Tulisan ini menyajikan analisis mendalam mengenai konflik internal yang meletus di Sudan pada 15 April 2023, yang melibatkan Angkatan Bersenjata Sudan (SAF) di bawah Jenderal Abdel Fattah al-Burhan dan Pasukan Dukungan Cepat (RSF) paramiliter yang dipimpin oleh Jenderal Mohamed Hamdan Dagalo (Hemedti). Konflik ini telah mengubah Sudan menjadi krisis kemanusiaan terburuk di dunia, ditandai oleh kehancuran sistemik, kekerasan etnis yang meluas, dan ancaman bencana kelaparan katastropik bagi ratusan ribu jiwa.
Temuan Kunci:
- RSF sebagai Kontributor Kekejaman Primer:RSF, yang berakar pada milisi Janjaweed, telah memimpin gelombang kekerasan yang disamakan dengan pembersihan etnis dan genosida, terutama dalam Pembantaian Masalit di Darfur. Kekerasan seksual, termasuk perbudakan, digunakan secara sistematis sebagai senjata perang.
- Skala Kemanusiaan yang Melampaui Batas:Lebih dari 14 juta orang mengungsi, menjadikannya krisis pengungsian terbesar di dunia. Lebih dari 637.000 orang menghadapi kelaparan tingkat katastropik (IPC Fase 5), angka tertinggi secara global, dengan kelaparan telah dikonfirmasi di kamp-kamp IDP.
- Paralisis Respons Global yang Berbasis Geopolitik:Respons internasional terhadap krisis ini lamban dan terfragmentasi. Kegagalan mediasi bukan hanya akibat ketidakmauan internal, tetapi diperburuk oleh persaingan geopolitik regional dan global. Kehadiran aktor eksternal yang mendukung RSF (seperti Wagner Group dan dugaan dukungan UEA) melalui jaringan ekonomi bayangan (perdagangan emas) telah melumpuhkan tekanan diplomatik dan memicu konflik proksi.
Rekomendasi Utama:
Dunia harus beralih dari diplomasi yang gagal ke jalur penegakan hukum dan perlindungan kemanusiaan yang lebih tegas. Ini termasuk: 1) Penerapan sanksi yang ditargetkan pada jaringan keuangan eksternal RSF (terutama perdagangan emas); 2) Mendorong Dewan Keamanan PBB untuk memastikan koridor kemanusiaan wajib dan aman; dan 3) Mendukung penuh upaya akuntabilitas internasional (ICC/ICJ) atas kejahatan genosida yang dituduhkan.
Anatomi Konflik: Akar Krisis Sudan 2023
Konflik yang meletus pada April 2023 antara SAF dan RSF bukanlah peristiwa yang terisolasi, melainkan kulminasi dari ketegangan struktural yang telah menggerogoti negara itu sejak lama, diperburuk oleh kegagalan transisi demokratik pasca-Bashir.
Latar Belakang Historis: Dari Janjaweed menjadi RSF
Asal-usul RSF terkait erat dengan sejarah kekerasan etnis di Sudan. RSF berakar pada milisi Janjaweed, yang secara brutal digunakan oleh pemerintah Sudan selama Perang Darfur untuk melawan pemberontakan anti-pemerintah. Taktik kelompok Janjaweed, bahkan di awal pembentukannya, mencakup penggunaan teror secara luas untuk mendemoralisasi penduduk sipil yang dianggap musuh.
Pada tahun 2013, Presiden saat itu, Omar al-Bashir, secara resmi memformalkan peran sebagian Janjaweed yang tersisa menjadi RSF. Mohamed Hamdan Dagalo, yang dikenal sebagai Hemedti, diangkat sebagai komandan milisi ini. Penting untuk dicatat bahwa RSF awalnya beroperasi di bawah otoritas National Intelligence and Security Services (NISS). Pada tahun 2017, status hukum RSF diubah melalui undang-undang yang menjadikannya bagian dari SAF dan secara resmi berada di bawah komando Presiden.
Formalisasi milisi yang terkenal brutal ini memberikan impunitas kepada RSF, menempatkan mereka dalam struktur keamanan negara sambil memungkinkan Hemedti mempertahankan otonomi operasional dan ekonomi yang signifikan, terutama melalui kontrol atas sumber daya emas Sudan. Proses ini pada dasarnya adalah upaya untuk melegalkan sebuah unit yang secara intrinsik brutal, memberinya legitimasi semi-negara. Kegagalan untuk membubarkan dan mengintegrasikan milisi ini sepenuhnya ke dalam struktur negara yang bertanggung jawab menjadi warisan struktural yang merusak yang pada akhirnya memicu perang 2023.
Kegagalan Transisi Demokratik dan Perebutan Kekuasaan
Setelah penggulingan Presiden Omar al-Bashir pada April 2019, Sudan memulai masa transisi yang rapuh menuju pemerintahan sipil. Pemerintahan Transisi Sipil-Militer, yang dipimpin oleh Perdana Menteri sipil Abdalla Hamdok, dibentuk dengan janji untuk menyelenggarakan pemilihan umum demokratis pada Juli 2023.
Namun, proses transisi ini gagal karena ambisi kekuasaan militer tetap kuat. Jenderal Abdel Fattah al-Burhan (SAF) dan Jenderal Hemedti (RSF) mengkhianati perjanjian tersebut dengan melakukan kudeta militer pada Oktober 2021. Kudeta ini menggarisbawahi kegagalan Koalisi Sipil dalam membentuk pemerintahan sipil yang stabil dan desain institusional yang berfungsi pasca-Bashir, yang berkontribusi pada krisis demokrasi yang tinggi di Sudan.
Pemicu langsung Perang Sudan pada 15 April 2023 adalah perselisihan mendasar mengenai integrasi RSF ke dalam SAF. Bagi Hemedti, integrasi penuh akan mengancam otonomi, kekuasaan, dan keuntungan ekonominya. Perang ini adalah pertempuran eksistensial untuk dominasi struktur militer dan politik Sudan. RSF telah menunjukkan tekad untuk mendominasi, bahkan mendeklarasikan pemerintahan tandingan, yang meningkatkan risiko perpecahan Sudan untuk kedua kalinya setelah kemerdekaan Sudan Selatan pada 2011.
Kronologi dan Dinamika Militer Konflik
Awalnya, pertempuran terkonsentrasi di ibu kota, Khartoum. Namun, konflik segera menyebar ke wilayah-wilayah yang secara historis tidak stabil, termasuk Darfur, Kordofan Selatan, dan Nil Biru. RSF dengan cepat menunjukkan dominasi di wilayah barat negara itu.
Pada akhir 2023, RSF berhasil menguasai Zalingei (ibu kota Darfur Tengah) dan El Geneina (ibu kota Darfur Barat). Kontrol atas wilayah-wilayah ini disertai dengan serangan terhadap warga sipil Masalit, yang menambah daftar panjang tuduhan kekejaman.
Konflik ini telah bertransformasi dari pertikaian internal militer menjadi perang saudara yang kompleks yang melibatkan aktor non-negara. Dinamika aliansi terus berubah; sementara beberapa faksi Darfur Joint Forces awalnya netral atau berpihak pada SAF, pada Februari 2025, kelompok seperti GSLF dan SLM/A-TC dilaporkan memihak RSF. Disintegrasi efektif tentara nasional dan keberadaan dua kekuatan bersenjata yang bertarung untuk bertahan hidup menunjukkan bahwa solusi politik apa pun harus menghadapi sistem keamanan yang terpecah dan ter-kriminalisasi.
RSF: Aktor Kunci dan Katalog Kekejaman (The Calculus of Atrocities)
Taktik perang RSF dan milisi sekutunya telah secara eksplisit menargetkan warga sipil, menempatkan kepemimpinan mereka dalam yurisdiksi hukum pidana internasional.
Kebijakan Kekerasan dan Tuduhan Kejahatan Internasional
Latar belakang RSF di Janjaweed menunjukkan bahwa taktik kekerasan etnis yang mereka gunakan adalah strategi yang berulang. Kekerasan di wilayah Darfur telah secara luas digambarkan sebagai pembersihan etnis atau genosida.
Pada Januari 2025, Amerika Serikat secara resmi menentukan bahwa RSF dan milisi yang bersekutu dengannya telah melakukan genosida, khususnya merujuk pada kekejaman yang dialami oleh suku Masalit. RSF secara konsisten dituduh menggunakan strategi pengepungan dan pembersihan etnis yang ditargetkan terhadap komunitas non-Arab, menjadikan Darfur sebagai salah satu wilayah yang paling parah terkena dampak konflik. Tuduhan genosida yang dikonfirmasi AS menuntut tindakan akuntabilitas internasional melalui badan-badan seperti Mahkamah Kriminal Internasional (ICC) dan Mahkamah Internasional (ICJ).
Kekerasan Seksual sebagai Senjata Perang
Laporan dari organisasi hak asasi manusia menyoroti bahwa kekerasan seksual berbasis gender digunakan secara meluas dan sistematis oleh RSF dan milisi sekutu, menjadikannya taktik teror. Human Rights Watch (HRW) melaporkan bahwa pejuang RSF telah memperkosa banyak wanita dan anak perempuan, termasuk dalam konteks perbudakan seksual, di Negara Bagian Kordofan Selatan sejak September 2023. Kekerasan yang sama, termasuk pemerkosaan berkelompok dan pemaksaan perkawinan, juga dilaporkan secara luas di Khartoum, ibu kota negara. Tindakan-tindakan kekerasan berbasis gender ini diklasifikasikan sebagai kejahatan perang dan berpotensi merupakan kejahatan terhadap kemanusiaan berdasarkan hukum internasional.
Pelanggaran Hukum Humaniter Internasional (IHL) dan Infranstruktur
Konflik ini dikategorikan sebagai Konflik Bersenjata Non-Internasional (NIAC) , namun pelanggaran terhadap IHL sangat parah. Salah satu dampaknya adalah penargetan yang meluas terhadap infrastruktur sipil. Menurut statistik WHO, setidaknya 60 serangan terverifikasi telah terjadi terhadap fasilitas layanan kesehatan di zona konflik, menewaskan 34 orang dan melukai 38 lainnya. Rumah sakit sekunder dan tersier, komponen penting infrastruktur negara, banyak yang telah dilanggar, dihancurkan, atau dibom oleh serangan udara atau artileri.
Penghancuran sistematis fasilitas kesehatan ini secara langsung memperburuk krisis kemanusiaan, melanggar prinsip diskriminasi IHL, dan berkontribusi pada peningkatan kematian terkait malnutrisi dan penyakit yang seharusnya dapat diobati.
Table 3: Ringkasan Tuduhan Kejahatan Perang Utama oleh RSF dan Sekutu
| Tuduhan Kejahatan | Lokasi Utama | Karakteristik | Bukti Sumber | 
| Genosida/Pembersihan Etnis | Darfur (Masalit, El Geneina) | Pembantaian massal, penargetan komunitas non-Arab, pemaksaan perpindahan | Penentuan Genosida oleh AS (Jan 2025) | 
| Kekerasan Seksual Sistematis | Khartoum, Kordofan Selatan | Pemerkosaan, pemerkosaan berkelompok, perbudakan seksual, pemaksaan perkawinan | Laporan Human Rights Watch (HRW) | 
| Penargetan Sipil dan Infrastruktur | Khartoum, Al Jazira, Darfur | Penjarahan, pemboman, penghancuran fasilitas kesehatan | Data WHO (60 serangan pada fasilitas kesehatan) | 
| Penggunaan Kelaparan sebagai Senjata | El Fasher, Kamp IDP Zamzam | Blokade bantuan, mencegah pengiriman bantuan, berkontribusi pada IPC Fase 5 | Laporan WFP, Peringatan Kemanusiaan | 
Dilema utama bagi hukum internasional terletak pada status RSF. Evolusinya dari milisi yang dilegalisasi di bawah Bashir menjadi kekuatan pemberontak yang melakukan genosida, sementara ia masih mendapat dukungan eksternal, menunjukkan bahwa akuntabilitas mungkin hanya dapat dicapai melalui penargetan jaringan aset dan kepemimpinan RSF di luar negeri, mengingat lambatnya proses yurisdiksi internasional formal.
Tragedi Kemanusiaan: Krisis Terbesar yang Terabaikan
Krisis Sudan telah mencapai proporsi yang belum pernah terjadi sebelumnya. Mantan Perdana Menteri Abdalla Hamdok bahkan menyatakan bahwa penderitaan kemanusiaan di Sudan “lebih besar dari Gaza dan Ukraina jika digabungkan”. Meskipun demikian, krisis ini tetap menjadi “tragedi yang terlupakan” di panggung global.
Skala Displasi dan Keruntuhan Sosial
Sudan saat ini menghadapi krisis pengungsian terburuk di dunia. Lebih dari 10 juta orang telah dipaksa meninggalkan rumah mereka. Jumlah total pengungsi internal (IDP) dan pengungsi lintas batas melampaui 14 juta jiwa. Perpindahan besar-besaran ini disebabkan oleh situasi kemanusiaan yang mengerikan dan kehancuran infrastruktur penting. Secara keseluruhan, 24.8 juta orang, atau setiap orang kedua di Sudan, membutuhkan bantuan kemanusiaan pada tahun 2024—sembilan juta lebih banyak dari tahun 2023.
Bencana Pangan dan Ancaman Kelaparan
Situasi kerawanan pangan di Sudan telah mencapai tingkat katastropik. Sebanyak 24.6 juta orang (sekitar setengah populasi) berada dalam kerawanan pangan akut. Angka yang paling mengkhawatirkan adalah 637.000 orang yang menghadapi tingkat kelaparan paling ekstrem (IPC Fase 5), yang merupakan angka tertinggi di dunia.
Ancaman kelaparan yang berkepanjangan kini menjadi kenyataan. Kelaparan telah dikonfirmasi pertama kali pada Agustus 2024 di kamp IDP Zamzam. Ratusan ribu nyawa berisiko meninggal tanpa adanya bantuan kemanusiaan yang memadai. Situasi malnutrisi anak juga melampaui ambang batas krisis, dengan lebih dari 1 dari 3 anak menghadapi malnutrisi akut, melebihi ambang batas 20% yang diperlukan untuk konfirmasi kelaparan.
Program Pangan Dunia (WFP) melaporkan kesulitan luar biasa dalam menjangkau area yang paling parah. Di El Fasher, misalnya, WFP tidak dapat mengirimkan bantuan makanan melalui darat selama lebih dari setahun karena konflik dan tantangan akses. Hambatan akses, kendala administratif, dan serangan terhadap konvoi bantuan secara aktif mencegah organisasi kemanusiaan mencapai daerah yang paling terpukul.
Situasi ini menunjukkan bahwa kelaparan telah bertransformasi dari sekadar konsekuensi perang menjadi strategi militer. Pihak yang bertikai, terutama RSF, yang dituduh melakukan pembersihan etnis, secara aktif menghambat makanan mencapai populasi yang dikepung, menggunakan kelaparan untuk memaksa perpindahan atau memusnahkan kelompok tertentu. Pendekatan kemanusiaan tradisional yang mengandalkan netralitas dan persetujuan dari pihak yang bertikai terbukti tidak memadai ketika kelaparan itu sendiri digunakan sebagai senjata.
Table 1: Indikator Kunci Tragedi Kemanusiaan Sudan (Per 2024-2025)
| Indikator | Angka Statistik | Sumber Keterangan | 
| Populasi yang Membutuhkan Bantuan | 24.8 Juta (Setengah Populasi) | WHO, OCHA | 
| Pengungsi Internal dan Lintas Batas | Lebih dari 14 Juta | WFP, Hamdok [2, 6] | 
| Tingkat Kelaparan Katastropik (IPC Fase 5) | 637,000 (Tertinggi di Dunia) | WFP | 
| Kebutuhan Pendanaan Kemanusiaan (2024) | US$2.7 Miliar | OCHA FTS | 
| Tingkat Pendanaan Tercakup (2024) | 69.3% | OCHA FTS | 
Kelambanan Respons Dunia: Analisis Keterlupaan dan Kegagalan Diplomasi
Kelambanan respons global terhadap krisis kemanusiaan terbesar di dunia merupakan hasil dari kombinasi kegagalan diplomatik, kesenjangan media, dan, yang paling penting, kompromi geopolitik yang rumit.
Kesenjangan Liputan Media (The Forgotten Crisis)
Sudan telah dicap sebagai “negara yang terlupakan”. Liputan media internasional terhadap krisis ini secara signifikan lebih rendah dibandingkan dengan konflik lain, seperti yang terjadi di Gaza dan Ukraina, meskipun skala penderitaan (seperti jumlah pengungsi dan ancaman kelaparan) di Sudan dinyatakan melampaui kedua krisis tersebut jika digabungkan.
Faktor yang berkontribusi terhadap keterlupaan ini meliputi keterbatasan akses yang parah bagi jurnalis dan organisasi bantuan di zona konflik, diperburuk oleh hambatan politik dan logistik. Selain itu, kurangnya kepentingan geopolitik langsung yang mengancam keamanan negara-negara Barat secara umum membuat krisis Sudan kurang mendominasi narasi berita internasional.
Kegagalan Mediasi dan Kebuntuan Politik
Upaya diplomatik untuk menghentikan perang telah terbukti mandul. Inisiatif utama seperti Pembicaraan Jeddah, yang dimediasi oleh Arab Saudi dan Amerika Serikat, telah gagal menghasilkan hasil yang nyata. Setidaknya 16 perjanjian gencatan senjata yang dihasilkan di bawah platform Jeddah telah runtuh.
Pihak yang bertikai, SAF dan RSF, terkunci dalam pertempuran eksistensial untuk bertahan hidup, yang membuat mereka tidak berkomitmen secara serius pada negosiasi perdamaian. Lebih lanjut, kegagalan mediasi juga disebabkan oleh desain yang cacat, seperti format Jeddah Talks yang awalnya hanya berfokus pada aktor militer, mengabaikan peran penting koalisi sipil dalam transisi menuju pemerintahan sipil yang diupayakan Uni Afrika (AU).
Kelumpuhan Diplomatik yang Disengaja dan Pengaruh Geopolitik
Kelambanan respons tidak hanya bersifat pasif, tetapi juga merupakan kelumpuhan diplomatik yang didorong oleh pertimbangan geopolitik tingkat tinggi. Analisis menunjukkan bahwa kekuatan tatanan internasional telah “runtuh” dan beralih ke transaksi dan kesepakatan besar yang didorong oleh uang.
Kekuatan regional yang berkepentingan di Sudan, seperti Arab Saudi dan Uni Emirat Arab (UEA), telah berjanji untuk menginvestasikan jumlah yang sangat besar (masing-masing $1 triliun dan $1.4 triliun) di Amerika Serikat dalam jangka waktu tertentu. Jumlah investasi ini secara efektif digunakan oleh para pendukung regional untuk “membeli pengaruh” dari negara adidaya, sehingga memungkinkan mereka memengaruhi arah perang. Dengan kata lain, penolakan untuk menerapkan sanksi yang keras terhadap RSF, yang diduga didukung oleh UEA , dibungkam oleh kepentingan ekonomi dan geopolitik di level superpower. Hal ini menghasilkan “kelumpuhan twistless” dari tatanan internasional yang seharusnya menegakkan akuntabilitas (ICC/ICJ), menyebabkan krisis Sudan menjadi barometer baru tentang bagaimana pengaruh moneter dapat menahan respons global.
Kesenjangan Pendanaan Kemanusiaan
Meskipun kebutuhan kemanusiaan di Sudan mencapai rekor tertinggi, dengan Rencana Kebutuhan dan Respons Kemanusiaan (HNR Plan) 2024 membutuhkan US$2.7 miliar, tingkat pendanaan yang tercakup hanya mencapai 69.3%. Kesenjangan pendanaan yang besar ini memaksa organisasi bantuan untuk memprioritaskan penerima bantuan, memotong bantuan di area yang kurang ekstrem, dan akibatnya menyebabkan peningkatan tajam dalam malnutrisi di area yang bantuan telah dihentikan. Organisasi-organisasi kemanusiaan mendesak semua pihak, termasuk donor dan badan PBB, untuk memfasilitasi pengiriman bantuan secara cepat dan aman ke komunitas yang paling terdampak.
Dimensi Geopolitik dan Perang Proksi (The External Hand)
Konflik di Sudan tidak hanya bersifat internal; itu berfungsi sebagai arena bagi persaingan global yang memanas, memanfaatkan posisi strategis Sudan di Laut Merah dan kekayaan sumber daya alamnya.
Keterlibatan Rusia dan Eksploitasi Emas
Rusia melihat Sudan sebagai mitra strategis karena aksesnya yang signifikan sebagai pintu gerbang ke benua Afrika melalui pelabuhan di Laut Merah. Kelompok tentara bayaran Rusia, Wagner Group (sebelumnya sekutu RSF hingga awal 2024) , dituduh terlibat dalam eksploitasi dan penyelundupan sumber daya emas Sudan. Emas ini disalurkan melalui rute penyelundupan dari Sudan ke Dubai dan kemudian ke Rusia, dengan tujuan utama untuk mendanai operasi Wagner Group, termasuk di Ukraina. Hubungan finansial yang kuat antara RSF dan jaringan penyelundupan emas ini memberikan Hemedti otonomi finansial yang memungkinkannya mengabaikan tekanan gencatan senjata dan negosiasi.
Kepentingan Kekuatan Regional
Kepentingan regional yang beragam memperumit konflik:
- Uni Emirat Arab (UEA):Meskipun UEA aktif dalam memberikan bantuan kemanusiaan di Sudan , mereka juga dituduh secara terpisah mendukung RSF, didorong oleh kepentingan dalam perdagangan emas, jalur Laut Merah, dan proyeksi pengaruh regional.
- Mesir:Mesir secara tradisional memiliki hubungan erat dengan SAF (di bawah Burhan). Mesir khawatir konflik Sudan dapat mengganggu stabilitas perbatasan dan merusak perencanaannya dalam menghadapi Ethiopia mengenai isu Empangan al-Nahdhah di Sungai Nil.
- Arab Saudi:Arab Saudi berperan sebagai mediator utama (Jeddah Talks) untuk memproyeksikan citra sebagai penengah krisis global. Kepentingan utama mereka adalah menstabilkan wilayah yang berbatasan dengan Laut Merah.
- Tiongkok dan Israel:Tiongkok sangat tertarik pada Sudan karena sumber daya alamnya, termasuk emas dan uranium. Sementara itu, Israel khawatir konflik yang berkepanjangan dapat merusak rencana normalisasi hubungannya dengan negara-negara Arab di wilayah tersebut.
Table 2: Peta Geopolitik: Kepentingan Aktor Eksternal dalam Konflik Sudan
| Aktor Eksternal | Dukungan Utama (Dugaan) | Kepentingan Kunci | Dampak terhadap Konflik | 
| Uni Emirat Arab (UEA) | RSF | Akses Emas, Jalur Laut Merah, Pengaruh Regional | Memperpanjang kemampuan finansial RSF, menahan tekanan diplomatik | 
| Rusia (Wagner Group) | RSF (sebelumnya) | Akses Emas, Pangkalan Strategis di Laut Merah, Pendanaan Operasi [7, 26] | Meningkatkan ekonomi perang RSF melalui penyelundupan emas. | 
| Mesir | SAF | Keamanan Perbatasan, Pengaruh dalam Isu Sungai Nil | Mendorong Burhan untuk mempertahankan kekuasaan. | 
| Tiongkok | Netral/Kepentingan Ekonomi | Sumber Daya Alam (Emas, Uranium) | Memproyeksikan persaingan global yang kembali memanas di wilayah strategis.[25] | 
Keterlibatan aktor eksternal yang disinkronkan dengan ekonomi bayangan, terutama yang terkait dengan kontrol Hemedti atas emas, menunjukkan bahwa konflik ini didorong oleh kepentingan ekonomi perang yang berkelanjutan. Selama jaringan penyelundupan emas RSF tetap utuh dan didukung oleh pembeli eksternal, kemampuan RSF untuk mengabaikan perjanjian perdamaian dan terus beroperasi secara otonom akan terus berlanjut.
Ancaman Disintegrasi dan Ketidakstabilan Regional
Konflik Sudan saat ini tidak hanya menghancurkan negara tersebut, tetapi juga meningkatkan risiko perpecahan yang lebih parah, menyusul pemisahan Sudan Selatan pada tahun 2011. Selain itu, konflik telah tumpah ke negara-negara tetangga seperti Chad, Libya, Ethiopia, Sudan Selatan, dan Republik Afrika Tengah, yang mengindikasikan ketidakstabilan regional yang serius dan mengancam keamanan perbatasan seluruh kawasan.
Kesimpulan
Sudan menghadapi risiko menjadi negara gagal dan arena perang proksi regional yang permanen. Kebuntuan eksistensial antara SAF dan RSF, ditambah dengan keterlibatan aktor eksternal yang membiayai konflik demi sumber daya strategis, menyiratkan bahwa kekerasan akan terus berlanjut. Transisi pasca-Bashir telah gagal, dan Sudan kini jatuh ke dalam sistem yang berpotensi lebih kejam daripada sebelumnya. Mengingat bahwa RSF telah mendeklarasikan pemerintahan tandingan dan mengkonsolidasikan wilayah, perpecahan negara secara de facto menjadi skenario yang semakin mungkin.
Rekomendasi Kebijakan yang Ditargetkan
Untuk mengatasi tragedi yang terlupakan ini, respons internasional harus didasarkan pada tiga jalur tindakan yang tegas dan simultan:
Penegakan Akuntabilitas Internasional dan Hukum (The Justice Track)
- Dukungan Penuh ICC/ICJ:Komunitas internasional harus menyediakan sumber daya dan dukungan politik yang diperlukan untuk memperkuat yurisdiksi dan investigasi oleh ICC dan ICJ terkait tuduhan genosida dan kejahatan perang yang dilakukan RSF dan sekutunya. Desakan DK PBB untuk menyelidiki genosida di Darfur, sebagaimana diminta oleh utusan Sudan, harus ditanggapi dengan serius.
- Sanksi yang Ditargetkan pada Ekonomi Perang:Menerapkan sanksi berat secara transnasional (termasuk pembekuan aset) terhadap komandan kunci RSF (Hemedti dan Abdul Rahim Dagalo) dan aktor-aktor negara atau non-negara yang terlibat dalam fasilitasi pendanaan konflik melalui perdagangan emas ilegal. Sanksi ini harus mencakup entitas asing yang dituduh mendukung pihak yang bertikai, menargetkan rantai pasokan keuangan mereka.
Strategi Peningkatan Akses dan Pendanaan Kemanusiaan (The Humanitarian Track)
- Tuntutan Koridor Kemanusiaan Wajib:Dewan Keamanan PBB harus menggunakan semua instrumen yang tersedia untuk menuntut jeda kemanusiaan yang ketat dan segera di wilayah-wilayah yang dikepung, seperti El Fasher dan Kadugli, dan memastikan kepatuhan terhadap Hukum Humaniter Internasional untuk melindungi warga sipil.
- Penutupan Kesenjangan Pendanaan:Negara-negara donor harus segera menutup kesenjangan pendanaan yang masif untuk Rencana Respons Kemanusiaan 2024 (US$2.7 miliar) dan memprioritaskan penyediaan bantuan pangan darurat untuk mencegah kematian massal akibat malnutrisi akut.
- Peningkatan Keamanan Distribusi:Mendukung Doctors Without Borders dan badan PBB lainnya untuk mengatasi hambatan politik dan logistik, memastikan bantuan dapat didistribusikan secara cepat dan aman, bahkan ke komunitas terpencil yang terperangkap di garis depan.
Tekanan Diplomatik dan Pengurangan Pengaruh Asing (The Diplomatic Track)
- Mediasi Inklusif (MTD):Format mediasi di masa depan harus diubah dan diperluas untuk mengadopsi pendekatan Multi-Track Diplomacy (MTD) yang melibatkan koalisi sipil secara penuh, tidak hanya berfokus pada perundingan antara SAF dan RSF.
- Mengatasi Geopolitik Bayangan:Harus ada mekanisme diplomatik yang secara eksplisit mengatasi praktik “membeli pengaruh” oleh kekuatan regional yang melumpuhkan tekanan terhadap RSF. Negara-negara yang memiliki pengaruh di Sudan harus dipaksa untuk menghentikan dukungan finansial atau militer tidak langsung, demi memungkinkan tatanan internasional kembali berfungsi tanpa campur tangan kepentingan ekonomi.

