Kawasan Mediterania dan Timur Tengah (MENA) secara historis telah menjadi episentrum bagi pergerakan populasi global, mencakup migrasi tenaga kerja masif—seperti imigrasi buruh tahun 1960-an dari Turki dan Maghreb ke Eropa—hingga gelombang besar pengungsi yang didorong oleh konflik. Pada awal abad ke-21, kawasan Timur Tengah bahkan tercatat memiliki pangsa populasi migran tertinggi di dunia. Pergerakan populasi ini berada dalam fluks yang berkelanjutan, didorong oleh dinamika ekonomi, politik, dan keamanan yang kompleks.

Gelombang migrasi besar-besaran, yang memuncak pada apa yang sering disebut “Krisis Pengungsi 2015,” merupakan respons langsung terhadap ketidakstabilan regional yang parah. Konflik berkepanjangan di Timur Tengah, dimulai sejak Arab Spring pada tahun 2011, disusul oleh perang saudara di Suriah, kebangkitan kelompok teroris seperti ISIS, serta ketidakstabilan politik dan kesulitan ekonomi kronis di negara-negara asal (terutama Suriah, Irak, Afghanistan, dan beberapa negara Afrika Utara). Faktor-faktor ini memaksa lebih dari satu juta orang mencari perlindungan di Eropa melalui rute Mediterania dan Balkan.2

Selain dari Timur Tengah, migrasi dari kawasan Afrika Sub-Sahara (SSA) juga meningkat secara dramatis sejak 2010. Antara 2010 hingga 2017, hampir 1 juta warga Sub-Sahara mengajukan permohonan suaka di Eropa. Meskipun konflik dan penganiayaan tetap menjadi pendorong bagi banyak pencari suaka, data terbaru menunjukkan pergeseran penting dalam motivasi utama migrasi di rute-rute kunci. Sebagai contoh, di rute Balkan Barat, 62% migran secara eksplisit menyebut kurangnya kemakmuran dan kesulitan ekonomi yang persisten sebagai alasan utama mereka meninggalkan negara asal. Pengamatan ini menyoroti bahwa walaupun krisis 2015 didominasi oleh migrasi paksa akibat konflik (Suriah/Afghanistan), fokus kebijakan Uni Eropa (UE) kini harus beradaptasi dengan kenyataan bahwa faktor ekonomi semakin mendominasi arus irregular. Partai-partai anti-imigran seringkali mengabaikan nuansa ini, memilih untuk mensekuritisasi semua bentuk kedatangan sebagai ancaman, terlepas dari motivasi pendorongnya.

Konteks geopolitik yang lebih luas, seperti konflik Israel-Palestina yang merujuk pada frasa “Dari Tepi Barat ke Eropa,” semakin memperburuk polarisasi di Benua Biru. Peristiwa konflik eksternal di Timur Tengah secara langsung mengimpor ketegangan sosial dan politik ke dalam masyarakat Eropa. Respon pemerintah Eropa terhadap permusuhan ini, termasuk pembatasan protes pro-Palestina, dikhawatirkan memicu kekerasan dalam bentuk Islamofobia dan Antisemitisme. Situasi ini kemudian dimanfaatkan oleh politik sayap kanan yang radikal, yang menjadikan isu migrasi, terutama migrasi Muslim, sebagai alat utama untuk memperdalam perpecahan domestik dan menguatkan narasi bahwa multikulturalisme telah gagal.

Statistik dan Rute Kedatangan Irregular ke Eropa (2010–2024)

Sejak puncak krisis, Eropa telah berjuang untuk mengelola kedatangan dan menangani backlog permohonan suaka. Jerman adalah negara anggota UE yang menanggung beban paling besar, menerima 1,6 juta orang, atau 31% dari total imigran yang datang ke UE dari negara non-UE. Negara-negara penerima utama lainnya termasuk Spanyol (860.000 atau 17%), Italia (334.000 atau 7%), Prancis (317.000 atau 6%), dan Czechia (331.000 atau 6%). Pada akhir tahun 2024, Jerman juga terus memiliki jumlah permohonan suaka yang tertunda tertinggi (28,6% dari total UE), diikuti oleh Spanyol (21,3%), Italia (16,7%), dan Prancis (11,9%).

Dalam konteks migrasi irregular, angkanya tetap tinggi dan menjadi fokus utama kebijakan UE. Pada tahun 2023, sekitar 1,3 juta warga non-UE ditemukan berada secara ilegal di UE, peningkatan sebesar 13% dibandingkan tahun 2022. Kelompok kewarganegaraan terbesar yang ditemukan berada secara ilegal di UE adalah warga Suriah (253.000 orang), Afghanistan (113.000), dan Turki (84.000).

Meskipun terjadi fluktuasi, rute migrasi utama tetap menjadi perhatian utama badan pengawasan perbatasan UE, Frontex. Rute Mediterania Tengah, Balkan Barat, dan Mediterania Timur tetap menjadi tiga rute migrasi irregular teratas ke UE berdasarkan volume penyeberangan yang dilaporkan.0 Namun, total kedatangan irregular pada tahun 2024 menunjukkan penurunan signifikan sebesar 66% dibandingkan tahun 2023 (dari 163.463 menjadi 56.093), didorong terutama oleh penurunan tajam di rute Mediterania Tengah (59% penurunan) dan rute Balkan Barat (78% penurunan).

Fenomena krusial yang terkait dengan arus irregular adalah peran fasilitator dan negara transit. Data menunjukkan bahwa 40% migran menggunakan jasa fasilitator setidaknya sekali saat melintasi atau melalui rute Balkan Barat. Keterlibatan jaringan penyelundupan ini menunjukkan bahwa kebijakan perbatasan yang keras (dikenal sebagai hard border) UE tidak sepenuhnya menghentikan arus, melainkan mengalihkan risiko dan memperkuat jaringan kriminal yang menjalankan ‘ekonomi migrasi’ di luar kendali UE. Turki dan Libya, misalnya, telah memainkan peran penting sebagai negara transit kritis sebelum migran melanjutkan perjalanan ke Eropa.

Table 1: Statistik Kedatangan Migran Irregular dan Kewarganegaraan Utama di UE (Data Terpilih 2023–2024)

Rute Migrasi Utama Tren 2024 (vs. 2023) Kewarganegaraan Utama (Irregular Presence) Negara Penerima Suaka Utama (Pending Applications 2024)
Mediterania Tengah Penurunan 59% Suriah, Afghanistan, Tunisia 10 Jerman (28.6%), Spanyol (21.3%)
Balkan Barat Penurunan 78% Afghanistan, Turki Italia (16.7%), Prancis (11.9%)
Total Kedatangan Irregular Total Penurunan 66% (vs. 2023) Suriah (Terbesar: 253.000), Afghanistan, Turki

Arsitektur Kebijakan Suaka dan Pembentukan ‘Benteng Eropa’ (Fortress Europe)

Respons Uni Eropa terhadap gelombang migrasi telah berevolusi dari upaya awal untuk menerapkan sistem bersama menjadi arsitektur kebijakan yang semakin mengedepankan kontrol perbatasan dan eksternalisasi tanggung jawab. Evolusi ini mencerminkan pertarungan antara nilai-nilai kemanusiaan, tuntutan kedaulatan negara, dan prinsip solidaritas.

Warisan Kegagalan: Analisis Kritis Sistem Dublin

Sebelum reformasi terbaru, kerangka hukum suaka Eropa didominasi oleh Peraturan Dublin. Prinsip utama Dublin menetapkan bahwa negara anggota UE tempat pencari suaka pertama kali masuk bertanggung jawab untuk memproses klaim perlindungan mereka. Secara teori, peraturan ini dimaksudkan untuk mencegah fenomena ‘pengajuan suaka berganda’ (asylum shopping) dan menetapkan tanggung jawab yang jelas.

Namun, dalam praktiknya, sistem Dublin terbukti gagal total, terutama selama krisis 2015. Kegagalannya terletak pada ketidakmampuannya mendistribusikan tanggung jawab secara adil (responsibility-sharing) di antara negara-negara anggota. Negara-negara perbatasan eksternal, seperti Yunani dan Italia, terpaksa menanggung beban yang tidak proporsional dari arus masuk yang masif. Ketidakadilan ini, yang melanggar ketentuan hukum UE yang menuntut “solidaritas dan pembagian tanggung jawab yang adil” , memicu respons defensif dari negara-negara anggota yang terletak lebih jauh di utara dan barat.

Kegagalan politik internal untuk mencapai solidaritas kemudian diterjemahkan menjadi tindakan fisik dan legal yang keras di perbatasan eksternal. Negara-negara Eropa mulai membangun tembok, pagar, dan penghalang fisik. Dengan demikian, kegagalan hukum internal Dublin secara tidak langsung mengkatalisasi pembangunan fisik Fortress Europe. Negara-negara anggota berlomba-lomba untuk menghindari tanggung jawab suaka, mengubah perbatasan eksternal menjadi “zona penyangga” yang kejam. Peningkatan hambatan fisik dan hukum ini juga menimbulkan risiko serius terhadap prinsip fundamental hukum internasional, yaitu kewajiban non-refoulement—larangan mengusir kembali seseorang ke wilayah di mana hidup atau kebebasannya terancam.  Kegagalan Dublin menunjukkan bahwa tanpa mekanisme pembagian beban yang efektif, setiap negara didorong untuk bertindak secara egois, yang pada akhirnya menormalkan pelanggaran hak asasi manusia di perbatasan.

Strategi Eksternalisasi Perbatasan (Externalization) dan Risiko Hukum

Seiring dengan munculnya Fortress Europe, Uni Eropa juga semakin mengadopsi strategi eksternalisasi (atau externalization) dalam pengelolaan migrasi. Eksternalisasi adalah kebijakan di mana UE mengelola, mengontrol, atau mencegah arus migrasi di luar batas geografisnya, biasanya melalui kerja sama dengan negara-negara non-anggota. Contoh paling terkenal termasuk Kesepakatan UE-Turki dan kerja sama dengan Libya dan negara-negara Afrika Utara lainnya.

Tujuan utama eksternalisasi adalah untuk mencegah migran mencapai daratan Eropa, seringkali dengan imbalan bantuan keuangan atau politik kepada negara-negara mitra. Meskipun secara operasional strategi ini mungkin mengurangi kedatangan irregular di rute-rute tertentu, implikasi kemanusiaannya sangatlah merusak.

Strategi ini dituduh ‘mengalihkan bahaya’ (externalizing harms) ke negara-negara yang memiliki catatan hak asasi manusia yang buruk. Kerja sama UE dengan Libya, misalnya, telah menyebabkan krisis hak asasi manusia yang parah, di mana migran yang dicegat di laut oleh Penjaga Pantai Libya dipaksa kembali ke penahanan imigrasi yang kejam di Libya, yang digambarkan sebagai “krisis hak asasi manusia”. Dengan mengandalkan rezim otoriter atau negara yang tidak stabil untuk mengelola perbatasannya, UE secara efektif menempatkan migran dalam bahaya dan secara signifikan melanggar hak-hak mereka, yang menimbulkan pertanyaan serius tentang kepatuhan etika dan hukum UE terhadap standar perlindungan internasional.

New Pact on Migration and Asylum (2024): Pengetatan Prosedural

Sebagai respons langsung terhadap kegagalan sistem Dublin dan tekanan politik domestik yang meningkat, UE mengesahkan New Pact on Migration and Asylum pada tahun 2024. Pakta ini mewakili perombakan besar-besaran kerangka hukum UE dan menandakan pergeseran ideologis yang jelas menuju pencegahan dan pengembalian yang cepat.

Tujuan utama Pakta ini adalah untuk menciptakan pendekatan yang lebih cepat, efisien, dan seragam dalam mengelola arus migrasi, berfokus pada tiga pilar: 1) Pengamanan perbatasan eksternal, 2) Prosedur cepat, dan 3) Kerangka solidaritas permanen.

Mekanisme Kunci New Pact:

  1. Pengamanan Perbatasan: Meliputi pembentukan screening pra-masuk yang kuat dan wajib, penggunaan basis data Eurodac yang diperluas, serta protokol krisis untuk mengatasi instrumentalitas migrasi.
  2. Prosedur Perbatasan Wajib: Prosedur ini akan berlaku bagi pencari suaka yang dianggap tidak mungkin memerlukan perlindungan, yang memberikan informasi palsu, atau yang menimbulkan risiko keamanan. Tujuannya adalah memastikan pengembalian yang efisien bagi mereka yang tidak memenuhi syarat perlindungan internasional.
  3. Solidaritas dan Tanggung Jawab: Pakta ini memperkenalkan kerangka solidaritas permanen (meskipun fleksibel) dan memperjelas aturan tentang negara anggota mana yang bertanggung jawab untuk memproses aplikasi suaka, dengan tujuan mencegah gerakan sekunder migran di dalam UE.

Namun, dari perspektif hak asasi manusia, New Pact menghadapi kritik keras. Lembaga pengawas hak asasi manusia khawatir bahwa penekanan pada penyaringan pra-masuk dan prosedur perbatasan yang cepat akan secara efektif menyebabkan penahanan otomatis bagi pencari suaka di perbatasan eksternal (de facto detention), bahkan sebelum klaim mereka dinilai secara substansial.

Kekhawatiran utama lainnya adalah risiko pelanggaran hak fundamental dan potensi untuk mendorong ratusan ribu orang ke kehidupan irregular atau ilegal. Ini terjadi karena Pakta tidak secara memadai menjelaskan akses ke izin tinggal nasional yang diatur di tingkat negara anggota selama prosedur perbatasan yang dipercepat. Selain itu, ada kekhawatiran serius mengenai perlindungan anak-anak migran tanpa pendamping, terutama dalam hal penentuan usia dan penempatan dalam fasilitas penahanan yang tidak layak. Reformasi ini, meskipun dirancang untuk mengatasi kegagalan Dublin, secara fundamental mengubah keseimbangan UE, mengorbankan akses perlindungan demi kecepatan dan keamanan perbatasan.

Politik Sekuritisasi dan Konsolidasi Gerakan Anti-Imigran

Gelombang migrasi besar-besaran, terutama sejak 2015, tidak hanya menantang kapasitas administratif UE tetapi juga merevolusi lanskap politik Benua Biru. Fenomena ini dimanfaatkan secara efektif oleh kelompok politik sayap kanan ekstrem melalui strategi sekuritisasi migrasi.

Krisis 2015 sebagai Titik Balik dan Narasi Ancaman

Krisis pengungsi pada tahun 2015 berfungsi sebagai titik balik politik dan momen kritis yang dikapitalisasi secara masif oleh gerakan politik sayap kanan jauh. Partai-partai ini menggunakan taktik sekuritisasi (securitization), di mana kehadiran imigran dan pengungsi di wilayah mereka digambarkan sebagai ancaman eksistensial, bukan sebagai isu kemanusiaan atau administrasi biasa.

Narasi utama yang dibangun oleh kelompok sayap kanan secara konsisten mengaitkan imigran dengan dampak negatif di berbagai sektor:

  • Keamanan: Menggambarkan migran sebagai ancaman terhadap keamanan nasional dan memicu ketakutan terhadap terorisme atau kejahatan.
  • Ekonomi: Menuduh migran membebani sistem kesejahteraan sosial dan mengambil pekerjaan dari penduduk lokal.
  • Budaya dan Sosial: Narasi yang paling kuat adalah ancaman terhadap kohesi sosial dan identitas Eropa.

Penolakan terhadap multikulturalisme menjadi inti dari retorika ini. Partai-partai sayap kanan mengklaim bahwa peningkatan populasi migran, terutama Muslim, mengancam konstruksi identitas Eropa yang rapuh. Wacana ini bahkan mencapai tingkatan ekstrem di mana tokoh-tokoh sayap kanan seperti Anders Behring Breivik mengklaim bahwa “multikulturalisme” atau “Marxisme budaya” adalah doktrin politik yang merusak Eropa dan memungkinkan “kolonisasi Islam”. Kelompok-kelompok ini berhasil menyalurkan rasa ketidakpuasan publik terhadap partai-partai tradisional (anti-establishment) dengan fokus tunggal pada isu imigrasi.

Kebangkitan Politik Sayap Kanan Ekstrem dan Pemilu 2024

Kebangkitan partai-partai sayap kanan telah menjadi salah satu perkembangan politik paling konsekuensial di abad ke-21. Momentum ini semakin terkonsolidasi, terbukti dari hasil Pemilu Parlemen Uni Eropa pada Juni 2024, di mana partai-partai sayap kanan berhasil memperoleh hampir seperempat dari seluruh suara blok.

Studi Kasus Kunci:

  • Jerman (AfD): Alternative für Deutschland (AfD), sebuah partai sayap kanan jauh yang didirikan pada 2013, meraih skor elektoral terbaiknya dengan 15,9% suara, menjadikannya partai terbesar kedua di Jerman dalam Pemilu UE. Kekuatan AfD didorong oleh isu imigrasi, anti-Islam, dan kemampuannya memanfaatkan krisis politik serta ketidakpercayaan terhadap koalisi yang berkuasa di Berlin.
  • Prancis (RN): Rassemblement National (RN) pimpinan Marine Le Pen memenangkan 31% suara Prancis dalam pemilihan parlemen UE, mendominasi wacana dengan janji “mengakhiri imigrasi massal”. Kesuksesan ini memicu krisis politik domestik yang mendalam bagi Presiden Emmanuel Macron.

Dukungan terhadap sayap kanan tumbuh di tengah kekhawatiran pemilih yang meluas mengenai inflasi dan dampak Perang di Ukraina, menunjukkan kemampuan partai-partai ini untuk menggabungkan isu-isu ekonomi dan geopolitik ke dalam agenda anti-imigran mereka.

Kenaikan signifikan sayap kanan telah memberikan mereka andil yang lebih besar dalam pembuatan kebijakan UE untuk lima tahun ke depan. Meskipun partai-partai sentris masih mempertahankan keseimbangan kekuasaan di Brussel, pengaruh sayap kanan sudah terasa. Pergeseran ini tidak hanya mendorong kebijakan imigrasi ke arah yang lebih keras, yang berfokus pada pengetatan perbatasan dan penolakan, tetapi juga memiliki dampak transversal pada kebijakan lain. Ada risiko nyata bahwa European Green Deal, program unggulan UE untuk netralitas karbon, akan terancam karena sayap kanan menentang kebijakan iklim di tengah krisis biaya hidup. Hal ini menunjukkan bahwa narasi anti-imigran berfungsi sebagai pintu masuk untuk mengubah seluruh spektrum kebijakan UE, memaksa partai-partai sentris untuk mengadopsi posisi yang lebih keras dalam upaya meredam gelombang popularitas sayap kanan.

Table 2: Konsolidasi Politik Sayap Kanan dan Pengaruhnya pada Kebijakan Uni Eropa

Partai Utama Narasi Migrasi Sentral Faktor Pendorong Kunci Implikasi Kebijakan UE yang Dipengaruhi
AfD (Jerman) 21 Anti-Islam, Kritik terhadap “Partai Lama,” Kedaulatan Nasional Krisis 2015, Ketidakpercayaan terhadap Koalisi Pemerintah Peningkatan tekanan untuk pengetatan suaka dan pengembalian paksa
RN (Prancis) 20 Pengakhiran Imigrasi Massal, Kedaulatan Nasional Inflasi, Kekacauan Politik Domestik (Macron) Pendorongan konsensus UE menuju strategi perbatasan yang lebih keras (deterrence)
Tema Umum Sayap Kanan [16, 22] Sekuritisasi Migrasi, Ancaman Identitas, Anti-Multikulturalisme Kekhawatiran Ekonomi, Konflik Global (Ukraina, Timur Tengah) Risiko pelemahan program lingkungan (Green Deal); Perubahan fokus kebijakan UE ke keamanan dan kontrol

Konflik global, seperti permusuhan yang diperbarui antara Israel dan kelompok bersenjata Palestina di Gaza, secara langsung mengimpor ketegangan ke dalam masyarakat Eropa. Respon pemerintah Eropa seringkali dikritik karena memicu meningkatnya laporan Antisemitisme dan Islamofobia. Dalam konteks ini, kelompok sayap kanan berhasil memperkuat narasi bahwa migrasi adalah ancaman keamanan yang harus dikendalikan secara ketat, karena konflik eksternal mengganggu kohesi sosial domestik.

Implikasi Sosio-Ekonomi, Integrasi, dan Krisis Kemanusiaan

Gelombang migrasi yang masif menimbulkan dampak ganda di Eropa: di satu sisi, dampak ekonomi dan demografi yang positif; di sisi lain, tantangan integrasi sosial dan krisis etika di perbatasan.

Dampak Ekonomi Migrasi: Kebutuhan Tenaga Kerja vs. Ketegangan Sosial

Secara ekonomi, migrasi memberikan kontribusi penting bagi Benua Biru, yang sedang menghadapi masalah penuaan populasi dan penurunan tingkat fertilitas. Kehadiran imigran telah membantu populasi Uni Eropa mencapai rekor tertinggi (450 juta jiwa). Imigran umumnya berada pada usia produktif dan dapat mengisi kekurangan pasokan tenaga kerja, terutama di sektor-sektor yang membutuhkan tenaga kerja kasar. Studi menunjukkan bahwa di sebagian besar negara OECD, migran berkontribusi lebih banyak dalam pajak dan kontribusi sosial dibandingkan dengan tunjangan yang mereka terima.

Terdapat kebutuhan nyata tenaga kerja di Eropa, yang kini bergeser menuju permintaan untuk keterampilan menengah hingga tinggi, seperti ahli las, tenaga perhotelan profesional, dan caregiver. Permintaan ini, termasuk dari pemimpin negara-negara Eropa kepada Indonesia, menunjukkan kebutuhan ekonomi riil yang mendesak.

Namun, timbul paradoks kebijakan ganda di Eropa. Secara demografis dan ekonomi, Eropa membutuhkan migran yang terampil dan usia produktif. Namun, sebagian besar pencari suaka yang tiba selama krisis 2015/2016 memiliki tingkat pendidikan rata-rata di bawah penduduk asli Eropa. Kontradiksi antara kebutuhan pasar kerja yang menuntut keterampilan tinggi dan gelombang pencari suaka dengan keterampilan rendah ini menciptakan tantangan integrasi pasar kerja yang signifikan. Krisis etika muncul karena negara-negara didorong untuk menyeleksi migran yang ‘baik’ (berketerampilan dan legal) sambil secara brutal menolak yang ‘buruk’ (pencari suaka dan irregular), semua didorong oleh narasi sekuritisasi politik, yang mendominasi perdebatan publik.

Tantangan Integrasi Sosial dan Budaya

Meskipun migrasi memberikan manfaat ekonomi, ia juga memicu ketegangan sosial yang besar. Perbedaan budaya, agama, bahasa, dan gaya hidup antara pendatang dan penduduk lokal memunculkan konflik dan menguatkan narasi anti-migran yang menuduh terjadi “penurunan standar kualitas hidup” di Eropa.

Respons terhadap integrasi sosial sangat terfragmentasi di dalam UE. Negara-negara seperti Jerman, di bawah kebijakan Open Door Policy Kanselir Angela Merkel, dan Swedia, menunjukkan pendekatan yang relatif terbuka, berupaya keras untuk mengintegrasikan pengungsi ke dalam masyarakat melalui pendidikan bahasa, pelatihan kerja, dan perlindungan anak.2 Perlindungan anak-anak pengungsi, misalnya, menuntut Jerman untuk memastikan mereka mendapatkan perlindungan, pendidikan, dan perawatan kesehatan yang memadai.

Sebaliknya, negara-negara anggota di Eropa Timur, seperti Hungaria dan Polandia, menolak kuota pengungsi dan menegakkan sikap garis keras terhadap migrasi. Fragmentasi ini memperlihatkan kegagalan UE dalam menciptakan pendekatan yang seragam dan berkelanjutan untuk integrasi sosial dan budaya.

Pelanggaran Hak Asasi Manusia di Perbatasan Eksternal

Salah satu konsekuensi paling gelap dari strategi Fortress Europe dan penolakan politik terhadap solidaritas adalah normalisasi pelanggaran hak asasi manusia di perbatasan eksternal. Praktik pushback—penolakan pencari suaka secara paksa dan klandestin, seringkali disertai kekerasan—telah dilaporkan secara luas di perbatasan darat dan laut, khususnya di Yunani dan Kroasia.

Praktik ini telah dilembagakan oleh otoritas negara anggota. Pada Januari 2025, Pengadilan Hak Asasi Manusia Eropa (ECHR) memutuskan bahwa Yunani melanggar hak pencari suaka Turki sebagai bagian dari “praktik sistematis pushbacks” dari wilayah Evros ke Turki. Praktik yang mengancam jiwa ini terus berlanjut. Pada kuartal terakhir 2024 saja, 3.413 migran dikembalikan secara paksa di Laut Aegea, yang menyebabkan kematian setidaknya 36 migran. Normalisasi pelanggaran hukum ini merusak fondasi hukum UE dan memberikan amunisi politik bagi sayap kanan yang menuntut perbatasan yang lebih kejam.

Badan Penjaga Perbatasan dan Pantai Eropa (Frontex), yang memiliki peran sentral dalam Integrated Border Management (IBM) UE, juga menghadapi tuduhan keterlibatan atau kelalaian dalam mencegah pushbacks yang melanggar hukum UE dan internasional. Komisi Eropa telah mendesak otoritas nasional (seperti Yunani) untuk menyelidiki tuduhan pelanggaran ini. Namun, kritikus hukum internasional menuntut agar Komisi mengambil tindakan hukum terhadap negara anggota yang melakukan pelanggaran sistematis, karena membiarkan negara tersebut bergabung dengan wilayah Schengen, misalnya, akan menjadi “lampu hijau bagi pelanggaran”.

Krisis Kemanusiaan di Kamp Pengungsi

Di balik kontrol perbatasan yang semakin ketat, kondisi di pusat penerimaan migran di pulau-pulau garis depan Yunani terus mencerminkan krisis kemanusiaan yang mendalam. Kamp-kamp seperti Mória Reception and Identification Centre di Lesvos, yang terbakar pada September 2020, adalah simbol kegagalan ini. Kamp Moria, yang dibangun untuk menampung sekitar 3.000 orang, pada puncaknya menampung sekitar 20.000 orang dan digambarkan oleh Human Rights Watch sebagai “penjara terbuka” dan bahkan oleh pejabat PBB sebagai “kamp konsentrasi di tanah Eropa”.

Meskipun Moria telah ditutup, pusat-pusat penerimaan pengganti (CCAC) terus menampung migran dalam kondisi yang buruk dan tidak dapat diterima, diperburuk oleh suhu rendah dan kepadatan penduduk yang meningkat. Kelompok rentan sangat terpengaruh. Puluhan anak-anak tanpa pendamping terus ditahan secara tidak adil dalam kondisi genting karena kurangnya tempat penampungan khusus. Orang-orang dengan disabilitas juga terpaksa tidur di unit perumahan pengungsi yang tidak memadai selama musim dingin. Pelanggaran hak fundamental, termasuk perlakuan tidak manusiawi dan merendahkan martabat, dianggap tak terhindarkan ketika konsentrasi manusia dalam jumlah besar ditempatkan di kamp-kamp dengan fasilitas minim, seperti yang ditunjukkan oleh kecaman terhadap kondisi di kamp Samos.

Kesimpulan

Gelombang migrasi dari Timur Tengah dan Afrika sejak tahun 2010 telah memaksa Uni Eropa untuk menghadapi kontradiksi mendasar dalam proyeknya: kebutuhan akan solidaritas dan nilai-nilai kemanusiaan di satu sisi, dan tuntutan politik domestik untuk keamanan dan kontrol kedaulatan di sisi lain. Kegagalan fundamental Peraturan Dublin untuk mendistribusikan beban secara adil membuka jalan bagi konsolidasi politik anti-imigran.

Respons UE terbaru, New Pact on Migration and Asylum, adalah cerminan dari pergeseran ideologis yang signifikan ke arah pencegahan dan pengembalian yang cepat, dipengaruhi oleh keberhasilan elektoral partai sayap kanan ekstrem (AfD, RN) pada Pemilu 2024. Meskipun Pakta ini menjanjikan kerangka solidaritas yang diperkuat, desain proseduralnya berisiko mengorbankan kepatuhan terhadap prinsip hukum internasional, terutama melalui legalisasi penahanan de facto di perbatasan dan praktik eksternalisasi yang mengalihkan bahaya ke negara-negara non-UE seperti Libya.

Kontradiksi antara kebutuhan demografis dan ekonomi Eropa yang mendesak migrasi tenaga kerja (keterampilan menengah hingga tinggi) dan dominasi wacana politik yang didorong oleh sekuritisasi (ancaman keamanan dan budaya) adalah pusat dari krisis kebijakan UE saat ini. Ini menciptakan disonansi yang memaksa UE untuk terus mengejar strategi ganda yang secara etis tidak berkelanjutan.

Proyeksi Masa Depan Kebijakan Migrasi Eropa

  1. Konsolidasi Kebijakan Keras: Mengingat pengaruh signifikan partai-partai sayap kanan di Parlemen Eropa dan keberhasilan mereka dalam menguasai wacana publik, kebijakan UE diproyeksikan akan terus bergeser ke arah yang lebih keras. Penekanan akan diberikan pada peningkatan teknologi pengawasan perbatasan (Frontex) dan pertahanan perbatasan fisik.
  2. Ujian Kohesi Internal: Fluktuasi konflik eksternal, terutama di Timur Tengah (seperti yang ditunjukkan oleh konflik Israel-Palestina), akan terus menguji kohesi internal UE. Polarisasi sosial yang diperdalam oleh konflik-konflik ini akan membuat integrasi migran baru semakin sulit, dan memperkuat posisi politik mereka yang berargumen bahwa multikulturalisme adalah ancaman.
  3. Gesekan Hukum dan Etika yang Berkelanjutan: Kecaman hukum, seperti putusan ECHR yang mengkonfirmasi praktik pushbacks yang sistematis, akan terus menjadi titik gesekan antara negara anggota yang mengutamakan kedaulatan perbatasan dan institusi hukum UE serta organisasi hak asasi manusia yang menuntut kepatuhan terhadap prinsip non-refoulement. Pelanggaran hak asasi manusia di perbatasan telah menjadi strategi yang dilembagakan, dan mengatasi normalisasi praktik ilegal ini merupakan tantangan terbesar bagi kredibilitas UE.

Untuk mengatasi krisis yang kompleks ini secara etis dan berkelanjutan, laporan ini menyarankan beberapa langkah strategis:

  1. Mewujudkan Solidaritas yang Mengikat: UE harus memastikan bahwa mekanisme pembagian tanggung jawab di bawah New Pact tidak hanya bersifat teoretis, tetapi diimplementasikan secara efektif dan mengikat. Tujuan utamanya adalah mengurangi tekanan yang tidak adil pada negara-negara garis depan (Yunani, Italia, Spanyol), yang merupakan insentif utama bagi mereka untuk melakukan pelanggaran perbatasan dan pushbacks.
  2. Menegakkan Prinsip Hukum: Perlu ada penguatan pengawasan internal yang substansial, khususnya terhadap lembaga operasional seperti Frontex, dan penyelidikan independen yang mendalam terhadap semua tuduhan pelanggaran hak asasi manusia. Komisi Eropa harus siap mengambil tindakan hukum penegakan (legal enforcement action) terhadap negara anggota yang secara sistematis melanggar hukum suaka UE dan prinsip non-refoulement.
  3. Investasi yang Seimbang dalam Integrasi: Sumber daya harus dialihkan dari fokus eksklusif pada sekuritisasi perbatasan eksternal menuju investasi besar-besaran dalam program integrasi sosial dan pasar kerja di negara penerima utama. Program ini harus mencakup pelatihan bahasa, sertifikasi keterampilan (sesuai permintaan pasar kerja Eropa), dan mekanisme perlindungan yang kuat untuk kelompok rentan (anak tanpa pendamping, orang disabilitas), untuk memanfaatkan potensi ekonomi migran dan mengurangi ketegangan sosial yang dieksploitasi oleh kelompok anti-imigran.
  4. Kontranarasi Proaktif: Pemerintah sentris harus secara proaktif dan berbasis data melawan narasi sekuritisasi sayap kanan yang mengaitkan migrasi dengan kegagalan budaya. Kampanye publik harus menyoroti data empiris tentang kontribusi ekonomi dan demografi migran yang dibutuhkan Eropa, sambil secara jelas membedakan antara kebutuhan kontrol perbatasan yang sah dengan retorika xenofobia.

 

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

4 + 4 =
Powered by MathCaptcha