Selat Malaka, salah satu jalur laut paling penting di dunia, telah bertransformasi dari wilayah yang rentan terhadap ancaman keamanan maritim non-negara menjadi Risk Amplifier geopolitik yang mengancam stabilitas rantai pasokan global. Analisis ini menunjukkan bahwa stabilitas Malaka kini terancam oleh risiko ganda: pertama, potensi spillover rivalitas militer AS-Tiongkok dari Laut Cina Selatan (LCS) ; dan kedua, sensitivitas terhadap volatilitas harga energi dan War Risk Premium (WRP) yang dipicu oleh konflik di Timur Tengah, terutama yang memengaruhi Selat Hormuz.

Selat Malaka berfungsi sebagai jalur vital bagi hampir sepertiga (33%) pengiriman minyak global yang diangkut melalui laut  dan lebih dari 80% impor energi bagi negara-negara ekonomi utama Asia Timur. Skenario penutupan Selat Malaka memaksa pengalihan rute logistik melalui Selat Sunda dan Selat Lombok (Sunda+), yang diperkirakan akan menambah biaya pengiriman tambahan minimal $64,5 juta USD per minggu.

Tulisan ini merekomendasikan tiga langkah strategis utama: 1) Peningkatan Postur Pertahanan negara pesisir (khususnya Indonesia) melalui percepatan modernisasi Alutsista (seperti yang tercermin dalam peningkatan anggaran 21% pada tahun 2023)  dan integrasi Intelligence Exchange Group (IEG) MALSINDO untuk menangani ancaman tingkat negara; 2) Akselerasi Pemanfaatan Rute Alternatif dengan mengintegrasikan inisiatif BRI Tiongkok  untuk mengembangkan infrastruktur rute darat/maritim alternatif, sambil memperkuat Traffic Separation Scheme (TSS) di Selat Sunda dan Lombok ; dan 3) Diplomasi Proaktif untuk meredakan konflik di kawasan Teluk, yang krusial untuk menstabilkan WRP global dan mengurangi tekanan risiko pada Malaka.

Pendahuluan Dan Landasan Strategis

Latar Belakang: Malaka sebagai Titik Transit Utama Perdagangan Timur-Barat

Selat Malaka, bersama dengan Selat Singapura, adalah jalur air strategis dan penting dalam sistem perdagangan global. Membentang sekitar 800 km, Malaka bertindak sebagai urat nadi logistik global yang menghubungkan Samudera Hindia dan Samudera Pasifik. Sekitar 80% perdagangan global berdasarkan volume, dan 70% berdasarkan nilai, bergerak melalui kapal kargo. Oleh karena itu, jalur sempit ini, yang dikenal sebagai chokepoints, menjadi sangat rentan terhadap gangguan.

Setiap tahun, diperkirakan kurang lebih 70.000 kapal melintasi Selat Malaka, dengan rata-rata 150 hingga 200 kapal setiap hari. Volume pengiriman tahunan yang melewati Malaka mencapai 19.245,7 juta ton per tahun. Angka-angka ini menggarisbawahi mengapa stabilitas Selat Malaka adalah prioritas utama bagi ekonomi global.

Ruang Lingkup, Tujuan, dan Struktur Analisis

Laporan ini bertujuan untuk menganalisis risiko sistemik yang dihadapi Selat Malaka dari perspektif multi-domain, mencakup aspek geopolitik, keamanan, hukum internasional (UNCLOS), dan dampak ekonomi yang terukur (biaya logistik). Struktur analisis ini dirancang untuk memetakan bagaimana ancaman non-negara dan ancaman tingkat negara saling berinteraksi, serta bagaimana negara-negara pesisir dan pengguna dapat merespons kerentanan ini melalui kerja sama dan pembangunan infrastruktur alternatif.

Kerangka Konseptual: Chokepoints Maritim dalam Teori Keamanan Rantai Pasokan

Dalam konteks teori keamanan, chokepoints maritim didefinisikan sebagai jalur pelayaran sempit yang sulit dan mahal untuk dielakkan. Lokasi ini memberikan kekuatan koersif yang signifikan (coercive power) kepada negara, dan kadang-kadang aktor non-negara, yang mengendalikan atau berada di dekatnya.

Selat Malaka memegang peran kunci sebagai Energy Lifeline bagi ekonomi Asia Timur. Ketergantungan absolut Tiongkok, Jepang, Korea Selatan, dan Taiwan pada Malaka untuk impor energi mereka telah menciptakan kerentanan strategis yang dikenal sebagai “Dilema Malaka”. Tiongkok menyadari bahwa ketergantungan ini dapat dieksploitasi oleh pesaing selama masa konflik, sehingga mendorong upaya aktif untuk mencari solusi mitigasi, termasuk inisiatif Belt and Road Initiative (BRI).

Anatomi Vitalitas Maritim: Perbandingan Chokepoint Global

Data Kuantitatif: Volume Perdagangan, Komoditas Utama, dan Ketergantungan

Selat Malaka mengangkut lebih dari 40% barang perdagangan global. Meskipun volume perdagangannya luar biasa, Selat Malaka secara kuantitatif merupakan jalur terpadat kedua di dunia, setelah Selat Hormuz di Timur Tengah. Komparasi ini sangat penting karena menunjukkan korelasi risiko: jika Selat Hormuz (yang mengalirkan sekitar 20% pasokan minyak mentah dunia)  mengalami gangguan, fokus risiko dan beban logistik sangat mungkin dialihkan ke Malaka.

Malaka sebagai Energy Lifeline Asia Timur

Ketergantungan energi global terhadap Malaka sangat tinggi. Hampir sepertiga (33%) dari total produksi petroleum dan cairan lainnya di dunia yang diangkut melalui rute maritim transiting melalui Selat Malaka.

Ketergantungan regional bahkan lebih mencolok. Lebih dari 80% impor energi (minyak dan LNG) bagi Tiongkok, Jepang, Korea Selatan, dan Taiwan transit melalui Malaka, sebelum berlanjut ke utara melalui Laut Cina Selatan. Jepang, misalnya, yang mengimpor lebih dari 98% konsumsi minyak mentahnya, sangat bergantung pada jalur ini. Diperkirakan sekitar 13,6 juta barel minyak bumi per hari melintasi perairan Selat Malaka.

Implikasi Hukum Internasional (UNCLOS) dan Hak Lintas Transit

Pengelolaan Selat Malaka memiliki landasan hukum yang kuat dalam United Nations Convention on the Law of the Sea (UNCLOS). UNCLOS menyediakan dasar hukum global, menetapkan hak dan kewajiban negara pesisir dan kapal yang melintas. Ketentuan seperti Right of Innocent Passage dan Transit Passage menjamin navigasi bebas bagi kapal internasional, sekaligus mewajibkan negara pesisir (Indonesia, Malaysia, Singapura) untuk menjaga keamanan pelayaran.

Namun, UNCLOS bersifat normatif dan tidak menyediakan detail implementasi operasional untuk menangani ancaman maritim spesifik. UNCLOS mewajibkan mitigasi risiko perompakan, penyelundupan, dan pencemaran, tetapi implementasi praktisnya membutuhkan mekanisme regional. Kesenjangan ini dipenuhi oleh inisiatif kerja sama seperti ReCAAP dan MALSINDO.

Keterhubungan risiko antara Hormuz, Malaka, dan Selat Taiwan/LCS menunjukkan bahwa Malaka menanggung akumulasi risiko dari dua teater geopolitik utama secara bersamaan. Ketika Hormuz terganggu, lalu lintas energi berpotensi besar dialihkan ke Malaka, meningkatkan kepadatan dan sensitivitasnya terhadap ancaman apa pun. Secara bersamaan, ketegangan di LCS meningkatkan potensi blokade militer di pintu keluar Malaka ke Pasifik. Hal ini menjadikan Malaka bukan sekadar jalur yang rentan, tetapi jalur yang menanggung agregasi risiko, menjadikannya jalur maritim paling kompleks untuk dikelola.

Table Kunci III.1: Perbandingan Strategis Tiga Chokepoints Global

Chokepoint Volume Kapal Tahunan (Estimasi) Persentase Minyak Global Ancaman Utama (Sumber Risiko) Fokus Ketergantungan Utama
Malaka ~70.000 ~33% [5, 6] Perompakan, Terorisme, Konflik LCS Tiongkok, Jepang, Korsel, Eropa
Hormuz (Variabel) ~20% Intervensi Militer, Konflik Iran-AS/Israel Eropa, Asia Selatan
Taiwan Strait (Variabel) (N/A) Blokade Militer/Perang (AS-Tiongkok) Tiongkok, Taiwan, Jepang

Titik Didih Geopolitik: Rivalitas Kekuatan Besar

Konflik Geostrategis AS-Tiongkok dan Proyeksi Power Projection di Asia Tenggara

Rivalitas geostrategis antara Amerika Serikat dan Tiongkok menjadi faktor penentu risiko terbesar bagi Selat Malaka. Ketegangan ini telah meningkatkan aktivitas militer secara signifikan di Laut Cina Selatan (LCS), yang secara langsung memengaruhi keamanan Malaka karena selat ini berfungsi sebagai koridor utama menuju LCS.

Klaim teritorial Tiongkok di LCS menimbulkan konflik berkepanjangan dengan beberapa negara ASEAN. Bagi Indonesia, dampak dari eskalasi ini adalah peningkatan kebutuhan untuk meningkatkan kesiapsiagaan militer di wilayah perbatasan strategis seperti Natuna, guna mengantisipasi risiko spillover ketegangan militer antara AS dan Tiongkok.

Analisis Mendalam “Dilema Malaka” Tiongkok

Ketergantungan Tiongkok yang sangat besar pada Malaka—mengingat 80% impor energinya melewatinya —secara luas dikenal sebagai “Dilema Malaka.” Kerentanan strategis ini dapat dieksploitasi oleh kekuatan maritim yang dominan (seperti AS) selama krisis atau konflik.

Menanggapi kerentanan ini, Tiongkok secara agresif mengejar strategi mitigasi risiko. Salah satu pendekatan utamanya adalah melalui Diplomasi Triangular dan Belt and Road Initiative (BRI). Tiongkok berupaya mempererat hubungan dengan negara-negara pesisir, termasuk Indonesia , untuk menjamin keamanan Sea Lines of Communication (SLOCs) di Malaka dan mengembangkan infrastruktur alternatif yang memungkinkan desentralisasi logistik, seperti pengembangan koridor darat atau pelabuhan di luar Malaka.

Kebutuhan strategis Tiongkok untuk mengatasi Dilema Malaka menciptakan peluang ekonomi yang signifikan bagi Indonesia. Indonesia, sebagai pemilik yurisdiksi atas rute alternatif Selat Sunda dan Selat Lombok , memiliki kekuatan tawar (leverage) untuk mengarahkan investasi asing, khususnya dari BRI, menuju proyek infrastruktur yang mendukung rute alternatif ini. Ini memungkinkan Indonesia untuk melakukan strategic hedging—mengamankan investasi vital sambil secara bersamaan meningkatkan kapasitas pertahanan nasional.

Peningkatan Postur Militer Regional: Respons Negara Pesisir

Sebagai respons terhadap ketidakpastian geopolitik yang meningkat, negara-negara pesisir telah meningkatkan postur pertahanan mereka. Indonesia, yang didorong oleh visi Poros Maritim Dunia  untuk menjadi negara maritim yang berdaulat dan kuat, telah mengambil langkah konkret.

Data Kementerian Pertahanan menunjukkan peningkatan alokasi anggaran penguatan pertahanan maritim sebesar 21% pada tahun 2023. Fokus peningkatan ini adalah modernisasi Alutsista, penempatan radar, dan peningkatan kapasitas TNI AL untuk memastikan presence yang kuat di jalur strategis Selat Malaka dan Natuna. Selain itu, diperlukan integrasi perencanaan ekonomi pertahanan (defense economic planning) ke dalam RPJMN, termasuk pengembangan industri pertahanan berbasis dual-use technology.

Spektrum Ancaman Keamanan Dan Tata Kelola

Ancaman Non-Negara: Evaluasi Risiko Perompakan, Terorisme Maritim, dan Penyelundupan

Meskipun Selat Malaka pernah menjadi salah satu wilayah dengan tingkat perompakan tertinggi di dunia, terutama pada awal tahun 2000-an , ancaman non-negara tetap ada. Selat ini rentan terhadap perampokan bersenjata terhadap kapal, penyelundupan (obat-obatan terlarang, narkotika), terorisme maritim, dan eksploitasi sumber daya maritim. Insiden masa lalu melibatkan serangan terkoordinasi, pencurian kargo/kapal, dan kekerasan serius terhadap pelaut, termasuk penculikan atau pembunuhan.

Kerangka Kerja Sama Regional: Operasional MALSINDO

Keberhasilan luar biasa dalam menekan perompakan di kawasan Malaka adalah hasil dari kerangka kerja sama minilateral, yaitu Malacca Straits Patrol (MSP), atau yang dikenal sebagai MALSINDO, yang melibatkan Indonesia, Malaysia, Singapura, dan Thailand. MSP adalah langkah kooperatif yang praktis untuk memastikan keamanan Selat Malaka dan Singapura (Straits of Malacca and Singapore/SOMS).

Pilar utama kerangka kerja ini meliputi:

  1. Malacca Straits Sea Patrol(MSSP): Patroli laut terkoordinasi.
  2. *“Eyes-in-the-Sky” (EiS):Patroli udara maritim gabungan untuk pengawasan yang lebih luas.
  3. Intelligence Exchange Group(IEG): Pertukaran intelijen dan informasi real-time mengenai kontak atau insiden mencurigakan.

Bukti nyata efektivitas MSP terlihat pada tahun 2006, ketika Lloyd’s Joint War Risk Committee menghapus Selat Malaka dari klasifikasi “war-risk area,” menyusul peluncuran patroli laut dan udara pada tahun 2004 dan 2005.

Peran dan Keterbatasan ReCAAP dan Tata Kelola Hukum

Regional Cooperation Agreement on Combating Piracy and Armed Robbery against Ships in Asia (ReCAAP) melengkapi UNCLOS dengan menyediakan platform operasional untuk penanganan ancaman nyata. ReCAAP berfungsi sebagai pusat pertukaran informasi (Information Sharing Center/ISC) dan koordinasi penegakan hukum dalam yurisdiksi negara-negara anggotanya.

Meskipun ReCAAP dan MALSINDO efektif, terdapat tantangan institusional. Beberapa upaya kolektif yang lebih luas, seperti ASEAN Maritime Forum (AMF), belum sepenuhnya berhasil menurunkan angka kejahatan secara signifikan. Selain itu, sensitivitas kedaulatan menjadi isu, terutama dalam hal bantuan ekstra-regional. Proposal pengerahan pasukan AS untuk patroli pernah ditentang karena dapat melanggar kedaulatan negara pesisir. Oleh karena itu, bantuan asing harus dibatasi pada penyediaan teknologi canggih, pelatihan personel, dan berbagi informasi intelijen.

Terdapat kesenjangan operasional antara Maritime Security dan Maritime Defense. Kerangka kerja saat ini (MALSINDO, ReCAAP) unggul dalam menangani ancaman yang bersifat penegakan hukum (policing), seperti perompakan. Namun, kerangka ini tidak dirancang atau memiliki mandat untuk menghadapi ancaman militer tingkat negara, seperti potensi blokade yang didorong oleh persaingan AS-Tiongkok. Kesenjangan ini menekankan perlunya negara pesisir untuk mengembangkan strategi defense yang secara eksplisit diarahkan untuk menghadapi ancaman geopolitik tingkat tinggi.

Analisis Risiko Ekonomi Dan Skenario Gangguan

Stress Test Geopolitik: Dampak Eskalasi Konflik di Hormuz terhadap Malaka

Instabilitas di wilayah konflik lain, seperti Selat Hormuz di Teluk Persia, memiliki efek transmisi risiko yang cepat dan signifikan terhadap Malaka. Ketegangan yang berpotensi memblokade Hormuz (jalur 20% pasokan minyak mentah dunia) memicu kenaikan harga minyak global ($10–$15 per barel)  dan lonjakan War Risk Premium (WRP).

Ketika kawasan Teluk memanas, arus pelayaran minyak, LNG, dan kontainer dari Timur Tengah menuju Asia Timur sangat mungkin dialihkan atau setidaknya mempertimbangkan jalur alternatif yang melintasi Samudera Hindia menuju Selat Malaka. Ini berarti Malaka harus menanggung peningkatan kepadatan lalu lintas dan peningkatan biaya asuransi maritim regional, bahkan jika tidak ada insiden langsung yang terjadi di perairannya.

Skenario Penutupan Total Malaka: Proyeksi Kenaikan Biaya Logistik Global

Penutupan total Selat Malaka—baik oleh konflik atau alasan lingkungan/keselamatan—akan memaksa kapal untuk mengambil rute yang jauh lebih panjang, terutama melalui perairan Indonesia. Proyeksi kenaikan biaya operasional mencakup peningkatan konsumsi bahan bakar, waktu tempuh, dan biaya asuransi.

Analisis skenario pengalihan lalu lintas utama menunjukkan biaya yang signifikan:

  1. Model Sunda+:Skenario ini mengasumsikan lalu lintas dibagi, di mana tanker dan kapal curah besar (>100.000 deadweight tonnage (DWT)) menggunakan Selat Lombok yang berair dalam, sementara kapal yang lebih kecil menggunakan Selat Sunda. Biaya pengiriman tambahan mingguan diperkirakan mencapai $64,5 juta USD.
  2. Model Lombok Total:Jika semua pengiriman dialihkan hanya melalui Selat Lombok, biaya tambahan mingguan melonjak hingga $119 juta USD.

Dalam skenario terburuk (black swan), di mana Malaka, Sunda, dan Lombok tidak dapat dilalui, kapal terpaksa berlayar mengelilingi pantai selatan Australia. Biaya bulanan untuk rute ini diperkirakan mencapai $2,8 miliar USD.

Meskipun biaya tambahan mingguan $64,5 juta USD (Sunda+) mungkin terlihat sangat besar, perbandingan menunjukkan bahwa angka ini hanya mewakili 0,08 hingga 0,10 persen dari nilai perdagangan mingguan rata-rata yang melewati Laut Cina Selatan. Ini menunjukkan bahwa dampak finansial jangka pendek dari penutupan dan pengalihan rute mungkin masih dapat dikelola oleh ekonomi global.

Namun, faktor ancaman finansial utama bukanlah biaya operasional murni pengalihan rute, melainkan kenaikan tajam dan tidak terduga dalam War Risk Premium (WRP). Jika konflik militer meletus di dekat Malaka (misalnya eskalasi di LCS), premi asuransi akan meningkat dramatis, jauh melampaui biaya operasional rute alternatif. Ketidakpastian risiko geopolitik (WRP) adalah faktor non-linier yang paling mengancam stabilitas dan margin keuntungan rantai pasokan global.

Rute Alternatif: Kelayakan Dan Infrastruktur Indonesia

  1. Potensi dan Tantangan Selat Sunda dan Selat Lombok

Selat Sunda dan Selat Lombok merupakan rute alternatif yang sah dalam sistem Alur Laut Kepulauan Indonesia (ALKI).

  • Selat Lombok:Memiliki keunggulan sebagai rute deep-water alami, yang sangat ideal untuk menampung kapal tanker raksasa Very Large Crude Carrier (VLCC) atau kapal curah yang melebihi 100.000 DWT.
  • Selat Sunda:Meskipun lebih dekat ke Malaka, Selat Sunda lebih dangkal, menjadikannya lebih cocok untuk kapal transit yang berukuran lebih kecil.

Kombinasi penggunaan keduanya (Sunda+) terbukti lebih ekonomis untuk pengalihan lalu lintas dalam skenario jangka pendek.

Kesiapan Regulasi: Implementasi Traffic Separation Scheme (TSS)

Pemerintah Indonesia telah mengambil langkah proaktif untuk mengelola rute alternatif ini dengan menetapkan Traffic Separation Scheme (TSS) di Selat Sunda (Keputusan Menteri Perhubungan Nomor KM 130 Tahun 2020) dan Selat Lombok (Keputusan Menteri Perhubungan Nomor KM 129 Tahun 2020).

Penetapan TSS ini menunjukkan kesiapan regulasi Indonesia untuk mengelola peningkatan lalu lintas. TSS di Lombok, misalnya, sangat menyarankan kapal untuk memberikan informasi rinci mengenai ukuran kapal (ballast atau bermuatan) dan apakah membawa kargo beracun atau berbahaya, demi kepentingan keselamatan navigasi dan perlindungan lingkungan laut.

Analisis Biaya Rerouting dan Infrastruktur Pendukung

Perbedaan biaya antara Model Sunda+ ($64,5 juta/minggu) dan Model Lombok Total ($119 juta/minggu) disebabkan oleh jarak tempuh yang lebih jauh melalui Lombok dan kurangnya infrastruktur pendukung maritim yang memadai di sepanjang ALKI II.

Untuk menjadikan Selat Lombok sebagai alternatif yang berkelanjutan, diperlukan investasi substansial, khususnya dalam membangun pelabuhan, fasilitas perbaikan, dan layanan logistik terpadu di sepanjang jalur tersebut. Pemanfaatan Dilema Malaka Tiongkok melalui BRI  dapat menjadi katalis untuk mempercepat pengembangan infrastruktur ini, sehingga rute alternatif Indonesia berfungsi bukan hanya sebagai rerouting darurat, tetapi sebagai bagian terintegrasi dari rantai pasokan Asia-Pasifik.

Table Kunci VII.1: Rute Alternatif Indonesia: Kelayakan Operasional

Rute Alternatif Legalitas Navigasi Karakteristik Kedalaman Jenis Kapal Utama Status Infrastruktur (2025)
Selat Sunda TSS (KM 130/2020) Dangkal (Lebih pendek) Kapal Transit Kecil/Menengah Siap Regulasi, Perlu Penguatan Keamanan
Selat Lombok TSS (KM 129/2020) Sangat Dalam (Deep Water) VLCC/Kapal Curah Besar (>100K DWT) Siap Regulasi, Butuh Akselerasi Logistik Darat

Implikasi Strategis Dan Rekomendasi Kebijakan

Rekomendasi untuk Negara Pesisir (Indonesia, Malaysia, Singapura)

  1. Transformasi Kapabilitas Intelijen:Indonesia, Malaysia, dan Singapura harus mentransformasi Intelligence Exchange Group (IEG) MALSINDO. Fokus harus bergeser dari penanganan ancaman policing (perompakan) menjadi pusat intelijen regional yang mampu mengolah dan merespons data ancaman state-level dan hybrid warfare yang berasal dari LCS dan persaingan kekuatan besar.
  2. Penguatan Pertahanan Mandiri:Penting untuk mengintegrasikan perencanaan ekonomi pertahanan (defense economic planning) ke dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN), termasuk pengembangan industri pertahanan berbasis dual-use technology dan peningkatan kapasitas TNI AL untuk memastikan presence dan kemampuan pencegahan yang kredibel di Malaka dan Natuna. Hal ini sejalan dengan visi Wawasan Nusantara.
  3. Pengamanan Rute Alternatif:Sumber daya harus dialokasikan untuk patroli, pengawasan, dan peningkatan infrastruktur pendukung di Selat Sunda dan Lombok, memastikan bahwa rute alternatif ini berfungsi secara aman dan efisien jika terjadi gangguan berkepanjangan di Malaka.

Rekomendasi untuk Negara Pengguna Utama (Tiongkok, Jepang, AS, Eropa)

  1. Prioritas Bantuan Teknologi:Bantuan ekstra-regional harus difokuskan pada peningkatan kapasitas teknologi (seperti penyediaan radar canggih, drone maritim, dan sistem Maritime Domain Awareness/MDA) dan pelatihan personel bagi negara-negara pesisir, daripada pengerahan pasukan militer asing yang berpotensi melanggar kedaulatan dan memicu eskalasi geopolitik.
  2. Transparansi Armada Bayangan (Shadow Fleet):Negara pengguna utama harus mendukung inisiatif global yang mengatur kapal-kapal dalam “armada bayangan” (shadow fleets) yang mungkin dipertimbangkan oleh importir besar. Armada ini sering beroperasi di luar standar keselamatan dan lingkungan internasional, yang pada akhirnya dapat menimbulkan risiko baru bagi keamanan maritim regional.

Kerangka Keberlanjutan Rantai Pasokan Jangka Panjang

  1. Diplomasi Pencegahan Konflik Global:Pemerintah Indonesia perlu meningkatkan peran aktif dalam jalur diplomasi internasional, khususnya untuk meredakan konflik di kawasan Teluk, seperti ketegangan Iran-Israel. Stabilitas di Timur Tengah secara langsung menurunkan War Risk Premium dan mengurangi tekanan logistik global yang dapat berimbas pada Malaka.
  2. Diversifikasi Infrastruktur Logistik:Penting untuk mendorong Tiongkok dan mitra dagang lainnya untuk mengintegrasikan investasi yang berfokus pada diversifikasi geografis logistik, termasuk pengembangan koridor darat dan pelabuhan yang terletak di luar chokepoints utama, seperti yang diantisipasi melalui inisiatif BRI. Diversifikasi ini adalah kunci untuk mengurangi risiko konsentrasi logistik Malaka dan membangun ketahanan sistem rantai pasokan yang lebih baik di masa depan.

 

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

59 − 53 =
Powered by MathCaptcha