Indonesia memegang posisi krusial sebagai salah satu negara pemasok tenaga kerja terbesar di dunia. Arus migrasi ini didorong oleh kombinasi kompleks antara faktor pendorong (push factors) di dalam negeri dan faktor penarik (pull factors) di negara-negara tujuan. Di tingkat domestik, faktor pendorong utama meliputi menyempitnya lapangan pekerjaan dan menurunnya permintaan atas barang-barang tertentu yang membuat sumber-sumber alam berkurang, memaksa penduduk mencari penghidupan di luar negeri. Sementara itu, faktor penarik muncul dari adanya perbedaan tingkat upah yang signifikan dan permintaan tinggi untuk sektor informal (konstruksi, perkebunan, dan rumah tangga) di negara-negara tujuan, yang umumnya tidak diisi oleh angkatan kerja lokal.

Meskipun migrasi bertujuan untuk meningkatkan kesejahteraan, peningkatan jumlah tenaga kerja Indonesia yang diberangkatkan seringkali diiringi oleh peningkatan masalah yang mengarah pada pelanggaran hak asasi manusia (HAM). Isu ini tidak hanya dapat dipandang sebagai pelanggaran ketenagakerjaan biasa, tetapi merupakan kejahatan kemanusiaan terorganisir, yaitu Tindak Pidana Perdagangan Orang (TPPO), yang berujung pada perbudakan modern.

Membedah Perbudakan Modern, Kerja Paksa, dan Perdagangan Manusia (TPPO)

Secara konseptual, penting untuk membedakan antara TPPO dan Perbudakan Modern. TPPO merujuk pada proses kejahatan yang melibatkan perekrutan, pengangkutan, penampungan, atau penerimaan seseorang dengan ancaman atau penggunaan kekerasan, untuk tujuan eksploitasi. Sementara itu, Perbudakan Modern adalah hasil akhir dari TPPO.

Kerangka hukum Indonesia mendefinisikan eksploitasi yang terkait dengan TPPO secara luas, meliputi: eksploitasi untuk pelacuran atau bentuk eksploitasi seksual lainnya, kerja atau pelayanan paksa, perbudakan atau praktik yang serupa dengan perbudakan, penghambaan, dan pengambilan organ tubuh. Perdagangan orang merupakan kejahatan keji yang mencederai HAM, mengabaikan hak seseorang untuk hidup bebas, tidak disiksa, serta hak untuk tidak diperbudak.

Prevalensi Global dan Lokal: Skala Krisis

Skala perbudakan modern secara global sangat masif. Berdasarkan Global Estimates of Modern Slavery yang dihasilkan oleh International Labour Organization (ILO) dan Walk Free, diperkirakan pada tahun 2021 terdapat 49.6 juta orang berada dalam kondisi perbudakan modern di seluruh dunia, dengan 27.6 juta di antaranya berada dalam kerja paksa.

Di Indonesia, data menunjukkan bahwa krisis ini merupakan masalah domestik yang signifikan sekaligus masalah migrasi. Global Slavery Index (GSI) 2023 memperkirakan bahwa sebanyak 1.833.000 orang hidup dalam perbudakan modern di Indonesia pada periode tahun 2021. Angka ini setara dengan prevalensi 6.7 orang per seribu penduduk di negara tersebut. Dalam hal prevalensi, Indonesia menempati peringkat ke-62 secara global dari 160 negara dan termasuk dalam 10 besar negara di kawasan Asia Pasifik yang memiliki prevalensi perbudakan modern tertinggi.

Tabel 1: Estimasi Skala Perbudakan Modern di Indonesia (2021)

Indikator Prevalensi Indonesia (per 1000 orang) Jumlah Estimasi (Juta) Peringkat Global (dari 160 negara) Sumber Data Kunci
Perbudakan Modern 6.7 1.833 62 Walk Free GSI 2023

Akar Masalah Sistemik: Mengapa TKI Menjadi Sasaran Utama

Faktor Pendorong (Push Factors) dan Lingkaran Kemiskinan

Faktor pendorong utama yang menjadikan PMI sangat rentan adalah keterbatasan ekonomi domestik. Kondisi seperti kelangkaan pekerjaan dan upah rendah di daerah asal  mendorong angkatan kerja untuk memilih migrasi internasional. Analisis mendalam menunjukkan bahwa kondisi ini menciptakan dinamika migrasi berulang (repeated migration) yang berisiko tinggi.

Hasil penelitian mengindikasikan bahwa remitansi (kiriman uang) yang diperoleh pekerja migran seringkali hanya cukup untuk menutupi kebutuhan konsumsi keluarga. Setelah kembali ke Indonesia, purna-PMI menghadapi kesulitan serius dalam beradaptasi dengan kondisi tenaga kerja lokal, yang ditandai dengan kelangkaan pekerjaan dan rendahnya tingkat upah. Keterbatasan kemampuan dalam berwirausaha semakin memperburuk keadaan, menyebabkan mereka kembali terjerumus ke dalam siklus migrasi berulang. Ketergantungan ini membuat sistem migrasi internasional secara ironis berfungsi sebagai katup pengaman sosial ekonomi bagi PMI yang rentan, yang pada saat yang sama juga mengekspos mereka pada risiko eksploitasi yang lebih besar di setiap siklus migrasi.

Faktor Penarik (Pull Factors) dan Permintaan Tenaga Kerja Murah

Di sisi negara tujuan, permintaan tenaga kerja migran didorong oleh faktor penarik utama, yaitu kesenjangan upah yang signifikan untuk jenis pekerjaan yang sama antara Indonesia dan negara tujuan, seperti Malaysia. Selain itu, negara-negara tujuan mengalami permintaan tinggi untuk sektor informal (seperti konstruksi, perkebunan, dan pekerjaan rumah tangga) yang tidak diminati oleh tenaga kerja domestik mereka.

Kesenjangan struktural ini menciptakan ceruk pasar bagi PMI, namun juga memastikan bahwa pekerjaan yang tersedia berada di sektor-sektor dengan perlindungan hukum yang lemah dan tingkat pengawasan yang minim. Hal ini secara struktural meningkatkan risiko PMI terekspos pada eksploitasi dan perbudakan modern.

Peta Jalan Kerentanan: Eksploitasi di Setiap Tahap Migrasi

Data kualitatif menegaskan bahwa kekerasan dan eksploitasi terhadap TKI/PMI adalah fenomena yang berulang, terjadi secara bersamaan, dan tidak terbatas pada masa penempatan di luar negeri, melainkan dimulai sejak tahap pra-pemberangkatan hingga pemulangan.

Tahap Pra-Penempatan: Mekanisme Perangkap Utang (Debt Bondage)

Tahap rekrutmen adalah titik kerentanan awal yang paling kritis. Calon TKI/PMI yang memiliki tingkat pendidikan rendah atau akses informasi yang terbatas sangat mudah terjebak dalam pemberangkatan ilegal. Perekrutan sering terjadi melalui perantara informal (calo) atau agen penyalur, yang menawarkan kemudahan proses tetapi seringkali disertai pemerasan, penipuan, dan eksploitasi.

Masalah yang paling umum di tahap ini adalah sistem pinjaman yang diatur oleh agen tenaga kerja atau rentenir, yang mengarah pada perbudakan utang (debt bondage). Pekerja sering dipaksa menandatangani perjanjian pinjaman untuk menutupi biaya pelatihan dan penempatan sebelum mereka mulai bekerja, dan seringkali mereka tidak memahami isi dokumen yang mereka tandatangani. Perbudakan utang merupakan mekanisme kunci yang secara efektif mengubah pekerja migran menjadi komoditas yang terikat secara finansial. Kondisi ini menciptakan tekanan psikologis yang membatasi hak pekerja untuk keluar dari pekerjaan, bahkan ketika mereka menghadapi kekerasan atau eksploitasi di tempat tujuan.

Selain perbudakan utang, calo juga terlibat dalam pendanaan awal bagi calon TKI ilegal, yang semakin memperbesar risiko eksploitasi. Kekerasan fisik dan pelecehan seksual juga dilaporkan terjadi di pusat pelatihan atau penampungan calon TKI oleh agen tenaga kerja, ditambah dengan kondisi hidup yang tidak memadai, seperti kekurangan makan dan ruang gerak yang terbatas. Kasus penipuan juga marak terjadi, di mana puluhan calon TKI telah membayar uang muka belasan hingga puluhan juta rupiah ke rekening kepala cabang PJTKI fiktif untuk janji bekerja di luar negeri yang tidak pernah terealisasi.

Tahap Penempatan dan Eksploitasi Fisik/Psikologis

Di negara penempatan, eksploitasi mengambil berbagai bentuk. Salah satu mekanisme kontrol psikologis yang paling efektif adalah penahanan paspor oleh majikan, yang membuat pekerja migran (TKI 6, misalnya) merasa tidak berdaya dan terpaksa terus bekerja di bawah kondisi yang buruk.

Pencurian upah (wage theft) merupakan pelanggaran yang sering terjadi. Misalnya, di Hong Kong, meskipun pekerja migran relatif terlindungi, mereka masih menderita karena diperas oleh rentenir yang mengambil sebagian besar gaji mereka. Contoh ekstrem juga terjadi di Australia, di mana pekerja migran tidak digaji selama berbulan-bulan (hingga tujuh bulan), namun terpaksa bertahan karena bergantung pada majikan yang menjanjikan sponsor untuk visa kerja terampil mereka. Hal ini menunjukkan bagaimana sistem birokrasi migrasi (persyaratan visa) dapat disalahgunakan oleh majikan sebagai alat untuk mengontrol dan mengeksploitasi pekerja.

TKI perempuan (TKW) menghadapi risiko kekerasan seksual dan fisik yang tinggi, termasuk ancaman perkosaan dan pelecehan seksual dari majikan laki-laki. Selain itu, laporan juga mencatat rumor mengenai suntikan yang mengakibatkan kehilangan ingatan (suntik pana) yang diduga diberikan kepada TKI ilegal oleh petugas di Malaysia.

Perdagangan Manusia dalam Rantai Pasokan Global

Perdagangan manusia yang dialami PMI sangat terkonsentrasi di sektor-sektor yang menopang rantai pasokan global, menuntut akuntabilitas dari korporasi internasional yang menjadi pembeli akhir.

Sektor Perikanan Laut Dalam (ABK): Bentuk Perbudakan Paling Ekstrem

Sektor perikanan laut dalam merupakan salah satu arena eksploitasi paling brutal. Kasus-kasus Anak Buah Kapal (ABK) Indonesia di kapal-kapal ikan asing (berbendera RRT atau Taiwan) telah mengungkap praktik perbudakan modern yang ekstrem. Korban melaporkan mengalami kekerasan fisik, perlakuan buruk dari kapten dan sesama ABK asing, serta tidak dibayarkan gaji selama bekerja. Kasus tragis, seperti pelarungan jenazah ABK Indonesia ke laut atau tindakan ABK yang melompat ke laut karena perlakuan buruk, menyoroti tingkat keparahan eksploitasi.

Dalam kasus TPPO di sektor ini, pelaku mempermudah penempatan korban dengan memalsukan dokumen, termasuk sertifikat pelaut, yang merupakan modus umum (122 korban TPPO dibekali dokumen palsu dalam periode 2015–2019). Sejak tahun 2013 hingga Juni 2020, Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) telah memberikan perlindungan kepada 232 ABK sektor perikanan, namun diyakini bahwa angka ini jauh lebih rendah dari jumlah korban sebenarnya.

Kompleksitas yurisdiksi di laut internasional menciptakan celah besar bagi impunitas. Ketika kapal berbendera asing melakukan eksploitasi jauh dari perairan Indonesia, penegakan hukum domestik menjadi sulit. Pelaku TPPO mengeksploitasi “zona abu-abu” ini, yang memerlukan kerja sama internasional yang kuat dan pemanfaatan regulasi uji tuntas global untuk menekan entitas korporasi yang terlibat.

Sektor Komoditas Kunci (Perkebunan Sawit)

Sektor komoditas, khususnya perkebunan kelapa sawit di Malaysia, juga menjadi titik konsentrasi kerja paksa. Tuduhan kerja paksa dalam industri kelapa sawit adalah isu lama yang telah menarik perhatian internasional. Tekanan global, seperti larangan impor dari Bea Cukai dan Perlindungan Perbatasan AS (CBP) terhadap produk sawit dari perusahaan tertentu, menunjukkan bagaimana eksploitasi ini tertanam dalam rantai pasokan.

Meskipun Pemerintah Malaysia mengklaim telah menindaklanjuti masalah tersebut, kelompok buruh terus melaporkan bahwa ribuan pekerja asing di industri ini tetap tunduk pada kondisi kerja paksa. Situasi ini memaksa negara produsen komoditas untuk mengambil tindakan korektif, menggarisbawahi peran penting tekanan pasar global dalam mendorong kepatuhan HAM.

Sektor Pekerja Rumah Tangga (PRT) dan Kerja Perawatan

Pekerja Rumah Tangga (PRT) migran, yang sebagian besar adalah perempuan, menghadapi kerentanan yang khas. Sifat pekerjaan yang terisolasi di dalam rumah tangga menyulitkan pengawasan, mempersulit akses bantuan hukum, dan meningkatkan risiko kekerasan fisik, psikologis, dan seksual. Isu ini mendesak pengesahan regulasi yang komprehensif untuk mengatasi kerentanan spesifik yang dialami oleh pekerja perempuan di sektor kerja perawatan ini.

Tinjauan Hukum dan Tantangan Penegakan Hukum

Kerangka Hukum Perlindungan PMI: UU 18 Tahun 2017

Indonesia memiliki kerangka hukum domestik untuk melindungi pekerja migran, yang diatur melalui Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2004 (sebelumnya) dan digantikan oleh Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2017 tentang Perlindungan Pekerja Migran Indonesia. Regulasi ini seharusnya memberikan perlindungan komprehensif mulai dari tahap pra-penempatan, masa penempatan, hingga purna-penempatan.

Kegagalan Implementasi dan Lubang Hukum (Gaps)

Meskipun kerangka hukum telah tersedia, implementasi perlindungan masih menghadapi hambatan serius. Penelitian menunjukkan bahwa TKI yang berangkat melalui jalur legal pun mengalami eksploitasi karena peraturan dan mekanisme penempatan yang ada belum secara efektif melindungi hak asasi manusia.

TKI ilegal menghadapi risiko yang jauh lebih besar dan mengalami dampak kekerasan yang lebih berat. Kerentanan ini diperburuk oleh lemahnya sistem perlindungan, terutama di negara tujuan yang tidak memiliki kerja sama resmi bilateral dengan Indonesia. Misalnya, kurangnya kerja sama resmi membuat PMI yang berangkat tanpa jalur resmi tidak memiliki perlindungan hukum yang memadai, termasuk akses ke layanan kesehatan atau bantuan hukum. Ini menunjukkan kebutuhan mendesak untuk memperkuat pengawasan keimigrasian di daerah asal sebagai upaya preventif yang efektif terhadap TPPO.

Tantangan Penuntutan Tindak Pidana Perdagangan Orang (TPPO) Lintas Negara

Penuntutan kasus TPPO, terutama yang melibatkan yurisdiksi lintas negara, menghadapi tantangan besar terkait kompleksitas pembuktian. Selain hukuman pidana, fokus penting dalam penegakan hukum adalah pemulihan hak korban, khususnya melalui restitusi (ganti rugi oleh pelaku).

Pemerintah menjamin hak korban TPPO untuk mendapatkan restitusi, kompensasi, layanan konseling, bantuan medis, dan bantuan hukum. Namun, pemenuhan hak restitusi sering terhambat. Kesulitan prosedural, di mana beban pembuktian kerugian finansial (yang timbul dari debt bondage dan wage theft) terlalu berat bagi korban yang sudah mengalami trauma, merupakan masalah utama. Diperlukan judicial activism dan pendekatan sosio-yuridis untuk menjembatani jurang pembuktian, memastikan keadilan ekonomi dan pemulihan bagi korban. Kesulitan dalam memfasilitasi restitusi secara cepat dan efektif menunjukkan bahwa perlindungan hukum tidak berakhir pada penangkapan pelaku, melainkan pada pemulihan hak korban yang masih menghadapi kelemahan prosedural dalam sistem peradilan.

Akuntabilitas Korporasi dan Gerakan Uji Tuntas Global

Isu perbudakan modern TKI/PMI tidak hanya menjadi tanggung jawab negara asal dan negara tujuan, tetapi juga pasar global yang mengkonsumsi komoditas dan jasa yang dihasilkan dari kerja mereka.

Kerangka Etis Global: UN Guiding Principles on Business and Human Rights (UN GPBHR)

Gerakan global menuju akuntabilitas korporasi didasarkan pada Prinsip-Prinsip Panduan PBB tentang Bisnis dan HAM (UN GPBHR). Prinsip-prinsip ini mewajibkan korporasi untuk menghormati HAM dalam semua aktivitas bisnis mereka dan di sepanjang rantai pasok global. Panduan ini menjadi kerangka dasar bagi regulasi uji tuntas (due diligence) yang kini mulai diterapkan di beberapa yurisdiksi besar.

Regulasi Uji Tuntas Rantai Pasokan (Supply Chain Due Diligence)

Beberapa negara di Uni Eropa telah menerapkan regulasi yang mewajibkan perusahaan untuk melakukan uji tuntas terhadap rantai pasokan mereka guna mencegah pelanggaran HAM, termasuk kerja paksa. Contoh terkemuka adalah Undang-Undang Kewajiban Uji Tuntas Perusahaan terkait Rantai Pasok Jerman (LkSG), yang mulai berlaku sejak 1 Januari 2023.

LkSG mewajibkan perusahaan yang memenuhi ambang batas jumlah karyawan (3000+ sejak 2023, dan 1000+ sejak 2024) untuk mengidentifikasi dan mengatasi dampak HAM, termasuk kerja paksa dan mempekerjakan anak-anak, bahkan pada pemasok tidak langsung dari luar negeri. Meskipun regulasi ini menghadapi penolakan dari korporasi besar karena dianggap menghabiskan anggaran dan birokrasi, regulasi ini penting karena membebankan tanggung jawab hukum atas pelanggaran HAM kepada entitas bisnis, yang sebelumnya seringkali hanya menjadi tanggung jawab negara.

Strategi Mendorong Transparansi Rantai Pasokan

Fenomena ini mencerminkan dinamika di mana Indonesia selama ini mengekspor risiko TPPO bersamaan dengan ekspor tenaga kerja dan komoditas. Regulasi seperti LkSG merupakan upaya negara konsumen untuk mengimpor tanggung jawab kembali kepada korporasi mereka. Hal ini menciptakan peluang diplomatik bagi Indonesia untuk menggunakan regulasi uji tuntas ini sebagai daya ungkit untuk menuntut standar ketenagakerjaan yang lebih tinggi di negara tujuan dan dalam kontrak korporasi.

Korporasi multinasional, terutama yang beroperasi di sektor perikanan dan komoditas, kini memiliki kewajiban hukum untuk melakukan audit mendalam terhadap Pelaksana Penempatan Tenaga Kerja Indonesia Swasta (PPTKIS) dan agen penyalur di Indonesia. Tujuannya adalah memastikan bahwa rantai pasok mereka bebas dari debt bondage dan eksploitasi lainnya, yang kegagalannya dapat memicu sanksi dan denda.

Rekomendasi Kebijakan dan Strategi Pencegahan Holistik

Untuk mengatasi perbudakan modern yang mengakar dalam jalur migrasi PMI, diperlukan strategi holistik yang melibatkan reformasi domestik, penguatan diplomasi, dan akuntabilitas korporasi global.

Reformasi Tata Kelola Migrasi di Hulu (Pencegahan Debt Bondage)

  1. Eliminasi Biaya Penempatan (Zero-Cost Migration):Mendesak kebijakan employer-pays dan menghapus semua biaya rekrutmen yang dibebankan kepada PMI. Ini adalah langkah struktural fundamental untuk memutus mekanisme perbudakan utang (debt bondage) yang menjadi akar eksploitasi.
  2. Peningkatan Pengawasan dan Sanksi:Menguatkan pengawasan dan memberikan sanksi tegas terhadap PJTKI/PPTKIS dan calo yang terlibat dalam praktik rekrutmen ilegal, penipuan, atau pemerasan. Menerapkan sistem informasi terpadu (SISKOTKLN yang ditingkatkan) untuk mencegah migrasi ilegal sejak dini di tingkat desa/hulu.
  3. Edukasi Migrasi Berbasis Hak:Meningkatkan literasi dan kesadaran masyarakat di daerah asal tentang aspek migrasi internasional, risiko pemberangkatan ilegal, dan hak-hak dasar PMI, untuk mencegah mereka menjadi korban calo dan agen nakal.

Penguatan Penegakan Hukum Lintas Negara

  1. Diplomasi Berbasis Perlindungan HAM:Pemerintah perlu merevisi peraturan domestik dan melakukan upaya diplomasi yang secara tegas berorientasi pada perlindungan HAM, dengan merujuk pada Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia (DUHAM) dan instrumen hukum internasional lainnya.
  2. Perjanjian Bilateral yang Mengikat:Mendesak pembentukan dan implementasi perjanjian bilateral yang kuat dan eksplisit dengan semua negara penempatan utama, menjamin perlindungan hukum bagi PMI di sektor rentan, termasuk perjanjian spesifik untuk ABK dan PRT.
  3. Penguatan Yurisdiksi Maritim:Meningkatkan kemampuan penegakan hukum di laut untuk mengatasi celah impunitas terkait eksploitasi ABK di kapal ikan asing. Hal ini harus didukung oleh kerja sama erat dengan negara bendera kapal (Flag States) untuk memastikan penuntutan pelaku TPPO maritim.

Peningkatan Kapasitas Restorasi Korban

  1. Fasilitasi Restitusi Aktif dan Cepat:Memperkuat kapasitas LPSK dan sistem peradilan untuk memfasilitasi penilaian dan pemenuhan restitusi korban TPPO secara cepat dan komprehensif. Penilaian ganti rugi harus menggunakan pendekatan yang lebih sensitif terhadap korban (sosio-yuridis dan psiko-yuridis) untuk mempermudah pembuktian kerugian finansial yang signifikan.
  2. Bantuan Pemulihan Komprehensif:Memastikan ketersediaan layanan konseling, medis, dan bantuan hukum gratis segera setelah korban diidentifikasi dan dipulangkan, serta menjamin kerahasiaan identitas mereka.

. Mandat Uji Tuntas Nasional dan Global

  1. Adopsi Regulasi Uji Tuntas Domestik:Pemerintah Indonesia perlu mempertimbangkan untuk mengadopsi kerangka uji tuntas (Due Diligence) nasional, mirip dengan LkSG Jerman. Regulasi ini akan mewajibkan perusahaan Indonesia yang terlibat dalam rantai pasok global (terutama di sektor berisiko tinggi) untuk memverifikasi bahwa operasi mereka dan pemasoknya bebas dari kerja paksa.
  2. Kerja Sama Penegakan Kepatuhan Global:Secara proaktif bekerja sama dengan negara-negara importir (misalnya Uni Eropa, AS) untuk memastikan bahwa korporasi multinasional mereka secara efektif menerapkan uji tuntas terhadap pemasok tenaga kerja dan komoditas dari Indonesia. Hal ini menjadikan regulasi global sebagai alat perlindungan bagi PMI di hulu.

Kesimpulan

Perbudakan modern yang terjadi di sepanjang jalur migrasi PMI adalah kegagalan sistemik yang melibatkan kelemahan kebijakan domestik, celah penegakan hukum lintas negara, dan eksploitasi korporasi global yang mengejar keuntungan dari tenaga kerja murah dan rentan. Skala masalah yang masif—dengan estimasi lebih dari 1.8 juta orang di Indonesia hidup dalam perbudakan modern —menuntut respons yang bukan hanya reaktif, tetapi transformatif.

Akar utama eksploitasi seringkali terletak pada perbudakan utang yang ditanamkan sejak tahap pra-penempatan, mengikat pekerja secara finansial sebelum mereka melintasi batas negara. Kejahatan ini diperparah di sektor-sektor kunci rantai pasokan global, seperti perikanan dan perkebunan sawit, di mana impunitas tumbuh subur di zona yurisdiksi abu-abu.

Jalan menuju perlindungan yang efektif terletak pada restrukturisasi sistem migrasi untuk mengeliminasi biaya yang dibebankan kepada pekerja dan pada penguatan penegakan hukum, khususnya dalam hal pemenuhan hak restitusi korban. Yang paling penting, akuntabilitas harus dipaksakan tidak hanya kepada calo dan agen, tetapi juga kepada korporasi multinasional yang menjadi pembeli akhir. Penerapan Undang-Undang Uji Tuntas Rantai Pasokan di tingkat global menciptakan momentum yang harus dimanfaatkan oleh Indonesia untuk menuntut standar ketenagakerjaan yang etis dan menjadikan perlindungan PMI sebagai manifestasi imperatif moral dan komitmen terhadap HAM.

 

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

17 + = 22
Powered by MathCaptcha