Transisi kebijakan ekonomi Amerika Serikat (AS) yang dijuluki “America First” telah memicu perubahan fundamental dalam dinamika perdagangan global. Kebijakan ini tidak terbatas pada alat proteksionis tradisional, seperti tarif, tetapi telah berkembang menjadi pendorong fragmentasi struktural yang lebih dalam, didorong oleh pertimbangan keamanan nasional dan kompetisi geopolitik. Analisis ini mengeksplorasi pergeseran paradigma tersebut dan dampaknya yang kompleks terhadap perekonomian Asia.

Evolusi Kebijakan Perdagangan AS dan Latar Belakang Geopolitik

Kebijakan “America First” yang diprakarsai oleh mantan Presiden Donald Trump didasarkan pada keinginan untuk mengatasi defisit perdagangan AS yang besar dan menekan negara-negara yang dianggap menerapkan hambatan non-tarif, seperti persyaratan konten lokal dan sistem lisensi impor yang kompleks. Kompetisi strategis antara AS dan Tiongkok berfungsi sebagai pendorong utama, mendorong pergeseran fokus kebijakan AS dari paradigma efisiensi biaya yang berbasis pasar bebas menuju paradigma resiliensi, keamanan nasional, dan de-globalisasi selektif.

Dalam konteks ini, terminologi baru telah muncul untuk menggambarkan strategi AS dan mitranya. Strategi de-risking didefinisikan sebagai upaya negara-negara untuk mengubah sumber pasokan barang dan jasa antara “teman” versus “rival” sambil meminimalkan perubahan pada ketergantungan keseluruhan pada sumber asing. Pendekatan yang lebih spesifik, political friend-shoring, adalah strategi yang menunjukkan peningkatan ketergantungan pada impor dari negara-negara yang dianggap sebagai “sekutu politik” di tengah peningkatan risiko geopolitik global. Ini membuktikan bahwa keputusan GVC saat ini didominasi oleh pertimbangan keamanan dan risiko, bukan semata-mata insentif efisiensi biaya.

Instrumen Kebijakan AS: Melampaui Tarif Tradisional

Tarif Perdagangan

Awalnya, kebijakan “America First” paling terlihat melalui penerapan tarif impor yang tinggi. AS mengenakan tarif pada lebih dari USD 550 miliar produk Tiongkok, yang dibalas oleh Tiongkok dengan tarif serupa. Bahkan negara-negara mitra yang menghasilkan surplus perdagangan dengan AS, seperti Indonesia, menghadapi ancaman tarif tinggi (hingga 32%) sebagai bagian dari kebijakan “reciprocal tariffs” yang bertujuan menyeimbangkan perdagangan. Namun, bukti menunjukkan bahwa kebijakan tarif AS gagal mencapai tujuan utamanya, yaitu mengurangi defisit perdagangan barang AS, yang justru melebar antara tahun 2016 hingga 2024. Kegagalan alat proteksionis tradisional ini memperkuat kebutuhan AS untuk beralih ke instrumen kontrol non-tarif yang lebih struktural untuk mencapai tujuan strategisnya.

Kontrol Investasi dan Friends-shoring Modal

Instrumen yang lebih halus namun berdampak besar adalah kontrol investasi asing. Komite Investasi Asing di Amerika Serikat (CFIUS) adalah komite antar-lembaga yang berwenang meninjau transaksi investasi asing tertentu di AS atas dasar risiko keamanan nasional. Dalam implementasi political friend-shoring modal, CFIUS telah memperkenalkan proses fast track untuk memfasilitasi investasi dari sekutu dan mitra yang memiliki jarak yang dapat diverifikasi dari musuh asing atau aktor ancaman. Kebijakan ini secara aktif mengarahkan Foreign Direct Investment (FDI) menjauh dari Tiongkok dan menarik modal dari sekutu ke dalam “Factory America,” yang merupakan bentuk nyata dari fragmentasi yang didorong oleh negara.

Pembatasan Teknologi (Perang Chip)

Instrumen paling strategis dari de-globalisasi selektif adalah pembatasan ekspor teknologi canggih. Pembatasan ekspor yang diluncurkan oleh AS pada Oktober 2022, sering disebut “perang chip,” secara spesifik bertujuan mencegah Tiongkok membeli chip canggih—komponen vital untuk teknologi masa depan seperti Kecerdasan Buatan (AI), supercomputing, dan sistem militer canggih—dari AS atau memproduksinya secara lokal.

Efektivitas pembatasan ini sangat bergantung pada kerjasama multilateral. AS memerlukan dukungan dari negara-negara kunci yang menguasai mesin manufaktur semikonduktor. Jepang (Tokyo Electron) dan Belanda (ASML) adalah produsen mesin terbesar kedua dan ketiga di dunia, dan keberhasilan AS dalam memenangkan “perang chip” ini terwujud ketika kedua negara mengumumkan pembatasan ekspor teknologi semikonduktor ke Tiongkok. Hal ini menunjukkan bahwa de-globalisasi di sektor teknologi bukanlah tindakan unilateral AS semata, tetapi sebuah strategi aliansi yang memanfaatkan kendali atas titik-titik kritis dalam GVC global untuk mencapai tujuan geopolitik.

Biaya Makroekonomi Fragmentasi Struktural pada Asia (The Macro Costs)

Fragmentasi struktural yang didorong oleh kebijakan “America First” dan kompetisi geopolitik menghasilkan biaya makroekonomi yang signifikan dan terdistribusi secara asimetris di Asia.

Dampak Kuantitatif Terhadap Output dan Kesejahteraan (Welfare Costs)

Model-model ekonomi memprediksi bahwa intensitas fragmentasi perdagangan yang terus meningkat akan menyebabkan kerugian efisiensi skala dan kenaikan tekanan harga. Negara-negara berkembang, terutama yang memiliki perekonomian terbuka, akan menanggung kerugian terbesar. Kerugian output jangka panjang akibat fragmentasi FDI, yang dihasilkan dari ketegangan geopolitik dan perlambatan aliran modal, diperkirakan mencapai sekitar 2%, dengan distribusi kerugian yang tidak merata di antara negara-negara.

Ketidakpastian kebijakan perdagangan yang semakin tinggi telah menjadi sumber biaya ekonomi yang substansial. Ketidakpastian ini menghambat keputusan investasi dan pertumbuhan di pasar yang relatif terbuka dan berkembang. Secara konkret, ketidakpastian tarif AS menyebabkan Asian Development Bank (ADB) memangkas perkiraan pertumbuhan PDB Asia sebesar 0,1 hingga 0,2 persentase poin pada tahun 2025 dan 2026, meskipun respons kebijakan fiskal dan moneter diyakini dapat meredam sebagian dampak negatifnya.

Kerugian ekonomi terbesar jangka panjang tidak berasal dari tarif statis, tetapi dari biaya dinamis yang sulit diukur, seperti penurunan produktivitas yang disebabkan oleh berkurangnya investasi, gangguan aliran pengetahuan, dan tingginya ketidakpastian kebijakan. Negara-negara berpenghasilan rendah dan menengah di Asia menanggung beban utama karena jalur integrasi pasar global mereka terganggu. Sementara konsumen berpenghasilan rendah di negara maju akan dirugikan secara tidak proporsional oleh kenaikan harga, terganggunya rantai nilai di Asia secara langsung meningkatkan biaya input bagi produsen, mengurangi daya saing regional.

Disrupsi Rantai Pasok Global (GVC) dan Inflasi Biaya Input

Fragmentasi GVC diperparah oleh fakta bahwa kebijakan tarif AS menargetkan bagian-bagian kritis dari rantai pasok global. AS mengenakan tarif pada 67% input intermediat dan barang modal yang diimpor dari Tiongkok.

Bagi produsen di Asia, terutama yang terintegrasi dalam GVC regional yang kompleks, tarif pada input Tiongkok ini memiliki efek domino: kenaikan biaya input yang berasal dari Tiongkok meningkatkan Harga Pokok Penjualan (HPP) bagi produsen Asia. Misalnya, Indonesia memiliki kerentanan tinggi; sekitar 70% bahan baku untuk industri elektroniknya masih diimpor dari Tiongkok. Gangguan pasokan akibat ketegangan perdagangan dan kenaikan biaya input umum akibat fragmentasi pasar berpotensi menekan marjin dan daya saing ekspor Asia ke pasar global.

Selain barang intermediat, fragmentasi juga menciptakan kerentanan baru di sektor hulu, terutama pada Bahan Baku Kritis (Critical Raw Materials – CRMs). Tiongkok mendominasi lebih dari 90% pasokan global Rare Earth Elements (REEs), menjadikannya instrumen geopolitik yang kuat. Eskalasi ketegangan terkait kontrol ekspor REE Tiongkok secara langsung memicu ancaman tarif 100% dari AS. Ketergantungan strategis pada sumber tunggal ini memaksa negara-negara Asia (dan Eropa) untuk meningkatkan political friend-shoring untuk CRMs guna menjamin akses yang stabil.

Tabel 1: Biaya dan Risiko Makroekonomi Akibat Fragmentasi Perdagangan Global

Kategori Biaya Mekanisme Dampak pada Asia Bukti Kuantitatif/Model
Penurunan PDB/Output Peningkatan ketidakpastian kebijakan, penurunan investasi, dan gangguan aliran pengetahuan. ADB memangkas proyeksi pertumbuhan 2025–2026; Kerugian output hingga 2% dari fragmentasi FDI jangka panjang.
Biaya Kesejahteraan (Welfare Costs) Kenaikan harga konsumen, kerugian efisiensi skala, dan peningkatan ketidaksetaraan. Biaya asimetris, paling merugikan negara berkembang (Asia) dan konsumen berpenghasilan rendah.
Kenaikan Biaya Input Tarif AS pada input intermediat Tiongkok meningkatkan HPP bagi produsen Asia. AS mengenakan tarif pada 67% input intermediat impor dari Tiongkok; 70% bahan baku elektronik Indonesia diimpor dari Tiongkok.

Restrukturisasi GVC Asia: Analisis Political Friend-Shoring

Pergeseran fokus kebijakan AS dari efisiensi pasar ke keamanan geopolitik telah memaksa restrukturisasi mendalam Rantai Nilai Global (GVC) di Asia, menciptakan dilema dan peluang yang berbeda bagi sub-kawasan Asia Timur dan Asia Tenggara (ASEAN).

Dominasi Faktor Geopolitik dalam Keputusan Sourcing

Analisis empiris terbaru menunjukkan peningkatan yang jelas dalam political friend-shoring dalam pola sumber impor di seluruh dunia di bawah kondisi risiko geopolitik yang meningkat. Sebaliknya, economic friend-shoring (yang murni didasarkan pada insentif biaya) dan near-shoring cenderung melemah. Hal ini menggarisbawahi bahwa dalam era fragmentasi, faktor keamanan dan aliansi politik telah menjadi penentu utama dalam keputusan rantai pasok.

Meskipun demikian, peran sentral Asia dalam beberapa sektor kompleks tetap tak tergoyahkan. Sebagai contoh, tidak ada bukti near-shoring (pemindahan produksi kembali ke Factory America atau Factory Europe) di sektor semikonduktor, yang menunjukkan bahwa Factory Asia mempertahankan peran pentingnya dalam pasokan chip global.

Dilema Sekutu AS: Jepang dan Korea Selatan

Negara-negara maju di Asia Timur, seperti Jepang dan Korea Selatan, berada dalam dilema strategis. Mereka adalah sekutu keamanan dekat AS tetapi juga memiliki integrasi ekonomi yang sangat erat dengan Tiongkok.

AS secara aktif memperkuat aliansi teknologi melalui Technology Prosperity Deals (TPD) dengan Jepang dan Korea, yang bertujuan memperdalam kolaborasi R&D, menyelaraskan pendekatan regulasi, dan memperkuat keamanan nasional dalam bidang AI, 6G, dan komputasi kuantum. Korea Selatan juga diundang untuk bergabung dengan Aliansi Chip 4—bersama Jepang dan Taiwan—sebagai upaya merestrukturisasi rantai pasok semikonduktor dan melawan industri chip Tiongkok.

Aliansi teknologi ini datang dengan biaya opportunity yang signifikan. Kesepakatan TPD dengan Jepang, misalnya, mencakup koordinasi ekspor AI. Keterlibatan dalam inisiatif yang menargetkan Tiongkok, seperti Aliansi Chip 4, secara implisit memaksa Jepang dan Korea Selatan untuk membatasi akses mereka ke pasar Tiongkok yang luas—sebuah pasar ekspor dan sumber pendapatan yang sangat penting. Perusahaan Asia Timur telah merespons tekanan AS dengan memindahkan kapasitas strategis ke “Factory America,” seperti janji investasi $100 miliar oleh TSMC, serta investasi besar dari Hyundai Motor, Apple, dan Micron di AS.

Peluang dan Kerentanan Asia Tenggara (ASEAN)

ASEAN memiliki posisi unik karena kemampuannya mempertahankan netralitas di tengah persaingan strategis AS-Tiongkok. Simulasi ekonomi mengenai skenario decoupling menunjukkan bahwa Negara Anggota ASEAN (AMS) yang memilih tidak berpartisipasi dalam pemisahan blok geopolitik akan memperoleh dampak ekonomi yang positif. Posisi netral ini memberikan nilai hedge geopolitik yang menarik bagi perusahaan multinasional yang berupaya melakukan de-risking dari Tiongkok.

Tren relokasi pabrik dari AS, Korea Selatan, Jepang, dan bahkan Tiongkok ke negara-negara ASEAN terkonfirmasi, menjadikan kawasan ini salah satu pusat rantai pasok barang dunia yang diprediksi akan semakin dominan pada tahun 2030. Para pelaku usaha melihat konsistensi netralitas dan jaminan kebebasan di ASEAN sebagai faktor penarik utama.

Namun, peluang ini dibayangi oleh kerentanan struktural. Meskipun menarik investasi, ASEAN secara keseluruhan menghadapi tantangan dalam hal kesenjangan kualitas sumber daya manusia (SDM) dan investasi infrastruktur energi yang besar. Negara-negara seperti Indonesia perlu mempercepat reformasi struktural untuk meningkatkan daya saing dan infrastruktur agar dapat bersaing secara efektif dengan negara tetangga seperti Vietnam dalam menarik gelombang investasi asing ini. Selain itu, meskipun menarik perakitan akhir, ASEAN tetap rentan terhadap gangguan pasokan hulu, di mana sektor-sektor kunci seperti elektronik masih sangat bergantung pada impor bahan baku dan komponen dari Tiongkok.

Strategi Mitigasi Asia: Memperkuat Perisai Regional

Menghadapi fragmentasi yang didorong oleh AS, negara-negara Asia tidak merespons dengan retorika balasan, tetapi dengan memperkuat kohesi ekonomi regional melalui perjanjian dagang yang bertujuan membangun resiliensi jangka panjang.

Perjanjian Dagang Regional sebagai Mekanisme Mitigasi Risiko

Model perdagangan kuantitatif dari lembaga internasional menunjukkan bahwa strategi paling efektif bagi mitra dagang AS dalam menanggapi tarif adalah dengan mencari integrasi yang lebih dalam dengan mitra dagang lain, khususnya melalui penandatanganan perjanjian dagang. Tarif AS mengurangi akses pasar dan menyebabkan pengalihan perdagangan (trade diversion). Dengan memperdalam integrasi regional, negara-negara yang terkena dampak dapat memperluas perdagangan mereka ke pasar baru, mengurangi distorsi yang diciptakan oleh tarif, dan pada akhirnya menghasilkan pendapatan riil yang lebih tinggi, baik bagi negara yang melakukan liberalisasi maupun bagi ekonomi global.

Analisis ini memberikan validasi kuat bahwa inisiatif integrasi regional Asia, seperti RCEP dan CPTPP, bertindak sebagai perisai ekonomi yang secara aktif mengimbangi dampak negatif tarif AS dengan diversifikasi pasar dan mitigasi risiko.

Perbandingan Pilar Integrasi Asia: RCEP, CPTPP, dan IPEF

Strategi Asia bersifat multi-lapis, tidak bergantung pada satu aliansi tunggal. Ketiga perjanjian utama—RCEP, CPTPP, dan IPEF—memberikan lapisan hedging simultan terhadap ketidakpastian kebijakan AS dan dominasi Tiongkok.

Table 2: Perbandingan Perjanjian Dagang Regional Asia sebagai Strategi Mitigasi Risiko AS

Perjanjian Fokus Utama Cakupan Ekonomi (PDB Global) Fungsi Mitigasi Risiko Proteksionisme AS
RCEP Perdagangan Barang, Standar Asal Regional, Akses Pasar (Standar Rendah). Sekitar 30% Menciptakan pasar domestik regional terbesar (termasuk Tiongkok, Jepang, Korea, ASEAN); mengurangi ketergantungan ekspor pada permintaan AS/UE yang volatil.
CPTPP Standar Tinggi (Lingkungan, Tenaga Kerja), Penghapusan Hambatan Non-Tarif. Sekitar 13.5% Memperkuat integrasi dan menetapkan standar GVC yang ketat di antara sekutu non-Tiongkok, termasuk Jepang dan ASEAN.
IPEF Rantai Pasok, Ekonomi Digital, Energi Bersih (Tidak Termasuk Fasilitasi Tarif). Belum Final Memperkuat ikatan strategis dengan AS pada isu-isu resiliensi dan digital tanpa komitmen perjanjian dagang penuh, memungkinkan negara Asia menghindari keharusan “memilih pihak”.

Asia secara strategis menghindari keharusan memilih blok tunggal (decoupling keras) yang akan menimbulkan kerugian besar. Dengan RCEP, kawasan ini mengamankan pasar massal dan efisiensi regional. Melalui CPTPP dan IPEF, kawasan ini mengelola risiko strategis, menjamin standar tata kelola yang tinggi, dan mempertahankan hubungan penting dengan AS.

Penguatan Kohesi Intra-Asia dan ASEAN+3 (APT)

Di tingkat sub-regional, penguatan kohesi internal menjadi kunci. Perdagangan intra-ASEAN mencapai USD 823,1 miliar pada tahun 2024, setara dengan 21,4% dari total perdagangan kawasan, menunjukkan potensi besar untuk integrasi lebih dalam. Pembentukan Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA) bertujuan memperkuat daya saing dan menarik FDI berkelanjutan.

Lebih jauh lagi, kerangka kerja sama ASEAN Plus Three (APT), yang menghimpun ASEAN, Tiongkok, Jepang, dan Korea Selatan, menawarkan perisai kolektif dengan skala pasar yang luas (populasi melebihi 2 miliar jiwa). Memperdalam penetrasi ekspor ke Jepang, Korea, dan pasar ASEAN lainnya merupakan penyangga vital yang mengurangi ketergantungan berlebihan pada AS dan Tiongkok. Strategi jangka panjang bagi ASEAN adalah memanfaatkan posisi GVC yang ada dan integrasi dengan Plus-3 untuk membangun kemampuan domestik dan melakukan peningkatan industri. Tanpa transformasi kapasitas ini, ASEAN akan tetap rentan terhadap gangguan eksternal yang saat ini tengah terjadi.

Kesimpulan

Kebijakan “America First” telah bertransisi dari proteksionisme tarif tradisional menuju de-globalisasi selektif yang didorong oleh keamanan nasional, menciptakan lanskap ekonomi yang ditandai oleh political friend-shoring dan fragmentasi struktural.

Secara keseluruhan, Asia menanggung biaya makroekonomi jangka pendek yang nyata, termasuk ketidakpastian kebijakan, penurunan FDI, dan inflasi biaya input. Biaya tersembunyi yang terbesar adalah kerugian dinamis jangka panjang pada produktivitas, inovasi, dan pertumbuhan, yang timbul dari terputusnya aliran pengetahuan dan investasi akibat fragmentasi.

Dampak kebijakan AS bersifat diferensial:

  1. Asia Timur (Jepang/Korea): Menghadapi trade-off akut antara keamanan (aliansi teknologi AS) dan ekonomi (akses pasar Tiongkok). Biaya utamanya adalah opportunity cost berupa potensi kerugian pasar yang besar di Tiongkok akibat pembatasan teknologi yang terkoordinasi.
  2. ASEAN: Memperoleh manfaat dari relokasi (terutama dari Tiongkok dan Asia Timur) karena posisi netralnya dan nilai hedge geopolitik yang dimilikinya. Namun, kawasan ini harus mengatasi kerentanan struktural yang mendasar, seperti masalah infrastruktur dan ketergantungan pada pasokan bahan baku hulu dari Tiongkok.

Untuk mengelola biaya fragmentasi dan memaksimalkan peluang relokasi GVC, rekomendasi kebijakan berikut harus diprioritaskan:

  1. Akselerasi Integrasi Regional: Pemerintah harus mempercepat implementasi RCEP dan CPTPP serta harmonisasi regulasi untuk memaksimalkan manfaat pengalihan perdagangan (trade diversion) yang terbukti dapat meningkatkan pendapatan riil.
  2. Reformasi Struktural dan Kompetitif: Negara-negara ASEAN, termasuk Indonesia, harus memprioritaskan reformasi struktural yang komprehensif, khususnya peningkatan kualitas SDM, infrastruktur, dan kemudahan berbisnis, untuk secara efektif menarik dan menyerap gelombang FDI relokasi.
  3. Manajemen Risiko Bahan Baku Kritis: Diperlukan strategi regional untuk mengurangi kerentanan pasokan CRMs, seperti REEs, yang rentan terhadap kontrol geopolitik Tiongkok. Diversifikasi sumber daya dan pengembangan kemampuan pemrosesan lokal harus menjadi fokus.
  4. Negosiasi Adaptif: Menggunakan mekanisme WTO (seperti tindakan safeguards dan anti-dumping) serta jalur negosiasi bilateral yang adaptif dan terfokus pada kepentingan, seperti yang dilakukan dalam merespons tarif baja, untuk menjaga keseimbangan pasar domestik dan menghindari eskalasi.

Prospek jangka panjang menunjukkan bahwa tren political friend-shoring akan terus membentuk ulang GVC, menghasilkan dunia yang semakin bipolar. Asia dituntut untuk terus memperkuat integrasi intra-regional dan memanfaatkan netralitasnya. Kemampuan Asia untuk menjadi pusat pasok yang resilien dan menarik investasi dari kedua blok strategis—AS (melalui TPD dan IPEF) dan Tiongkok (melalui RCEP)—akan menjadi kunci untuk mempertahankan pertumbuhan dan stabilitas ekonomi di tengah ketidakpastian global. Jika Asia berhasil mencapai transformasi industri dan pendalaman integrasi regional, kawasan ini dapat mengalihkan ketergantungannya dari permintaan eksternal dan memitigasi risiko disrupsi yang diciptakan oleh kebijakan “America First”.

 

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

− 1 = 1
Powered by MathCaptcha