Struktur Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) dan inti operasionalnya, Dewan Keamanan PBB (DK PBB), didirikan pada tahun 1945 sebagai respons terhadap kehancuran Perang Dunia II. Mandat historis Piagam PBB dirancang terutama untuk mencegah konflik antar negara-negara besar dan memelihara perdamaian internasional melalui sistem keamanan kolektif. Namun, memasuki abad ke-21, struktur yang berusia hampir delapan dekade ini menghadapi tantangan global yang jauh lebih kompleks dan bersifat transnasional, seperti krisis iklim, pandemi, terorisme, dan ancaman keamanan siber.
Terdapat urgensi yang semakin besar bagi PBB untuk menyesuaikan diri dengan realitas geopolitik dunia yang baru. Mantan Presiden Rusia, Dmitry Medvedev, pernah menegaskan perlunya PBB untuk menyesuaikan diri dengan situasi dan kondisi mutakhir. Kegagalan institusi dalam menanggapi krisis terbaru—yang sering kali berujung pada kelumpuhan politik di DK PBB—menuntut penyesuaian struktural agar PBB tetap relevan dan efektif. Tanpa reformasi, DK PBB, yang digambarkan sebagai jantung dari sistem keamanan kolektif , berisiko kehilangan kredibilitas dan legitimasinya dalam memimpin tata kelola global.
Tujuan dan Metodologi Analisis Laporan
Laporan ahli ini bertujuan untuk memberikan analisis komprehensif mengenai perlunya reformasi PBB, dengan fokus utama pada Dewan Keamanan. Analisis ini menggunakan metodologi yang memadukan tinjauan yuridis-normatif dengan studi kasus empiris. Laporan ini dibagi menjadi tiga tahap utama: pertama, Diagnosis, yang mengidentifikasi hak veto sebagai sumber utama kelumpuhan DK PBB. Kedua, Patologi, yang mengkaji dampak hukum dan kemanusiaan dari kelumpuhan struktural tersebut melalui studi kasus. Ketiga, Preskripsi, yang menganalisis hambatan politik dan hukum serta membandingkan proposal-proposal reformasi utama. Analisis ini bertujuan untuk memberikan pandangan holistik terhadap tantangan internal PBB dan alternatif tata kelola global yang mungkin muncul.
Diagnosis Struktural: Argumen Kunci Perlunya Reformasi Dewan Keamanan PBB
Krisis Representasi Geopolitik dan Demokrasi Global
Komposisi Dewan Keamanan PBB, dengan lima anggota tetap (P5) yang terdiri dari Amerika Serikat, Rusia, China, Inggris, dan Prancis, secara inheren mencerminkan tatanan kekuasaan tahun 1945. Struktur ini gagal mencerminkan kontribusi ekonomi, populasi, maupun distribusi kekuatan geopolitik di abad ke-21. Ketidakselarasan kekuatan P5 ini menimbulkan krisis representasi yang mendalam di tingkat global.
Tuntutan reformasi muncul kuat dari negara-negara dunia ketiga. Terdapat pandangan yang berkembang bahwa keberadaan lima anggota tetap dan hak vetonya tidak lagi sesuai dengan perkembangan dunia yang semakin global dan demokratis. Dalam konteks ini, DK PBB dituntut untuk tidak hanya menjadi tempat berhuninya dominasi dan hegemoni great powers , melainkan harus bertransformasi menjadi institusi global yang lebih demokratis, transparan, dan representatif.
Veto: Penyimpangan Fungsi dan Penyebab Utama Kelumpuhan
Hak veto adalah hak istimewa yang diberikan kepada P5 yang memungkinkan mereka menolak rancangan resolusi substantif, meskipun didukung oleh mayoritas anggota DK PBB. Kekuasaan veto ini dalam praktiknya telah menyimpang secara signifikan dari maksud aslinya (original intent), yang seharusnya menjadi alat untuk menjaga stabilitas dan memfasilitasi peran DK PBB dalam perdamaian internasional. Sebaliknya, penggunaan hak veto oleh P5 seringkali tidak terbatas dan utamanya diarahkan untuk melindungi kepentingan nasional dan ambisi hegemonik mereka.
Penyalahgunaan hak veto secara fundamental melanggar asas persamaan kedaulatan (principle of the sovereign equality) yang merupakan salah satu prinsip dasar Piagam PBB. Hak veto secara de facto menempatkan lima negara pada posisi kedaulatan yang lebih tinggi dibandingkan dengan negara-negara anggota PBB lainnya.
Fenomena kebuntuan reformasi ini bukan hanya masalah teknis, tetapi juga konflik mendasar antara realisme kekuatan hegemoni (P5) yang mempertahankan kontrol absolut melalui struktur hukum Piagam, dan idealisme kolektif yang menuntut representasi, demokrasi, dan efektivitas. Piagam PBB, sebagai produk dari realitas kekuatan pasca-perang, secara ironis memberikan mekanisme hukum (hak veto dan prosedur amandemen yang protektif) kepada P5 untuk memblokir setiap perubahan terhadap status quo. Oleh karena itu, kegagalan reformasi mencerminkan pertarungan struktural di mana kekuasaan absolut menolak tunduk pada legitimasi yang dimiliki oleh mayoritas negara anggota PBB.
Patologi DK PBB: Studi Kasus Kelumpuhan Akibat Veto
Ketidakefektifan DK PBB akibat hak veto terbukti melalui serangkaian studi kasus di mana kepentingan nasional anggota tetap secara konsisten mendominasi kebutuhan kolektif global untuk perdamaian dan keamanan.
Veto sebagai Perlindungan Kepentingan Nasional (AS dan Israel)
Amerika Serikat (AS) merupakan contoh utama negara yang menggunakan hak vetonya untuk melindungi kepentingan nasional dan sekutu-sekutunya, terutama Israel dan negara-negara NATO. Penggunaan veto AS yang paling mencolok terjadi dalam isu konflik Israel-Palestina.
Pada tahun 2017, misalnya, AS memveto resolusi yang menolak keputusan Presiden Donald Trump untuk mengakui Yerusalem sebagai ibu kota Israel. Resolusi tersebut didukung oleh 14 dari 15 anggota DK PBB. Kenyataan bahwa kehendak kolektif yang hampir bulat dari komunitas internasional dapat dibatalkan hanya oleh satu suara veto AS menunjukkan bagaimana mekanisme ini secara efektif membatasi tindakan PBB di wilayah di mana kepentingan anggota P5 terancam.
Veto sebagai Hambatan Aksi Kemanusiaan (Rusia, China, dan Konflik Suriah)
Konflik Suriah menjadi arena di mana veto secara langsung menghambat respons kemanusiaan global. Sejak tahun 2011 hingga 2024, Rusia dan Cina secara bersama-sama telah memveto lebih dari 15 rancangan resolusi yang berkaitan dengan krisis Suriah. Rancangan yang diblokir ini mencakup seruan gencatan senjata, isu pelanggaran hak asasi manusia, dan investigasi penggunaan senjata kimia.
Implikasi kemanusiaan dari blokade ini sangat parah. Kegagalan DK PBB untuk mengadopsi resolusi ini menghambat upaya perlindungan warga sipil, memperpanjang penderitaan, dan menyebabkan meluasnya kerusakan infrastruktur. Tindakan veto oleh Rusia dan China ini dikritik karena dianggap lebih mementingkan aliansi geopolitik daripada mandat PBB untuk melindungi masyarakat sipil di tengah konflik.
Krisis Kredibilitas: Studi Kasus Konflik Rusia-Ukraina
Krisis kredibilitas DK PBB mencapai puncaknya pada Februari 2022 ketika Federasi Rusia, sebagai pihak yang menyerang, menggunakan hak vetonya untuk memblokir rancangan resolusi yang bertujuan mengutuk invasi dan mengakhiri krisis di Ukraina.
Implikasi Hukum Internasional dan Preseden Berbahaya
Situasi ini menimbulkan tantangan hukum internasional yang serius. Salah satu pelanggaran etis dan hukum terpenting adalah penyalahgunaan hak veto oleh pihak yang bersengketa dalam kasus yang melibatkan dirinya sendiri. Hal ini bertentangan dengan prinsip umum hukum nemo iudex in causa sua (tidak seorang pun boleh menjadi hakim dalam perkaranya sendiri) dan menciptakan preseden yang sangat berbahaya bagi keamanan semua negara anggota PBB.
Selain itu, negara-negara anggota PBB, terutama dari Eropa, menilai bahwa penggunaan hak veto oleh Rusia untuk memblokir referensi terhadap prinsip integritas teritorial Ukraina merupakan pelanggaran terhadap semangat Piagam PBB dan merusak prinsip-prinsip utama sistem multilateral internasional.
Penggunaan veto dalam kasus Ukraina menunjukkan bahwa hak veto telah bertransformasi menjadi alat perang asimetris diplomatik. Negara yang agresif (atau sekutunya) secara sah menggunakan mekanisme internal PBB untuk memproteksi tindakannya sendiri dari kecaman, sanksi, atau intervensi global. Ini mengubah Piagam PBB dari instrumen perdamaian menjadi perisai hukum (legal shield) bagi agresi.
Dampak Krisis Kemanusiaan
Kegagalan DK PBB untuk mengambil tindakan tegas akibat penggunaan veto Rusia telah mengakibatkan konflik berlarut-larut. Tanpa intervensi efektif dari komunitas internasional, masyarakat sipil menjadi kelompok yang paling terdampak, dengan jumlah korban jiwa dan pengungsi terus meningkat. Upaya untuk mengadopsi resolusi yang mengecam agresi dan mendorong penghentian kekerasan menjadi tidak efektif, yang pada akhirnya memperpanjang penderitaan korban sipil.
Secara keseluruhan, sistem veto telah menimbulkan krisis kepercayaan dan legitimasi. Masyarakat internasional mengkritik sistem ini karena dianggap lebih melindungi kepentingan politik anggota tetap daripada kepentingan kolektif dunia.
Dinamika dan Hambatan Hukum dalam Upaya Reformasi
Upaya untuk mereformasi DK PBB selalu terhalang oleh dua jenis kendala yang saling terkait: hambatan yuridis yang mengunci struktur PBB, dan hambatan politis yang didorong oleh ambisi nasional P5 dan perpecahan di antara kelompok reformis.
Hambatan Yuridis: Prosedur Amandemen Piagam PBB
Hambatan struktural utama bagi reformasi DK PBB tertuang secara eksplisit dalam Bab XVIII Piagam PBB, khususnya Pasal 108 dan Pasal 109. Pasal 108 mengatur bahwa perubahan terhadap Piagam harus diterima oleh suara dua pertiga dari anggota Majelis Umum DAN diratifikasi oleh dua pertiga anggota PBB, termasuk semua anggota tetap DK PBB.
Klausul ini menciptakan mekanisme “veto pada reformasi” yang hampir mustahil untuk diatasi. Ketentuan ini, termasuk Pasal 27 (hak veto), secara paradoks menjadi penghambat utama dari upaya reformasi DK PBB itu sendiri. Mekanisme ini memastikan bahwa, secara hukum, struktur kekuasaan P5 tidak dapat diubah tanpa persetujuan bulat dari kelima pemegang veto, sebuah prasyarat yang jarang sekali terpenuhi mengingat keengganan mereka untuk melepaskan hak hegemoni.
Hambatan Politis: Oposisi P5 dan Konflik Antar Reformis
Kendala yang paling mendasar adalah keengganan hegemonik P5. Analisis menunjukkan bahwa hambatan utama reformasi adalah sifat arogan, egois, dan tidak adanya kemauan (willless) dari anggota tetap DK PBB untuk melepaskan hegemoni dan kepentingan nasional mereka. Upaya reformasi hanya akan menjadi sebuah utopia jika negara-negara tidak memiliki persepsi yang sama mengenai model reformasi yang diinginkan dan gagal mengesampingkan ambisi nasional, sebaliknya fokus pada kepentingan bersama untuk menjadikan DK PBB institusi yang lebih efektif.
Kebuntuan juga diperburuk oleh perpecahan di antara kelompok-kelompok yang mengadvokasi reformasi struktural, terutama mengenai perluasan keanggotaan permanen dan distribusi hak veto.
Proposal Reformasi Struktural Utama: Perluasan Keanggotaan
Terdapat tiga proposal utama yang mendominasi wacana reformasi struktural DK PBB:
Grup Empat (G-4)
G-4, aliansi yang terdiri dari Jerman, Jepang, India, dan Brasil, menuntut perluasan DK PBB, terutama dalam kategori permanen. Negara-negara G-4 saling mendukung upaya masing-masing untuk memperoleh kursi permanen pada DK PBB. Proposal G-4 menunjukkan bahwa ada negara-negara dengan kekuatan ekonomi dan politik yang signifikan yang merasa harus mendapatkan kedudukan permanen di meja pengambilan keputusan keamanan global. Meskipun proposal G-4 sempat mendekati 110 suara—dekat dengan batas dua pertiga yang diperlukan—upaya tersebut pada akhirnya gagal diajukan untuk pemungutan suara.
Konsensus Ezulwini (African Union)
Konsensus Ezulwini adalah posisi kolektif yang disepakati oleh Uni Afrika (AU), yang menyerukan DK PBB yang lebih representatif dan demokratis. Tuntutan spesifik yang diajukan dalam Konsensus Ezulwini adalah minimal dua kursi permanen (termasuk hak veto) dan lima kursi tidak tetap untuk Afrika. AU akan bertanggung jawab untuk memilih negara-negara Afrika mana yang akan menduduki kursi-kursi tersebut.
Tuntutan Ezulwini Consensus untuk dua kursi permanen dengan hak veto menunjukkan bahwa negara-negara Afrika memandang veto bukan hanya sebagai masalah yang harus dihilangkan, tetapi sebagai simbol kedaulatan dan alat kekuasaan yang harus didistribusikan secara lebih adil untuk mengamankan kepentingan regional mereka. Perspektif ini, yang bertujuan mendistribusikan kekuasaan veto, berpotensi kontradiktif dengan kelompok lain yang ingin menghapus atau membatasi veto secara total.
Kelompok Uniting for Consensus (UFC)
Kelompok UFC menentang perluasan kursi permanen yang disertai hak veto baru. Mereka menuntut konsensus sebelum bentuk dan ukuran DK PBB disetujui, dan memfokuskan upaya reformasi pada perluasan jumlah kursi tidak permanen. Kelompok ini berusaha meredam upaya G-4, khawatir penambahan anggota veto baru hanya akan memperparah masalah kelumpuhan.
Proposal Reformasi Prosedural: Mekanisme Pembatasan Veto
Mengingat prosedur amandemen Piagam PBB yang hampir mustahil, proposal alternatif berfokus pada pembatasan penggunaan veto secara prosedural tanpa memerlukan perubahan hukum yang formal. Salah satu konsep yang signifikan adalah Voluntary Restraint (VR) atau pembatasan sukarela.
Konsep VR mengusulkan bahwa negara-negara P5 harus secara sadar diri dan sukarela setuju untuk membatasi penggunaan hak veto mereka, khususnya dalam upaya penyelesaian kasus kejahatan kekejaman massal (mass atrocity crimes). Tujuan VR adalah mencegah penggunaan veto yang sembrono atau “ugal-ugalan” dalam situasi di mana masyarakat sipil menjadi korban. Meskipun VR menawarkan cara tercepat untuk memitigasi dampak kemanusiaan dari veto, keberhasilan implementasinya sepenuhnya bergantung pada kemauan politik P5, yang selama ini menjadi penghalang utama reformasi.
Revitalisasi Organ PBB Lain dan Alternatif Tata Kelola Global
Untuk meningkatkan relevansi PBB dalam menghadapi krisis global saat ini, perhatian juga harus diarahkan pada revitalisasi organ-organ lain di luar DK PBB.
Memperkuat Majelis Umum dan ECOSOC
Krisis global baru-baru ini, seperti Pandemi COVID-19, telah mendorong sekitar 131 juta orang ke dalam kemiskinan yang parah dan membalikkan kemajuan pembangunan yang dicapai selama bertahun-tahun. Krisis ini menyoroti perlunya Majelis Umum dan Dewan Ekonomi dan Sosial (ECOSOC) untuk disesuaikan agar lebih responsif terhadap tantangan kemiskinan, ketidaksetaraan, dan pencapaian Agenda 2030.
Diperlukan langkah-langkah untuk memastikan akuntabilitas Tim Negara PBB yang baru dan penyesuaian konfigurasi entitas residen PBB di tingkat negara untuk beradaptasi dengan kebutuhan yang berubah di lapangan. Revitalisasi ini penting karena organ-organ ini menangani isu-isu non-militer (seperti pembangunan berkelanjutan dan kemanusiaan) di mana P5 tidak memiliki kontrol veto mutlak.
Peran Organisasi Regional dalam Keamanan Kolektif (Bab VIII)
Organisasi regional, seperti Uni Afrika (AU), NATO, dan ASEAN, memainkan peran yang semakin aktif dalam pemeliharaan perdamaian dan keamanan internasional. Bab VIII Piagam PBB memberikan dasar hukum bagi organisasi regional untuk menyelesaikan sengketa di antara negara-negara anggotanya dengan cara-cara damai secara mandiri di wilayah mereka.
Namun, Piagam PBB secara tegas melarang organisasi regional untuk melakukan tindakan kekerasan (enforcement action) tanpa otorisasi eksplisit dari Dewan Keamanan PBB. Hal ini memastikan bahwa DK PBB tetap menjadi penentu tindakan militer kolektif tertinggi. Meskipun organisasi regional saat ini aktif dalam pemeliharaan perdamaian, ketentuan internasional mengenai skala dan mekanisme pertanggungjawaban dalam aktivitas ini masih perlu diperjelas secara rinci.
Potensi dan Keterbatasan Forum Tata Kelola Global (G20)
Dalam konteks tata kelola global, forum G20 sering dipertanyakan sebagai alternatif potensial atau pelengkap bagi PBB. G20, yang terdiri dari 19 negara dan dua badan regional (Uni Eropa dan Uni Afrika), mewakili sekitar 85% PDB global dan dua pertiga populasi dunia. Dengan cakupan ekonomi yang luas, G20 secara geoeconomic lebih selaras dengan realitas kekuatan abad ke-21.
Namun demikian, G20 juga menghadapi kritik terkait relevansinya dan lambatnya respon terhadap krisis global, seperti saat pandemi COVID-19. Hambatan utama dalam G20 adalah meningkatnya tren populisme, proteksionisme, dan kompetisi strategis yang meruncing antar negara anggota besar (misalnya, AS dan Tiongkok). Krisis seperti Perang Rusia-Ukraina melunturkan semangat kerja sama dan mempersulit pengambilan keputusan konsensus di G20.
Fakta bahwa forum yang mewakili 85% ekonomi global ini pun tidak mampu mencapai konsensus dalam isu-isu geopolitik kritis menunjukkan bahwa masalah mendasar terletak pada sifat sistem internasional yang anarki dan terfragmentasi, yang menyebabkan hilangnya kepercayaan di antara aktor-aktor global. G20, karena fondasinya yang berbasis ekonomi dan kurangnya mekanisme penegakan hukum dan perdamaian, tidak dapat berfungsi sebagai pengganti sistem keamanan kolektif PBB.
Kesimpulan
Analisis yang disajikan secara tegas mengonfirmasi bahwa Dewan Keamanan PBB berada dalam krisis yang mendalam. Hak veto, yang awalnya dimaksudkan sebagai klausul pengaman, telah menyimpang menjadi simbol utama ketidakadilan global dan alat hegemoni yang melanggengkan kepentingan politik egois P5. Kelumpuhan DK PBB, seperti yang disoroti dalam kasus Ukraina, tidak hanya gagal mencegah krisis, tetapi juga menciptakan preseden berbahaya yang mengancam stabilitas dan integritas hukum internasional. Kegagalan ini menuntut dua jenis strategi respons: perubahan struktural jangka panjang dan mitigasi prosedural jangka menengah.
Berdasarkan analisis hambatan yuridis dan politis, serta kegagalan empiris, berikut adalah rekomendasi strategis untuk meningkatkan relevansi dan efektivitas PBB dalam menangani krisis global saat ini:
- Strategi Jangka Panjang (Struktural)
Meskipun secara yuridis hampir mustahil karena klausul pengunci di Pasal 108 dan 109 , upaya politis harus terus didorong untuk mereformasi kriteria keanggotaan permanen. Kriteria baru harus mencerminkan kontribusi geopolitik, ekonomi, dan populasi yang relevan di abad ke-21.
- Mendukung upaya perluasan keanggotaan permanen, sejalan dengan tuntutan Ezulwini Consensus dari Uni Afrika untuk setidaknya dua kursi permanen dengan hak veto , serta tuntutan G-4 (Jerman, Jepang, India, Brasil). Tujuan dari reformasi ini adalah mendistribusikan kekuasaan veto secara lebih adil, meskipun hal ini harus diimbangi dengan kajian mendalam mengenai risiko peningkatan kelumpuhan.
- Strategi Jangka Menengah (Prosedural)
Karena perubahan Piagam PBB membutuhkan amandemen yang sulit, fokus harus dialihkan pada mitigasi penyalahgunaan veto melalui norma dan mekanisme prosedural.
- Mendorong adopsi mekanisme Voluntary Restraint(Pembatasan Sukarela) atau Kode Etik Veto. P5 harus didorong untuk menyepakati pembatasan penggunaan veto dalam kasus mass atrocity crimes atau situasi yang melibatkan kekejaman massal, terutama ketika resolusi bertujuan untuk menghentikan kekerasan atau memberikan akses kemanusiaan.
- Strategi Peningkatan Kredibilitas
Kredibilitas PBB dapat ditingkatkan dengan memanfaatkan organ-organ di mana mekanisme veto tidak berlaku.
- Revitalisasi Majelis Umum dan ECOSOC sebagai forum utama untuk menangani isu-isu non-militer yang krusial, seperti pembangunan berkelanjutan, kemiskinan, dan respons pandemi. Pemanfaatan kekuatan normatif Majelis Umum dapat memberikan legitimasi politik bagi tindakan yang diblokir di DK PBB.
- Optimalisasi Organ Regional
- Memperjelas ketentuan internasional mengenai peran Organisasi Regional dalam pemeliharaan perdamaian, terutama dalam hal skala operasi dan mekanisme pertanggungjawaban. Meskipun Organisasi Regional memiliki mandat untuk penyelesaian sengketa secara damai di wilayahnya di bawah Bab VIII, koordinasi dan mekanisme otorisasi tindakan kekerasan harus diperjelas untuk menghindari tindakan sepihak yang melanggar Piagam PBB.
Secara keseluruhan, reformasi PBB dan DK PBB adalah keharusan mutlak jika organisasi tersebut ingin mempertahankan relevansi dalam menghadapi kompleksitas krisis abad ke-21. Reformasi ini tidak hanya memerlukan penyesuaian Piagam, tetapi juga pengorbanan kemauan politik dari kekuatan hegemonik untuk mengutamakan kepentingan kolektif di atas ambisi nasional.

