Studi mengenai pembangunan sosial-ekonomi di Asia Timur sering kali menyoroti peran sentral nilai-nilai budaya yang diinternalisasi, yang berfungsi sebagai kapital sosial yang kuat, mendorong disiplin kolektif, dan memacu pertumbuhan yang cepat. Kebiasaan sehari-hari yang berakar pada tradisi, seperti menjunjung tinggi kehormatan di Jepang atau etos kerja keras di Korea Selatan, telah membentuk identitas nasional dan menjadi kunci keberhasilan makroekonomi di kedua negara. Analisis ini bertujuan untuk mendefinisikan dan menguji nilai-nilai luhur dari kebiasaan sehari-hari tersebut, namun dengan fokus bernuansa kritis, yakni menyajikan tesis bahwa nilai-nilai yang dianggap luhur (disiplin, kerja keras, kepatuhan) memiliki efek dualistik. Nilai-nilai ini, di satu sisi, mendorong kemajuan sistemik dan efisiensi; namun di sisi lain, sering kali menimbulkan biaya psikososial yang signifikan di tingkat individu, menghasilkan patologi sosial seperti tekanan mental, stigma, dan fenomena workaholism.
Fondasi Filosofis Asia Timur: Konfusianisme dan Etika Samurai
Pondasi struktural masyarakat Korea Selatan dan Jepang banyak dipengaruhi oleh ajaran filosofis yang menekankan pentingnya tatanan sosial yang harmonis dan vertikal. Konfusianisme, sebagai filosofi utama, telah menjadi arsitek struktur sosial di seluruh Asia Timur. Ajaran ini menekankan hierarki, disiplin, dan penghormatan, di mana pendidikan dianggap bukan hanya sekadar jalan untuk mendapatkan pengetahuan, tetapi juga merupakan tugas moral yang fundamental untuk memperbaiki diri dan masyarakat. Di Korea, prinsip-prinsip ini diterjemahkan menjadi loyalitas dan kewajiban vertikal yang mengatur hubungan antara atasan dan bawahan, serta struktur keluarga.
Di Jepang, nilai-nilai Konfusianisme bercampur dengan etika lokal yang kuat, khususnya Etika Samurai, yang memberikan penekanan pada kehormatan, reputasi, dan penjagaan nama baik. Etika ini, yang kemudian bertransformasi menjadi konsep budaya malu modern (Haji), mewariskan kewajiban moral untuk menjadi panutan dalam masyarakat. Bagi samurai, rasa malu tidak hanya mewakili keadaan emosi, tetapi mengandung nilai moral inti untuk menjauhkan diri dari perbuatan yang merusak status dan nama baik. Warisan kolektif ini membentuk landasan moral bagi kedua masyarakat, yang sangat menekankan kepatuhan pada norma-norma yang ditetapkan, baik melalui hierarki yang jelas maupun melalui kontrol sosial berbasis reputasi.
Dualitas Kultural: Menggali Sisi Fungsional dan Disfungsional dari Nilai
Penting untuk mengadopsi pandangan bernuansa dalam menganalisis nilai-nilai budaya ini. Sementara disiplin dan kerja keras telah berkontribusi besar terhadap pemulihan dan keajaiban ekonomi pasca-perang, rigiditas yang ditimbulkannya menimbulkan unintended consequences (konsekuensi yang tidak disengaja). Analisis mendalam menunjukkan bahwa mekanisme budaya yang sama yang menjaga ketertiban publik dan memacu pertumbuhan ekonomi, secara simultan menekan ekspresi individual, menghambat penanganan krisis psikologis modern, dan dalam beberapa kasus, mengebiri inovasi. Laporan ini akan menggali sisi fungsional dan disfungsional dari nilai-nilai inti Jepang dan Korea Selatan.
Studi Kasus Jepang I: Budaya Malu (Haji) dan Kontrol Sosial
Definisi dan Mekanisme Haji: Dari Etika Samurai hingga Kehidupan Modern
Haji (Budaya Malu) di Jepang berfungsi sebagai mekanisme kontrol sosial yang sangat efektif, yang berorientasi ke luar, atau dikenal sebagai gaimenteki. Berbeda dengan budaya berbasis rasa bersalah yang berfokus pada hati nurani individu, rasa malu dalam konteks Haji muncul ketika seseorang berbuat suatu kesalahan, merugikan orang lain, atau melanggar norma di mata masyarakat.
Rasa malu ini menjadi nilai moral inti yang mewajibkan individu untuk menjaga nama baik, reputasi, dan status. Konsekuensinya, masyarakat Jepang didorong untuk melakukan disiplin diri, pantang menyerah, mandiri, dan berhati-hati dalam berbicara. Mereka berusaha sebisa mungkin menghindari tindakan yang dapat menarik sanksi sosial atau merusak citra diri dan kelompok.
Implementasi Sistemik: Haji dan Keberhasilan Penegakan Hukum (Kooban)
Salah satu manifestasi paling jelas dari efektivitas Haji adalah keberhasilan Jepang dalam menjaga ketertiban publik dan tingkat kriminalitas yang rendah. Penelitian menunjukkan adanya hubungan yang erat antara budaya malu yang kuat dan keberhasilan penerapan sistem kepolisian kooban (pos polisi komunitas) dalam menciptakan keadaan yang aman dan harmonis.
Budaya malu secara fundamental menahan masyarakat dari bertindak melanggar hukum. Mekanisme ini menciptakan kontrol internal yang sangat efisien, yang secara substansial mengurangi beban penegakan hukum formal. Logika utamanya adalah bahwa dorongan untuk menghindari sanksi sosial dari masyarakat jauh lebih kuat daripada ketakutan akan hukuman formal. Hasilnya, baik polisi maupun masyarakat didorong untuk merasa malu jika bertindak menyimpang, yang secara kolektif menjaga harmoni dan ketertiban di Jepang. Ini menunjukkan bagaimana norma budaya yang terinternalisasi dapat menjadi alat utama untuk tata kelola yang efektif.
Nilai Disiplin dan Kebersihan sebagai Manifestasi Haji
Disiplin kolektif, termasuk budaya kebersihan yang terkenal di Jepang, adalah perwujudan praktis dari Haji yang diinternalisasi. Kebiasaan kebersihan ini ditanamkan sejak kecil dan diterapkan secara menyeluruh, bahkan terlihat jelas di ruang-ruang komunal seperti stadion.
Disiplin dalam kebersihan melampaui sekadar preferensi estetika; ini adalah cerminan dari menjaga reputasi kolektif. Seseorang membersihkan atau menjaga kebersihan bukan hanya karena ingin bersih, tetapi karena rasa malu jika dianggap tidak disiplin atau jika tindakannya merugikan orang lain dengan merusak ruang komunal. Rasa malu karena dianggap menyimpang atau merusak citra kelompok inilah yang mendorong kepatuhan universal terhadap standar kebersihan dan ketertiban yang sangat tinggi
Konsekuensi Sosiologis: Budaya Malu, Stigma, dan Krisis Kesehatan Mental
Meskipun Haji menghasilkan masyarakat yang sangat tertib dan aman, budaya kontrol sosial yang ketat ini membawa konsekuensi negatif pada ranah psikologis individu. Data menunjukkan bahwa Jepang merupakan negara dengan penderita gangguan mental yang tinggi. Indikator angka ranjang rawat inap menempatkan Jepang sebagai yang tertinggi di antara negara-negara OECD.
Krisis ini sangat terkait dengan mekanisme Haji. Budaya malu mendikte bahwa seseorang harus menjaga reputasi dan menghindari segala bentuk penyimpangan atau kelemahan fungsional (gaimenteki fokus). Dalam konteks ini, penyakit mental, atau kegagalan emosional, sering kali dianggap sebagai penyimpangan atau aib. Untuk menghindari rasa malu dan sanksi sosial, penderita dan keluarganya cenderung menyembunyikan kondisi tersebut, yang disebut sebagai penolakan terhadap perbedaan. Keinginan keluarga untuk membentuk jarak sosial dan rendahnya pengetahuan masyarakat umum mengenai kesehatan mental memperkuat stigma negatif ini.
Mekanisme budaya ini menyebabkan penanganan masalah kesehatan mental di Jepang masih terfokus pada institusionalisasi, bukan penanganan berbasis masyarakat, yang memperkuat data OECD tentang tingginya angka rawat inap. Secara paradoks, mekanisme budaya yang menciptakan ketertiban publik (yakni, Haji) secara simultan menciptakan patologi sosial dalam ranah pribadi, menghambat pengakuan, pencegahan, dan penanganan krisis kesehatan mental modern.
Studi Kasus Korea Selatan I: Etos Kerja Intens dan Palli-Ppalli
Konfusianisme sebagai Arsitek Etos Kerja Korea
Etos kerja Korea Selatan berakar kuat dalam Konfusianisme, yang telah mengatur norma-norma perilaku selama lebih dari 500 tahun Dinasti Chosun. Konfusianisme membentuk ideologi manajemen yang menekankan keselarasan (harmony), stabilitas, dan kewajiban vertikal (loyalitas antara atasan dan bawahan). Pengaruh ini menyebabkan perusahaan-perusahaan Korea secara khas menekankan kesatuan, kerja sama, dan stabilitas sebagai tujuan utama.
Pilar-Pilar Etos Kerja: Analisis Konsep Kunci
Etos kerja Korea ditopang oleh beberapa konsep kultural inti:
Han (한): Ketahanan dan Tekad
Han adalah perasaan mendalam tentang penderitaan, ketekunan, dan tekad yang kuat untuk mengatasi kesulitan. Filosofi ini mencerminkan sejarah panjang Korea dalam menghadapi kesulitan, yang membentuk mentalitas ketahanan yang luar biasa. Dalam dunia kerja, Han diimplementasikan sebagai budaya kerja keras dan pantang menyerah, di mana pekerja Korea sering rela berkorban demi kesuksesan tim atau perusahaan. Han melegitimasi penderitaan dan tekanan sebagai bagian inheren dari perjuangan menuju keberhasilan.
Nunchi (눈치): Kecerdasan Kontekstual
Nunchi adalah kemampuan penting untuk membaca situasi dan perasaan orang lain. Filosofi di balik Nunchi adalah menghindari konflik dan menjaga keharmonisan dalam hubungan sosial dan kerja. Dalam implementasinya, pegawai diharapkan sangat peka terhadap kebutuhan atau keinginan atasan tanpa perlu diminta secara eksplisit, yang penting untuk menjaga sikap sopan dan harmoni tim.
Workaholism (Yeoljeong Geunmu): Semangat Kerja Berlebihan
Yeoljeong Geunmu berarti semangat kerja berlebihan. Etos kerja yang kuat ini didorong oleh persaingan yang sangat ketat di pasar tenaga kerja Korea. Hasilnya, Korea Selatan berada di peringkat ke-3 di dunia dengan tingkat kerja keras tertinggi. Lembur dan dedikasi penuh terhadap pekerjaan menjadi norma, yang sayangnya membawa konsekuensi negatif, terutama kelelahan yang kronis.
Struktur Vertikal: Hierarki, Gapjil, dan Dampaknya pada Inovasi Korporasi
Struktur kerja Korea Selatan sangat vertikal, dengan penekanan pada senioritas dan kejelasan otoritas yang bersumber dari Konfusianisme. Namun, hierarki ini juga memungkinkan munculnya Gapjil (갑질), yaitu penyalahgunaan kekuasaan oleh atasan terhadap bawahan.
Budaya vertikal ini memberikan dampak ganda: di satu sisi, hal ini memastikan bahwa pekerjaan terselesaikan secara efisien sesuai perintah atasan, menjamin stabilitas dan output kerja. Namun, konsekuensi negatifnya adalah keberanian dan kreativitas karyawan untuk mengemukakan pendapat, ide, atau gagasan menjadi tidak ada. Karyawan cenderung pasif dan hanya menerima pekerjaan sesuai yang diperintahkan. Inilah yang dikenal sebagai Paradoks Efisiensi: etos kerja yang intens (Ppalli-Ppalli) menjamin kecepatan dan stabilitas, tetapi kombinasi Nunchi (menghindari konflik) dan Gapjil (penyalahgunaan kekuasaan) menekan inisiatif, menciptakan lingkungan yang sangat baik untuk replikasi dan produksi massal, tetapi menghambat inovasi radikal dan pemikiran kritis dari tingkat bawah.
Dampak Sosial: Tekanan Kerja dan Kesejahteraan Psikososial
Dedikasi total terhadap pekerjaan telah menimbulkan krisis kesehatan masyarakat yang terdokumentasi. Data statistik menunjukkan korelasi yang jelas antara jam kerja dan prevalensi kesehatan mental yang buruk. Prevalensi kesehatan mental yang buruk di kalangan pekerja yang bekerja 35–40 jam per minggu adalah 18.6%; angka ini meningkat menjadi 23.6% bagi mereka yang bekerja 48–54 jam per minggu, dan melonjak hingga 28.4% bagi mereka yang bekerja 55 jam atau lebih per minggu.
Peningkatan hampir 10% dalam prevalensi gangguan mental antara jam kerja standar dan jam kerja berlebihan menyoroti bahwa Yeoljeong Geunmu atau workaholism, bukan hanya sekadar nilai luhur yang mendorong produktivitas, tetapi telah menjadi ancaman kesehatan publik yang signifikan. Mencapai keseimbangan hidup dan kerja (work-life balance) merupakan isu kompleks yang krusial untuk meningkatkan kesehatan mental dan fisik.
Studi Kasus Korea Selatan II: Pendidikan sebagai Mesin Mobilitas Sosial
Filosofi Pendidikan Korea: Tugas Moral dan Investasi Keluarga
Sistem pendidikan Korea Selatan diakui secara global karena prestasi akademiknya yang luar biasa. Keberhasilan ini tidak terlepas dari filosofi yang berakar pada Konfusianisme, yang menekankan bahwa pendidikan adalah tugas moral untuk memperbaiki diri dan masyarakat. Nilai-nilai seperti hierarki, disiplin, dan penghormatan kepada guru masih sangat dijunjung tinggi. Kesuksesan akademik dipandang bukan hanya sebagai prestasi individu, melainkan sebagai cerminan dari kehormatan keluarga.
Di masyarakat Korea, pendidikan telah diposisikan sebagai sarana utama untuk mobilitas sosial dan kesuksesan ekonomi. Oleh karena itu, pendidikan dianggap sebagai investasi terbesar keluarga, jembatan menuju pekerjaan yang baik, dan kehidupan yang lebih mapan.
Mekanisme Persaingan: Peran Hagwon (Shadow Education)
Tingginya nilai yang dilekatkan pada pendidikan memicu persaingan yang intens. Hal ini tercermin dalam ketergantungan besar pada pendidikan tambahan di luar sekolah, yang dikenal sebagai shadow education, terutama melalui Hagwon (sekolah swasta tambahan). Fenomena ini bahkan mendorong keluarga untuk pindah ke area yang dekat dengan sekolah unggulan atau pusat bimbingan belajar terkenal, yang dikenal sebagai “exam villages,” demi mendukung kesuksesan akademik anak mereka. Ketergantungan pada Hagwon ini telah menciptakan industri pendidikan bayangan yang masif, di mana persaingan diprivatisasi dan dibebankan langsung ke keluarga.
Ujian Penentu Takdir: Intensitas Suneung
Ciri khas paling intens dari sistem pendidikan Korea adalah Suneung (Ujian Kemampuan Skolastik Perguruan Tinggi), ujian masuk universitas nasional yang sangat sulit. Suneung sering dianggap sebagai penentu masa depan seseorang dalam hal karier dan status sosial, karena hasil ujian ini sangat menentukan akses ke universitas-universitas top, khususnya “SKY” (Seoul National University, Korea University, atau Yonsei University).
Intensitas akademik yang dialami siswa sangat nyata. Banyak siswa menghabiskan waktu belajar hingga 16 jam per hari. Mereka merasa perlu belajar lebih dari 10 jam setiap hari, yang mengakibatkan rata-rata siswa di Korea tidur lebih sedikit dibandingkan siswa di negara lain. Tekanan dari ujian ini sangat tinggi. Seluruh kota seakan berhenti untuk memberi kesempatan bagi siswa Suneung. Dukungan psikologis, ritual, dan doa di kuil yang dilakukan oleh orang tua menunjukkan betapa besarnya harapan yang diletakkan pada pundak siswa.
Dilema Pendidikan: Keunggulan PISA vs. Risiko Kesehatan Mental Siswa
Sistem pendidikan Korea Selatan memang berhasil menciptakan generasi siswa yang kompetitif dan inovatif, menduduki peringkat teratas dalam berbagai tes internasional seperti PISA (matematika, sains, dan literasi). Namun, di balik prestasi gemilang ini, terdapat dilema yang signifikan: tekanan akademik yang intens.
Peneliti dan pengamat pendidikan mengakui adanya risiko kesehatan mental yang perlu diperhatikan, karena banyak siswa mengalami stres berat akibat tuntutan Suneung. Logika kausalitasnya sangat jelas: Konfusianisme menetapkan kesuksesan akademik sebagai kehormatan keluarga dan tugas moral; Suneung diidentifikasi sebagai satu-satunya jalan menuju status sosial yang diinginkan; perpaduan antara tuntutan moral dan persaingan ekonomi menciptakan tekanan tak tertahankan, yang berujung pada kelelahan kronis dan gangguan mental. Sistem ini secara efektif mengorbankan kesejahteraan mental generasi muda untuk menjamin daya saing ekonomi nasional, merefleksikan transisi Han (ketahanan dalam penderitaan) ke tingkat individu yang ekstrem.
Analisis Komparatif: Dualitas Nilai dan Tantangan Abad ke-21
Komparasi Mekanisme Kontrol Sosial: Haji vs. Konfusianisme Hierarkis
Baik Jepang maupun Korea Selatan memiliki mekanisme kontrol sosial yang sangat kuat, namun fokusnya sedikit berbeda. Jepang menggunakan Haji sebagai kontrol sosial yang berbasis pada eksternalitas (reputasi, mata publik) untuk memastikan ketertiban dan kepatuhan hukum. Korea Selatan, meskipun juga dipengaruhi oleh Konfusianisme, lebih memfokuskan kontrol melalui vertikalitas dan loyalitas dalam struktur korporasi dan sosial untuk memastikan stabilitas dan output kerja.
Persamaannya adalah bahwa kedua sistem ini secara inheren menekan individualitas dan ekspresi diri. Di Jepang, ekspresi kelemahan ditekan untuk menghindari malu dan stigma. Di Korea, ekspresi ide atau pemikiran kritis ditekan untuk menjaga hierarki dan keselarasan.
Persamaan dan Perbedaan dalam Memproduksi Tekanan Sosial
Kedua negara menunjukkan budaya “dedikasi total” yang tinggi, yang termanifestasi dalam jam kerja atau belajar yang ekstrem. Jepang menunjukkannya melalui disiplin dan loyalitas, sementara Korea Selatan menunjukkannya melalui Workaholism (Yeoljeong Geunmu) dan intensitas Suneung. Kedua budaya tersebut mengarah pada peningkatan risiko kesehatan mental.
Perbedaan muncul dalam cara manajemen patologi sosial. Jepang menghadapi krisis mental melalui stigma dan isolasi, di mana Haji mendorong penyembunyian penyakit mental dan penanganan terfokus pada institusionalisasi. Sebaliknya, Korea Selatan menghadapi tekanan mental melalui kelelahan kronis, akibat jam kerja yang berlebihan dan persaingan yang tiada henti di sekolah dan tempat kerja.
Efek Unintended Consequences: Ketika Nilai Luhur Menjadi Patologi
Nilai-nilai yang sangat berharga selama era pembangunan pasca-perang—di mana kepatuhan, kolektivitas, dan kerja keras tanpa henti sangat diperlukan—kini menjadi kontraproduktif di era digital yang menuntut inovasi, kreativitas, dan keseimbangan hidup (Work-Life Balance).
- Patologi Jepang: Masyarakat yang super-aman dan bersih, yang diciptakan oleh kontrol ketat Haji, membayar harganya dengan masyarakat yang terisolasi secara emosional, di mana penderitaan psikologis secara kolektif disembunyikan untuk menjaga reputasi.
 - Patologi Korea Selatan: Masyarakat yang super-kompetitif, yang unggul dalam PISA dan industri global, membayar harganya dengan generasi muda yang menderita kelelahan kronis sejak remaja dan populasi pekerja yang mengalami gangguan mental tinggi akibat workaholism.
 
Fenomena ini menunjukkan bahwa kesuksesan kultural di masa lalu kini menjadi penghalang utama bagi kesejahteraan individu di masa kini, menuntut adaptasi fundamental terhadap mekanisme kontrol sosial dan etos kerja.
Matriks Komparatif Konsep Kultural dan Fungsi Sosial
Tabel berikut menyajikan perbandingan terstruktur antara konsep budaya inti di Jepang dan Korea Selatan, serta konsekuensi dualistiknya pada masyarakat:
Table 1: Matriks Konsep Budaya Kunci dan Fungsi Sosial
| Konsep Kultural | Negara | Fungsi Utama | Dampak Positif (Nilai Luhur) | Potensi Dampak Negatif (Patologi Sosial) | 
| Haji (Budaya Malu) | Jepang | Kontrol sosial eksternal (gaimenteki), menjaga reputasi. | Keamanan publik tinggi, kepatuhan hukum (Kooban), kebersihan. | Stigma kesehatan mental tinggi, penekanan emosi, institusionalisasi penderita gangguan mental. | 
| Konfusianisme Vertikal | Korea Selatan | Struktur sosial dan korporasi, loyalitas, stabilitas. | Keselarasan, output kerja yang stabil. | Pasivitas karyawan, kurangnya kreativitas, penyalahgunaan kekuasaan (Gapjil). | 
| Han | Korea Selatan | Pembentukan mentalitas ketahanan historis. | Ketekunan, pengorbanan demi kesuksesan kolektif/perusahaan. | Tekanan untuk terus berkorban, melegitimasi penderitaan kerja yang berlebihan. | 
| Yeoljeong Geunmu (Workaholism) | Korea Selatan | Dedikasi penuh dan semangat kerja berlebihan. | Produktivitas tinggi, kesuksesan ekonomi. | Kelelahan, prevalensi gangguan mental tinggi (di atas 55 jam kerja/minggu). | 
| Suneung/Hagwon | Korea Selatan | Seleksi akademik intensif. | Prestasi global (PISA), mobilitas sosial. | Stres berat, depresi siswa, kurang waktu tidur, risiko kesehatan mental. | 
Kesimpulan
Analisis menunjukkan bahwa Jepang dan Korea Selatan telah membangun keunggulan kompetitif dan ketertiban sosial melalui mekanisme budaya yang menginternalisasi disiplin dan hierarki. Namun, sistem budaya ini, yang sangat fungsional di masa lalu, kini menghadapi tantangan struktural yang serupa di Abad ke-21: krisis kesehatan mental, rendahnya keseimbangan hidup-kerja, dan potensi stagnasi inovasi akibat rigiditas kultural yang menekan individu. Kedua negara harus mengatasi dilema antara mempertahankan nilai luhur yang menjamin ketertiban dan memenuhi tuntutan kesejahteraan manusia modern.
Rekomendasi Kebijakan dan Strategi Adaptasi Budaya
Untuk memastikan keberlanjutan dan kesejahteraan masyarakat, adaptasi budaya yang didukung kebijakan struktural sangat diperlukan:
Rekomendasi untuk Jepang (Mengatasi Stigma Haji)
- Menggeser Fokus Kesehatan Mental: Pemerintah dan lembaga kesehatan harus mengambil langkah tegas untuk menggeser fokus penanganan kesehatan mental dari institusionalisasi ke perawatan berbasis masyarakat. Strategi ini harus secara eksplisit bertujuan mengurangi stigma yang didorong oleh Haji.
 - Edukasi Publik: Peluncuran kampanye edukasi skala nasional untuk meningkatkan pengetahuan masyarakat tentang kesehatan mental, sekaligus menormalkan diskursus mengenai penderitaan psikologis, yang secara fundamental menantang penolakan terhadap perbedaan akibat budaya malu.
 
Rekomendasi untuk Korea Selatan (Mengatasi Etos Kerja Berlebihan dan Pendidikan Intens)
- Reformasi Struktural Kerja: Implementasi kebijakan yang secara ketat membatasi jam kerja, memastikan kepatuhan terhadap undang-undang jam kerja maksimum untuk secara langsung mengatasi tingginya prevalensi kesehatan mental buruk yang terkait dengan jam kerja 55 jam atau lebih per minggu.
 - Transformasi Budaya Korporasi: Mendorong perubahan budaya korporasi vertikal (Gapjil) untuk menciptakan lingkungan yang aman bagi karyawan. Ini harus mencakup mekanisme untuk mendorong voice karyawan dan pemikiran kritis, memfasilitasi inovasi yang lebih organik dari bawah, yang saat ini terhambat oleh pasivitas yang didorong hierarki.
 - De-intensifikasi Suneung: Melakukan reformasi sistem pendidikan untuk mengurangi tekanan ekstrem pada siswa, misalnya melalui diversifikasi jalur masuk universitas atau mengurangi bobot Suneung sebagai satu-satunya penentu masa depan. Langkah ini penting untuk mengatasi stres berat dan risiko kesehatan mental di kalangan pelajar.
 
Pelajaran Global
Studi kasus Jepang dan Korea Selatan menawarkan pelajaran penting bagi negara-negara yang tengah berkembang. Keberhasilan ekonomi yang dicapai melalui disiplin dan kerja keras kolektif harus diimbangi dengan struktur perlindungan individu. Negara-negara berkembang harus berhati-hati dalam mengadopsi etos kerja yang intensif tanpa sistem kesejahteraan dan budaya yang mendukung keseimbangan hidup, untuk memastikan bahwa struktur yang mendukung kecepatan dan output tidak secara inheren menghambat inovasi, kreativitas, dan kesejahteraan manusia jangka panjang.
