Latar Belakang dan Definisi Kebangkitan Nuklir
Kebangkitan nuklir kontemporer merujuk pada reorientasi dan modernisasi kapabilitas nuklir oleh negara-negara berkekuatan senjata (NWS), yang terjadi di tengah meningkatnya ketidakpastian geopolitik global. Fenomena ini jauh melampaui sekadar pemeliharaan inventaris lama; ia melibatkan pergeseran doktrinal yang fundamental dan integrasi teknologi generasi baru yang mengubah dinamika keamanan strategis. Kebangkitan ini terjadi ketika faktor geopolitik memainkan peran penting dalam analisis konflik regional, terutama yang berfokus pada maksimalisasi kekuatan oleh pihak yang terlibat.
Era saat ini ditandai oleh pergeseran dari paradigma klasik Mutual Assured Destruction (MAD) pasca Perang Dingin, yang menekankan pencegahan total melalui jaminan kehancuran timbal balik, menjadi era Competitive Deterrence. Dalam paradigma baru ini, ambang batas penggunaan senjata nuklir taktis dipertanyakan, terutama oleh Rusia. Analisis menunjukkan bahwa kebangkitan nuklir ini bukan hanya peningkatan inventaris, tetapi restrukturisasi peran senjata nuklir. Peran strategis senjata nuklir bergeser dari sekadar pencegah terakhir menjadi alat pemaksaan (coercion) atau bahkan alat untuk de-eskalasi dalam konflik konvensional. Konteks ini sangat rentan karena semakin banyak negara yang percaya bahwa kapabilitas nuklir dapat memberikan leverage regional atau jaminan eksistensial, seperti yang terlihat dalam kasus Iran dan Korea Utara (Korut).
Ketegangan internasional meningkat signifikan setelah pengumuman dari Rusia mengenai keberhasilan uji coba sistem militer strategis baru, yaitu drone bawah air bertenaga nuklir yang mampu membawa hulu ledak nuklir, dikenal sebagai Poseidon. Konteks geopolitik yang mengiringi uji coba ini, yakni meningkatnya ketegangan antara Rusia dan Amerika Serikat (AS), menegaskan bahwa perlombaan senjata telah memasuki babak baru yang didorong oleh inovasi teknologi yang destabilisasi.
Tujuan dan Struktur Laporan
Laporan ini bertujuan untuk menganalisis secara mendalam faktor-faktor yang mendorong kebangkitan nuklir kontemporer—yaitu perubahan doktrinal, erosi rezim hukum internasional, dan introduksi teknologi yang destabilisasi—serta menilai risiko spesifik yang ditimbulkan oleh aktivitas negara-negara utama (AS, Rusia, Korut) terhadap stabilitas global.
Struktur laporan ini akan dibagi menjadi tinjauan terhadap Tiga Pilar Ancaman Utama:
- Erosi rezim kontrol senjata dan hukum internasional.
- Modifikasi doktrin penggunaan nuklir oleh negara-negara besar.
- Introduksi teknologi generasi baru (hipersonik dan AI) yang mempercepat siklus eskalasi.
Erosi Arsitektur Pengendalian Senjata dan Hukum Internasional
Infrastruktur hukum internasional yang dirancang untuk mencegah proliferasi nuklir dan mengontrol senjata strategis mengalami kerusakan parah. Kerusakan ini menciptakan ruang vakum strategis yang dapat dieksploitasi oleh negara-negara yang tidak terikat, yang pada gilirannya meningkatkan risiko proliferasi horizontal dan eskalasi vertikal.
Krisis Rezim Non-Proliferasi dan Pengawasan
Tren penarikan diri atau pengabaian komitmen internasional oleh negara-negara besar menciptakan preseden yang melemahkan sistem keamanan kolektif. Meskipun tidak ada data eksplisit yang disajikan mengenai penarikan diri AS/Rusia dari perjanjian kontrol senjata utama seperti New START atau CTBT dalam materi yang dikumpulkan, sikap Rusia dalam menolak untuk meratifikasi Statuta Roma setelah penandatanganan menunjukkan tren umum penarikan diri dari komitmen internasional. Tindakan Rusia ini dianggap melanggar Pasal 18 Konvensi Wina tentang Hukum Perjanjian (VCLT 1969), yang mewajibkan negara penandatangan untuk menjauhkan diri dari perbuatan yang dapat menggagalkan tercapainya objek dan tujuan perjanjian internasional. Pola ini menunjukkan bahwa negara-negara besar semakin bersedia untuk mengorbankan norma-norma hukum demi kepentingan strategis domestik atau geopolitik.
Kegagalan mekanisme verifikasi multilateral memperburuk situasi. Di Timur Tengah, Iran menangguhkan kerja sama rutin dengan Badan Energi Atom Internasional (IAEA) sebagai respons tegas terhadap campur tangan militer asing dan dugaan bias lembaga internasional. Tanpa akses rutin dan transparansi penuh, pengawasan terhadap perkembangan nuklir Iran kini bergantung pada intelijen dan citra satelit semata. Para ahli telah memperingatkan bahwa penangguhan kerja sama ini secara langsung meningkatkan risiko eskalasi dan memicu perlombaan senjata regional di kawasan yang sudah tegang.
Ketidakpatuhan Struktural Korea Utara dan Implikasi Sistemik
Korea Utara menjadi contoh paling jelas dari kelemahan struktural dalam sistem keamanan kolektif. Korut secara konsisten menunjukkan ketidakpatuhan terhadap Resolusi Dewan Keamanan PBB terkait uji coba nuklir dan rudal. Ketidakpatuhan ini bukan hanya masalah regional; ia menyoroti ketidakmampuan Dewan Keamanan PBB untuk menegakkan norma-norma non-proliferasi terhadap negara nuklir yang gigih. Uji coba rudal balistik antarbenua (ICBM) dan rudal dari kapal selam yang dilakukan Korut terus menguji batas toleransi internasional terhadap tindakan agresif.
Pola erosi hukum internasional dapat dilihat sebagai jalur kausalitas yang berbahaya. Ketika Rusia mengabaikan prinsip VCLT , dan Iran membatasi akses IAEA , sementara Korut mengabaikan PBB , hal ini menunjukkan bahwa negara-negara besar dan proliferator mengambil keuntungan dari melemahnya lembaga multilateral. Implikasi sistemiknya adalah hilangnya verifikasi dan transparansi, yang sangat mempersulit penilaian ancaman yang akurat. Lingkungan yang minim transparansi ini secara langsung meningkatkan risiko miscalculation dan mendorong negara-negara lain, seperti negara-negara di Timur Tengah yang merasa terancam oleh dinamika geopolitik (misalnya persaingan Arab Saudi-Iran), untuk mempertimbangkan pengembangan kapabilitas nuklir horizontal.
Modifikasi Doktrin Nuklir AS dan Rusia: Peningkatan Ambang Batas Penggunaan
Pergeseran doktrinal adalah pendorong utama kebangkitan nuklir. Secara khusus, revisi doktrin Rusia mengubah peran senjata nuklir dari alat pencegah menjadi alat intervensi, yang secara signifikan meningkatkan risiko eskalasi vertikal dalam konflik konvensional.
Doktrin Rusia Pasca Revisi November 2024: Konsep De-Eskalasi melalui Eskalasi
Rusia mengumumkan perubahan doktrin nuklirnya pada November 2024. Perubahan ini dipicu sebagai respons langsung terhadap keputusan Presiden AS Joe Biden yang mengizinkan Ukraina untuk melancarkan serangan misil ke wilayah Rusia. Keputusan AS ini dipandang oleh Moskow sebagai langkah provokatif dan ceroboh yang meningkatkan risiko.
Inti dari revisi doktrin ini adalah perluasan kondisi yang membenarkan penggunaan senjata nuklir. Presiden Vladimir Putin telah menandatangani dekrit yang mengizinkan perluasan penggunaan senjata nuklir. Doktrin baru ini bertujuan untuk meyakinkan musuh bahwa serangan terhadap Rusia atau sekutunya akan menuai pembalasan yang tidak terelakkan. Dalam versi tahun 2020, empat kondisi utama pembenaran penggunaan nuklir termasuk serangan rudal balistik, penggunaan WMD oleh musuh, atau serangan terhadap objek militer penting yang mencegah respons nuklir. Doktrin yang diperbarui memperluas kondisi ini, secara eksplisit mencakup serangan konvensional skala besar yang mengancam eksistensi negara.
Perluasan kondisi ini secara strategis dimaksudkan untuk mengancam penggunaan senjata nuklir taktis, menerapkan strategi yang dikenal sebagai “de-eskalasi melalui eskalasi” (sering disebut escalate to de-escalate). Strategi ini berpendapat bahwa ancaman atau penggunaan terbatas senjata nuklir dapat memaksa lawan yang secara konvensional superior untuk mundur, sehingga “mende-eskalasi” konflik ke tingkat yang menguntungkan Rusia. Doktrin yang semakin agresif ini langsung memicu reaksi di pasar global, menyebabkan kenaikan tajam pada aset safe-haven pada hari pengumuman, mencerminkan kekhawatiran finansial yang meluas atas peningkatan risiko konflik nuklir.
Risiko nyata dari doktrin ini telah terlihat dalam konteks konflik Ukraina, di mana para komentator telah banyak membahas kemungkinan Rusia menggunakan senjata nuklir taktis. Rusia telah memperingatkan penggunaan jika kedaulatan negara berada dalam situasi yang berbahaya. Ancaman-ancaman ini, yang dibuat oleh politikus senior Rusia, termasuk Presiden Putin dan Menteri Luar Negeri Sergey Lavrov, bertentangan dengan proses resolusi damai konflik.
Postur Nuklir Amerika Serikat (NPR 2022)
Kontras dengan perluasan ambang batas yang dilakukan Rusia, Postur Nuklir Amerika Serikat (NPR 2022) menegaskan bahwa tujuan fundamental senjata nuklir AS adalah mencegah serangan nuklir. Doktrin AS menyatakan bahwa penggunaan senjata nuklir dicadangkan untuk “keadaan ekstrem” demi mempertahankan kepentingan vital AS atau sekutu dan mitranya.
Doktrin AS berusaha untuk membatasi peran senjata nuklir hanya pada pencegahan strategis dan balasan nuklir, berlawanan dengan Rusia yang secara eksplisit memperluas ambang batas penggunaan di bawah serangan konvensional. Perbedaan strategis ini menggarisbawahi divergensi doktrinal yang mendasari era ketidakpastian.
Paradoks Stabilitas-Ketidakstabilan Doktrinal
Konvergensi antara doktrin Rusia yang diperluas dengan postur AS yang membatasi menciptakan kondisi untuk Paradoks Stabilitas-Ketidakstabilan (Stability-Instability Paradox). Paradoks ini, yang relevan dalam konteks nuklir , menyatakan bahwa kepastian pencegahan nuklir antarnegara nuklir besar (stabilitas) dapat secara ironis meningkatkan ruang gerak untuk konflik konvensional, proksi, atau konflik sub-nuklir (ketidakstabilan).
Peningkatan eksplisit ancaman nuklir oleh Rusia (stabilitas pada tingkat perang nuklir total) memiliki potensi untuk mencegah intervensi NATO secara langsung, tetapi pada saat yang sama, ia meningkatkan risiko penggunaan senjata nuklir taktis dalam konflik regional seperti Ukraina. Risiko ini diperkuat oleh peran geopolitik yang mendorong maksimalisasi kekuatan. Misalnya, hangatnya hubungan antara AS dan Arab Saudi dalam sektor pertahanan-keamanan telah menjadi basis dukungan AS untuk intervensi Arab Saudi guna menghadapi konflik proksi di Yaman, yang merupakan bagian dari konflik geopolitik besar melawan Iran. Dengan demikian, pencegahan nuklir menjaga keseimbangan kekuatan strategis, tetapi menciptakan lingkungan yang lebih berisiko dan rentan terhadap konflik konvensional yang dipertaruhkan tinggi.
Untuk menggambarkan divergensi doktrinal yang signifikan, berikut disajikan perbandingan antara postur nuklir kedua negara adidaya:
Perbandingan Doktrin Penggunaan Nuklir: AS vs. Rusia (Pasca Revisi 2024)
| Aspek Doktrin | Rusia (Pasca Revisi Nov 2024) | Amerika Serikat (NPR 2022) | 
| Tujuan Fundamental | Membalas serangan tak terelakkan; Menghadapi ancaman eksistensial terhadap negara/sekutunya. | Mencegah serangan nuklir; Mempertahankan kepentingan vital AS atau sekutu/mitra. | 
| Kondisi Penggunaan Diperluas | Serangan balistik masuk; Penggunaan WMD musuh; Serangan konvensional skala besar yang mengancam eksistensi negara. | Penggunaan dicadangkan untuk keadaan ekstrem (membatasi peran senjata nuklir). | 
| Ambisi Nuklir Taktis | Jelas, sebagai alat de-eskalasi dan pemaksaan dalam konflik regional. | Terbatas, fokus pada deterrence strategis; mengupayakan peran nuklir yang dibatasi. | 
Ancaman Teknologi Generasi Baru: Perlombaan Hipersonik dan Otonomi Militer
Perlombaan senjata abad ke-21 tidak hanya tentang jumlah hulu ledak, tetapi tentang kecepatan, otonomi, dan integrasi digital. Teknologi-teknologi ini secara inheren destabilisasi karena memperpendek waktu reaksi, yang secara efektif menghilangkan “jeda” yang secara tradisional memungkinkan diplomasi dalam krisis nuklir.
Game Changer Bawah Air: Sistem Poseidon Rusia
Salah satu sistem yang paling signifikan dalam perlombaan senjata generasi baru adalah Poseidon, drone bawah air bertenaga nuklir milik Rusia. Sistem ini mampu membawa hulu ledak nuklir dan diuji coba dengan sukses di tengah meningkatnya ketegangan internasional. Poseidon, bersama dengan platform canggih lainnya seperti RB-109 Bylina dan Geran-2, adalah bagian dari kerangka Superoruzhie Rusia. Kerangka ini dirancang untuk menyelaraskan kekuatan konvensional dan nuklir dalam perang digital yang lebih cerdas dan terintegrasi.
Keberhasilan uji coba Poseidon menegaskan kemampuan teknologi militer Rusia dalam pengembangan senjata strategis berteknologi tinggi. Kehadiran sistem ini memiliki implikasi strategis yang mendalam: ia memperkenalkan dimensi ancaman balasan kedua yang sulit dilacak dan tidak terduga di domain maritim/bawah laut. Jika negara-negara lain merasa tertinggal dalam pengembangan teknologi serupa, hal ini secara langsung mendorong perlombaan senjata baru yang berpotensi mengancam stabilitas global.
Senjata Hipersonik: Mempersingkat Waktu Reaksi Kritis
Perlombaan hipersonik, yang melibatkan AS, Rusia, dan Tiongkok, merupakan kompetisi narasi kekuatan: siapa yang pertama menguasai senjata generasi baru berpotensi memegang kendali dalam deteren strategis abad ke-21. Senjata hipersonik bergerak dengan kecepatan Mach 5 atau lebih, mempersingkat waktu tempuh secara drastis dibandingkan rudal balistik tradisional.
Tantangan strategis utama yang dibawa oleh senjata hipersonik adalah percepatan siklus eskalasi. Kehadiran hipersonik memperpendek waktu pengambilan keputusan dalam krisis. Dalam skenario krisis, waktu tempuh yang singkat berarti pemimpin politik dan militer memiliki waktu yang jauh lebih sedikit untuk melakukan verifikasi ancaman, komunikasi dengan musuh, dan pertimbangan rasional. Keterbatasan waktu ini secara signifikan meningkatkan risiko miscalculation yang mengarah ke perang nuklir tak terduga (flash-escalation). Konvergensi antara ancaman balasan sekunder yang ditingkatkan oleh Poseidon dan kecepatan hipersonik memaksa keputusan dibuat dalam hitungan menit, yang pada gilirannya mendorong ketergantungan pada sistem otonom.
Kecerdasan Buatan (AI) dan Sistem Otonom Mematikan (LAWS)
Kecerdasan Buatan (AI) adalah komponen kunci dalam perlombaan senjata generasi baru, di mana sistem senjata mengalir dalam satu kerangka AI terpadu. AI di sektor militer merupakan pedang bermata dua: ia menawarkan efisiensi dan perlindungan yang belum pernah ada sebelumnya, namun juga menghadirkan potensi kehancuran bila tidak diatur dengan bijak.
Sistem Senjata Otonom Mematikan (Lethal Autonomous Weapon Systems/LAWS) menghadirkan tantangan etika dan keamanan yang mendesak. Risiko utamanya adalah potensi malfungsi sistem dan hilangnya akuntabilitas manusia dalam proses penggunaan senjata. Karena keputusan eskalasi harus dibuat cepat (dipicu oleh hipersonik), ketergantungan pada AI untuk kecepatan reaksi akan meningkat.
Ada kebutuhan mendesak akan regulasi internasional yang mengikat dalam mengatur penggunaan senjata berbasis AI. Meskipun diskusi terus berlangsung di forum seperti Convention on Certain Conventional Weapons (CCW), kemajuan masih lambat. Para ahli merekomendasikan perlunya penguatan keamanan siber dan audit algoritmik untuk mencegah penyalahgunaan dan malfungsi, serta perlunya moratorium sementara terhadap LAWS, sambil menunggu kerangka hukum global yang komprehensif. Indonesia dan negara berkembang lainnya harus turut serta dalam membentuk masa depan AI militer yang lebih aman, adil, dan manusiawi.
Implikasi dari perlombaan senjata berbasis kecepatan dan otonomi adalah penghapusan “jeda” krisis. Ini menciptakan lingkungan yang sangat rentan terhadap eskalasi tak terkendali.
Matriks Risiko Teknologi Senjata Generasi Baru
| Teknologi | Aktor Utama | Risiko Utama terhadap Stabilitas | Dampak Eskalasi | 
| Kendaraan Bawah Air Nuklir (Poseidon) | Rusia [1, 14] | Memperkenalkan dimensi ancaman balasan kedua yang tidak terduga dan sulit dilacak. | Peningkatan ketidakpastian; mendorong perlombaan senjata bawah laut. | 
| Senjata Hipersonik | AS, Rusia, Tiongkok | Mempersingkat waktu peringatan dan pengambilan keputusan strategis secara drastis. | Siklus eskalasi dipercepat; meningkatkan risiko miscalculation. | 
| Sistem Senjata Otonom Mematikan (LAWS/AI) | Global (AS, Rusia, Tiongkok) | Malfungsi sistem; kurangnya akuntabilitas manusia dalam penggunaan senjata nuklir. | Potensi konflik tak terduga; tantangan regulasi etika dan hukum. | 
Analisis Kasus Uji Coba dan Proliferasi Horizontal (Korut dan Geopolitik Regional)
Korea Utara (Korut) tetap menjadi katalis utama proliferasi horizontal dan ancaman uji coba nuklir yang paling nyata bagi stabilitas regional, sekaligus berperan sebagai pemasok teknologi di kawasan lain.
Korea Utara: Kapabilitas ICBM dan Deterrence Regional
Program nuklir Korut pasca Perang Dingin telah memicu respons keras dari negara-negara Asia Timur dan AS. Pyongyang terus mengembangkan kemampuan rudal balistik antarbenua (ICBM) yang semakin canggih, termasuk uji coba Hwasong-18, yang diklaim terkuat sepanjang masa dan mampu mencapai AS. Selain itu, Korut juga melakukan uji coba rudal balistik dari kapal selam, menunjukkan kemajuan dalam kemampuan second-strike.
Program nuklir Korut menimbulkan ketidakstabilan di Asia Timur dan secara langsung mengancam keamanan global. Dampaknya paling kuat dirasakan oleh Korea Selatan dan Jepang, dua dari sepuluh perekonomian terbesar di dunia. Ancaman rudal balistik Korut tidak hanya menciptakan ketidakpastian politik tetapi juga mengancam stabilitas ekonomi di kawasan. Setiap kali terjadi eskalasi, pasar saham di Seoul dan Tokyo merespons negatif, mencerminkan kekhawatiran besar akan potensi pecahnya perang. Secara geografis, Seoul hanya berjarak 60 kilometer dari Zona Demiliterisasi (DMZ), membuatnya sangat rentan terhadap serangan rudal atau artileri.
Sinyal Strategis: Potensi Uji Coba Bersamaan (Rusia/Korut)
Analisis menunjukkan kemungkinan adanya koordinasi strategis yang mendalam antara Rusia dan Korut. Analis memperingatkan potensi uji coba nuklir oleh Rusia dan Korut secara bersamaan pada tahun 2024, bertepatan dengan pemilihan presiden Amerika Serikat.
Sinyal uji coba terkoordinasi ini merupakan strategi “maksimalisasi kekuatan” yang dirancang untuk mengeksploitasi periode kerentanan politik. Dengan melakukan uji coba selama transisi politik di AS, Rusia dan Korut mengirimkan sinyal bahwa AS dan sekutunya teralihkan dan lemah, sehingga menguji batas toleransi internasional. Ini adalah upaya terkoordinasi untuk mengukuhkan aliansi strategis anti-Barat dan menuntut konsesi di arena diplomatik.
Proliferasi Horizontal dan Risiko Regional Kedua (Timur Tengah)
Dinamika keamanan di Asia Timur tidak terisolasi. Korea Utara terkenal sebagai pemasok utama teknologi rudal ke Iran. Hubungan ini menghubungkan risiko keamanan di Semenanjung Korea dengan Timur Tengah, memfasilitasi proliferasi kapabilitas rudal balistik di kawasan kedua.
Meskipun Iran mengklaim masih membuka saluran diplomasi dan tidak keluar dari Perjanjian Non-Proliferasi Nuklir (NPT) , pembatasan inspeksi IAEA dan persepsi skeptis regional terhadap program nuklirnya meningkatkan risiko perlombaan senjata di kawasan itu. Persaingan geopolitik regional, yang didorong oleh sumber daya alam masif seperti migas , ditambah dengan dukungan pertahanan-keamanan AS terhadap Arab Saudi, menciptakan lingkungan di mana kekuatan regional mungkin merasa tertekan untuk mengembangkan kemampuan breakout nuklir mereka sendiri. Pembatasan akses verifikasi dan transfer teknologi antar negara non-patuh memperkuat jalur proliferasi horizontal yang membahayakan.
Bahaya Multidimensi Uji Coba Nuklir dan Lingkungan
Bahaya uji coba nuklir dan proliferasi melampaui perhitungan geopolitik dan militer; mereka mencakup konsekuensi kemanusiaan, ekologis, dan hukum yang tidak dapat diubah.
Risiko Kemanusiaan: Efek Ledakan dan Radiasi
Senjata nuklir adalah senjata pemusnah massal yang dampaknya multidimensi. Ledakan nuklir menyebabkan kematian dan cedera melalui beberapa mekanisme:
- Gelombang ledakan yang merusak struktur dan menyebabkan trauma.
- Luka bakar dari energi panas yang dihasilkan.
- Kebutaan yang disebabkan oleh cahaya yang sangat kuat.
- Penyakit radiasi dari radiasi yang dilepaskan segera setelah ledakan.
Selain dampak instan di zona ledakan, bahaya jangka panjang ditimbulkan oleh fallout radioaktif—zat yang dikeluarkan dari ledakan yang jatuh di jalur angin. Fallout ini dapat menyebabkan kontaminasi eksternal maupun internal, penyakit radiasi yang kronis, dan pencemaran sumber air serta makanan, bahkan di lokasi yang tergolong jauh dari pusat ledakan. Limbah nuklir, material radioaktif sisa dari berbagai aktivitas nuklir, termasuk pembangkit listrik dan fasilitas penelitian, memerlukan pengelolaan yang sangat ketat karena risiko kesehatan dan lingkungan yang ditimbulkannya. Krisis keamanan di Pembangkit Listrik Tenaga Nuklir (PLTN) Zaporizhia yang diduduki Rusia pada tahun 2022 juga menunjukkan risiko bencana nuklir yang serius, terpisah dari penggunaan senjata, menambah lapisan ancaman radiologis dalam konflik modern.
Implikasi terhadap Stabilitas Regional dan Kawasan Bebas Nuklir (NWFZ)
Peningkatan aktivitas militer nuklir di Indo-Pasifik, terutama yang terkait dengan proyeksi kekuatan besar dan kemampuan ICBM Korut , secara langsung mengancam integritas Kawasan Bebas Senjata Nuklir (NWFZ) ASEAN. ASEAN ditetapkan sebagai kawasan bebas nuklir , tetapi peningkatan kehadiran kapal selam bertenaga nuklir (seperti program AUKUS atau proposal terkait nuclear naval propulsion yang diajukan Indonesia kepada PBB ) mengikis status ini.
Ancaman ICBM Korut dan proliferasi teknologi rudal di Asia menciptakan dinamika keamanan di mana status NWFZ ASEAN berisiko menjadi relevan secara de jure namun tidak relevan secara de facto. Jika kekuatan besar terus memproyeksikan kekuatan nuklir di perbatasan kawasan, tekanan untuk penyeimbangan kekuatan akan meningkat.
Kesimpulan
Analisis ini menyimpulkan bahwa dunia berada di tengah kebangkitan nuklir yang didorong oleh tiga tren yang sangat destabilisasi. Pertama, erosi cepat terhadap arsitektur kontrol senjata dan non-proliferasi, yang menciptakan ruang vakum strategis yang mengundang proliferasi horizontal. Kedua, modifikasi doktrin penggunaan nuklir oleh Rusia (konsep de-eskalasi melalui eskalasi) yang secara signifikan menurunkan ambang batas penggunaan senjata nuklir taktis, memperburuk Paradoks Stabilitas-Ketidakstabilan. Ketiga, perlombaan senjata yang didorong oleh teknologi generasi baru—seperti Poseidon, hipersonik, dan AI—yang mempercepat siklus eskalasi dan menghilangkan “jeda” yang memungkinkan manajemen krisis yang rasional.
Konvergensi antara doktrin yang semakin agresif, teknologi yang mempercepat eskalasi, dan kerangka pencegahan tradisional yang rusak oleh erosi hukum dan non-transparansi (Korut, Iran) menciptakan lingkungan strategis yang lebih rentan terhadap miscalculation dan eskalasi tak terduga dibandingkan era Perang Dingin.
Berdasarkan analisis ancaman multidimensi ini, diperlukan tindakan kebijakan yang tegas dan terkoordinasi untuk memitigasi risiko eskalasi dan proliferasi nuklir:
Revitalisasi Kontrol Senjata dan Dialog Strategis
Diperlukan desakan bagi dialog bilateral yang konstruktif antara AS dan Rusia untuk memperpanjang batasan senjata yang ada dan mencari mekanisme pengendalian senjata baru yang mencakup teknologi non-tradisional, seperti Poseidon dan platform berbasis AI. Diplomasi dan mekanisme pengendalian senjata harus tetap menjadi prioritas global demi menghindari eskalasi yang tidak terkendali. Diplomasi harus digunakan untuk membangun kepercayaan, kepatuhan, verifikasi, dan kerja sama antar pihak.
Penguatan Verifikasi Multilateral dan Penegakan Hukum
Komunitas internasional harus mendukung penuh IAEA dan menuntut transparansi dari negara-negara yang ambivalen, khususnya Iran, untuk memulihkan akses inspeksi rutin. Selain itu, mekanisme PBB harus mencari cara-cara kreatif, di luar sanksi tradisional, untuk menegakkan Resolusi Dewan Keamanan terhadap negara-negara yang tidak patuh secara gigih seperti Korea Utara.
Regulasi Senjata Generasi Baru dan Otonomi
Negara-negara harus mendorong pembentukan kerangka hukum global yang mengikat untuk mengatur penggunaan AI di sektor militer. Fokus utama harus diarahkan pada Sistem Senjata Otonom Mematikan (LAWS), dengan penekanan pada prinsip tanggung jawab, transparansi, dan akuntabilitas manusia dalam keputusan penggunaan kekuatan. Moratorium sementara terhadap LAWS harus dipertimbangkan secara serius hingga kerangka hukum global yang komprehensif terbentuk.
Penguatan Peran Negara Non-Nuklir
Indonesia dan negara-negara anggota ASEAN harus terus menguatkan komitmen regional terhadap NWFZ. Mereka juga harus secara proaktif mengadvokasi regulasi internasional yang adil bagi masa depan AI militer, memastikan bahwa kepentingan keamanan negara berkembang tidak tergerus oleh perlombaan senjata kekuatan besar. Kewaspadaan terhadap proliferasi kapabilitas propulsi nuklir angkatan laut di Indo-Pasifik harus menjadi agenda utama untuk menjaga relevansi NWFZ.
Diplomasi Krisis Regional
Mengintensifkan upaya dialog regional untuk Semenanjung Korea. Meskipun perundingan dengan Korut terbukti sulit , saluran diplomasi harus tetap terbuka untuk mencegah eskalasi tak terkendali. Kerjasama regional dan penegasan aliansi keamanan (AS-Korsel-Jepang) harus diimbangi dengan upaya pembangunan kepercayaan agar deterrence tidak lantas beralih menjadi konfrontasi militer.

