Konsep Pengetahuan Klasik: Justified True Belief (JTB)
Secara tradisional, dalam filsafat—disiplin ilmu yang mempelajari pengetahuan yang dikenal sebagai epistemologi —pengetahuan dianalisis menggunakan kerangka tripartit, atau yang dikenal sebagai Justified True Belief (JTB). Analisis ini mengklaim bahwa pengetahuan adalah kepercayaan yang dibenarkan dan benar, dan bahwa ketiga komponen ini bersifat perlu dan cukup.
Ketiga komponen tersebut harus dipenuhi secara simultan agar subjek (S) dapat mengklaim mengetahui proposisi (p). Pertama, proposisi p harus Benar (Truth, T), yang berarti p harus sesuai dengan realitas. Kedua, subjek S harus Percaya (Belief, B) bahwa proposisi p itu benar. Komponen ketiga dan yang paling filosofis krusial adalah Justifikasi (Justification, J). Justifikasi mengharuskan adanya bukti, alasan, atau proses yang memadai bagi subjek untuk mendukung keyakinan tersebut. Justifikasi inilah yang mengangkat keyakinan, yang mungkin sekadar opini atau dugaan, ke tingkat pengetahuan yang sah. Sebagian besar literatur abad kedua puluh menggunakan analisis JTB ini sebagai titik tolak, bahkan jika secara historis ia baru dirumuskan secara eksplisit oleh para kritikusnya.
Keretakan Logis: Paradoks Gettier sebagai Krisis Justifikasi
Meskipun analisis JTB tampak logis dan komprehensif, kerangka kerja ini menghadapi tantangan fundamental yang diperkenalkan oleh Edmund Gettier pada tahun 1963. Gettier Problem secara formal didefinisikan sebagai teka-teki filosofis yang mempertanyakan apakah keyakinan yang dibenarkan dan benar cukup untuk pengetahuan, dengan menyajikan skenario di mana ketiga kondisi J, T, dan B terpenuhi, namun secara intuitif, pengetahuan dianggap tidak ada.
Inti dari Gettier Problem adalah masalah Kebenaran yang Kebetulan (Accidental Truth) atau keberuntungan epistemis (luck). Dalam kasus-kasus Gettier, subjek memiliki justifikasi yang kuat, namun kebenaran proposisi itu terjadi karena alasan yang sama sekali berbeda atau kebetulan, tidak terkait secara kausal dengan justifikasi awal mereka. Sebagai contoh, seseorang mungkin memiliki keyakinan yang dibenarkan (J) bahwa ayahnya sedang menyekop salju karena ia melihat tetangga yang sangat mirip dengan ayahnya sedang menyekop; keyakinan itu ternyata benar (T) karena ayahnya memang sedang menyekop di sisi rumah yang lain. Namun, keyakinan itu tidak dapat dikatakan sebagai pengetahuan karena kebenaran dicapai melalui kebetulan yang berlebihan. Contoh-contoh seperti ini membuktikan bahwa JTB, meskipun perlu, bukanlah syarat yang cukup untuk pengetahuan.
Implikasi Gettier Problem terhadap epistemologi tradisional sangat signifikan. Masalah ini memaksa para filsuf, terutama mereka yang menganut pandangan internalistik (yang menekankan bukti dalam pikiran subjek), untuk mencari solusi dengan menambahkan kondisi keempat, yang dikenal sebagai skema JTB+. Meskipun Gettier Problem sendiri merupakan masalah logis internal mengenai hubungan antara Justifikasi dan Kebenaran, kebutuhan untuk menyelesaikan masalah ini secara efektif mendorong epistemologi ke arah pertimbangan faktor eksternal. Krisis filosofis ini menandai pergeseran penekanan dari sekadar validitas logis keyakinan menjadi bagaimana keyakinan itu diperoleh di dunia nyata, dan apakah proses perolehannya rentan terhadap keberuntungan atau tidak.
Respons Pasca-Gettier: Menghindari Keberuntungan Epistemis (Anti-Luck Epistemology)
Reaksi yang paling dominan dan disepakati oleh hampir semua epistemolog pasca-Gettier adalah bahwa pengetahuan harus mengecualikan keberuntungan yang berlebihan (too much luck). Prinsip ini dikenal sebagai anti-luck platitude. Prinsip ini menyatakan bahwa agar suatu proposisi dianggap sebagai pengetahuan, subjek tidak boleh mencapai kebenaran secara kebetulan atau karena alasan yang salah.
Untuk mengatasi Gettier, beberapa respons berupaya meniadakan defeasor (faktor yang merusak justifikasi) atau menambahkan kondisi keempat eksternalistik yang secara eksplisit anti-keberuntungan. Respons-respons ini bertujuan untuk memastikan bahwa hubungan antara justifikasi dan kebenaran bersifat stabil dan non-kebetulan. Meskipun upaya untuk memecahkan Gettier Problem secara teknis bersifat internal dalam ranah logika, penerapan solusi anti-keberuntungan menuntut evaluasi eksternal terhadap proses kognitif atau kondisi lingkungan.
Penekanan pada faktor eksternal ini menjadi semakin relevan dalam Era Modern. Jika Gettier menantang JTB karena adanya keberuntungan murni, Era Modern menghadapi subversi yang jauh lebih rumit: klaim kebenaran yang dibenarkan secara artifisial, yang mungkin tampak kuat tetapi didorong oleh kesengajaan aktor jahat. Di era informasi yang terdisrupsi, “keberuntungan” yang paling merusak adalah kebetulan terpapar pada disinformasi yang sangat meyakinkan, membuat justifikasi individu tampak kuat meskipun kebenaran secara inheren terdistorsi atau dimanipulasi. Dengan demikian, krisis Gettier, yang awalnya logis dan teoritis, membuka jalan bagi kebutuhan epistemologi kontemporer untuk secara eksplisit mempertimbangkan konteks sosial, teknologi, dan etika eksternal. Pengetahuan sejati haruslah “keyakinan benar yang tidak beruntung” , yang kini harus diperjuangkan melawan infrastruktur manipulatif.
Gejala Era Modern: Post-Truth, Disrupsi Digital, dan Erosi Otoritas
Era modern ditandai dengan paradoks epistemis: akses informasi yang tak terbatas berhadapan dengan erosi fundamental terhadap konsep kebenaran itu sendiri. Fenomena post-truth dan disrupsi media digital secara langsung menyerang dua komponen utama JTB: Justifikasi (J) dan Kebenaran (T).
Definisi dan Mekanika Fenomena Post-Truth
Post-truth bukan sekadar kebohongan atau berita palsu; ini adalah fenomena di mana kebenaran objektif tidak lagi menjadi penentu utama dalam membentuk opini publik. Sebaliknya, opini publik lebih didasarkan pada emosi dan perspektif subjektif. Kebenaran tidak lagi bersandar pada fakta, melainkan pada afiliasi subjektif seperti politik, agama, atau golongan.
Di awal revolusi digital, internet dianggap sebagai salah satu media utama untuk menemukan sumber informasi yang akurat; kini, media digital telah menjadi sumber berita yang kurang akurat, yang menekankan perlunya filter yang cermat dalam mengonsumsi informasi. Permasalahannya adalah bahwa post-truth tidak dapat dilawan hanya dengan klarifikasi atau penyajian fakta. Ini karena lawan post-truth yang sesungguhnya bukanlah kebenaran itu sendiri, melainkan kepentingan sektoral dan bias emosional yang telah tertanam kuat. Fenomena ini menempatkan masyarakat dalam situasi saling curiga, di mana audiens kesulitan membedakan antara informasi yang valid dan hoax. Hal ini membutuhkan bukan hanya fact-checking , tetapi juga landasan etis yang kuat bagi pengguna media sosial dalam mengutarakan pendapat.
Anatomisasi Kesalahan: Implikasi Disinformasi terhadap Justifikasi
Fenomena post-truth diperburuk oleh serangan terorganisir terhadap Justifikasi (J) dan Kebenaran (T) melalui manipulasi informasi yang terbagi menjadi tiga kategori utama:
Disinformasi (Disinformation)
Disinformasi adalah informasi yang salah, dan yang menyebarkannya mengetahui bahwa informasi tersebut salah. Ini adalah kebohongan yang disengaja dan bertujuan menyesatkan. Implikasi epistemologisnya adalah yang paling korosif: ia menciptakan ilusi Justifikasi yang kuat dan persuasif, namun secara fundamental berbasis pada niat buruk. Disinformasi secara langsung menghancurkan kepercayaan pada validitas Justifikasi faktual yang disajikan.
Misinformasi (Misinformation)
Misinformasi adalah informasi yang salah, tetapi orang yang menyebarkannya percaya bahwa itu benar. Justifikasi (J) dalam kasus ini cacat karena didasarkan pada premis yang salah, namun kegagalan ini tidak disebabkan oleh niat jahat. Misinformasi terutama menyoroti kegagalan individu atau sistem dalam proses verifikasi dan fact-checking.
Mal-informasi (Mal-information)
Mal-informasi adalah informasi yang berbasis pada kenyataan (T) tetapi digunakan untuk menimbulkan kerugian. Meskipun keyakinan itu benar secara faktual (T) dan memiliki justifikasi faktual (J), penggunaannya diorientasikan untuk merugikan, sehingga mengkorupsi justifikasi dari sudut pandang etis-epistemologis.
Ketiga kategori ini menunjukkan bahwa serangan terhadap pengetahuan di era modern bersifat berlapis, menyerang baik faktualitas (T) maupun integritas Justifikasi (J).
Table 1: Perbandingan Jenis Kesalahan Informasi dan Implikasinya terhadap JTB
| Jenis Informasi | Niat (Intent) | Kebenaran (T) | Justifikasi (J) | Dampak Epistemologis Utama |
| Disinformasi | Sengaja menipu | Palsu | Dibuat-buat (Maliciously Constructed) | Menghancurkan kepercayaan pada justifikasi faktual |
| Misinformasi | Tidak sengaja | Palsu | Cacat (Faulty Premises) | Kegagalan dalam proses verifikasi individu/sosial |
| Mal-informasi | Sengaja merugikan | Benar (Faktual) | Justifikasi Etis Terkorupsi | Kebenaran digunakan tanpa integritas kognitif |
Peran Algoritma dan Filter Bubble dalam Pembentukan Realitas Epistemis
Struktur media digital memperburuk krisis justifikasi melalui peran algoritma. Algoritma media sosial dirancang untuk memprioritaskan keterlibatan emosional, bukan akurasi faktual, yang secara efektif mengkonstruksi filter bubble atau echo chamber. Dalam ruang gema ini, individu hanya disajikan dengan “fakta” yang memperkuat perspektif subjektif dan emosional mereka.
Mekanisme ini secara struktural mengganti Justifikasi yang berbasis bukti kritis dengan Justifikasi yang berbasis konsistensi emosional atau konfirmasi bias. Fenomena ini dapat dipahami sebagai serangan tersembunyi terhadap komponen J. Dalam epistemologi pasca-Gettier, defeasor adalah faktor yang, jika diketahui, akan merusak justifikasi subjek. Algoritma bertindak sebagai defeasor tersembunyi yang manipulatif. Mereka memastikan individu tidak pernah terpapar bukti yang secara kuat dapat mengalahkan atau melemahkan keyakinan yang salah yang mereka pegang. Kegagalan ini bukan lagi masalah kognitif individu semata, melainkan masalah struktural infrastruktur informasi. Oleh karena itu, perjuangan untuk mendefinisikan ‘Tahu’ di era modern harus diartikan sebagai perjuangan melawan infrastruktur yang secara struktural merusak proses Justifikasi rasional.
Lebih jauh, demokratisasi akses informasi yang didorong oleh algoritma telah mendobrak hierarki tradisional dan batasan otoritas ahli (ālim atau murabbī). Klaim kebenaran dari netizen, seringkali tanpa landasan etis yang memadai dalam mengutarakan pendapat , kini bersaing setara dengan pengetahuan yang dihasilkan oleh proses keilmuan yang ketat.
Konsekuensi Sosial: Erosi Kepercayaan Institusional
Krisis epistemologis memiliki konsekuensi sosial-politik yang parah. Ketika post-truth meluas, masyarakat terjerumus ke dalam situasi saling curiga, di mana sulit untuk membedakan antara informasi yang valid dan hoax. Namun, keruntuhan ini tidak hanya didorong oleh algoritma; ia diperkuat oleh erosi kepercayaan terhadap institusi yang seharusnya berfungsi sebagai sumber justifikasi yang otoritatif dan andal.
Analisis menunjukkan bahwa perilaku tidak etis dari para elit, seperti korupsi atau penyalahgunaan kekuasaan, menyebabkan publik kehilangan kepercayaan terhadap institusi politik dan pemerintahan. Secara historis, otoritas ahli dan institusi (misalnya, media arus utama, lembaga ilmiah, pemerintah) menyediakan justifikasi eksternal yang diandalkan oleh masyarakat. Ketika krisis etika politik mencapai tingkat tertentu, sumber Justifikasi institusional ini runtuh. Ini menciptakan hubungan kausal yang jelas: krisis etika adalah akar penyebab krisis Justifikasi epistemis. Jika institusi yang seharusnya menjadi sumber J tidak lagi dipercaya, masyarakat akan terdorong mencari justifikasi yang berbasis subyektif atau golongan , yang justru menjadi bahan bakar utama fenomena post-truth. Dengan demikian, solusi terhadap krisis epistemologi tidak dapat hanya bersifat filosofis; ia harus melibatkan reformasi struktur etika dan tata kelola sosial.
Solusi Epistemologis Kontemporer: Dari Agen ke Komunitas
Untuk mengatasi tantangan pasca-Gettier dan post-truth, epistemologi kontemporer telah mengembangkan kerangka kerja yang melampaui fokus sempit pada sifat keyakinan (JTB), bergerak menuju evaluasi agen (pemilik pengetahuan) dan konteks sosial (komunitas pengetahuan). Dua pendekatan utama adalah Epistemologi Kebajikan (Virtue Epistemology) dan Sosio-Epistemologi (Socio-Epistemology).
Epistemologi Kebajikan (Virtue Epistemology): Fokus pada Sang Pengenal (The Knower)
Epistemologi Kebajikan mengalihkan fokus dari sifat-sifat keyakinan itu sendiri ke sifat-sifat subjek yang memegang keyakinan tersebut. Pendekatan ini terbagi menjadi dua varietas utama, masing-masing menawarkan perspektif yang berbeda tentang bagaimana agen seharusnya mencapai pengetahuan yang stabil dan andal.
Virtue Reliabilism: Pengetahuan sebagai Hasil Fakultas Kognitif yang Andal
Virtue Reliabilism menekankan bahwa pengetahuan harus diperoleh melalui proses yang andal (reliable). Fokus utama adalah pada kemampuan pelacakan realitas (reality-tracking ability) individu. Semakin andal kemampuan ini, semakin berbudi luhur intelek seseorang, dan semakin kuat klaim pengetahuannya.
Bagi penganut virtue reliabilists, kebajikan intelektual dikonsepsikan sebagai kualitas yang dapat diandalkan atau kebenaran-kondusif (truth-conducive) dari seseorang. Contoh paradigma dari kebajikan ini adalah fakultas atau kemampuan kognitif tertentu seperti penglihatan, ingatan, instrospeksi, dan nalar. Tokoh seperti John Greco menekankan bahwa pengetahuan didasarkan pada karakter kognitif yang stabil dan andal, yang mencakup baik fakultas alami maupun kebiasaan berpikir yang berhasil. Dalam konteks digital, pendekatan ini mengharuskan kita untuk mengaudit input sensorik kita dan literasi algoritma untuk memastikan fakultas kognitif kita tidak rusak atau termanipulasi oleh lingkungan digital.
Virtue Responsibilism: Pengetahuan sebagai Produk Karakter Intelektual yang Bertanggung Jawab
Berbeda dengan reliabilism yang fokus pada fakultas, Virtue Responsibilism menekankan sifat-sifat karakter intelektual (intellectual character traits). Teori ini bersifat normatif, menanyakan bagaimana seharusnya kita bertindak secara intelektual.
Kebajikan yang dihargai meliputi keingintahuan (inquisitiveness), ketelitian rasional (rational rigor), kehati-hatian (conscientiousness), ketidakberpihakan (impartiality), dan keberanian. Menurut Linda Zagzebski, kebajikan intelektual melibatkan motivasi karakteristik untuk menghasilkan hasil yang diinginkan—motivasi utama adalah keinginan akan kebenaran. Responsibilisme ini sangat penting dalam era post-truth. Ketika klaim kebenaran didorong oleh perspektif subjektif dan emosi , responsibilism menuntut agen untuk bertanggung jawab secara etis atas proses Justifikasi mereka. Ia menyediakan persyaratan etika, memastikan bahwa agen menggunakan fakultasnya dengan niat yang tepat (mencari kebenaran, bukan sekadar memenangkan argumen atau mengkonfirmasi bias).
Integrasi kedua pandangan ini—Reliabilisme (kemampuan mekanis) dan Responsibilisme (karakter etis)—menghasilkan konsep ‘mengetahui secara penuh’ (fully apt). Pengetahuan yang fully apt di abad ke-21 tidak hanya membutuhkan fakultas yang andal (untuk menolak disinformasi teknis) tetapi juga karakter yang bertanggung jawab (untuk menolak dogmatisme dan bias).
Table 2: Komparasi Pendekatan Epistemologi Kontemporer
| Aspek | Virtue Reliabilism | Virtue Responsibilism | Sosio-Epistemologi |
| Fokus Utama | Kapasitas Kognitif yang Andal (Fakultas) | Sifat Karakter Intelektual (Disposisi) | Struktur Sosial dan Komunikasi Intersubjektif |
| Penyebab Kegagalan | Fakultas yang rusak atau tidak berfungsi baik. | Kegagalan karakter (dogmatisme, malas berpikir). | Struktur komunikasi yang represif atau ideologis. |
| Solusi Era Digital | Meningkatkan literasi algoritma dan mengaudit input sensorik. | Mengkultivasi Kehati-hatian dalam berbagi/membenarkan informasi. | Membangun konsensus hipotetis melalui dialog kritis. |
Sosio-Epistemologi (Socio-Epistemology): Pengetahuan sebagai Konstruksi Sosial
Meskipun Virtue Epistemology fokus pada agen individual, Sosio-Epistemologi mengakui bahwa pengetahuan adalah fenomena yang secara inheren relasional dan memiliki basis sosial. Sosio-Epistemologi dipandang sebagai “program kritis” yang bertujuan untuk membangun dan menghidupkan struktur komunikasi rasional dalam masyarakat. Ini adalah pendekatan yang secara eksplisit dirancang untuk melawan klaim pengetahuan sektoral, ideologis, dan represif yang menjadi ciri khas era post-truth.
Sosio-Epistemologi bekerja dalam tegangan dialektis antara Epistemologi Transenden (rasional dan deduktif) dan Teori Sosial Immanen (empiris dan kontekstual). Pengetahuan dipahami sebagai proses belajar masyarakat yang kumulatif, di mana kritik dan komunikasi antarintelek adalah sifat dasarnya.
Unsur esensial dalam kerangka ini adalah komunikasi intersubjektif yang mengarah pada konsensus hipotetis. Melalui proses dialektis yang melibatkan kritik, keterbukaan, dan koreksi berkelanjutan, klaim kebenaran dinegosiasikan di ruang publik, sehingga menghindari bahaya relativisme, skeptisisme, atau absolutisme. Sosio-Epistemologi berfungsi sebagai tandingan langsung terhadap post-truth. Karena post-truth tumbuh subur di tengah subjektivitas dan klaim yang didasarkan pada golongan tertentu , Sosio-Epistemologi memaksa klaim kebenaran kembali ke arena publik yang kritis dan dialogis, menjadikannya kunci untuk melawan erosi otoritas ahli yang disebabkan oleh demokratisasi wacana yang tidak terkelola. Mengembalikan Justifikasi ke tempatnya menuntut masyarakat modern secara aktif mempraktikkan proses dialogis dan kritik komunal yang menjadi landasan Sosio-Epistemologi.
Implikasi Praktis dan Rekomendasi untuk Ketahanan Epistemis
Krisis epistemologis di era modern menuntut reformulasi praktis tentang apa yang dimaksud dengan Justifikasi dan bagaimana kita secara kolektif berupaya mencapai pengetahuan yang fully apt. Hal ini memerlukan pergeseran dari sekadar menilai konten keyakinan menjadi mengaudit infrastruktur sosial dan kognitif yang mendukung keyakinan tersebut.
Merumuskan Ulang Konsep Justifikasi dalam Ekosistem Digital
Di era di mana Justifikasi dapat direkayasa melalui disinformasi dan algoritma, Justifikasi (J) tidak lagi cukup jika hanya dilihat dari sudut pandang internal individu.
Pertama, Justifikasi harus menuntut Transparansi Prosedural. Justifikasi modern harus mencakup transparansi mengenai sumber, metodologi, dan niat di balik penyebaran informasi. Ini sangat penting untuk melawan Disinformasi (niat jahat) dan Mal-informasi (penggunaan faktual yang merugikan).
Kedua, Justifikasi harus bersifat Procedural dan Kritis. Justifikasi modern harus lebih fokus pada proses perolehan keyakinan. Apakah keyakinan itu diperoleh melalui proses kognitif yang andal (Reliabilism) dan didampingi oleh sikap intelektual yang bertanggung jawab (Responsibilism)? Mengakui bahwa Justifikasi di era digital adalah tanggung jawab tripartit—Agen, Platform, dan Institusi—adalah langkah mendasar. Agen bertanggung jawab atas niat dan karakter kognitif (Responsibilism). Platform bertanggung jawab memastikan fakultas kognitif agen tidak dimanipulasi (Reliabilism). Institusi bertanggung jawab menyediakan sumber justifikasi otoritatif yang kredibel (Sosio-Epistemologi).
Strategi Melawan Post-Truth: Dari Fact-Checking ke Pembentukan Karakter Intelektual
Fact-checking adalah instrumen reaktif yang penting untuk melawan post-truth , berfungsi sebagai komponen Justifikasi eksternal. Namun, fact-checking saja tidak cukup jika karakter kognitif dan struktur sosial yang mendasari Justifikasi masih korup.
Upaya yang lebih mendalam harus difokuskan pada Mengkultivasi Etika Digital dan Kebajikan Responsibilis. Analisis menunjukkan bahwa mayoritas pengguna media sosial saat ini belum memiliki landasan etis dalam menggunakan haknya untuk berpendapat. Oleh karena itu, program pendidikan dan kebijakan harus menekankan pentingnya individu untuk berpikir tentang kebenaran dan justifikasi sebelum menyampaikan opini. Program pendidikan harus menekankan sifat-sifat karakter seperti kehati-hatian (conscientiousness), keingintahuan, dan ketidakberpihakan, yang merupakan inti dari Virtue Responsibilism. Pendidikan literasi digital harus melampaui pemahaman teknis (Reliabilism) dan mengajarkan tanggung jawab etis (Responsibilism) agar individu memiliki pertahanan internal terhadap bias kognitif dan manipulasi eksternal.
Rekomendasi Kebijakan untuk Infrastruktur Epistemis yang Lebih Sehat
Untuk membangun ketahanan epistemis, kebijakan harus diarahkan pada reformasi struktural, bukan hanya pada edukasi individu.
- Regulasi Algoritma Berbasis Dampak Epistemis: Mengingat algoritma berfungsi sebagai infrastruktur Justifikasi modern, regulasi harus bertujuan mengurangi insentif ekonomi yang mendorong manipulasi input kognitif dan pembentukan filter bubble. Regulasi harus mendukung Virtue Reliabilism dengan memastikan platform tidak secara aktif merusak keandalan fakultas kognitif pengguna.
- Membangun Kembali Kepercayaan Institusional: Krisis etika politik dan perilaku tidak etis elit merusak Justifikasi kolektif secara parah. Untuk memulihkan sumber-sumber Justifikasi otoritatif, reformasi tata kelola, transparansi, dan akuntabilitas adalah hal yang sangat penting. Krisis etika harus dilihat sebagai ancaman langsung terhadap pengetahuan publik.
- Mempromosikan Ruang Dialog Sosio-Epistemologis: Pemerintah dan lembaga pendidikan harus mendorong forum-forum yang memfasilitasi komunikasi intersubjektif dan kritik rasional. Ruang dialog ini memungkinkan terbentuknya konsensus hipotetis dan melawan polarisasi yang diciptakan oleh klaim kebenaran sektoral.
Kesimpulan
Eksplorasi epistemologi di era demokratisasi klaim kebenaran menunjukkan bahwa makna ‘Tahu’ telah berkembang jauh melampaui analisis tradisional Justified True Belief. Meskipun Gettier Problem menetapkan bahwa pengetahuan harus anti-luck , era modern mengungkapkan bahwa keberuntungan epistemis kini sering kali direkayasa secara sengaja oleh disinformasi dan algoritma.
Konsep ‘Tahu’ yang utuh dan komprehensif di abad ke-21 harus disintesis dari solusi pasca-Gettier:
- Pengetahuan Sejati haruslah Keyakinan yang Benar (p is true), Dibenarkan (melalui proses yang andal), dan Diperkuat oleh Karakter Intelektual yang Bertanggung Jawab, yang semuanya dibangun dalam Komunitas Dialogis yang Kritis.
- Peran Agen dalam mengetahui tidak lagi pasif, melainkan merupakan tindakan etis. Mengklaim kebenaran menuntut tanggung jawab (Responsibilism) untuk mencari Justifikasi yang andal (Reliabilism) dan kesediaan untuk terlibat dalam dialog kritis (Sosio-Epistemologi).
Epistemologi modern menegaskan bahwa pengetahuan adalah public good. Pengetahuan adalah proses belajar masyarakat yang membutuhkan konsensus hipotetis. Keruntuhan Justifikasi, yang disebabkan oleh korupsi etika, manipulasi algoritma, dan subyektivitas, tidak hanya menghasilkan kegagalan kognitif individu tetapi juga polarisasi sosial, saling curiga , dan ketidakstabilan politik. Oleh karena itu, upaya kolektif untuk memahami dan mereformasi Justifikasi—melalui reformasi karakter individu, regulasi platform, dan pemulihan institusi—adalah investasi krusial dalam ketahanan sosial dan politik masyarakat modern. Kegagalan dalam upaya ini akan semakin memperkuat relativisme yang disuburkan oleh post-truth.
