Lingkungan politik global saat ini berada dalam periode disrupsi fundamental, ditandai oleh pergeseran mencolok dari penekanan pada ketergantungan bersama (interdependence) menuju penegasan eksklusif kedaulatan nasional dan kepentingan domestik. Dinamika ini telah dipercepat oleh gelombang populisme dan nasionalisme yang menantang legitimasi institusi dan arsitektur kerja sama internasional yang telah lama berdiri.

Kebangkitan populisme tidak terjadi dalam ruang hampa. Analisis menunjukkan bahwa populisme mencuat di tengah situasi ekonomi yang tidak menguntungkan dan kegagalan elite politisi moderat untuk menyelesaikan masalah struktural yang dihadapi masyarakat. Kegagalan ini menciptakan defisit legitimasi yang kemudian diisi oleh pemimpin dan partai populis. Pemimpin-pemimpin ini sering kali mengeksploitasi ketegangan sosial dan ekonomi dengan menggunakan sentimen-sentimen keagamaan dan identitas-identitas sektarian untuk memobilisasi dan mendapatkan dukungan rakyat.

Laporan ini berargumen bahwa penangkal efektif terhadap erosi struktural yang disebabkan oleh populisme bukanlah sekadar kompetensi teknokratis, tetapi Kepemimpinan Global yang Bijak—sebuah konsep yang berakar pada Phronesis, atau kebijaksanaan praktis Aristotelian. Kebutuhan akan kebijaksanaan ini sangat mendesak, karena ia menawarkan kerangka kerja pengambilan keputusan yang mengintegrasikan etika dan pragmatisme untuk memulihkan kepercayaan strategis yang esensial bagi fungsi multilateralisme.

Populisme dan Nasionalisme Baru: Ancaman Eksistensial bagi Multilateralisme

Populisme modern telah berkembang menjadi lebih dari sekadar tantangan politik, melainkan ancaman struktural yang ditujukan langsung pada fondasi arsitektur kerja sama internasional pasca-Perang Dunia II. Populisme, yang secara sederhana dimaknai sebagai gerakan massa rakyat (populus) yang menggunakan bahasa politik yang mengadu domba ‘rakyat murni’ melawan ‘elite yang korup’, memanfaatkan kegagalan elite untuk mengelola kompleksitas global dan domestik.

Krisis kepercayaan yang terjadi bukanlah semata-mata krisis ekonomi, tetapi sebuah krisis epistemologis—kegagalan para politisi moderat untuk menjelaskan dan mengelola kompleksitas, yang kemudian memberikan amunisi bagi pemimpin populis untuk menawarkan penyederhanaan radikal (seperti menyalahkan ‘elite’ atau ‘pihak asing’). Dalam konteks ini, Kepemimpinan Global yang Bijak, yang menekankan pada kemampuan untuk memahami esensi situasi yang kompleks dan bertindak berdasarkan prinsip etis , menjadi keharusan strategis untuk merestorasi kepercayaan.

Populisme Kontemporer: Diagnosis Gejala dan Akar Konflik

Definisi Populisme Kontemporer: Narasi Anti-Elite dan Proteksionisme

Populisme kontemporer ditandai oleh penekanan obsesif pada antagonisme antara ‘rakyat’ dan ‘elite’. Gerakan ini dipicu oleh ketidakpuasan mendalam terhadap kegagalan elite tradisional dalam mengatasi ketidaksetaraan dan situasi ekonomi yang tidak menguntungkan. Di kancah global, populisme nasionalis memanifestasikan diri sebagai karakter eksklusif yang mewajibkan prioritas kepentingan nasional di atas warisan kebijakan internasional yang ditetapkan pemerintahan-pemerintahan sebelumnya.

Dalam bidang ekonomi, narasi populis sering menentang Neoliberalisme, menganggapnya kontraproduktif karena kesepakatan dagang (Trade Deals) sebelumnya dianggap menggerogoti ekonomi nasional. Sikap ini mendorong kebijakan proteksionisme, seperti penarikan diri dari blok kerja sama Trans Pacific Patrnership (TPP) dan peninjauan ulang beberapa kesepakatan dalam NAFTA oleh Amerika Serikat di bawah kepemimpinan yang mengusung wacana nasionalisme populis.

Mobilisasi Massa: Eksploitasi Sentimen Identitas dan Konservatisme

Salah satu strategi paling efektif yang digunakan pemimpin populis adalah eksploitasi sentimen identitas dan konservatisme agama. Pemimpin populis menggunakan sentimen-sentimen keagamaan dan identitas sektarian untuk mempolarisasi masyarakat dan mendapatkan dukungan rakyat. Kasus Donald Trump menunjukkan keterkaitan erat antara konservatisme agama dan populisme dalam kancah politik global.

Di Indonesia, kebangkitan populisme juga ditandai oleh aksi massa yang diikuti oleh sentimen lanjutan, seperti sentimen anti-Cina, anti-Kristen, anti-Asing, dan anti-Kafir, yang seringkali diperkuat oleh kebangkitan radikalisme Islam. Mobilisasi ini menunjukkan bahwa populisme berkembang subur tidak hanya karena kegagalan ekonomi, tetapi juga karena krisis otentisitas politik. Ketika elite tidak menawarkan political platform yang jelas dan tidak menunjukkan perilaku etis serta akuntabilitas , mereka memberikan legitimasi bagi narasi populis yang mengklaim diri sebagai satu-satunya representasi ‘rakyat murni’.

Ekosistem Disinformasi: Peran Media Digital dalam Mempercepat Polarisasi

Populisme menemukan lahan subur di era digital. Media sosial telah menjadi alat komunikasi politik yang paling berpengaruh, memungkinkan individu dan organisasi untuk memobilisasi massa secara cepat. Namun, platform ini juga dimanfaatkan untuk manipulasi informasi, termasuk penggunaan buzzer politik dan penyebaran hoaks serta misinformasi. Mekanisme ini memperdalam polarisasi dan memperkuat narasi populis anti-elite dengan kecepatan yang belum pernah terjadi sebelumnya.

Konteks ini menunjukkan bahwa Kepemimpinan Bijak memerlukan lebih dari sekadar pemahaman teknis; ia membutuhkan kemampuan Phronetik untuk memahami esensi dari peristiwa dan individu. Kemampuan ini sangat penting untuk menembus kabut disinformasi dan menyajikan narasi yang koheren, jujur, dan terintegrasi kepada publik. Sebaliknya, jika pemimpin politik gagal menghormati proses demokratis atau menyerahkan kekuasaan secara damai, hal itu dapat mengarah pada kemunduran demokrasi, yang semakin meningkatkan apatis pemilih dan ketidakpercayaan publik.

Dampak Erosi: Populisme dan Retret Kerja Sama Internasional

Kebangkitan populisme nasionalis secara langsung mengikis fondasi multilateralisme, menghasilkan ketidakpastian struktural yang merusak kerja sama di bidang perdagangan, keamanan, dan lingkungan.

Penghancuran Arsitektur Perdagangan Global

Fokus eksklusif pada kepentingan nasional telah memicu gelombang proteksionisme unilateral. Keputusan AS di bawah kepemimpinan populis untuk menarik diri dari TPP dan meninjau ulang NAFTA menandai penolakan terhadap warisan Neoliberalisme yang dipromosikan melalui institusi dan perjanjian internasional.

Akibat dari proteksionisme ini, terutama ketegangan dagang antara AS dan Tiongkok, adalah volatilitas ekonomi global. Negara-negara lain, seperti Indonesia, dipaksa untuk melakukan penyesuaian strategis. Misalnya, Indonesia merespons dengan Diplomasi Ekonomi Proaktif—membuka pasar Afrika dan Asia Selatan, meningkatkan ekspor non-tradisional, dan mencoba mengembangkan industri substitusi impor untuk menggantikan produk Tiongkok di pasar AS. Namun, ketergantungan pada impor bahan baku dari Tiongkok (sekitar 70% untuk sektor elektronik) menunjukkan kerentanan yang perlu diatasi melalui percepatan reformasi struktural untuk bersaing dengan negara-negara ASEAN lain seperti Vietnam.

Selain itu, erosi perjanjian global juga terlihat jelas dalam isu lingkungan, di mana penarikan diri dari Perjanjian Paris menunjukkan bahwa tanggung jawab global dilebur demi prioritas ekonomi domestik jangka pendek.

Tantangan terhadap Aliansi Keamanan dan Institusi Regional

Institusi keamanan dan aliansi regional juga menghadapi tantangan dari gerakan populis. Meskipun NATO secara umum tidak menghadapi ancaman pembubaran eksistensial, aliansi tersebut menjadi target utama bagi narasi populis, terutama terkait kewajiban anggotanya untuk menaikkan anggaran pertahanan menjadi 2% dari PDB.

Penelitian menunjukkan bahwa dukungan publik terhadap aliansi internasional (seperti NATO) berkorelasi erat dengan kinerja ekonomi domestik dan stabilitas politik. Negara yang mengalami penurunan ekonomi cenderung memiliki warga yang kurang mendukung inisiatif internasional yang dianggap kontraproduktif terhadap kepentingan ekonomi domestik. Hal ini menggarisbawahi bahwa Kepemimpinan Global yang Bijak harus mampu mengintegrasikan kepentingan domestik (memperbaiki ekonomi) dengan kepentingan global (memperkuat aliansi) secara meyakinkan.

Manifestasi signifikan dari nasionalisme populis adalah disintegrasi regional, yang paling menonjol adalah keputusan Inggris keluar dari Uni Eropa (Brexit). Meskipun simulasi menunjukkan dampak penurunan ekonomi Brexit terhadap pertumbuhan ekonomi Indonesia relatif kecil (sekitar 0,001%), penurunan jumlah investasi Inggris ke Indonesia patut diwaspadai. Brexit menunjukkan bahwa potensi bagi disintegrasi blok supra-nasional lainnya merupakan risiko nyata akibat politik yang mengutamakan kontrol kedaulatan di atas manfaat integrasi.

Erosi kepercayaan strategis akibat populisme ini juga menciptakan volatilitas struktural yang disengaja. Perubahan kebijakan yang radikal merusak kepercayaan yang diperlukan untuk kerja sama jangka panjang. Contohnya, ketegangan perdagangan AS-Tiongkok secara simultan meningkatkan aktivitas militer di wilayah sensitif seperti Laut China Selatan, yang memaksa Indonesia meningkatkan kesiapsiagaan pertahanan maritimnya di Natuna. Hal ini menunjukkan bagaimana kebijakan populis yang fokus pada kepentingan eksklusif justru menciptakan ketidakstabilan keamanan regional.

Keseimbangan Kedaulatan vs. Tanggung Jawab Global

Populisme menekankan prinsip kedaulatan absolut, yang sering bertentangan dengan kebutuhan untuk memenuhi tanggung jawab global. Dalam isu migrasi, pendekatan yang bijak harus mampu mengelola tantangan migrasi global secara berdaulat dan berkelanjutan, dengan tetap menjunjung tinggi prinsip Hak Asasi Manusia (HAM).

Di sisi lingkungan, populisme sering menolak kewajiban global dengan alasan bahwa kontribusi terhadap kerusakan tidak sama. Negara-negara industri maju telah menyumbang emisi gas rumah kaca 10 kali lebih besar dari negara berkembang. Oleh karena itu, Kepemimpinan Bijak harus menerima prinsip differentiated responsibility—mengakui bahwa kontribusi untuk mengatasi kerusakan berbeda sehubungan dengan perbedaan sumber daya finansial dan tingkat penguasaan teknologi. Populisme memanfaatkan perbedaan ini untuk membenarkan penolakan kewajiban, sedangkan Phronesis mencari solusi yang adil berdasarkan fakta historis dan kapasitas yang berbeda.

Tabel Komparatif Dampak Populisme dan Nasionalisme terhadap Pilar Kerja Sama Internasional

Pilar Kerja Sama Dampak Utama Contoh Geopolitik
Perdagangan dan Ekonomi Peningkatan proteksionisme; peninjauan ulang kesepakatan dagang. Penarikan diri dari TPP; peninjauan NAFTA; Perang Dagang AS-China.
Keamanan dan Aliansi Keraguan terhadap komitmen bersama; fokus pada kepentingan nasional eksklusif. Debat pendanaan NATO (2% PDB); penurunan dukungan publik selama kesulitan ekonomi.
Lingkungan Global Penarikan diri dari perjanjian iklim; penekanan pada kedaulatan versus tanggung jawab. Penarikan diri dari Paris Agreement ; perbedaan kontribusi negara maju/berkembang.
Integrasi Regional Keinginan untuk keluar dari blok supra-nasional; penurunan investasi. Brexit (British Exit) dari Uni Eropa.

Pilar Kebijaksanaan: Memahami Kepemimpinan Global yang Bijak (Phronesis)

Untuk meredakan ketegangan dan memulihkan multilateralisme, Kepemimpinan Global harus didasarkan pada Phronesis, atau kebijaksanaan praktis, yang melampaui keahlian teknis semata.

Definisi Filosofis: Phronesis sebagai Keunggulan dalam Pengambilan Keputusan Etis

Phronesis, dalam etika Aristotelian, didefinisikan sebagai ‘keunggulan dalam pengambilan keputusan etis’. Ia mewakili kapasitas untuk bertindak berdasarkan pertimbangan moral yang tepat dalam situasi yang kompleks dan kontingen. Dalam konteks global, Phronesis adalah kemampuan untuk mengintegrasikan berbagai aspek kebajikan, termasuk moralitas dan akuntabilitas, ke dalam tindakan yang terarah.

Kurangnya perhatian terhadap Phronesis dalam praktik kepemimpinan global dapat dilihat sebagai tindakan de-profesionalisasi pengambilan keputusan. Keputusan global tidak hanya harus benar secara teknis, tetapi juga harus benar secara moral dan kontekstual. Inilah yang membedakan pemimpin bijak dari pemimpin populis yang hanya berfokus pada kemenangan politik jangka pendek.

Model Kepemimpinan Phronetik: Enam Kemampuan Inti

Kepemimpinan bijak (Phronetik) dicirikan oleh enam kemampuan inti yang relevan untuk mengatasi kompleksitas dan narasi populis :

  1. Keputusan untuk Kebaikan yang Lebih Besar (The Greater Good): Pemimpin bijak mendasarkan keputusan pada apa yang baik bagi institusi dan masyarakat, tidak hanya bagi konstituen terdekat yang mendukung mereka. Hal ini secara langsung menantang fokus eksklusif populisme pada kepentingan nasional yang sempit.
  2. Memahami Esensi Situasi (Fathoming): Mereka cepat memahami inti dari suatu situasi, menembus permukaan untuk memahami sifat dan makna orang, benda, dan peristiwa. Kemampuan ini sangat krusial dalam melawan penyederhanaan masalah yang menjadi ciri khas politik populis.
  3. Menciptakan Konteks untuk Makna Bersama: Kepemimpinan harus menyediakan konteks di mana para pihak dapat berinteraksi untuk menciptakan makna baru, yang merupakan dasar dari konsensus dan kerja sama multilateral yang inklusif. Ini merupakan antitesis dari narasi populis yang mempromosikan dikotomi dan sentimen anti-asing.
  4. Mengubah Pengalaman menjadi Pengetahuan Teksit: Pemimpin bijak menggunakan metafora dan cerita untuk mengkonversi pengalaman menjadi pengetahuan taktis yang dapat digunakan orang lain. Ini membantu dalam sosialisasi kebijakan yang kompleks kepada publik yang apatis.
  5. Kekuatan Politik untuk Bertindak: Mereka mengerahkan kekuatan politik untuk menyatukan orang dan mendorong mereka untuk bertindak, yang sangat penting untuk mengatasi kepentingan sempit yang menghambat kerja sama global.
  6. Mengembangkan Phronesis pada Orang Lain: Kepemimpinan bijak bersifat generatif; ia menggunakan magang dan mentoring untuk menumbuhkan kebijaksanaan praktis pada orang lain.

Kebijaksanaan sebagai Antitesis Populisme: Menolak Penyederhanaan

Populisme adalah politik dikotomi dan penyederhanaan yang menolak kompleksitas, mengklaim bahwa semua masalah global dapat diselesaikan dengan melawan ‘elite’ atau ‘pihak luar’. Sebaliknya, Phronesis memerlukan integrasi aspek kebajikan yang berbeda dan perhatian yang mendalam terhadap konteks etis dan situasional.

Kemampuan Phronetik untuk memahami esensi dan menciptakan konteks untuk makna bersama adalah kemampuan utama yang dibutuhkan untuk menembus kabut disinformasi dan penyederhanaan yang disebarkan melalui media sosial. Pemimpin bijak tidak hanya melawan fakta palsu; mereka mengatasi kegagalan makna. Mereka menyajikan narasi yang koheren, jujur, dan terintegrasi mengenai kompleksitas global kepada publik yang skeptis.

Dengan menekankan etika dan akuntabilitas , Kepemimpinan Bijak mengatasi krisis apatis dan ketidakpercayaan publik. Hal ini merupakan strategi jangka panjang untuk memulihkan autonomous participation (partisipasi otonom) dan menumbuhkan preferensi politik yang sehat, yang merupakan urat nadi sistem demokrasi.

Tabel Analisis Kontras: Komponen Inti Kepemimpinan Bijak (Phronesis) vs. Karakteristik Populisme

Dimensi Phronesis (Kebijaksanaan Praktis) Deskripsi Keunggulan Kontras dengan Narasi Populis
Etika Keputusan (Greater Good) Mendasarkan keputusan pada kepentingan masyarakat luas dan global. Fokus eksklusif pada kepentingan nasional/kelompok; mengorbankan warisan kebijakan global.
Pemahaman Esensi (Fathoming) Cepat memahami inti situasi dan sifat kompleksitas. Penyederhanaan masalah menjadi dikotomi (elite vs. rakyat); menggunakan sentimen sektarian untuk polarisasi.
Penumbuh Akuntabilitas [2, 8] Menunjukkan perilaku etis, menghormati proses, dan mengintegrasikan kebajikan. Tidak menghormati hasil pemilu atau penyerahan kekuasaan secara damai; krisis kepercayaan publik.
Penciptaan Makna Bersama Menyediakan konteks dan narasi yang inklusif untuk aksi kolektif. Mempromosikan narasi eksklusif dan sentimen anti-asing yang memecah belah.

Strategi Mitigasi: Menerapkan Kebijaksanaan dalam Tata Kelola Global

Implementasi Kepemimpinan Bijak menuntut strategi multi-dimensi yang mengatasi akar politik, ekonomi, dan etis dari populisme.

Restorasi Kepercayaan Publik Melalui Akuntabilitas Etis

Narasi anti-elite hanya dapat dilawan jika para pemimpin dan lembaga politik menunjukkan perilaku etis dan akuntabilitas yang transparan. Ketika para pemimpin politik gagal menghormati hasil pemilu atau menyerahkan kekuasaan secara damai, itu adalah bentuk kemunduran demokrasi yang dimanfaatkan oleh populisme untuk membenarkan ketidakpercayaan.

Untuk melawan ini, Kepemimpinan Bijak harus memastikan Komunikasi Politik yang Jelas. Partai politik harus mampu menawarkan alternatif pilihan yang jelas dan berbeda (clear political platform), yang merupakan moral politik bagi masyarakat demokratis yang sehat. Kejelasan sikap politik berkontribusi besar dalam menumbuhkan preferensi politik masyarakat yang sehat, yang pada gilirannya mendorong tumbuhnya partisipasi yang otonom, yang merupakan urat saraf sistem demokrasi.

Diplomasi Proaktif dan Pragmatisme Bijak (Mengintegrasikan Domestik-Global)

Phronesis menuntut bahwa tindakan yang paling pragmatis dalam jangka panjang adalah tindakan yang etis. Mengingat erosi kepercayaan strategis akibat populisme , upaya kepemimpinan harus berfokus pada restorasi dan pemeliharaan visi bersama antara negara-negara.

Dalam menghadapi gejolak ekonomi yang didorong oleh populisme (misalnya, perang dagang AS-China), Kepemimpinan Bijak harus menggunakan Diplomasi Ekonomi Proaktif. Ini termasuk negosiasi bilateral untuk mendapatkan pengecualian tarif, penguatan kerja sama ekonomi dengan negara-negara mitra lainnya, dan yang krusial, percepatan reformasi struktural domestik untuk meningkatkan daya saing. Kemampuan Phronetik untuk memahami esensi rantai pasok global memungkinkan pemimpin untuk merumuskan solusi strategis yang tepat, seperti industrialisasi substitusi impor, sebagai respons terhadap kerentanan pasokan. Tindakan ini menyatukan kedaulatan (pertahanan ekonomi) dengan kerja sama (diplomasi proaktif).

Menyeimbangkan Kedaulatan Nasional dengan Kewajiban Internasional (Responsible Sovereignty)

Kepemimpinan bijak harus menolak ekstremisme kedaulatan absolut populis dan sebaliknya merangkul konsep responsible sovereignty (kedaulatan yang bertanggung jawab).

Dalam isu migrasi, hal ini berarti mengelola tantangan migrasi global secara berdaulat dan berkelanjutan, dengan tetap menjunjung tinggi prinsip HAM. Ini adalah kebijakan Phronetik klasik: menyeimbangkan kepentingan domestik (kontrol perbatasan) dengan etika global (HAM).

Mengenai tanggung jawab lingkungan, Kepemimpinan Bijak harus mengakui differentiated responsibility. Mengingat bahwa negara maju menyumbang emisi gas rumah kaca 10 kali lebih besar dibandingkan negara berkembang , kerja sama harus didasarkan pada keadilan yang mengakui perbedaan kontribusi historis dan perbedaan sumber kekuatan finansial serta penguasaan teknologi. Populisme cenderung menolak kewajiban berdasarkan kepentingan domestik sempit, sementara Phronesis menuntut tindakan global yang adil dan berkelanjutan untuk kebaikan yang lebih besar.

Phronesis berperan sebagai penghubung antara pragmatisme dan etika. Tindakan militer seperti peningkatan alokasi anggaran pertahanan maritim di Natuna adalah tindakan kedaulatan yang pragmatis, tetapi dilakukan dalam konteks strategi global yang lebih luas (diplomasi ekonomi proaktif). Ini menunjukkan bahwa Kepemimpinan Bijak bertindak secara holistik, mengikat erat keamanan, ekonomi, dan etika global.

Tabel: Respons Phronetik terhadap Krisis Populisme Global

Krisis Populisme Kegagalan Phronesis (Non-Bijak) Kemampuan Phronetik yang Diperlukan Contoh Aksi Global
Erosi Kepercayaan Publik Ketidakmauan menyerahkan kekuasaan; ketiadaan etika. Penumbuh Akuntabilitas; Keputusan untuk Kebaikan yang Lebih Besar. Reformasi tata kelola institusi multilateral untuk transparansi radikal.
Proteksionisme Gagal memahami esensi ekonomi global yang terintegrasi (zero-sum thinking). Memahami Esensi Situasi (Fathoming); Mengerahkan Kekuatan Politik untuk Unifikasi. Diplomasi ekonomi proaktif (bilateral/struktural) sambil menjaga prinsip multilateral.
Polarisasi Identitas Menggunakan politik dikotomi dan sentimen sektarian. Menciptakan Konteks untuk Makna Bersama; Mengembangkan Phronesis pada Orang Lain. Pendidikan literasi media dan inisiatif mentoring kepemimpinan yang inklusif.
Kedaulatan Absolut Mengabaikan tanggung jawab global yang berbeda (iklim, migrasi). Keputusan untuk Kebaikan yang Lebih Besar; Mengubah Pengalaman menjadi Pengetahuan. Menerapkan kebijakan responsible sovereignty dalam isu HAM dan migrasi.

Rekomendasi Kebijakan Jangka Panjang

Untuk Pemimpin Global: Institusionalisasi Phronesis

Pengembangan Kepemimpinan Global harus bergerak melampaui pelatihan kompetensi teknis dan berfokus pada penanaman etika praktis. Hal ini dapat dicapai melalui institusionalisasi Phronesis, misalnya melalui program apprenticeship dan mentoring yang intensif. Fokusnya adalah menumbuhkan kebijaksanaan praktis di kalangan pemimpin muda, memastikan mereka mampu membuat keputusan berdasarkan kebaikan yang lebih besar, bukan berdasarkan tekanan politik jangka pendek.

Untuk Institusi Multilateral: Reformasi Legitimasi

Institusi publik harus merangkul peran kepemimpinan yang berbeda dalam pemerintahan kolaboratif. Reformasi harus bertujuan untuk meningkatkan inklusivitas, transparansi, dan, yang paling penting, memperjelas political platform agar institusi multilateral tetap relevan bagi konstituen domestik negara anggota. Ketika institusi global dipandang sebagai alat elite yang tidak etis, mereka akan terus menjadi target narasi populis.

Untuk Masyarakat Sipil dan Digital

Mengingat peran sentral media sosial dalam mempercepat penyebaran misinformasi dan polarisasi populis , investasi dalam edukasi publik untuk memperkuat literasi media dan keterampilan berpikir kritis adalah pertahanan krusial. Pemimpin yang bijak harus berkolaborasi dengan masyarakat sipil untuk mengembangkan inisiatif yang memungkinkan warga negara untuk mengenali manipulasi informasi, sehingga memulihkan kapasitas publik untuk terlibat dalam autonomous participation berdasarkan informasi yang benar.

Kesimpulan: Jalan Menuju Tata Kelola yang Lebih Bijak

Laporan ini menyimpulkan bahwa Kepemimpinan Global yang Bijak bukan sekadar ideal filosofis, melainkan keharusan strategis untuk mengatasi erosi kerja sama yang disebabkan oleh gelombang populisme dan nasionalisme. Tren ini, yang dipicu oleh kegagalan elite mengatasi masalah ekonomi dan diakselerasi oleh disinformasi digital, telah berhasil merusak arsitektur perdagangan, keamanan, dan lingkungan global.

Pemulihan kepercayaan global menuntut para pemimpin untuk secara sadar menerapkan enam kemampuan Phronesis—mulai dari pengambilan keputusan yang berorientasi pada kebaikan bersama hingga penggunaan kekuatan politik untuk menyatukan, bukan memecah-belah. Masa depan multilateralisme bergantung pada kemauan pemimpin untuk menolak penyederhanaan populis dan merangkul kedaulatan yang bertanggung jawab, yang mengintegrasikan kepentingan domestik yang pragmatis dengan kewajiban etis global yang berkelanjutan. Hanya dengan kebijaksanaan praktis, tata kelola global dapat mencapai stabilitas yang tahan terhadap gejolak politik domestik.

 

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

28 − = 27
Powered by MathCaptcha