Abad ke-21 secara luas diakui sebagai “masa emas” bagi kemajuan teknologi manusia. Dalam dekade ini, Kecerdasan Buatan (AI) telah muncul sebagai inovasi yang paling revolusioner, namun pada saat yang sama, paling kontroversial. AI telah melampaui ranah fiksi ilmiah dan kini menjadi bagian integral dari kehidupan sehari-hari, mengatur algoritma informasi, dan secara signifikan memengaruhi keputusan politik serta ekonomi global.
Perkembangan AI telah melewati berbagai fase historis, dimulai dari konferensi Dartmouth pada tahun 1956 yang dipimpin oleh John McCarthy. Evolusi berlanjut melalui symbolic AI pada tahun 1960-an, hingga terobosan besar yang didorong oleh machine learning dan deep learning sejak tahun 2010-an, yang memberikan peningkatan eksponensial dalam kapabilitas komputasi modern. Meskipun tujuan awal pengembangan AI adalah untuk membantu manusia bekerja lebih efisien, kompleksitasnya saat ini telah memunculkan paradigma baru mengenai peran AI dalam memengaruhi kehidupan di level nasional maupun internasional, menimbulkan pertanyaan mendasar mengenai keamanannya.
Mendefinisikan AI dalam Konteks Global
Dalam kerangka teknis, AI didefinisikan sebagai sistem atau mesin yang dirancang untuk mensimulasikan kognisi manusia. Tugas-tugas yang biasanya memerlukan kecerdasan manusia yang dapat dilakukan oleh AI meliputi pembelajaran (learning), pemecahan masalah (reasoning), pemahaman bahasa (language understanding), dan pengenalan pola (pattern recognition). Secara spesifik, AI bukan hanya sekadar program otomatis, melainkan sistem yang mampu memproses informasi, belajar dari pengalaman, dan menyesuaikan perilakunya guna mencapai hasil yang lebih baik.
Dari perspektif Hubungan Internasional (IR), AI bertransformasi menjadi elemen kekuatan nasional yang kritis. AI kini dianggap sebagai variabel struktural yang memiliki potensi untuk mengubah sifat dasar sistem internasional yang anarkis. Peran AI tidak hanya terbatas pada alat teknis, tetapi meluas sebagai penentu utama dalam persaingan geopolitik, stabilitas strategis, dan tata kelola global.
Tesis Utama dan Struktur Laporan
Laporan ini berargumen bahwa perkembangan Kecerdasan Buatan menciptakan paradoks geopolitik yang mendalam. Di satu sisi, AI menawarkan manfaat substansial dalam efisiensi pertahanan dan keamanan siber. Namun, di sisi lain, teknologi ini memicu kompetisi hegemonik yang intens, memperburuk risiko ketidakstabilan krisis, dan secara struktural menuntut arsitektur tata kelola global yang adil dan inklusif. Analisis komprehensif ini akan mengupas tantangan-tantangan ini melalui lensa teori-teori IR, dinamika keamanan, transformasi diplomasi, dan persaingan geopolitik utama.
Kerangka Teoritis: AI Melawan Paradigma IR
Realisme dan Neorealisme: Pendorong Dilema Keamanan
Neorealisme menyediakan kerangka analitis yang kuat untuk memahami implikasi AI dalam politik internasional. Pendekatan ini berasumsi bahwa struktur sistem internasional yang anarkis—tanpa adanya otoritas pusat yang lebih tinggi—memaksa negara (sebagai aktor rasional utama) untuk bertindak secara agresif atau skeptis. Negara-negara berusaha memaksimalkan keuntungan relatif mereka demi mempertahankan keamanan dan kepentingan nasional.
Dalam konteks AI, teknologi ini diinterpretasikan sebagai kemampuan militer dan ekonomi utama yang harus diakumulasi (power accumulation). Persaingan dalam pengembangan AI adalah manifestasi klasik dari perebutan kekuasaan yang didorong oleh struktur anarkis. Jika satu negara berhasil mengembangkan kapabilitas AI yang lebih unggul untuk pertahanan militer mereka, negara-negara lain merasa terpaksa untuk bersaing, menciptakan spiral Perlombaan Senjata Berbasis Kecerdasan Buatan (AI Arms Race), yang merupakan esensi dari dilema keamanan.
AI, khususnya melalui Sistem Senjata Otonom Mematikan (LAWS), memperkenalkan kecepatan yang belum pernah terjadi sebelumnya ke dalam dinamika dilema keamanan. Kecepatan otonom ini secara radikal mengurangi waktu refleksi manusia dalam proses pengambilan keputusan militer. Penurunan waktu untuk menganalisis dan memutuskan dapat meningkatkan risiko eskalasi yang tidak disengaja dalam situasi krisis. Oleh karena itu, AI tidak hanya memperkuat sifat anarkis dari sistem internasional, tetapi juga membuatnya menjadi lebih cepat dan lebih rentan terhadap ketidakstabilan krisis (crisis instability).
Liberalisme: Kolaborasi dan Pembentukan Norma Global
Berbeda dengan fokus Realisme pada kekuatan, Liberalisme melihat AI bukan semata sebagai alat dominasi, tetapi sebagai peluang signifikan untuk kerja sama internasional dan pembentukan norma global. Kaum Liberal berpegangan pada keyakinan bahwa stabilitas dan keamanan dapat dicapai melalui institusi internasional, interdependensi ekonomi, dan penegakan nilai demokrasi, melebihi sekadar kekuatan militer.
Dalam konteks ini, AI menandai babak baru dalam politik dunia di mana diplomasi, etika, dan kolaborasi menjadi fondasi utama strategi global. Upaya kolektif, seperti inisiatif Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) untuk mendorong aturan global yang inklusif dan berbasis kerja sama, serta pengembangan kerangka regulasi komprehensif seperti European Union AI Act (EU AI Act) , adalah manifestasi dari dorongan Liberal untuk menciptakan institusi yang mengatur teknologi baru ini demi kepentingan bersama.
Konstruktivisme: Membentuk Identitas dan Norma Digital
Konstruktivisme menawarkan perspektif yang berharga dengan berfokus pada bagaimana gagasan, identitas, dan norma dibentuk melalui interaksi sosial dan wacana. Dalam era digital, AI berperan penting dalam proses ini, terutama melalui algoritma.
Algoritma dalam platform media sosial dan mesin pencari awalnya ditujukan untuk personalisasi dan efisiensi. Namun, mereka telah berubah menjadi “filter” yang membatasi keterpaparan individu terhadap dunia, menciptakan filter bubble. Yang lebih penting, algoritma ini secara tidak langsung bertindak sebagai agen kebijakan luar negeri, karena mereka menyaring dan menyesuaikan konten berdasarkan lokasi atau minat pengguna (misalnya, orang Amerika dan Israel yang mencari berita tentang Mesir dapat dihadapkan pada konten yang sama sekali berbeda).
Hal ini membawa implikasi besar: persepsi suatu negara (Selfie nasional) tidak lagi sepenuhnya dikontrol oleh Kementerian Luar Negeri (MFA) dan diplomat, melainkan diintervensi oleh struktur algoritmik yang dimiliki oleh korporasi teknologi global. Algoritma bukan sekadar alat teknis, melainkan bagian dari proses bagaimana budaya diperkenalkan secara global. Fenomena ini menggeser fokus teori Konstruktivisme IR, di mana interaksi antarnegara kini harus mempertimbangkan interaksi kritis antara manusia, mesin (algoritma), dan negara, membentuk dan mendefinisikan identitas global di era digital.
AI dan Transformasi Keamanan Global
Perlombaan Senjata Otonom (LAWS) dan Hilangnya Kontrol Manusia
AI memberikan dimensi baru yang kontroversial dalam konteks keamanan. Dalam fungsi represif, AI dapat berperan sebagai senjata , terutama melalui pengembangan Sistem Senjata Otonom Mematikan (LAWS). Senjata otonom didefinisikan sebagai sistem yang dapat bertindak dengan sedikit atau bahkan tanpa kontrol dan masukan manusia sama sekali.
Persaingan dalam pengembangan LAWS ini menimbulkan dilema etika yang mendalam di tingkat internasional. Negara-negara besar seperti Amerika Serikat, Rusia, dan Tiongkok secara aktif bersaing untuk mengembangkan teknologi AI untuk pertahanan mereka, menciptakan tekanan kompetitif pada negara lain untuk melakukan hal yang sama.
Sekretaris Jenderal PBB telah memperingatkan Dewan Keamanan bahwa AI berisiko memicu konflik dan ketidakstabilan jika tidak diatur, dan menekankan bahwa “nasib kemanusiaan tidak dapat diserahkan kepada algoritma”. Oleh karena itu, menjaga kontrol manusia yang bermakna atas penggunaan kekuatan adalah salah satu prioritas global utama dalam tata kelola AI.
Dinamika Instabilitas Krisis (Crisis Instability)
Meskipun mesin otonom menawarkan keunggulan tak tertandingi dalam kecepatan, presisi, dan tindakan yang dapat diulang, sistem AI saat ini tidak dapat mendekati kecerdasan manusia dalam memahami konteks dan beradaptasi secara fleksibel terhadap situasi baru (brittleness).
Dalam situasi krisis pra-konflik, di mana ketegangan antarnegara sangat tinggi, delegasi pengambilan keputusan yang mematikan dari manusia ke mesin dapat menciptakan pasukan yang kurang fleksibel dan rentan terhadap kesalahan interpretasi. Kecepatan yang dipersenjatai oleh AI secara efektif memperpendek Siklus OODA (Observe, Orient, Decide, Act) di lingkungan militer. Jika keputusan otonom harus diambil dalam milidetik di tengah ambiguitas, risiko kesalahan perhitungan dan eskalasi yang tidak dapat diubah meningkat drastis. Hal ini memiliki efek merugikan pada stabilitas krisis dan manajemen eskalasi, yang mengubah ambang batas konflik menjadi jauh lebih rendah.
Doktrin Peperangan Cerdas Tiongkok (Intelligentized Warfare)
Kompetisi geopolitik dalam AI diwujudkan paling jelas dalam persaingan antara AS dan Tiongkok. Kepemimpinan Tiongkok telah menunjukkan komitmen untuk memajukan konsep kecerdasan buatan, yang telah dimasukkan ke dalam strategi pertahanan nasionalnya.
Dalam upaya membangun kapasitas militer kelas dunia, pemerintah Tiongkok berencana menggunakan AI yang diterapkan pada berbagai sistem dan senjata tak berawak dengan operasi otonom terpusat. Presiden Xi Jinping telah menekankan pentingnya mempercepat Tentara Pembebasan Rakyat (PLA) menjadi tentara kelas dunia melalui pengembangan strategi dan taktik baru serta penelitian karakteristik perang terkomputerisasi dan cerdas. Tiongkok berjanji untuk meningkatkan proporsi pasukan domain baru dengan kemampuan tempur baru, mempercepat pengembangan kemampuan tempur tak berawak dan cerdas, serta mendorong pengembangan dan penerapan sistem informasi jaringan yang terkoordinasi. Taktik strategis Tiongkok ini bertujuan untuk menyalip AS dan memegang kepemimpinan global AI hingga tahun 2030, didorong oleh motif akumulasi kekuatan militer dan ekonomi.
Keamanan Siber (Cybersecurity) dan AI
AI memiliki peran ganda dalam domain keamanan internasional: sebagai perisai dan sebagai ancaman.
Sebagai perisai, AI menawarkan manfaat signifikan dalam keamanan siber. Laporan menunjukkan bahwa organisasi yang menggunakan AI keamanan secara luas dapat mengurangi biaya pelanggaran data secara substansial (misalnya, sebesar US$2,2 juta per pelanggaran data). AI dapat mengotomatisasi tugas-tugas yang biasanya dilakukan oleh analis keamanan, seperti pemantauan log, peringkasan peringatan, dan pengelolaan *patch*, yang diperkirakan dapat menghemat US$112 miliar per tahun secara global. AI juga dapat memberikan isolasi data tingkat perangkat keras untuk memitigasi risiko pencurian atau gangguan.
Namun, AI juga merupakan ancaman. AI dapat menyerang semua sistem utama pada gadget sipil maupun militer. Kemampuan komputasi yang tinggi memungkinkan AI untuk memfasilitasi serangan siber yang lebih kompleks dan terkoordinasi pada infrastruktur kritis, yang dapat mengganggu stabilitas negara secara politik, ekonomi, dan sosial.
Diplomasi di Era Algoritmik dan Kekuatan Lunak Digital
Diplomasi Algoritmik dan Fenomena Filter Bubble
Di zaman algoritma, teknologi telah menjadi semakin penting bagi diplomat dan Kementerian Luar Negeri (MFA) yang mempraktikkan diplomasi digital. Meskipun awalnya dirancang untuk personalisasi, algoritma telah berevolusi menjadi “filter” yang membatasi paparan konten.
Fenomena filter bubble ini merupakan tantangan signifikan bagi upaya diplomasi digital. MFA yang menggunakan media sosial untuk mengomunikasikan kebijakan luar negeri atau mengelola citra nasional (Selfie nasional) mungkin hanya dapat menjangkau sebagian kecil dari populasi target mereka. Orang-orang yang tidak menunjukkan minat eksplisit pada kebijakan luar negeri atau yang tidak berinteraksi dengan profil MFA mungkin tidak akan pernah melihat konten tersebut.
Oleh karena itu, diplomat kontemporer membutuhkan keterampilan digital baru, seperti bubble bursting—kemampuan untuk menembus saringan algoritmik—dan pemahaman yang lebih mendalam tentang cara operasi algoritma. Lebih jauh, pembuat algoritma dapat memengaruhi cara orang memandang negara asing, karena hasil penelusuran dapat disesuaikan berdasarkan faktor lokasi, yang berpotensi membelokkan persepsi publik dan tujuan diplomatik.
AI sebagai Media Baru Diplomasi Budaya (Soft Power)
AI tidak hanya mengubah proses kebijakan, tetapi juga mekanisme Kekuatan Lunak (Soft Power). Platform yang didorong oleh algoritma seperti TikTok menunjukkan bahwa diplomasi budaya meluas dari ruang konferensi ke layar ponsel.
Dalam konteks ini, algoritma bukan hanya sekadar alat teknis, melainkan bagian dari proses fundamental bagaimana budaya suatu negara diperkenalkan dan diterima secara global. Sebuah video singkat dapat memberikan kontribusi besar pada citra suatu negara. Diplomasi budaya di era digital ini menuntut cara pandang baru, melihat interaksi sederhana di media sosial sebagai bagian dari dinamika Hubungan Internasional yang lebih luas.
Dari sudut pandang liberalisme, AI dilihat sebagai peluang, di mana teknologi menjadi bahasa global yang mempromosikan kolaborasi, etika, dan pembentukan norma-norma bersama.7
AI dalam Analisis Kebijakan Luar Negeri Prediktif
Pemanfaatan AI dan big data telah menjadi langkah revolusioner dalam pengambilan kebijakan, termasuk dalam domain kebijakan luar negeri dan pertahanan. Prinsip “Data yang Baik, Keputusan yang Baik” (Good Data, Good Decision) menjadi kunci utama karena AI memungkinkan pemerintah membuat keputusan yang lebih akurat, efisien, dan berbasis bukti.
Di sektor pemerintahan, AI dapat membuat prediksi yang lebih baik, menyederhanakan pengambilan keputusan, dan meningkatkan kualitas hidup warga. Aplikasi AI dalam analisis kebijakan luar negeri prediktif memungkinkan pemerintah global untuk menetapkan tata kelola yang jelas dan mendanai penelitian AI secara tepat.
Namun, jika kebijakan luar negeri semakin bergantung pada sistem prediktif berbasis data, kontrol atas data (siapa yang mengumpulkan, melatih, dan memiliki model AI) menjadi aset geopolitik yang sangat krusial. Negara yang menguasai ekosistem data global akan memperoleh keunggulan strategis yang signifikan dalam memprediksi konflik atau mengarahkan hasil diplomatik, menciptakan bentuk baru hegemoni berbasis data (data-hegemony).
Geopolitik dan Persaingan Hegemoni AI: AS, Tiongkok, dan Uni Eropa
Kompetisi Bipolaritas AI (The Tech Cold War)
Persaingan untuk kepemimpinan global dalam bidang AI didominasi oleh Amerika Serikat dan Tiongkok. Analisis menunjukkan bahwa kompetisi ini sebagian besar didorong oleh motif akumulasi kekuatan (power accumulation), baik dalam dimensi ekonomi maupun militer. Kedua negara saling bersaing untuk mengembangkan dan memanfaatkan teknologi AI terbaik untuk pertahanan mereka.
Strategi pertahanan AS di kawasan Indo-Pasifik, misalnya, dirancang secara eksplisit untuk melindungi kepentingan dan menjaga stabilitas kawasan dalam menghadapi ancaman kekuatan Tiongkok. Kompetisi ini mencerminkan dinamika Realis klasik di mana distribusi kemampuan dan keamanan nasional dipertaruhkan.
Strategi Regulasi Uni Eropa: Pendekatan Berbasis Nilai
Uni Eropa (UE) telah mengambil pendekatan yang berbeda dalam persaingan AI, dengan memfokuskan pada pembangunan kerangka regulasi berbasis nilai. EU AI Act (Regulation (EU) 2024/1689) adalah kerangka hukum komprehensif pertama di dunia yang bertujuan menumbuhkan AI yang terpercaya, menjamin keselamatan, hak fundamental, dan AI yang berpusat pada manusia di seluruh blok.
Pilar utama dari EU AI Act adalah pendekatan berbasis risiko yang menetapkan kewajiban ketat bagi pengembang dan pengguna AI berisiko tinggi sebelum sistem dapat dipasarkan.9 Kasus penggunaan diklasifikasikan sebagai berisiko tinggi jika menimbulkan risiko serius terhadap kesehatan, keselamatan, atau hak-hak fundamental.
Sistem AI berisiko tinggi dikenakan serangkaian kewajiban ketat, termasuk: kualitas dataset yang tinggi untuk meminimalkan risiko diskriminatif; pencatatan aktivitas untuk memastikan ketertelusuran; dokumentasi rinci; informasi yang memadai kepada pengguna; dan penerapan langkah-langkah pengawasan manusia yang sesuai (appropriate human oversight measures).
Tabel Esensial 1: Klasifikasi Risiko Utama EU AI Act dan Implikasi IR
| Kategori Risiko | Contoh Kasus Penggunaan IR Relevan | Kewajiban Regulasi Utama | 
| Risiko Tidak Dapat Diterima (Prohibited) | Sistem pemeringkatan sosial oleh pemerintah; sistem manipulasi subliminal untuk memengaruhi pemilih. | Pelarangan Mutlak. | 
| Risiko Tinggi (High-Risk) | Komponen keselamatan AI dalam infrastruktur kritis (misalnya, transportasi); alat AI dalam manajemen perbatasan/suaka; sistem penegakan hukum (evaluasi keandalan bukti). | Sistem penilaian risiko, kualitas dataset tinggi, pengawasan manusia, akurasi tinggi, pencatatan aktivitas. | 
| Risiko Terbatas (Limited Risk) | Chatbots; sistem yang menghasilkan deepfakes. | Kewajiban Transparansi Sederhana (Pengguna harus diberitahu bahwa mereka berinteraksi dengan AI). | 
| Risiko Minimal (Minimal Risk) | Filter spam, permainan AI. | Tidak Ada Kewajiban Khusus (Kepatuhan Sukarela). | 
Pergeseran Tren Global: Inovasi vs. Regulasi
Tren kebijakan global baru-baru ini menunjukkan adanya pergeseran penting dari fokus tunggal pada pengelolaan risiko konsumen menuju pandangan yang menerima AI sebagai mesin pertumbuhan ekonomi. Pergeseran ini terlihat di Amerika Serikat dan Jepang.
Amerika Serikat, di bawah pemerintahan baru, memprioritaskan inovasi, yang terlihat dari penghapusan pembatasan terhadap aliran microchips paling kuat (Aturan Difusi AI) dan perubahan nama AI Safety Institute menjadi Center for AI Standards and Innovation. Jepang juga mengadopsi regulasi ringan (light-touch regulations) yang berfokus pada dukungan pemerintah untuk memacu inovasi, menandakan keberangkatan dari legislasi AI yang terlalu luas.
Pergeseran ini menantang pengaruh regulasi UE (Brussels Effect). Uni Eropa sendiri telah menginvestasikan 200 miliar euro melalui AI Continent Action Plan, dengan 20 miliar euro dialokasikan untuk pabrik AI (AI gigafactories), mencerminkan kekhawatiran untuk tidak tertinggal secara ekonomi. Disparitas investasi AI global (AS berinvestasi lebih dari 109 miliar USD pada tahun 2024, berbanding terbalik dengan UE yang kurang dari 20 miliar USD) semakin memicu kekhawatiran UE ini. Situasi ini menunjukkan bahwa kompetisi AI global bukan hanya tentang siapa yang memiliki teknologi terbaik, tetapi model tata kelola mana—Tekno-Otoritarian Tiongkok, Liberal-Inovatif AS, atau Etika-Berbasis-Regulasi UE—yang akan mendominasi dan membentuk masa depan ekonomi digital global.
Tantangan Etis, Kedaulatan Digital, dan Tata Kelola Inklusif
Risiko Etis Sentral: Bias Algoritmik dan Ketidakadilan Global
Salah satu risiko terbesar dari AI adalah bias algoritmik. Bias ini terjadi ketika sistem AI merefleksikan atau memperkuat bias sosioekonomi, ras, dan gender yang sudah ada dalam data pelatihan. Penerapan AI dalam pengambilan kebijakan menghadapi tantangan ini, yang dapat menghasilkan keputusan yang tidak adil jika model dilatih dengan data yang bias.
Beberapa jenis bias memiliki implikasi IR yang serius:
- Prejudice Bias: Terjadi ketika stereotip dan asumsi sosial yang salah diserap ke dalam dataset, misalnya, dalam sistem yang berkaitan dengan pekerjaan atau sistem penegakan hukum.
- Out-group Homogeneity Bias: Algoritma yang dilatih dengan data yang didominasi oleh satu kelompok mungkin kurang mampu membedakan individu dari kelompok minoritas. Hal ini dapat menyebabkan bias rasial atau misklasifikasi dalam sistem pengawasan atau imigrasi.
- Sample/Selection Bias: Terjadi ketika data yang digunakan untuk melatih model tidak cukup besar, tidak representatif, atau terlalu tidak lengkap.
Bias algoritmik dalam sistem pengawasan atau kebijakan luar negeri dapat mengarah pada keputusan yang tidak adil secara sistemik, memperburuk ketidaksetaraan layanan, dan berpotensi menyebabkan manipulasi sosial melalui algoritma AI.
Kedaulatan Digital dan Aspirasi Global South
Negara-negara Global South menghadapi paradoks digital: mereka menunjukkan tingkat adopsi teknologi AI yang tinggi, tetapi tingkat pengembangan AI yang relatif rendah. Hal ini menimbulkan tantangan besar terhadap kedaulatan digital dan berisiko memperburuk polarisasi ekonomi digital.
Bagi Indonesia, dibutuhkan strategi kedaulatan teknologi yang komprehensif untuk mengatasi kendala utama, termasuk kesiapan regulasi, pengembangan tenaga kerja terampil, infrastruktur komputasi yang memadai, dan kesiapan sektor publik. Mencapai kedaulatan AI sangat penting untuk memberdayakan negara, mendorong transformasi digital, dan mencapai pertumbuhan ekonomi.
Dalam konteks diplomasi normatif, Indonesia telah berkomitmen untuk memimpin dialog dengan negara-negara Global South untuk memperkuat kolaborasi dalam merancang regulasi AI yang adil dan berdaulat di tingkat regional. Wakil Menteri Komunikasi dan Digital Indonesia, Nezar Patria, telah mengumumkan usulan untuk menjadi tuan rumah UNESCO Global Forum for Ethics of AI pada tahun 2026, yang bertujuan mendiskusikan kedaulatan AI dan peran jurnalisme di tengah disrupsi AI. Upaya ini adalah bentuk diplomasi yang berusaha menutup kesenjangan kapasitas AI global dan memastikan bahwa kerangka regulasi tidak hanya mencerminkan kepentingan ekonomi atau keamanan negara-negara maju, tetapi juga mempertimbangkan konteks lokal, etika, dan keadilan bagi negara-negara berkembang.
Arsitektur Tata Kelola Multilateral Global
Mengingat sifat transformatif AI, Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) memainkan peran sentral dalam mendorong kerja sama dunia untuk tata kelola AI. PBB menekankan perlunya kerangka regulasi global yang koheren, sejalan dengan perlindungan Hak Asasi Manusia (HAM).
Sekretaris Jenderal PBB António Guterres telah mengidentifikasi empat prioritas mendesak untuk tata kelola global :
- Memastikan kontrol manusia yang bermakna atas penggunaan kekuatan (LAWS).
- Membangun kerangka regulasi global yang koheren.
- Melindungi integritas informasi, khususnya melawan deepfakes yang dapat memicu polarisasi atau krisis diplomatik.
- Menutup kesenjangan kapasitas AI di antara negara-negara.
Inisiatif kerja sama multilateral, seperti Panel dan Dialog AI dalam Global Digital Compact (dipimpin bersama oleh Kosta Rika dan Spanyol), bertujuan untuk membentuk Panel Ilmiah Internasional Independen tentang AI guna mendorong dialog global mengenai cara mengatur teknologi ini.
Kesimpulan
AI telah menjadi variabel struktural yang menentukan arah Hubungan Internasional abad ke-21. Analisis ini menyimpulkan adanya tiga dinamika utama:
- Dilema Keamanan yang Dipercepat: Berdasarkan kerangka Realisme, AI memperburuk sifat anarki dengan memicu perlombaan senjata hegemonik (AS-Tiongkok) dan, yang lebih kritis, memperkenalkan ketidakstabilan krisis melalui delegasi keputusan yang cepat dan tanpa konteks kepada mesin.
- Dualitas Tata Kelola Global: Terdapat ketegangan mendasar antara model Liberal-Etis UE (fokus pada risiko) dan model Liberal-Inovatif AS/Jepang (fokus pada pertumbuhan ekonomi). Tren global cenderung bergeser ke arah inovasi, menantang pengaruh UE.
- Kesenjangan Kedaulatan Digital: AI menciptakan polarisasi ekonomi dan kapasitas, menempatkan negara-negara Global South dalam posisi yang rentan, meskipun mereka secara aktif memimpin diplomasi normatif untuk menuntut regulasi yang adil dan kedaulatan teknologi.
Tabel Esensial 2: Perbandingan Pendekatan Geopolitik terhadap Tata Kelola AI
| Kekuatan Utama | Filosofi Dominan | Fokus Regulasi Utama | Motif Geopolitik | 
| Amerika Serikat | Liberal-Inovatif | Prioritas Inovasi dan Keunggulan Kompetitif. | Mempertahankan hegemonitas teknologi dan militer global. | 
| Tiongkok | Tekno-Otoritarian | Integrasi AI ke dalam sistem pertahanan (Intelligentized Warfare) dan pengawasan domestik. | Akumulasi kekuasaan militer/ekonomi; kepemimpinan global 2030. | 
| Uni Eropa | Liberal-Etis | Regulasi Berbasis Risiko (EU AI Act); Hak Fundamental. | Menjadi pembuat standar global (Brussels Effect) melalui nilai dan etika. | 
| Global South | Kedaulatan Digital | Regulasi yang Adil, Inklusif, dan Kedaulatan Data Regional. | Menutup kesenjangan kapasitas dan mencegah polarisasi ekonomi digital. | 
Untuk memitigasi risiko struktural dan memastikan bahwa AI berfungsi sebagai alat stabilisasi daripada destabilisasi, para pembuat kebijakan strategis perlu mengambil langkah-langkah berikut:
- Mendorong Traktat Kontrol Senjata Otonom: Pemerintah harus secara aktif mendukung inisiatif multilateral yang bertujuan untuk menciptakan kerangka kontrol senjata AI global, khususnya yang secara eksplisit menegaskan perlunya Meaningful Human Control (Kontrol Manusia yang Bermakna) atas Sistem Senjata Otonom Mematikan (LAWS). PBB harus didukung untuk memimpin upaya ini.
- Investasi Prioritas dalam Kedaulatan Data: Negara-negara Global South harus memandang AI sebagai isu kedaulatan. Ini memerlukan investasi signifikan dalam pembangunan infrastruktur komputasi, pengembangan model AI lokal, dan pelatihan SDM yang terampil untuk memastikan sistem AI beroperasi berdasarkan data yang representatif dan bebas dari bias eksternal.
- Penguatan Kapabilitas Diplomasi Digital: Kementerian Luar Negeri wajib berinvestasi dalam AI literacy bagi diplomat dan mengembangkan strategi bubble bursting untuk memastikan kebijakan luar negeri dapat menembus saringan algoritmik global dan menjangkau audiens target secara efektif.
- Memimpin Tata Kelola Inklusif: Negara-negara berkembang harus terus memimpin dialog regional (seperti yang diusulkan Indonesia) untuk memastikan bahwa pengembangan kerangka regulasi global AI adil, transparan, akuntabel, dan secara efektif mempersempit kesenjangan kapasitas digital.
Masa depan Hubungan Internasional akan semakin didefinisikan oleh siapa yang merancang, memiliki, dan mengatur algoritma. Tuntutan akan transparansi, akuntabilitas, dan etika, seperti yang disuarakan melalui EU AI Act dan PBB, harus diseimbangkan dengan kebutuhan mendesak akan inovasi dan kedaulatan teknologi, terutama bagi negara-negara yang berusaha mencegah polarisasi ekonomi digital. Kegagalan untuk menetapkan tata kelola yang efektif akan membuat keamanan global rentan terhadap kecepatan yang tidak terkendali dan ketidakadilan sistemik yang diperburuk oleh bias algoritmik.

