Pandemi COVID-19 secara brutal telah menguak dan memperparah kontradiksi mendasar dalam paradigma kesehatan global. Meskipun komunitas internasional berjanji menjunjung tinggi solidaritas multilateral, realitasnya didominasi oleh kebijakan domestik yang mengutamakan kepentingan nasional, sebuah fenomena yang dikenal sebagai vaccine nationalism. Kontradiksi antara prinsip kesehatan sebagai hak asasi manusia dan praktik kebijakan yang didorong oleh pasar telah melahirkan krisis ekuitas global. Kesenjangan ini terwujud dalam disparitas akses terhadap alat kesehatan esensial—vaksin penyelamat jiwa dan obat-obatan murah—yang berdampak tidak proporsional terhadap Negara Berpenghasilan Rendah dan Menengah (LMICs).
Pernyataan Tesis Kritis
Analisis ini berargumen bahwa pandemi COVID-19 bukan sekadar mengungkap, tetapi secara fundamental meretakkan struktur arsitektur kesehatan global. Retakan struktural ini terletak pada dua pilar utama: pertama, kegagalan mekanisme distribusi multilateral yang didominasi kepentingan Negara Utara, dan kedua, ketidakfleksibelan serta hegemoni rezim Hak Kekayaan Intelektual (HKI) internasional. Kegagalan sistemik ini menghasilkan biaya kemanusiaan, ekonomi, dan geopolitik yang tidak seimbang, yang seluruhnya dibebankan kepada LMICs. Laporan ini menggunakan analisis kebijakan, data statistik disparitas akses, dan studi kasus hukum/ekonomi—khususnya Perjanjian TRIPS WTO—untuk membedah dan mengkritisi retakan tersebut.
Retaknya Ekuitas Vaksin: Kritik Sistemik terhadap Nasionalisme Vaksin dan Kegagalan COVAX
Data Kuantitatif Disparitas Akses Vaksin
Data kuantitatif menunjukkan jejak kesenjangan akses vaksinasi yang mencengangkan, menegaskan betapa cepatnya solidaritas global runtuh di hadapan kepentingan domestik. Pada periode puncak pandemi, data WHO menunjukkan bahwa 75% dari pasokan vaksin global dinikmati oleh hanya 10 negara mapan atau negara kaya. Sebaliknya, negara-negara berpenghasilan rendah hanya menerima porsi yang sangat kecil, yakni 0,4% dari pasokan global.
Ketidakadilan ini juga tercermin dalam kekuatan finansial yang menentukan antrian akses. Negara-negara berpenghasilan rendah baru dapat membuat perjanjian pembelian vaksin pertama mereka pada Januari 2021, delapan bulan setelah Amerika Serikat dan Inggris mengamankan kesepakatan bilateral pertama mereka. Kesenjangan waktu yang mematikan ini memungkinkan negara-negara kaya mengamankan stok dalam jumlah berlebihan. Sebagai ilustrasi ekstrem, Kanada telah membeli lebih dari 10 dosis vaksin untuk setiap penduduknya pada Juni 2021. Di sisi lain, Haiti, dengan populasi lebih dari 11 juta, baru menerima pengiriman pertamanya—hanya 500.000 dosis—pada Juli 2021. Secara agregat, hingga 30 Maret, 86% dosis disalurkan ke negara-negara kaya, sementara negara-negara berpenghasilan rendah hanya menerima 0,1% dosis.
Diagnosa Kegagalan COVAX Facility (GAVI)
COVAX (COVID-19 Vaccines Global Access), yang dipimpin oleh aliansi GAVI, CEPI, dan WHO, didirikan dengan ambisi besar sebagai respons multilateral terhadap distribusi yang tidak setara, dengan tujuan memastikan akses yang adil bagi LMICs. Namun, fasilitas ini secara luas dianggap “gagal” (fell flat) dalam mencapai mandat ekuitasnya. Kinerja COVAX menunjukkan betapa rapuhnya mekanisme yang bergantung pada niat baik: dosis yang dikirim COVAX hanya mencapai 6% dari total dosis global yang diberikan saat itu, dan pengiriman dihentikan sejak 12 April 2021.
Kritik utama diarahkan pada desain struktural COVAX. Model ini didasarkan pada premis market shaping—mengumpulkan permintaan global untuk menjadi pelanggan paling menarik bagi produsen—yang bergantung pada partisipasi Negara Berpenghasilan Tinggi (HICs) sebagai mitra pembiayaan mandiri. Namun, HICs memiliki insentif yang sangat rendah untuk memprioritaskan COVAX, terutama setelah mereka berhasil mengamankan stok berlebihan melalui perjanjian langsung (bilateral deals). Bahkan pada Agustus 2020, negara-negara kaya telah memesan di muka lebih dari dua miliar dosis vaksin, memotong jalur suplai COVAX.
Kegagalan ini bukan sekadar masalah keuangan, tetapi merupakan kegagalan tata kelola. Dalam perancangannya, terdapat minimalnya partisipasi dan perspektif kritis dari badan-badan regional seperti Africa Centers for Disease Control and Prevention atau perwakilan LMICs. Ketergantungan sistem pada partisipasi sukarela HICs memastikan bahwa jaring pengaman ini akan runtuh di hadapan krisis domestik yang mendesak, yang mendorong HICs mengamankan vaksin berlebihan (hoarding), menerapkan larangan ekspor, dan menjalankan nasionalisme vaksin, sehingga menciptakan distorsi parah dalam penawaran dan permintaan global.
Kesenjangan akses vaksin ini secara langsung berkorelasi dengan ketidakstabilan regional. Perpanjangan pandemi di LMICs tidak hanya menghambat pemulihan ekonomi tetapi memperburuk masalah distribusi dan kekurangan tenaga kesehatan yang memadai. Sebagai contoh, di Afrika, banyak tenaga kesehatan bermigrasi ke Eropa, meninggalkan kawasan tersebut dengan kapasitas yang semakin terbatas untuk melakukan vaksinasi. Kegagalan global untuk menyediakan vaksin secara adil memperparah kondisi internal LMICs, termasuk eksodus tenaga kesehatan (brain drain) yang justru melayani kebutuhan vital negara kaya yang sebelumnya melakukan penimbunan.
Tabel berikut menggambarkan tingkat disparitas yang terjadi pada periode puncak pandemi.
Table 1: Disparitas Akses Vaksin COVID-19 Global (Representasi Kesenjangan Solidaritas)
| Indikator Disparitas | Negara Kaya (HIC) | Negara Berpenghasilan Rendah (LIC) | Sumber dan Konteks | 
| Proporsi Dosis Global yang Diterima | 86% dari dosis | 0.1% dari dosis (hingga 30 Maret) | Menunjukkan penguasaan suplai secara ekstrem. | 
| Penguasaan Dosis (Total) | 75% dinikmati oleh 10 negara | Hanya 0.4% yang dinikmati oleh LIC | Bukti nyata hoarding dan pengabaian ekuitas. | 
| Jadwal Perjanjian Pembelian | Dimulai sebelum Mei 2020 | Dimulai Januari 2021 (8 bulan tertinggal) | Kesenjangan waktu yang mematikan. | 
| Kinerja COVAX | Dosis yang dikirim COVAX hanya 6% dari dosis global saat itu | LIC sangat bergantung, tetapi pengiriman dihentikan (sejak April 2021) | Demonstrasi kegagalan COVAX dalam mengamankan pasokan. | 
Rantai Pasokan Obat: Monopoli HKI dan Ancaman terhadap Akses Obat Murah
Rezim HKI di Bawah Perjanjian TRIPS WTO
Pilar retakan kedua adalah rezim Hak Kekayaan Intelektual (HKI) global, yang distandarisasi melalui Perjanjian Trade-Related Aspects of Intellectual Property Rights (TRIPS) di bawah Organisasi Perdagangan Dunia (WTO). TRIPS mewajibkan negara-negara anggota memberikan perlindungan hak paten obat minimal selama 20 tahun.7 Standar perlindungan yang tinggi ini didorong oleh kekhawatiran negara industri maju terhadap kurangnya perlindungan HKI di negara berkembang, yang mereka anggap mengancam investasi riset dan modal.
Bagi negara berkembang, perlindungan HKI yang kuat ini sering dipandang sebagai bentuk baru “kolonialisme dan imperialisme” yang dipaksakan, menghambat akses terhadap teknologi dan obat-obatan esensial. Secara ekonomi, hak paten memberikan hak eksklusif kepada perusahaan, memungkinkan mereka memegang monopoli dan menetapkan harga yang lebih tinggi tanpa mengikuti hukum persaingan pasar, karena tidak ada produsen generik yang dapat masuk. Praktik monopoli semacam ini mendominasi sektor farmasi multinasional, yang menempatkan insentif pasar di atas kebutuhan kesehatan publik.
Perdebatan Kritis TRIPS Waiver untuk Teknologi COVID-19
Menanggapi pandemi, muncul usulan Temporary TRIPS Waiver (Pengabaian Sementara TRIPS) untuk COVID-19. Usulan ini bertujuan menghentikan monopoli HKI yang ada pada teknologi dan produk kesehatan esensial lainnya, memungkinkan akses terbuka bagi semua negara Namun, meskipun kegentingan kesehatan global, usulan waiver diblokir selama lebih dari setahun melalui “taktik penundaan” oleh sekelompok kecil negara, menunjukkan bagaimana kepentingan dagang berhasil mengalahkan urgensi kemanusiaan.
Industri farmasi inovatif, yang diwakili oleh IFPMA (International Federation of Pharmaceutical Manufacturers and Associations), secara tegas menentang waiver tersebut. IFPMA berargumen bahwa perlindungan HKI adalah insentif kritis yang mendukung R&D dan memungkinkan respons cepat industri terhadap pandemi. Mereka mengklaim bahwa waiver adalah jawaban yang salah untuk masalah yang kompleks, dan bahwa langkah tersebut tidak akan meningkatkan produksi, melainkan hanya menyebabkan gangguan. Menurut mereka, masalah sebenarnya adalah hambatan perdagangan, kemacetan rantai pasokan bahan mentah, dan keengganan negara kaya berbagi dosis. Mereka menekankan bahwa sistem HKI telah mendorong lebih dari 200 perjanjian transfer teknologi sukarela, dan solusi terbaik adalah dialog pragmatis dengan sektor swasta.
Namun, argumentasi ini mengalihkan fokus dari masalah struktural HKI ke masalah operasional (rantai pasokan). Meskipun masalah operasional memang ada, perlindungan HKI adalah mekanisme yang memberikan produsen hak untuk menentukan di mana, kapan, dan kepada siapa teknologi dialihkan. Penolakan terhadap waiver berfungsi untuk mengamankan kontrol perusahaan atas jalur suplai masa depan, memastikan bahwa keuntungan finansial atas monopoli (rent-seeking) dipertahankan, bahkan di tengah krisis. Hal ini menyoroti konflik mendasar antara insentif pasar dan prinsip akses kesehatan publik yang non-diskriminatif. Kegagalan mencapai waiver pada akhirnya adalah kegagalan politik untuk memaksakan ekuitas.
Studi Kasus Historis: HIV/AIDS dan Obat ARV
Dampak destruktif hak paten terhadap akses obat murah bukanlah hal baru; kasus epidemi HIV/AIDS pada akhir abad ke-20 merupakan preseden penting. Organisasi medis independen seperti Médecins Sans Frontières (MSF) menilai bahwa hak paten memperburuk kondisi masyarakat miskin dengan mendongkrak harga obat dan menghalangi produksi generik.
Kasus obat ARV (Anti-Retroviral) untuk HIV/AIDS membuktikan kekuatan persaingan generik. Melalui persaingan produsen obat generik global, harga obat ARV bagi pasien di negara miskin dan berkembang turun secara dramatis, bergerak turun dari US$ 10.000 menjadi hanya US$ 100 per orang per tahun dalam satu dekade—penurunan hampir seratus kali lipat. Peristiwa ini menunjukkan bahwa obat-obatan esensial tidak harus berharga mewah. Namun, setelah Perjanjian TRIPS diberlakukan sepenuhnya pada 2005, kemampuan negara berkembang untuk memproduksi obat generik semakin dibatasi. Meskipun Deklarasi Doha mengenai TRIPS dan Kesehatan Publik (2001) mencoba menjembatani ambiguitas dan menegaskan fleksibilitas untuk kesehatan publik , prosedur paten tetap menjadi penghalang, misalnya dalam kasus obat ARV dan Obat Nevirapine di Afrika, yang memperparah penularan dan penyebaran penyakit.
Table 2: Analisis Keseimbangan TRIPS vs. Kesehatan Publik: Fleksibilitas dan Hambatan
| Mekanisme HKI/Perdagangan | Tujuan Utama | Kritik dari LMICs | Dampak Nyata pada Akses Obat | 
| Perjanjian TRIPS (WTO) | Standar perlindungan paten minimum 20 tahun | Bentuk baru kolonialisme/imperialisme yang memaksakan standar kuat | Memungkinkan monopoli harga tinggi, meniru kasus ARV historis | 
| Deklarasi Doha (2001) | Menegaskan fleksibilitas TRIPS untuk melindungi kesehatan publik | Sering terhambat oleh tekanan politik, sulit diimplementasikan | Secara teori memungkinkan lisensi wajib, praktiknya kompleks | 
| Usulan TRIPS Waiver (COVID-19) | Akses terbuka terhadap KI, menanggapi pandemi | Diblokir oleh sekelompok kecil negara melalui taktik penundaan | Mencegah desentralisasi produksi dan skala generik cepat secara global | 
Dampak Sistemik dan Kerentanan Regional
Beban Ganda di Afrika Sub-Sahara
Kesenjangan akses kesehatan global menciptakan beban ganda di kawasan rentan, terutama Afrika Sub-Sahara. Afrika tidak hanya menghadapi persoalan ketersediaan vaksin COVID-19, tetapi juga tantangan logistik distribusi serta kekurangan tenaga kesehatan yang memadai, sebab banyak tenaga kesehatan bermigrasi ke Eropa.Kurangnya akses terhadap teknologi komunikasi dan informasi (TIK) juga menjadi kendala tambahan dalam memerangi pandemi.
Krisis COVID-19 di Afrika diperparah oleh kenyataan bahwa fokus yang terlalu besar pada satu penyakit mengabaikan penyakit berbahaya lainnya, seperti malaria yang banyak menyerang anak-anak, sehingga beban kesehatan masyarakat semakin kompleks. Pemerintah Indonesia menyatakan kekhawatiran bahwa dampak pandemi terhadap Afrika akan menciptakan efek jangka panjang, termasuk peningkatan angka kematian tidak langsung, penurunan ekonomi, dan peningkatan utang. Solusi di masa depan harus didasarkan pada prinsip “solusi Afrika untuk mengatasi tantangan Afrika” (African solutions to address Africa’s challenges), dan prioritas utama adalah vaksinasi serta inisiatif manufaktur lokal, seperti Partnership for Africa Vaccine Manufacturing Initiative yang diluncurkan Uni Afrika.
Kebutuhan Mandiri dan Transfer Teknologi di Asia (Studi Kasus Indonesia)
Kesenjangan vaksin juga berdampak signifikan di Asia Tenggara, di mana negara-negara seperti Indonesia dan Filipina baru memberikan vaksinasi penuh kepada 10–11% penduduknya pada periode puncak, dan Vietnam bahkan masih di bawah 2%. Keterlambatan ini mendorong inisiatif mandiri untuk mengurangi ketergantungan.
Pemerintah Indonesia, melalui Kementerian Kesehatan, secara aktif mendorong diversifikasi produsen vaksin di dalam negeri, meningkatkan jumlah produsen dari satu (Biofarma) menjadi tiga, dengan rencana penambahan satu lagi. Indonesia juga berupaya menjalin transfer teknologi global, seperti kolaborasi Biofarma dengan Merck Sharp Dohme (MSD) untuk produksi vaksin HPV. Selain itu, Indonesia mengambil peran sebagai advokat distribusi teknologi global. Menteri Kesehatan Budi Gunadi Sadikin secara tegas menyatakan bahwa kapasitas produksi vaksin tidak boleh hanya terkonsentrasi di negara-negara Utara, tetapi pengetahuannya harus dibagikan sebanyak mungkin kepada perusahaan lain di negara-negara Selatan untuk menyelamatkan lebih banyak nyawa. Indonesia bahkan terlibat dalam kerja sama dengan Senegal untuk pengembangan kapasitas produksi vaksin di Afrika.
Pergeseran menuju pembangunan kapasitas mandiri dan kolaborasi Selatan-Selatan ini merupakan respons geopolitik terhadap kegagalan COVAX dan dominasi HKI Global Utara. Kegagalan mekanisme yang dikendalikan secara eksternal memaksa negara-negara berkembang untuk membangun arsitektur kesehatan yang lebih independen dan regional, seperti yang ditunjukkan oleh inisiatif manufaktur vaksin Uni Afrika. Ini adalah pengakuan bahwa akses yang berkelanjutan hanya dapat dicapai melalui desentralisasi produksi dan kedaulatan kesehatan.
Menuju Arsitektur Kesehatan Global yang Adil: Reformasi dan Pembangunan Kapasitas Mandiri
Reformasi Tata Kelola Global Pasca-Pandemi
Retakan dalam jaring pengaman global menuntut reformasi tata kelola yang struktural dan mengikat. Diperlukan fasilitas berskala global yang dipersiapkan untuk menangani pandemi, yang memungkinkan pertukaran ide dan solusi secara universal. Mekanisme ini harus beroperasi berdasarkan prinsip aksesibilitas terhadap standar tertinggi perawatan kesehatan yang dapat dicapai (the highest attainable standard for health care) dan prinsip non-diskriminatif, yang merupakan inti dari pemenuhan hak kesehatan.
Arsitektur baru harus bergerak melampaui sistem sukarela COVAX yang didanai secara filantropis, menuju sistem yang memiliki otoritas mengikat (enforceable mandate) bagi negara-negara penghasil dan pembeli. Ini penting untuk memastikan alokasi yang adil dan non-diskriminatif sejak awal krisis. Model ini akan mencegah bilateral deals dan hoarding memotong jalur multilateral, suatu kelemahan desain yang menyebabkan kegagalan COVAX.
Mengakhiri Monopoli: Mereformasi Rezim HKI Krisis
Reformasi rezim HKI harus menjadi agenda prioritas. Negara-negara berkembang perlu didukung secara politik dan hukum untuk memanfaatkan fleksibilitas TRIPS yang diizinkan Deklarasi Doha, termasuk lisensi wajib dan impor paralel, tanpa takut akan tekanan perdagangan bilateral.
Lebih lanjut, dalam kasus darurat kesehatan publik global, harus dilembagakan mekanisme yang mewajibkan transfer Kekayaan Intelektual dan teknologi, sebagai prasyarat bagi produsen untuk mendapatkan persetujuan darurat atau kontrak pengadaan global. Meskipun IFPMA mengklaim telah terjadi transfer sukarela, transfer ini seringkali lambat, terbatas, dan tidak mencakup seluruh proses manufaktur (end-to-end), sehingga gagal membangun kapasitas mandiri yang sejati. Oleh karena itu, akses berkelanjutan harus didefinisikan ulang tidak hanya sebagai ketersediaan dosis, tetapi sebagai kemampuan untuk memproduksi, mendistribusikan, dan memvaksinasi secara independen.
Penguatan Kapasitas Produksi Lokal dan Kolaborasi Selatan-Selatan
Langkah-langkah praktis harus difokuskan pada penguatan kapasitas produksi di Selatan. Indonesia harus didukung untuk mendapatkan sertifikasi WHO Prequalification (PQ) segera, karena hal ini penting untuk memastikan pasokan vaksin global yang berkualitas dan mencegah bahaya pandemi berikutnya.
Dukungan internasional, khususnya dari forum G20, harus diwujudkan dalam investasi jangka panjang untuk inisiatif manufaktur regional, seperti Partnership for Africa Vaccine Manufacturing Initiative dan kemitraan seperti Biofarma-Senegal. Ini adalah investasi strategis untuk ketahanan kesehatan global. Pemerintah Indonesia sendiri mengadvokasi bahwa pengetahuan harus dibagi sebanyak mungkin dengan perusahaan lain untuk menyelamatkan lebih banyak nyawa, sebuah prinsip yang harus diterapkan sebagai standar tata kelola global.
Table 3: Pilar Kegagalan Tata Kelola Global dan Solusi Struktural yang Diperlukan
| Pilar Kegagalan Global | Manifestasi Kritis (Pasca-COVID-19) | Rekomendasi Reformasi Struktural | Dasar Argumentasi | 
| Monopoli R&D dan IP | Monopoli paten menghambat produksi skala besar dan produksi generik | Mandat Global untuk Transfer Teknologi Wajib dan IP Pooling saat krisis. | Memastikan kesehatan publik di atas insentif finansial. | 
| Mekanisme Distribusi | Nasionalisme Vaksin dan hoarding oleh HICs; Kegagalan COVAX | Fasilitas Pengadaan Global yang mengikat (Non-COVAX model) dan non-diskriminatif. | Mengatasi kelemahan desain COVAX yang bergantung pada sukarela HIC. | 
| Kapasitas Lokal | Ketergantungan LMICs pada impor; Infrastruktur kesehatan yang lemah | Investasi Jangka Panjang dalam manufaktur regional (Afrika, Asia) dan dukungan WHO PQ. | Menggeser kekuatan produksi dari Utara ke Selatan. | 
Kesimpulan
Jaring pengaman global yang seharusnya melindungi seluruh masyarakat dunia dari ancaman kesehatan kolektif terbukti rapuh dan retak selama pandemi COVID-19. Keretakan ini bukan disebabkan oleh keterbatasan sumber daya semata, melainkan merupakan hasil dari pilihan politik (nasionalisme vaksin) dan hambatan struktural (regulasi HKI yang ketat). Kegagalan COVAX adalah gejala, bukan akar masalah; akar masalahnya adalah dominasi kepentingan pasar dan modal di atas prinsip ekuitas dan non-diskriminasi dalam arsitektur kesehatan global.
Untuk mencegah terulangnya bencana ekuitas ini, laporan ini mendesak agar PBB, WHO, dan WTO segera merumuskan kesepakatan pandemi yang mengikat. Kesepakatan tersebut harus memasukkan mekanisme transfer teknologi otomatis dan pemanfaatan fleksibilitas TRIPS secara eksplisit dan tanpa hambatan politik, sebagai prasyarat bagi produsen yang terlibat dalam penanganan krisis global. Prioritas utama harus diberikan pada investasi dan pembangunan kapasitas end-to-end di Negara Selatan, sehingga kedaulatan kesehatan dapat tercapai dan ketergantungan pada mekanisme distribusi yang rapuh dapat diakhiri. Transformasi dari sistem yang didasarkan pada filantropi menjadi sistem yang didasarkan pada kewajiban hukum adalah langkah penting menuju jaring pengaman global yang kuat dan adil.

