Utang publik global telah mencapai rekor tertinggi, mencerminkan peningkatan kerentanan keuangan yang signifikan di seluruh dunia. Kondisi ini diperburuk oleh guncangan ekonomi ganda yang melanda Negara-negara Pasar Berkembang dan Negara-negara Berkembang (EMDEs) dan Negara-negara Berpendapatan Rendah (LICs). Peningkatan substansial pada tingkat utang dipicu oleh defisit fiskal besar yang diambil selama guncangan COVID-19 pada tahun 2020-2021.
Periode lonjakan utang ini diikuti oleh perubahan mendasar dalam lingkungan keuangan global. Setelah satu dekade kebijakan moneter yang longgar dan suku bunga yang rendah, pengetatan kondisi keuangan global (subsequent tightening in global financial conditions) telah meningkatkan kerentanan di banyak EMDEs dan LICs. Kombinasi utang yang tinggi dan biaya pendanaan yang mahal kini memaksa banyak negara untuk menghadapi beban pembayaran utang (debt service burdens) yang meningkat tajam, yang pada gilirannya menyempitkan ruang fiskal yang tersedia untuk investasi pembangunan dan belanja sosial. Laporan ini bertujuan menganalisis secara komprehensif risiko gagal bayar (default) yang diakibatkan oleh mekanisme transmisi kenaikan suku bunga global dan mengevaluasi efektivitas respons institusional multilateral yang ada.
Ringkasan Kenaikan Suku Bunga Global dan Implikasi terhadap Biaya Dana
Kebijakan moneter dari bank sentral utama dunia, terutama Federal Reserve (The Fed) di Amerika Serikat, memainkan peran sentral dalam menentukan biaya dana global. Meskipun The Fed mungkin telah beralih ke fase pelonggaran hati-hati (misalnya, pemangkasan suku bunga acuan) , warisan dari periode pengetatan agresif sebelumnya telah meningkatkan biaya pendanaan global secara struktural. Perubahan dalam tingkat federal funds rate ini berdampak pada EMDEs, karena kenaikan suku bunga secara historis meningkatkan biaya pembayaran utang dan secara drastis mengurangi fleksibilitas fiskal.
Definisi dan Klasifikasi Risiko Utang (Likuiditas vs. Solvabilitas)
Untuk menilai kerentanan, Bank Dunia dan Dana Moneter Internasional (IMF) menggunakan Debt Sustainability Framework (DSF). Kerangka ini merupakan analisis terstruktur yang memandu keputusan pinjaman di LICs, dengan tujuan menyeimbangkan kebutuhan pendanaan negara dengan kemampuan mereka untuk membayar kembali—baik saat ini maupun di masa depan.
Dalam konteks analisis utang, penting untuk membedakan antara masalah likuiditas dan solvabilitas. Analisis menunjukkan bahwa guncangan COVID-19 awalnya menciptakan masalah likuiditas jangka pendek. Namun, pengetatan kondisi keuangan global yang mengikuti guncangan tersebut telah mengubah masalah likuiditas sementara menjadi masalah solvabilitas jangka panjang, terutama bagi negara-negara yang sudah menanggung rasio utang terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) yang tinggi—rata-rata 72% untuk 26 negara termiskin. Ketika biaya bunga meningkat dan likuiditas global menipis, negara yang tadinya hanya kesulitan kas (likuiditas) kini tidak lagi mampu membayar total utangnya secara struktural (solvabilitas). Status risiko utang diklasifikasikan, antara lain, sebagai High Risk (risiko tinggi kesulitan utang) atau yang lebih parah, In Debt Distress (kesulitan utang aktual/gagal bayar). Beban pembayaran utang dan cicilan ini kemudian memberikan tekanan besar kepada Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN).
Mekanisme Transmisi Suku Bunga Global ke Beban Utang EMDEs/LICs
Jalur Transmisi Keuangan dan Arus Modal
Kebijakan moneter Amerika Serikat mengirimkan gelombang kejut ke ekonomi negara berkembang melalui tiga jalur utama: suku bunga global, nilai tukar, dan arus modal.
Ketika The Fed menaikkan suku bunga acuannya, biaya dana dolar AS di pasar internasional menjadi lebih mahal. Perbedaan imbal hasil antara aset aman (seperti Treasury AS) dan aset berisiko di negara berkembang menyempit, mendorong investor untuk mencari aset yang dianggap lebih aman. Hal ini memicu arus modal keluar (capital outflow) dari pasar berkembang, seperti Indonesia atau EMDEs lainnya, yang pada akhirnya mengurangi likuiditas pasar domestik dan meningkatkan kesulitan refinancing utang jatuh tempo.
Dampak Biaya Utang (Debt Service Cost) yang Meningkat
Peningkatan suku bunga global secara langsung berdampak pada utang luar negeri negara berkembang yang menggunakan instrumen suku bunga mengambang (floating rate). Kenaikan suku bunga ini secara langsung menaikkan biaya pembayaran utang (debt service) yang harus dipenuhi. Bagi negara-negara termiskin, kenaikan suku bunga ini memiliki konsekuensi yang lebih ekstrem. Laporan Bank Dunia menunjukkan bahwa 26 ekonomi termiskin semakin bergantung pada hibah dan pinjaman dengan suku bunga mendekati nol dari Asosiasi Pembangunan Internasional (IDA) karena pembiayaan pasar (market financing) telah mengering sepenuhnya bagi mereka. Hilangnya akses ke pasar modal swasta ini menggarisbawahi bagaimana pengetatan moneter global telah memperparah isolasi finansial bagi negara-negara yang paling rentan.
Analisis Risiko Nilai Tukar dan Tekanan Penguatan Dolar AS
Jalur transmisi kedua adalah melalui nilai tukar. Kebijakan moneter yang ketat di AS cenderung menyebabkan penguatan Dolar AS. Dalam skenario ini, mata uang domestik negara berkembang melemah secara signifikan. Bagi negara yang memegang utang luar negeri yang diukur dalam mata uang asing (dolar), depresiasi mata uang lokal akan membengkak total kewajiban utang luar negeri ketika diukur dalam mata uang domestik. Pembengkakan nominal ini memberikan beban yang jauh lebih besar kepada APBN negara untuk melunasi bunga dan cicilan, bahkan jika PDB tetap statis.
Kenaikan suku bunga global tidak hanya meningkatkan biaya utang, tetapi juga memiliki implikasi pro-siklikal yang lebih luas. Ketika biaya utang naik, pertumbuhan ekonomi cenderung melambat. Perlambatan ini, pada gilirannya, berdampak negatif pada penerimaan pajak negara. Negara-negara yang sudah berjuang dengan rasio pajak yang rendah (seperti yang disorot dalam upaya mengurangi ketergantungan pada ULN) kemudian memasuki lingkaran setan: biaya utang meningkat, pertumbuhan melambat, pendapatan pajak menurun, dan ketergantungan pada utang eksternal justru bertambah.
Strategi Manajemen Risiko Utang Negara
Untuk memitigasi risiko suku bunga, negara perlu memadukan instrumen utang dengan suku bunga tetap (fixed rate) dan suku bunga mengambang (floating rate). Penerbitan utang fixed rate dalam kondisi suku bunga rendah dapat memberikan kepastian biaya utang dalam jangka panjang. Sementara itu, risiko nilai tukar dapat dikelola dengan memprioritaskan utang dalam mata uang lokal atau dengan menggunakan instrumen lindung nilai (hedging) terhadap fluktuasi kurs. Pengelolaan cadangan devisa yang memadai juga krusial untuk memastikan negara memiliki likuiditas yang cukup untuk memenuhi kewajiban pembayaran dalam situasi krisis.
Meskipun strategi manajemen risiko ini esensial, banyak LICs yang menghadapi krisis utang struktural (misalnya, Sudan atau Venezuela) memiliki pasar modal domestik yang dangkal dan akses terbatas ke instrumen hedging yang canggih. Hal ini membatasi kemampuan mereka untuk secara efektif menerapkan solusi ini.
Berikut adalah ringkasan mekanisme transmisi utama kebijakan moneter The Fed ke EMDEs/LICs.
Tabel 1: Tiga Jalur Transmisi Kebijakan Moneter The Fed ke Ekonomi Negara Berkembang
| Jalur Transmisi | Dampak Kenaikan Suku Bunga The Fed | Implikasi terhadap Utang EMDEs/LICs |
| Suku Bunga Global | Peningkatan biaya pinjaman dana USD internasional (yield obligasi global) | Biaya debt service (pembayaran bunga) utang luar negeri dengan suku bunga mengambang meningkat tajam. |
| Nilai Tukar | Penguatan Dolar AS dan pelemahan mata uang domestik (arus modal ke aset aman) | Beban utang dalam mata uang lokal (APBN) membengkak, meningkatkan rasio utang/PDB secara nominal.[3, 6] |
| Arus Modal | Arus modal keluar (capital outflow) dan penurunan investasi portofolio | Likuiditas pasar domestik menipis, kesulitan refinancing utang jatuh tempo, dan akses pasar mengering.[3, 5] |
Profil Kerentanan Utang Negara Berpendapatan Rendah (LICs)
Data Kuantitatif Utang LICs dan Struktur Kerentanan
Kerentanan utang di negara-negara termiskin telah mencapai tingkat yang mengkhawatirkan. Bank Dunia memperingatkan bahwa 26 ekonomi termiskin saat ini menanggung rekor utang tertinggi sejak tahun 2006. Rasio utang terhadap PDB rata-rata mereka telah mencapai 72%, merupakan titik tertinggi dalam 18 tahun terakhir.
Kondisi ekonomi di negara-negara ini sangat genting; rata-rata, mereka lebih miskin dibandingkan sebelum Pandemi COVID-19. Karena pembiayaan pasar swasta telah mengering, negara-negara ini semakin bergantung pada hibah dari IDA (International Development Association) Bank Dunia dan pinjaman lunak dengan suku bunga mendekati nol. Meskipun IDA telah menjadi “penyelamat” dengan menyalurkan sebagian besar sumber daya keuangannya , ketergantungan yang ekstrem pada pinjaman lunak non-pasar ini menunjukkan kegagalan struktural negara-negara tersebut untuk menarik investasi swasta. Kegagalan ini sering kali berakar pada tingginya risiko kelembagaan, konflik, dan kerapuhan tata kelola, yang merupakan tantangan jangka panjang yang harus diatasi.
Identifikasi Negara dengan Status Debt Distress
Analisis Keberlanjutan Utang (DSF) yang dilakukan bersama oleh IMF dan Bank Dunia mengidentifikasi sejumlah besar LICs yang berada dalam status risiko utang yang tinggi. Status In Debt Distress (kesulitan utang aktual/gagal bayar) telah menimpa negara-negara seperti Djibouti, Ethiopia, dan Republik Kongo. Sementara itu, banyak negara lain menghadapi risiko tinggi (High Risk), termasuk Kamerun, Chad, Komoro, Burundi, dan Afghanistan.
Faktor endogen memperburuk kerentanan utang ini. Dua pertiga dari 26 negara termiskin yang diteliti terlibat dalam konflik bersenjata atau mengalami kesulitan menjaga ketertiban karena kerapuhan kelembagaan dan sosial. Kerentanan internal ini membuat mereka semakin rentan terhadap guncangan eksternal, seperti kenaikan suku bunga global atau bencana alam.
Berikut adalah data risiko utang eksternal negara berpendapatan rendah terpilih berdasarkan Kerangka Keberlanjutan Utang IMF-Bank Dunia.
Tabel 2: Indikator Risiko Utang Eksternal Negara Berpendapatan Rendah Terpilih (DSF)
| Negara (Contoh) | Risiko Kesulitan Utang Eksternal | Risiko Kesulitan Utang Secara Keseluruhan |
| Kamerun | High | High |
| Djibouti | In debt distress | In debt distress |
| Ethiopia | In debt distress | In debt distress |
| Gambia, The | High | High |
| Bangladesh | Moderate | Moderate |
| Cabo Verde | Moderate | High |
Analisis Kualitatif Risiko Gagal Bayar
Beberapa negara menunjukkan rasio utang terhadap PDB yang ekstrem, jauh melampaui ambang batas keberlanjutan. Contohnya adalah Sudan, dengan rasio 189,6% dari PDB, yang diperburuk oleh konflik berkepanjangan dan lemahnya institusi ekonomi, serta Venezuela (133,61% dari PDB), yang terperosok dalam krisis multidimensi dan kehancuran institusi. Meskipun negara maju seperti Amerika Serikat juga memiliki utang yang besar , risiko gagal bayar LICs jauh lebih akut karena minimnya cadangan devisa dan kecilnya skala ekonomi mereka.
Ketika beban utang meningkat, konsekuensi fiskal dan sosialnya sangat merusak. Peningkatan rasio utang dapat memperburuk inflasi dan menurunkan PDB per kapita. Lebih jauh, ketika pemerintah terpaksa memprioritaskan pembayaran utang (debt service) yang meningkat akibat suku bunga global, hal ini terjadi dengan mengorbankan layanan publik esensial seperti kesehatan dan pendidikan. Krisis utang secara efektif menjadi krisis pembangunan manusia. Kegagalan pengelolaan utang ini juga menumbuhkan stigma sebagai negara gagal, yang dapat berdampak negatif pada investasi dan kepercayaan internasional.
Analisis Risiko Gagal Bayar (Default): Studi Kasus dan Pelajaran
Faktor Pendorong Default Utang Berdaulat
Pengamatan empiris menunjukkan bahwa gagal bayar utang berdaulat jarang disebabkan oleh satu faktor tunggal. Default biasanya merupakan hasil dari interaksi kompleks antara guncangan eksogen, seperti pengetatan kondisi keuangan global (kenaikan suku bunga), dan salah urus kebijakan domestik (faktor endogen) yang menciptakan kerentanan struktural.
Studi Kasus Sri Lanka: Manifestasi dari Kerentanan Domestik
Kasus Sri Lanka menjadi studi penting mengenai bagaimana kerentanan domestik dipercepat oleh guncangan eksternal. Sri Lanka menyatakan gagal bayar utang luar negeri senilai 51 miliar dollar AS. Kegagalan ini berakar pada salah urus perekonomian negara: pemerintah memilih fokus pada pasar domestik, yang mengakibatkan pendapatan ekspor rendah sementara tagihan impor terus bertambah, mengikis cadangan devisa.
Masalah utang diperburuk oleh penggunaan pinjaman, termasuk dari Tiongkok, untuk proyek infrastruktur mewah yang terabaikan atau tidak produktif. Proyek-proyek ini menambah beban utang tanpa menghasilkan pendapatan valuta asing yang memadai, melanggar prinsip kehati-hatian bahwa utang harus diarahkan untuk investasi produktif. Guncangan eksternal akibat Pandemi COVID-19 yang melumpuhkan sektor pariwisata (penghasil mata uang asing terbesar) diperparah oleh keputusan kebijakan domestik yang salah, seperti larangan impor pupuk kimia yang menyebabkan gagal panen dan menambah kebutuhan impor makanan. Kombinasi ini mempercepat keruntuhan yang sudah terstruktur.
Pelajaran dari Krisis Default (Sri Lanka, Zambia, Ghana)
Pelajaran utama yang diperoleh dari studi kasus seperti Sri Lanka, Zambia, dan Ghana adalah bahwa masalah utang di negara berkembang pada dasarnya bukan hanya masalah moneter atau suku bunga, melainkan masalah mendasar pada tata kelola dan kemampuan negara untuk menghasilkan mata uang asing (neraca pembayaran). Kenaikan suku bunga hanyalah pemicu yang mempercepat keruntuhan.
Untuk mengatasi ini, transparansi dan manajemen risiko menjadi kritikal. Utang luar negeri, jika dikelola dengan bijaksana, dapat bermanfaat untuk mendukung pertumbuhan ekonomi. Namun, negara debitur harus berhati-hati terhadap risiko jangka panjang akibat ketergantungan pada pembiayaan eksternal. Kasus krisis utang, termasuk Zambia, menekankan perlunya koordinasi dan berbagi informasi yang lebih baik di antara semua kreditur untuk mencapai restrukturisasi yang efektif.
Peran Lembaga Multilateral: IMF, Bank Dunia, dan Arsitektur Utang Global
Fungsi Dasar dan Mandat Komplementer
Dana Moneter Internasional (IMF) dan Bank Dunia, yang didirikan di Bretton Woods pada tahun 1944, memiliki peran yang saling melengkapi dalam arsitektur keuangan global. IMF berfokus pada promosi stabilitas nilai tukar, penghindaran devaluasi kompetitif, dan koreksi masalah neraca pembayaran. IMF berfungsi sebagai benteng pertahanan terakhir (last buffer) likuiditas untuk penyelamatan ekonomi dunia dan sering kali mendorong reformasi struktural (fiskal dan moneter) di negara-negara yang terkena krisis. Sebaliknya, Bank Dunia, melalui Asosiasi Pembangunan Internasional (IDA), berfokus pada penyediaan pinjaman pembangunan (dengan suku bunga mendekati nol) bagi negara-negara termiskin di dunia.
Inisiatif Pengurangan Utang Masa Lalu
Lembaga multilateral memiliki rekam jejak dalam mengatasi krisis utang. Salah satu inisiatif paling signifikan adalah Inisiatif Pengurangan Utang Multilateral (MDRI). MDRI menawarkan bantuan utang penuh dari IMF, IDA (Bank Dunia), dan Dana Pembangunan Afrika bagi negara-negara berpendapatan rendah yang telah menyelesaikan proses HIPC (Highly Indebted Poor Countries). Secara gabungan, MDRI dan HIPC telah memberikan bantuan utang sekitar USD 99 miliar.
Kerangka Kerja Keberlanjutan Utang (DSF)
DSF IMF dan Bank Dunia berfungsi sebagai alat diagnostik penting dan pedoman peminjaman. Tujuannya adalah memastikan bahwa negara berpendapatan rendah tidak meminjam melebihi kemampuan mereka untuk membayar kembali. Selain dukungan pendanaan, peran lembaga multilateral ini juga mencakup dorongan untuk reformasi struktural guna mencegah terulangnya krisis di masa mendatang.
Panggilan Reformasi Tata Kelola Keuangan Global Tahun 2025
Dalam beberapa tahun terakhir, muncul panggilan mendesak untuk reformasi. Pada pertemuan Musim Gugur 2025, Presiden Bank Dunia, Ajay Banga, menyerukan pembentukan “budaya transparansi baru” dalam restrukturisasi utang dan penyerahan pembiayaan pembangunan yang lebih cepat dan efisien.
Permintaan untuk transparansi ini sangat penting karena negara-negara berkembang semakin frustrasi dengan proses resolusi utang yang lambat dan terfragmentasi. Kelompok masyarakat sipil memperkuat pesan ini, menyoroti biaya sosial yang timbul ketika pemerintah dipaksa memprioritaskan pembayaran utang di atas layanan publik esensial.
Lebih lanjut, finance ministers dari berbagai negara Afrika dan Amerika Latin menuntut representasi yang lebih kuat dalam tata kelola keuangan global. Mereka berargumen bahwa reformasi harus melampaui akses simbolis untuk memberikan negara berpendapatan rendah dan menengah pengaruh nyata atas keputusan pinjaman global, restrukturisasi, dan investasi. Tuntutan ini mencerminkan pengakuan bahwa kredibilitas lembaga multilateral kini bergantung pada bukti nyata, seperti kecepatan penyaluran bantuan utang dan kemampuan untuk mencapai pertumbuhan yang lebih adil.
Evaluasi G20 Common Framework (CF) dan Tantangan Koordinasi Kreditur
Tujuan dan Mekanisme CF
Menyikapi kompleksitas lanskap kreditur global yang berubah—terutama dengan munculnya kreditur bilateral resmi baru seperti Tiongkok dan peran sektor swasta yang lebih besar—G20 meluncurkan G20 Common Framework for Debt Treatments beyond the Debt Service Suspension Initiative (DSSI). Tujuan utama kerangka kerja ini adalah menyediakan platform yang terkoordinasi untuk perlakuan utang yang komprehensif, menyatukan kreditur G20 dan Paris Club. Kerangka ini dirancang untuk memastikan bahwa negara debitur memiliki tekanan untuk menegosiasikan persyaratan yang sebanding dengan kreditur komersial dan bilateral resmi eksternal lainnya (prinsip Comparability of Treatment atau CoT).
Tantangan Utama Implementasi dan Efisiensi
Meskipun bertujuan untuk mengatasi kerumitan arsitektur utang yang baru, implementasi Common Framework menghadapi tantangan besar. Tinjauan terhadap tahun-tahun pertama CF menunjukkan perlunya peningkatan efisiensi dan kejelasan mengenai berbagai langkah proses perlakuan utang. Kurangnya transparansi dan lambatnya proses yang disepakati G20 dapat berarti perbedaan antara pemulihan yang berkelanjutan atau “dekade yang hilang untuk pembangunan” bagi banyak negara berkembang yang tengah berjuang. Beberapa kritik struktural menyoroti bahwa Kerangka Kerja Bersama terlalu didasarkan pada pendekatan Paris Club, yang dianggap tidak lagi memadai untuk lanskap kreditur global saat ini.
Hambatan Comparability of Treatment (CoT)
Tantangan utama dalam CF adalah penegakan prinsip CoT, terutama terhadap kreditur bilateral non-Paris Club (seperti Tiongkok) dan sektor swasta. Kasus restrukturisasi Zambia sangat menyoroti kesulitan dalam hal ini, menekankan perlunya koordinasi yang ditingkatkan, urutan kerja yang tepat, dan berbagi informasi yang lebih baik antara kreditur bilateral resmi, perwakilan pemegang obligasi (bondholders), dan kreditur komersial.
Masalah utama Common Framework bukan terletak pada desainnya, melainkan pada kurangnya mekanisme penegakan yang kuat (enforcement) CoT, terutama terhadap kreditur swasta yang memiliki sedikit insentif untuk berpartisipasi tanpa adanya sanksi atau mekanisme burden sharing yang mengikat. Hal ini menyebabkan proses resolusi utang menjadi sangat lambat dan merusak kredibilitas keseluruhan arsitektur utang global.
Tabel 3: Evolusi Kerangka Kerja Utang Multilateral dan Tantangan Saat Ini
| Inisiatif | Periode | Tujuan Utama | Kreditur Utama | Tantangan Utama Saat Ini |
| HIPC/MDRI | 1996 – 2005 | Mengurangi utang negara termiskin (LICs) menjadi tingkat berkelanjutan. | IMF, Bank Dunia (IDA), Paris Club. | Terbatas cakupannya; tidak mencakup lanskap kreditur swasta/bilateral baru yang kompleks. |
| G20 Common Framework | 2020 – Sekarang | Menyediakan perlakuan utang yang terkoordinasi untuk negara yang membutuhkan (di luar DSSI). | G20 Official Bilateral Creditors (termasuk Tiongkok) dan Paris Club. | Lambatnya proses, kurangnya transparansi, dan sulitnya menerapkan Comparability of Treatment (CoT) kepada sektor swasta. |
Rekomendasi Kebijakan Jangka Panjang untuk Keberlanjutan Utang
Reformasi Fiskal dan Manajemen Utang Domestik
Keberlanjutan utang jangka panjang bergantung pada penguatan kapasitas domestik. Negara berkembang harus melakukan usaha besar untuk meningkatkan penerimaan negara dari sektor pajak (Tax Ratio) untuk mengurangi kebergantungan struktural pada Utang Luar Negeri (ULN). Selain itu, prinsip kehati-hatian (prudent) harus menjadi landasan utama: utang harus diarahkan untuk investasi produktif yang dapat mendorong pertumbuhan ekonomi dan menghasilkan cash flow, bukan untuk pembiayaan konsumtif atau proyek yang tidak memberikan return memadai. Manajemen risiko utang yang proaktif, termasuk pengelolaan risiko suku bunga melalui instrumen fixed rate dan penggunaan hedging terhadap risiko nilai tukar , sangat diperlukan. Akhirnya, transparansi dan akuntabilitas mutlak harus ditegakkan dalam semua transaksi utang.
Reformasi Tata Kelola Utang Internasional
Di tingkat internasional, diperlukan reformasi arsitektur utang. Pertama, negara berpendapatan rendah dan menengah harus diberikan representasi yang lebih kuat dan pengaruh nyata dalam keputusan tata kelola keuangan global. Kedua, G20 harus didesak untuk mereformasi Common Framework agar proses restrukturisasi menjadi lebih prediktif, tepat waktu, dan teratur. Ini membutuhkan mekanisme penegakan CoT yang lebih kuat terhadap kreditur swasta dan kreditur non-Paris Club.
Solusi Inovatif Pembiayaan dan Keberlanjutan
Solusi jangka panjang untuk krisis utang harus bergeser dari mekanisme restrukturisasi reaktif ke pembangunan kapasitas fiskal dan inovasi pembiayaan yang proaktif. Mengingat pasar modal tradisional telah “mengering” bagi negara-negara termiskin , menarik investasi swasta menjadi penting. Negara-negara berkembang harus terus membangun lingkungan bisnis yang kompetitif, termasuk memperbaiki kerangka kelembagaan dan regulasi, untuk menarik investasi ke sektor-sektor non-ekstraktif dan infrastruktur.
Terdapat konvergensi penting antara keberlanjutan utang, pembangunan infrastruktur, dan agenda iklim. Instrumen Green Finance, seperti Green Bonds dan pemanfaatan Taksonomi Keuangan Berkelanjutan , menawarkan jalan untuk menarik basis investor baru. Selain itu, penggunaan mekanisme blended finance dan jaminan dapat menurunkan risiko proyek dan menarik investasi swasta ke pasar berkembang, mengisi kesenjangan pendanaan di tengah ketatnya anggaran publik. Inovasi ini memastikan bahwa utang yang diambil tidak hanya berkelanjutan dari sisi fiskal tetapi juga selaras dengan tujuan pembangunan jangka panjang dan mitigasi risiko iklim.
