
- Wacana Reformis: Muncul dalam dua dekade terakhir, wacana ini berfokus pada persamaan hak gender, menuntut reinterpretasi teks agama dan ijtihad untuk menciptakan kerangka hukum yang lebih setara.
Strategi feminisme reformis menunjukkan bahwa adaptasi paling efektif di kawasan ini adalah melalui engagement internal terhadap tradisi hukum, alih-alih oposisi total, dengan menolak pandangan wanita hanya sebagai “makhluk seksual.”
Table 1: Tiga Wacana Hukum Islam Mengenai Hak Gender
| Wacana Hukum | Basis/Periode Utama | Prinsip Utama Mengenai Hak Gender | Karakteristik Ketidaksetaraan |
| Tradisionalis | Teks Fikih Klasik | Wanita dipandang sebagai makhluk seksual, hak dibahas hanya dalam konteks hukum keluarga. | Diterima secara apriori, prinsip ketidaksetaraan. |
| Neo-Tradisionalis | Kodifikasi Hukum Modern (Awal Abad ke-20) | Hukum mengalami modernisasi, namun pandangan dasar tentang gender masih dipertahankan. | Masih didasarkan pada bentuk ketidaksetaraan. |
| Reformis | Dua Dekade Terakhir | Memperjuangkan persamaan hak gender (Equality) melalui interpretasi ulang teks/Ijtihad. | Berupaya mengatasi ketidaksetaraan. |
Resistensi Konfrontatif: Iran dan Woman, Life, Freedom
Di Iran, perlawanan perempuan bersifat konfrontatif terhadap otoritas negara. Perjuangan adalah respons terhadap kebijakan negara yang mengatur dan menindak keras pakaian perempuan, seperti hukum jilbab wajib. Gerakan seperti My Stealthy Freedom dan slogan Woman, Life, Freedom adalah hasil dari represi kekerasan selama beberapa dekade. Tujuannya adalah mentransformasi ruang lingkup pengaruh agama dengan membatasinya pada ranah privat, menantang otoritas negara atas moralitas publik. Perjuangan ini merupakan perjuangan eksistensial yang menghadapi risiko represi yang sangat tinggi.
Reformasi Top-Down: Arab Saudi Visi 2030
Sebaliknya, reformasi di Arab Saudi sebagian besar didorong dari atas (top-down) di bawah rencana Saudi Vision 2030. Perubahan ini dipicu oleh kebutuhan untuk mendiversifikasi ekonomi negara agar tidak lagi bergantung pada cadangan minyak, yang menuntut peningkatan partisipasi perempuan di sektor publik. Reformasi ini telah menghasilkan peningkatan signifikan dalam partisipasi perempuan di sektor ekonomi dan pendidikan, termasuk penghapusan sebagian sistem perwalian laki-laki. Namun, reformasi ini memiliki batasan yang jelas. Meskipun ada kemajuan kebijakan, hambatan dari norma budaya (Wahabisme) dan struktural (nepotisme) tetap membatasi agensi perempuan dan akses mereka ke peran kepemimpinan tinggi.
Terdapat kontradiksi yang mendasar di kawasan MENA: reformasi yang didorong oleh negara (seperti di Saudi) cenderung lebih stabil tetapi terbatas pada ranah ekonomi. Sementara itu, gerakan yang menentang negara (seperti di Iran) adalah gerakan yang menantang otoritas politik dan moral secara langsung, namun menghadapi risiko represi yang jauh lebih besar.
Interaksi Transnasional Dan Mekanisme Perubahan Global
Kerangka Hukum Internasional: CEDAW sebagai Instrumen Tekanan Normatif
Interaksi vertikal dalam feminisme global diwujudkan melalui kerangka hukum internasional. Konvensi Mengenai Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Wanita (CEDAW) menetapkan standar normatif global yang penting bagi hak-hak perempuan.
Kekuatan Normatif CEDAW
Prinsip utama CEDAW adalah bahwa negara-negara peserta tidak dapat menafikan kewajiban perbaikan peraturan dengan bersandarkan ketentuan hukum nasional mereka. Jika hukum nasional mengurangi pelaksanaan perjanjian internasional, hukum nasional wajib diubah. Ini memberikan tekanan normatif yang kuat kepada negara-negara untuk mengintegrasikan standar global ke dalam sistem domestik mereka.
Hambatan Implementasi di Tingkat Lokal
Meskipun kekuatan hukum CEDAW sangat besar, implementasinya di tingkat lokal seringkali terhambat oleh resistensi yang kompleks. Di Indonesia, misalnya, pelaksanaan CEDAW jauh lebih rumit karena melibatkan persoalan politik (transisi pemerintahan), sosial, agama, dan kebudayaan. Hukum nasional yang didukung oleh agama atau budaya yang kuat dapat berfungsi sebagai mekanisme pertahanan terhadap perubahan yang diamanatkan secara internasional. Semakin sentral peran agama atau adat dalam politik suatu negara, semakin tinggi biaya sosial dan politik yang diperlukan untuk mengimplementasikan CEDAW secara penuh.
Aktivisme Digital dan Jaringan Transnasional Gelombang Keempat
Interaksi horizontal antar-gerakan telah direvolusi oleh teknologi digital, yang mendefinisikan feminisme digital sebagai aktivisme yang terjalin dalam ekosistem media yang lebih besar untuk menantang ketidaksetaraan.
Transnasionalisme Digital dan Mobilisasi Akar Rumput
Aktivisme hashtag telah menjadi mekanisme mobilisasi cepat lintas batas. Fenomena #MeToo, yang dipicu oleh kasus di Hollywood, menyebar ke seluruh dunia dan digunakan oleh penyintas kekerasan seksual untuk bersuara lantang. Demikian pula, gerakan #NiUnaMenos (tidak satu pun kurang), yang berawal di Argentina, menjadi jaringan advokasi transnasional yang kuat untuk mengatasi femicide di kawasan Amerika Latin.
Gerakan digital ini menunjukkan adaptasi yang sukses di tengah budaya patriarki yang kental. Di India, #MeToo dengan cepat menjadi tren karena keterbukaan media, meningkatkan keberanian kaum perempuan untuk menyuarakan kekerasan domestik dan menuntut advokasi hukum yang sesuai.23 Jaringan advokasi transnasional digital ini berhasil menginternasionalisasi isu-isu yang sebelumnya dianggap personal atau tabu, seperti kekerasan seksual.
Tantangan dan Ambivalensi Ruang Digital
Meskipun digitalisasi mempercepat siklus perubahan normatif global, ia juga menghadirkan tantangan signifikan. Karakteristik media sosial yang cepat sering menyebabkan kompleksitas teori feminis dan perjuangan hak perempuan disederhanakan menjadi pesan singkat, sehingga kehilangan kedalaman intelektualnya.
Selain itu, partisipasi audiens seringkali hanya bersifat performatif—sekadar “like” atau “share” tanpa pemahaman yang mendalam tentang esensi perjuangan. Yang lebih mengkhawatirkan, ruang digital menjadi arena pertempuran narasi, memfasilitasi globalisasi resistensi dan misogini, seperti penyebaran anti-feminisme. Isu baru seperti Kekerasan Berbasis Gender Online (GBV Online) kini menjadi masalah global yang menyoroti kebutuhan mendesak untuk kolaborasi lintas-sektor guna memastikan ruang digital menjadi sarana pemberdayaan, bukan ancaman.
Table 3: Mekanisme Interaksi Transnasional: Hukum vs. Digital
| Mekanisme Interaksi | Contoh Utama | Keuntungan Lintas Batas | Tantangan Lintas Batas |
| Hukum Internasional (Top-Down) | CEDAW, UNSCR 1325. | Menciptakan standar normatif global; Kewajiban hukum untuk mengubah undang-undang nasional. | Resistensi politik/budaya/agama lokal; Implementasi yang lambat. |
| Aktivisme Digital (Bottom-Up) | #MeToo , #NiUnaMenos. | Penyebaran cepat dan inklusif; Peningkatan keberanian bersuara (mengubah perspektif budaya). | Risiko penyederhanaan isu (kehilangan kedalaman); Partisipasi performatif; Backlash (GBV Online). |
Kolaborasi Melawan Isu Global Krusial
UN Women berperan penting dalam memimpin kolaborasi global, menggunakan platform seperti Hari Perempuan Internasional dan 16 Hari Aksi untuk menggalang dukungan melawan Kekerasan Berbasis Gender. Upaya ini harus beradaptasi dengan kondisi lokal. Di India, UN Women bekerja sama dengan pemerintah dan LSM untuk mengatasi kekerasan terkait praktik dowry (mahar), menunjukkan upaya serius untuk mengatasi norma budaya yang sudah lama tertanam dan sulit diberantas. Selain GBV, perjuangan global terus fokus pada isu-isu keadilan ekonomi, terutama mengatasi kesenjangan upah yang terus berlanjut, dan peningkatan representasi politik perempuan di posisi kepemimpinan.
Sintesis Analisis Dan Proyeksi
Sintesis Analisis: Dinamika Adaptasi dan Interaksi
Perjuangan feminisme global adalah upaya negosiasi yang berkelanjutan antara tuntutan universal (kesetaraan hak asasi manusia) dan realitas partikularistik (budaya, sejarah, dan struktur penindasan lokal).
Efektivitas gerakan global secara fundamental bergantung pada kemampuan mereka untuk mengadaptasi kerangka interseksional—yang mengatasi ras, kelas, dan kolonialisme—sambil menghormati dan bekerja dalam batas-batas lokal. Hal ini terlihat dari keberhasilan wacana Fiqh Reformis dalam menciptakan perubahan hukum di MENA, dan strategi program PUG yang harus menavigasi resistensi adat dan budaya di Asia Tenggara.
Namun, kemajuan seringkali bersifat ambivalen. Percepatan reformasi yang didorong oleh motif ekonomi (seperti Visi 2030 di Arab Saudi) tidak selalu diterjemahkan menjadi keadilan sosial yang mendalam atau penghapusan patriarki kultural yang lebih tersembunyi. Selain itu, pola perlawanan yang berhasil, seperti yang terlihat di Korea dan Iran, adalah gerakan yang mampu mempertahankan intensitas perjuangan dalam jangka waktu yang lama, meskipun menghadapi harga yang mahal berupa intimidasi online dan represi negara.
Kesimpulan
Perjuangan feminisme global ditandai oleh dua sumbu utama: adaptasi strategis terhadap keragaman budaya dan peningkatan interaksi transnasional yang difasilitasi oleh hukum dan teknologi. Keberlanjutan perjuangan ini membutuhkan strategi yang sangat bernuansa, yang mampu mengatasi lapisan-lapisan penindasan secara simultan.
Table 2: Adaptasi Lintas Budaya: Studi Kasus Regional dan Tantangan Struktural
| Wilayah | Tantangan Struktural Utama | Strategi Adaptasi Feminis | Contoh Gerakan/Reformasi |
| Asia Timur (Korsel, Jepang) | Patriarki Konfusianisme, trauma perang (comfort women), kesenjangan upah struktural. | Fokus pada reformasi hukum (Feminisme Liberal) dan tuntutan akuntabilitas sejarah (UNSCR 1325). | Action with Women and Peace (Korsel); Perjuangan melawan kekerasan spycam. |
| Kawasan MENA (Iran, Saudi) | Hukum agama dan tradisi (Syariah/Wahabisme), represi negara, sistem perwalian. | Negosiasi wacana hukum (Reformis Fiqh); Aktivisme resistensi langsung (penghapusan hukum wajib). | Gerakan Woman, Life, Freedom (Iran); Reformasi Visi 2030 (Saudi). |
| Global Selatan (India, Indonesia) | Kasta, Patrilineal, kekerasan dowry, resistensi adat, tantangan intervensi pembangunan. | Mobilisasi transnasional digital; Kolaborasi dengan institusi global (UN Women) yang dilokalisasi. | Gerakan #MeToo India; Program PUG (MAMPU) di Indonesia. |
Strategi harus diinternalisasi untuk memastikan keberlanjutan perubahan. Hal ini mencakup:
- Mendukung Wacana Reformis: Secara aktif mendukung kelompok feminis Islam yang menggunakan metodologi ijtihad untuk menciptakan kerangka kesetaraan hak gender dalam konteks hukum agama, alih-alih hanya mengedepankan oposisi sekuler.
- Memprioritaskan Agensi Lokal: Memastikan bahwa program pengarusutamaan gender (PUG) dan bantuan pembangunan yang didanai secara internasional dipimpin dan dirancang oleh agensi lokal. Hal ini penting untuk mengatasi resistensi yang berasal dari adat dan budaya, menjadikan intervensi sebagai kolaborasi yang sah, bukan sebagai mandat neo-kolonial.
Untuk memaksimalkan dampak interaksi global, mekanisme hukum dan digital harus diperkuat:
- Meningkatkan Implementasi CEDAW: Mengembangkan strategi implementasi CEDAW yang secara eksplisit mengatasi mekanisme pertahanan politik dan budaya/agama di tingkat domestik, mengakui bahwa tekanan hukum saja tidak cukup untuk mengubah norma sosial yang mengakar.
- Mengatasi GBV Online: Menggalang kolaborasi internasional yang mendesak untuk mengembangkan kerangka kerja lintas batas dalam memerangi Kekerasan Berbasis Gender Online, memastikan bahwa platform digital yang memfasilitasi aktivisme tidak juga menjadi ruang yang aman bagi misogini dan pelecehan.
