Tulisan ini menyajikan analisis mendalam mengenai strategi inklusif yang adil dan bijaksana dalam penanganan migrasi dan pengungsi internasional, dengan fokus pada upaya menyeimbangkan kewajiban hak asasi manusia (HAM) universal dengan kebutuhan pragmatis negara penerima untuk menjaga stabilitas sosial dan ekonomi. Pendekatan inklusif dipandang bukan hanya sebagai kewajiban kemanusiaan, tetapi sebagai instrumen tata kelola yang efektif untuk meningkatkan ketahanan nasional.

Paradoks Kedaulatan dan Kewajiban: Kerangka Hukum Penanganan Pengungsi

Latar Belakang Geopolitik dan Kenaikan Tren Pengungsi

Dalam tiga dekade terakhir, banyak negara, khususnya di kawasan Asia Tenggara, menghadapi peningkatan signifikan dalam kedatangan pengungsi dan pencari suaka dari negara-negara yang dilanda konflik seperti Afghanistan, Somalia, Myanmar, dan Irak. Misalnya, Indonesia mencatat sekitar 13.273 pengungsi per September 2021, dengan tren yang terus meningkat, termasuk kedatangan mayoritas etnis Rohingya pada tahun 2023. Peningkatan ini memicu perdebatan publik mengenai penanganan yang tepat dan menimbulkan masalah seperti keterbatasan penampungan dan kendala relokasi.

Situasi ini menegaskan bahwa penanganan pengungsi melampaui isu imigrasi domestik (pengaturan keluar masuk orang) dan telah bertransformasi menjadi permasalahan kompleks dalam hukum migrasi internasional. Negara penerima dituntut untuk merumuskan kebijakan yang responsif terhadap tantangan migrasi global yang berdaulat dan berkelanjutan.

Kewajiban Hukum Internasional Universal di Luar Ratifikasi

Meskipun status ratifikasi Konvensi Pengungsi 1951 berbeda di setiap negara, kewajiban perlindungan tertentu tetap bersifat universal, bersumber dari doktrin kedaulatan dan persamaan hak antar negara, serta norma HAM yang sejarahnya telah mengakar sejak Abad ke-13.

Prinsip kunci yang tidak dapat dikesampingkan adalah non-refoulement, yang melarang negara mengembalikan seseorang ke wilayah di mana ia menghadapi ancaman serius terhadap kehidupan atau kebebasannya. Prinsip ini merupakan norma jus cogens (hukum memaksa internasional). Bahkan dalam konteks Konvensi 1951, Pasal 33 (mengenai non-refoulement) termasuk dalam pasal-pasal yang tidak dapat dikenai reservasi oleh Negara Pihak, menegaskan statusnya sebagai kewajiban hukum fundamental. Kegagalan dalam menegakkan prinsip non-refoulement dianggap sebagai pelanggaran terhadap standar HAM minimum universal. Hambatan operasional domestik, seperti keterbatasan verifikasi atau ketegangan sosial , harus diatasi karena secara langsung mengancam kepatuhan terhadap norma ini.

Selain itu, Konvensi Hak Anak (CRC) 1989 menjadi acuan penting bagi perlindungan kelompok rentan. Konvensi ini mewajibkan negara penerima untuk memprioritaskan kepentingan terbaik anak, termasuk penyediaan lingkungan yang mendukung bagi anak pengungsi untuk belajar dan mempertahankan bahasa ibunya.

Analisis Status Hukum dan Kedaulatan

Negara-negara di Asia Tenggara menunjukkan variasi yang signifikan dalam kerangka hukum penanganan pengungsi. Filipina dan Kamboja, misalnya, telah meratifikasi Konvensi 1951 dan/atau Protokol 1967, dan memiliki peraturan internal formal untuk prosedur pengakuan pengungsi dan suaka (seperti Kamboja dengan Sub-decree No. 224 sejak 2009).

Sebaliknya, negara seperti Indonesia dan Malaysia belum meratifikasi Konvensi 1951. Indonesia menangani pengungsi berdasarkan alasan kemanusiaan dan kerangka hukum nasional, yaitu Peraturan Presiden (PP) No. 125 Tahun 2016 tentang Penanganan Pengungsi dari Luar Negeri. Pendekatan ini mencerminkan upaya untuk menyeimbangkan kewajiban HAM dengan Prinsip Kedaulatan Absolut.

Ketiadaan mandat hukum primer yang kuat (akibat tidak adanya ratifikasi) membatasi implementasi kebijakan inklusif sejati. Kebijakan inklusi sering kali bersifat diskresioner, yang menimbulkan konsekuensi bagi pengungsi; misalnya di Malaysia, pengungsi sering terperangkap dalam legal no-man’s land dan berjuang untuk memenuhi kebutuhan dasar seperti makanan dan sewa. Keterbatasan legal ini menjadi akar dari kurangnya kapasitas penampungan dan kendala relokasi yang sering ditemui di negara-negara non-peratifikasi.

Pendekatan tata kelola yang bijaksana, seperti penerapan Principal-Agent Theory dalam reformasi pengelolaan pencari suaka , bertujuan untuk mengatasi tantangan migrasi global secara berdaulat. Namun, tanpa adopsi kerangka formal, perlindungan dan akses hak bagi pengungsi akan tetap rentan dan bergantung pada keputusan politik dan kemanusiaan sementara.

Untuk memberikan konteks yang lebih jelas mengenai tantangan legal di kawasan, perbandingan status ratifikasi dan kerangka hukum domestik di ASEAN adalah sebagai berikut:

Table 1: Perbandingan Status Ratifikasi Konvensi Pengungsi 1951 di ASEAN dan Implikasi Kebijakan Domestik

Negara ASEAN Status Konvensi 1951 Kerangka Hukum Domestik Utama Implikasi bagi Strategi Inklusif
Filipina Meratifikasi Mekanisme Asylum Penuh (UNHCR COP 2004) Kewajiban hukum eksplisit, potensi integrasi lebih terstruktur
Kamboja Meratifikasi Sub-decree No. 224 (2009) Prosedur formal pengakuan pengungsi/suaka
Indonesia Tidak Meratifikasi PP No. 125 Tahun 2016 (Kemanusiaan) Penanganan didasarkan pada kemanusiaan dan hukum domestik, tantangan akses hak
Malaysia Tidak Meratifikasi Tidak ada kerangka legal komprehensif Pengungsi berada di legal no-man’s land, kesulitan ekonomi dan kerentanan

Strategi Inklusi Sosial: Dari Bantuan Kemanusiaan ke Kohesi Komunitas

Pilar Akses Layanan Dasar dan HAM

Strategi inklusif yang adil harus menjamin akses pengungsi ke layanan dasar, yang merupakan inti dari pemenuhan hak asasi mereka.

Pendidikan, khususnya bagi anak pencari suaka yang berada dalam masa transit, adalah hak fundamental. Kewajiban ini semakin kuat berdasarkan tinjauan dari Konvensi Hak Anak 1989. Anak-anak pengungsi, yang mungkin mengalami trauma atau kesulitan bahasa, memerlukan lingkungan yang mendukung.

Negara penerima dapat menerapkan kebijakan yang bijaksana dengan memanfaatkan kerangka kebijakan domestik yang sudah ada. Misalnya, pemerintah telah memiliki kerangka kerja mengenai Pendidikan Inklusif untuk Anak Berkebutuhan Khusus. Daripada membangun sistem pendidikan paralel yang mahal, negara dapat memperluas cakupan sistem inklusif yang ada (integrasi horizontal) untuk menampung anak pengungsi. Pendekatan ini mempromosikan normalisasi sosial dan menghemat sumber daya nasional.

Namun, terdapat hambatan nyata dalam pemenuhan hak ini, terutama terbatasnya kapasitas penampungan dan kendala relokasi. Jika kapasitas operasional untuk menampung pengungsi secara bermartabat tidak memadai, hal itu dapat menyebabkan situasi hidup yang buruk, melanggar standar HAM, dan berpotensi menjadi perlakuan yang kejam atau tidak manusiawi.

Mengelola Stabilitas Sosial dan Mencegah Ketegangan Komunitas

Strategi inklusif harus secara eksplisit mengatasi potensi ketegangan sosial. Ketegangan komunitas merupakan salah satu hambatan utama dalam perlindungan pengungsi , seringkali dipicu oleh ketidakpercayaan, persepsi kompetisi sumber daya, atau masalah keamanan.

Tata kelola yang buruk dan tidak tertib dapat memperburuk ketegangan. Oleh karena itu, kebijakan harus dirumuskan untuk memastikan bahwa migrasi berlangsung dengan cara yang aman, tertib, dan bermartabat.

Pengelolaan yang bijaksana menuntut peningkatan kapasitas fisik dan legal untuk menampung pengungsi secara bermartabat sejak awal. Kapasitas operasional yang tidak memadai menciptakan kondisi krisis kemanusiaan yang terproyeksi ke publik, secara langsung meningkatkan instabilitas sosial dan memicu sentimen anti-migran.

Untuk memitigasi risiko ini, kebijakan harus dirumuskan menggunakan bukti yang kuat dan mengadopsi pendekatan seluruh pemerintah (whole-of-government approach), didukung oleh kemitraan yang kuat antara lembaga negara dan badan internasional. Transparansi mengenai status, hak, dan tanggung jawab pengungsi yang difasilitasi oleh UNHCR dan IOM dapat membantu mengelola ekspektasi komunitas lokal dan meredakan ketidakpercayaan.

Integrasi Ekonomi: Strategi Bijaksana untuk Stabilitas Jangka Panjang

Integrasi ekonomi merupakan pilar penting dari strategi inklusif yang bijaksana, yang mengubah pandangan pengungsi dari sekadar beban menjadi aset ekonomi yang berharga.

Kontribusi Ekonomi Pengungsi dan Migran

Migrasi tenaga kerja didorong oleh motivasi mencari peluang ekonomi yang lebih baik dan meningkatkan standar hidup. Penelitian menunjukkan bahwa migran sering kali memberikan kontribusi fiskal yang signifikan. Sebagai contoh, di Portugal, migran dilaporkan menyuntikkan €3.65 miliar ke dalam sistem jaminan sosial pada tahun 2024, yang setara dengan dukungan untuk sekitar 17% dari total pembayaran pensiun.

Selain kontribusi fiskal, pengungsi dan migran membantu mengisi kesenjangan pasar kerja di negara penerima. Di beberapa wilayah, terdapat permintaan tinggi di sektor-sektor kunci seperti konstruksi/pekerjaan sipil dan pariwisata/perhotelan.

Kebijakan yang efektif harus bertujuan untuk memajukan kesejahteraan sosial ekonomi para migran dan masyarakat, sesuai dengan kerangka tata kelola migrasi IOM. Kegagalan menyediakan jalur migrasi legal yang memadai berkontribusi pada krisis migrasi ilegal yang tidak terkontrol, menimbulkan eksploitasi, dan mengurangi potensi kontribusi ekonomi formal.

Mekanisme Akses Pasar Kerja yang Terstruktur dan Etis

Akses pasar kerja harus diiringi dengan kebijakan yang memfasilitasi pengakuan kualifikasi akademis dan keterampilan pengungsi. Tanpa mekanisme ini, individu yang terdidik terpaksa bekerja di sektor informal atau pekerjaan tidak terampil.

Meskipun pengungsi memiliki status yang berbeda dari pekerja migran, kerangka kerja perlindungan harus diterapkan untuk memastikan kerja layak dan etis. Perekrut tenaga kerja harus mematuhi standar IRIS IOM, yang mencakup verifikasi usia dan pencegahan diskriminasi berdasarkan jenis kelamin, ras, atau keyakinan agama. Hal ini menjamin bahwa hak-hak pekerja, sebagaimana diamanatkan oleh konvensi ILO tentang pekerja migran , dipenuhi.

Dalam konteks negara non-peratifikasi yang tidak memberikan hak kerja penuh karena alasan kedaulatan, solusi pragmatis adalah menerapkan skema izin kerja sementara dan terbatas. Skema ini dapat menargetkan sektor-sektor dengan kekurangan tenaga kerja yang teridentifikasi secara jelas. Pendekatan ini berfungsi ganda: secara adil memberikan martabat kepada pengungsi dan mengurangi ketergantungan ekonomi mereka, sementara secara bijaksana mengurangi beban fiskal negara dan meningkatkan kontribusi PDB, tanpa mengancam pasar kerja domestik.

Peran kemitraan swasta sangat penting. Keterlibatan perusahaan dalam program integrasi pengungsi (Refugee Integration Programs) menunjukkan komitmen terhadap praktik etis dan tanggung jawab sosial, yang dapat membangun kepercayaan konsumen. Selain itu, pengungsi seringkali memiliki pengetahuan mendalam tentang negara asal mereka, memberikan wawasan berharga bagi bisnis yang ingin berekspansi ke pasar baru, sehingga meningkatkan sensitivitas budaya dan penetrasi pasar.

Tata Kelola Regional dan Kebutuhan Koordinasi Multilateral

Sinkronisasi Kebijakan ASEAN dan Stabilitas Regional

Migrasi pengungsi adalah isu lintas batas yang memerlukan respons regional yang terkoordinasi. Kelemahan dalam kerangka hukum domestik di satu negara transit atau tujuan (seperti tidak adanya kerangka legal komprehensif di Malaysia, yang menyebabkan pengungsi kesulitan ekonomi di legal no-man’s land ) dapat menciptakan kerentanan yang dimanfaatkan oleh jaringan migrasi ilegal.

Untuk mengatasi hal ini, koordinasi dan harmonisasi kebijakan antar negara ASEAN harus ditingkatkan. Meskipun perjanjian regional (seperti Kerangka Kerja Jasa ASEAN/AFAS) mungkin memiliki dampak terbatas pada migrasi pekerja non-terampil karena kuatnya perlindungan asosiasi profesi domestik di negara penerima , pengaturan bilateral yang menargetkan masalah spesifik migrasi pekerja non-terampil dapat memberikan kontribusi penting bagi kesejahteraan mereka.

Peran Lembaga Internasional dan Kemitraan

Lembaga global seperti UNHCR, IOM, dan badan-badan regional sangat penting dalam mengatasi krisis pengungsi global. Kemitraan yang efektif harus memastikan bahwa lembaga-lembaga ini memiliki sumber daya yang memadai untuk mendukung manajemen penampungan, verifikasi status, dan relokasi, yang sangat dibutuhkan untuk mengatasi kendala kapasitas domestik.

Sesuai dengan Indikator Tata Kelola Migrasi IOM (MGI), tata kelola yang kuat memerlukan tiga pilar: kepatuhan terhadap standar internasional, perumusan kebijakan berbasis bukti, dan kemitraan antar lembaga. Kebijakan harus didasarkan pada data dan pendekatan seluruh pemerintah (whole-of-government approach) untuk secara efektif mengatasi dimensi mobilitas dari krisis dan isu-isu terkait. Penting bagi negara penerima untuk berinvestasi dalam penelitian untuk mengukur secara akurat kontribusi ekonomi migran yang sudah ada , sehingga kebijakan dapat didasarkan pada kebutuhan riil, bukan hanya sentimen.

Rekomendasi Kebijakan Strategis: Membangun Keseimbangan yang Adil dan Bijaksana

Strategi inklusif yang seimbang memerlukan intervensi multi-lapis yang menargetkan kerangka hukum, program sosial, dan integrasi ekonomi.

Rekomendasi Hukum dan Kelembagaan

  1. Penguatan Kerangka Hukum Domestik Non-Peratifikasi: Bagi negara non-peratifikasi, Peraturan Presiden atau Undang-Undang domestik (seperti PP No. 125 Tahun 2016) harus diperkuat dengan klausul yang lebih jelas mengenai hak akses pengungsi ke pelatihan kejuruan (vocational training) dan mekanisme sementara untuk pengakuan kualifikasi.
  2. Harmonisasi Kedaulatan-HAM: Negara harus secara eksplisit menerapkan pendekatan tata kelola yang menyeimbangkan Prinsip Kedaulatan Absolut dengan komitmen HAM. Ini berarti menetapkan standar kinerja yang ketat bagi lembaga pelaksana domestik (Imigrasi, Pemda) untuk memastikan penanganan yang bermartabat dan menjunjung tinggi prinsip HAM.

Rekomendasi Program Inklusif: Matriks Keseimbangan

Pencapaian keseimbangan antara keadilan (HAM) dan kebijaksanaan (stabilitas) dapat diukur melalui matriks kebijakan yang terintegrasi:

Table 2: Matriks Strategi Inklusif: Hak Asasi Manusia, Stabilitas Sosial, dan Keberlanjutan Ekonomi

Dimensi Kebijakan Tujuan HAM (Adil) Tujuan Stabilitas Domestik (Bijaksana) Indikator Keberhasilan Kunci
Akses Layanan Dasar (Pendidikan & Kesehatan) Memastikan Hak Anak dan kesehatan universal , menyediakan lingkungan pendukung bahasa ibu. Mengurangi ketergantungan pengungsi pada bantuan, mencegah krisis kemanusiaan yang memicu ketegangan sosial. Tingkat partisipasi pendidikan anak pengungsi, penurunan insiden penyakit di penampungan, penurunan ketegangan sosial lokal.
Akses Pasar Kerja & Keterampilan Pengakuan keterampilan , kerja layak, perlindungan dari diskriminasi. Mengisi kekurangan tenaga kerja (Konstruksi, Pariwisata) , meningkatkan kontribusi pajak/jaminan sosial, mengurangi migrasi ilegal. Persentase pengungsi dalam program pelatihan/pekerjaan formal/sementara, peningkatan kontribusi fiskal dari tenaga kerja migran.
Tata Kelola & Keamanan Menghormati prinsip non-refoulement , memastikan prosedur yang aman dan bermartabat. Memperkuat kedaulatan negara melalui pengelolaan yang tertib , meningkatkan kolaborasi global (UNHCR/IOM). Skor kepatuhan terhadap IOM Migration Governance Indicators (MGI), minimalisasi insiden pelanggaran HAM atau deportasi paksa.

Rekomendasi Kemitraan dan Pembiayaan

  1. Kemitraan Sektor Swasta yang Berorientasi Integrasi: Negara harus aktif mendorong sektor swasta untuk berpartisipasi dalam program integrasi pengungsi. Hal ini harus difokuskan pada manfaat timbal balik: mengisi kekurangan tenaga kerja, meningkatkan tanggung jawab sosial perusahaan (CSR), dan memberikan wawasan pasar global yang unik.
  2. Investasi Jangka Panjang di Negara Asal: Untuk mengatasi akar masalah migrasi ilegal, negara penerima dan komunitas internasional harus berinvestasi dalam program pembangunan ekonomi di negara penghasil migran. Ini adalah strategi bijaksana untuk mengurangi tekanan migrasi jangka panjang.
  3. Penguatan Sumber Daya Internasional: Harus dipastikan bahwa UNHCR, IOM, dan badan-badan terkait memiliki sumber daya yang memadai untuk menanggulangi krisis, melakukan verifikasi, dan mengelola relokasi ke negara ketiga secara efisien. Keterbatasan sumber daya ini berkontribusi pada kendala operasional yang pada akhirnya memicu ketidakadilan dan instabilitas.

Kesimpulannya, strategi inklusif yang adil dan bijaksana adalah kebijakan berbasis ketahanan. Dengan memfasilitasi integrasi sosial melalui pendidikan dan integrasi ekonomi melalui akses pasar kerja terbatas dan pengakuan keterampilan, negara penerima dapat mengubah potensi risiko krisis pengungsi menjadi investasi dalam stabilitas sosial, kontribusi fiskal, dan ketahanan nasional yang lebih besar. Pendekatan ini mengakui HAM pengungsi sambil secara bersamaan memperkuat kedaulatan negara melalui pengelolaan migrasi yang tertib, aman, dan berkelanjutan.

 

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

29 − 22 =
Powered by MathCaptcha