Ekonomi gig global telah mengalami percepatan yang dramatis, didorong oleh inovasi platform digital dan pergeseran preferensi tenaga kerja menuju fleksibilitas. Transformasi ini, bagaimanapun, telah melampaui kerangka regulasi ketenagakerjaan dan jaminan sosial yang dirancang pada abad ke-20. Urgensi untuk mendefinisikan ulang kontrak sosial di tempat kerja global sangat tinggi, karena model operasi platform secara sistematis menghilangkan hak-hak dan perlindungan dasar pekerja tradisional. Laporan ini menyajikan tinjauan komparatif mengenai krisis klasifikasi pekerja dan kebutuhan mendesak akan reformasi jaminan sosial adaptif di berbagai yurisdiksi internasional.
Temuan Kunci dan Lima Rekomendasi Strategis
Analisis menunjukkan bahwa pertumbuhan pasar gig global yang tak terhindarkan menciptakan dinamika kekuasaan baru yang rentan terhadap eksploitasi. Pasar gig diproyeksikan mencapai nilai masif $2,178.4 miliar pada tahun 2034. Namun, sebagian besar pertumbuhan ini berakar pada model kontraktor independen yang meminimalkan biaya tenaga kerja dan tanggung jawab jaminan sosial. Respon regulasi global terpecah tajam antara model intervensi (seperti Uni Eropa dan Spanyol) yang berfokus pada penentuan status karyawan yang benar, dan model hibrida (seperti California) yang berfokus pada pemberian manfaat tanpa mengubah klasifikasi hukum.
Keterlambatan dalam regulasi akan memperkuat status quo, memberikan platform dengan insentif ekonomi yang besar dan modal politik yang semakin besar untuk menentang perubahan hukum di masa depan. Oleh karena itu, kerangka kerja baru harus mengakui dan melindungi kategori pekerja yang secara ekonomi bergantung.
Rekomendasi Strategis Utama:
- Standardisasi kategori ‘pekerja mandiri yang bergantung’ (dependent self-employment) di tingkat internasional, sebagai pengakuan atas fleksibilitas yang bersifat asimetris.
- Penciptaan sistem manfaat portabel yang diamanatkan industri, didanai melalui pengumpulan kontribusi wajib dan berbasis asuransi (bukan stipen korporat).
- Implementasi regulasi manajemen algoritmik yang transparan dan dapat diaudit, seperti yang diamanatkan oleh Platform Work Directive (PWD) UE.
- Peninjauan ulang undang-undang anti-trust untuk memungkinkan pekerja platform yang diklasifikasikan sebagai wiraswasta melakukan perundingan kolektif.
- Dukungan pendanaan dan regulasi untuk model alternatif milik pekerja, seperti koperasi platform.
Pertumbuhan Eksponensial dan Struktur Ekonomi Gig Global
Definisi dan Tipologi Pekerjaan Platform
Ekonomi Gig (EG) didefinisikan sebagai sistem ketenagakerjaan yang dicirikan oleh pekerjaan jangka pendek, berbasis proyek, atau berbasis tugas, yang difasilitasi oleh platform digital. Organisasi Perburuhan Internasional (ILO) mengklasifikasikan pekerjaan platform ke dalam dua tipologi utama:
- Platform Berbasis Lokasi (Location-Based Platforms): Melibatkan penyediaan layanan secara fisik di lokasi tertentu, seperti layanan rideshare (transportasi daring), pengiriman makanan, layanan kecantikan dan kesehatan (pijat, tata rambut), atau layanan acara (fotografi). Sektor ini paling sering menjadi pusat krisis klasifikasi pekerja.
- Platform Daring (Online Platforms): Melibatkan penyediaan layanan jarak jauh (remote), seperti penulisan freelance, entri data, konsultasi keamanan siber, pemrograman algoritma, atau ilustrasi grafis. Pekerja di platform ini seringkali memiliki keahlian yang lebih tinggi dan berpotensi mencapai pendapatan yang signifikan.
Metrik Pertumbuhan Global: Skala Pasar dan Proyeksi Finansial
Skala ekonomi gig di seluruh dunia mencerminkan pergeseran struktural yang mendalam dalam pasar tenaga kerja. Secara global, terdapat sekitar 435 juta pekerja gig [2]. Jumlah ini mewakili 4.4% hingga 12.5% dari total tenaga kerja global. Di Amerika Serikat, terdapat 76.4 juta freelancer, dan diperkirakan bahwa hingga separuh dari tenaga kerja AS akan terlibat dalam beberapa bentuk kerja gig pada tahun 2025.
Proyeksi finansial menunjukkan bahwa momentum pertumbuhan ini sangat kuat. Ukuran pasar ekonomi gig global diperkirakan mencapai $582.2 miliar pada tahun 2025. Dengan Tingkat Pertumbuhan Tahunan Majemuk (CAGR) sebesar 15.79%, pasar ini diproyeksikan mencapai $2,178.4 miliar pada tahun 2034. Asia, khususnya India, memimpin pertumbuhan dengan CAGR regional mencapai 21% . Skala pasar yang diproyeksikan mencapai triliunan dolar ini menunjukkan bahwa platform memiliki insentif ekonomi yang sangat besar untuk mempertahankan model bisnis yang bergantung pada klasifikasi kontraktor independen, yang secara signifikan meminimalkan biaya tenaga kerja dan kepatuhan regulasi.
Table II.1: Proyeksi Pertumbuhan Pasar Ekonomi Gig Global (2025–2034)
| Tahun | Ukuran Pasar Global (Miliar USD) | Compound Annual Growth Rate (CAGR) | Catatan Kunci |
| 2025 | $582.2 | N/A | Estimasi nilai saat ini [2] |
| 2028* | $903.8 | ~15.79% | Proyeksi jangka menengah |
| 2034 | $2,178.4 | 15.79% | Target proyeksi jangka panjang |
Tren Demografi dan Polarisasi Pekerja Gig
Meskipun narasi popular sering berpusat pada fleksibilitas sebagai daya tarik utama, data demografi menunjukkan polarisasi yang signifikan. Meskipun banyak yang mencari kerja gig sebagai pendapatan sampingan, banyak pula yang didorong oleh kebutuhan finansial atau ketidakstabilan pasar tenaga kerja tradisional. Pendapatan tahunan rata-rata freelancer di AS dilaporkan sebesar $108.028. Angka yang tinggi ini mengindikasikan adanya segmentasi yang tajam antara pekerja dengan keterampilan tinggi di platform daring spesialis (konsultan, programmer) yang menikmati fleksibilitas sejati dan pendapatan besar, dengan pekerja layanan lokasi (pengemudi, pengantar makanan) yang seringkali bergulat dengan upah rendah dan krisis klasifikasi.
Oleh karena itu, kebijakan regulasi tidak dapat diperlakukan secara monolitik. Harus ada pembedaan yang jelas antara perlindungan yang diperlukan bagi pekerja yang tergantung secara ekonomi (yang pekerjaannya adalah sentral bagi bisnis platform) dan insentif bagi freelancer berkeahlian tinggi yang memang mencari kemandirian dan fleksibilitas sejati.
Disrupsi Hubungan Kerja Tradisional: Krisis Klasifikasi dan Kontrol Algoritma
Kehilangan Hak dan Perlindungan Akibat Status Kontraktor Independen
Isu fundamental dalam ekonomi gig adalah misklasifikasi pekerja. Hukum ketenagakerjaan di sebagian besar negara memberikan perlindungan komprehensif kepada karyawan, yang tidak dinikmati oleh kontraktor independen (KI). Hak-hak krusial yang hilang bagi pekerja gig yang diklasifikasikan sebagai KI meliputi upah minimum, pembayaran lembur, asuransi pengangguran, kompensasi pekerja untuk cedera, kontribusi pemberi kerja untuk jaminan sosial dan program kesehatan (seperti Social Security dan Medicare di AS), serta perlindungan anti-diskriminasi.
Misklasifikasi ini menimbulkan risiko hukum yang besar bagi platform. Jika pengadilan memutuskan bahwa pekerja yang diklasifikasikan sebagai kontraktor seharusnya adalah karyawan, perusahaan dapat dikenakan sanksi berat, termasuk kewajiban membayar upah dan jam kerja yang belum dibayar, denda pajak yang signifikan, dan berpotensi menghadapi tuntutan class-action skala besar.
Klasifikasi Hukum Komparatif: Memetakan Area Abu-Abu
Meningkatnya jumlah pekerja gig telah memaksa badan internasional dan yurisdiksi nasional untuk mengakui adanya “area abu-abu” dalam hubungan kerja. Organisasi Perburuhan Internasional (ILO) mengklasifikasikan pekerja gig yang paling rentan sebagai pekerja mandiri yang bergantung (dependent self-employment).
Kebutuhan akan kategori ketiga ini diilustrasikan oleh pengamatan yudikatif di AS. Seorang hakim di San Francisco mencatat bahwa pengemudi layanan seperti Lyft tidak sepenuhnya tampak seperti karyawan tradisional (karena tidak ada pengawas konvensional), namun mereka juga tidak menyerupai kontraktor independen sejati, karena pekerjaan mereka sentral bagi bisnis platform dan tidak memerlukan keterampilan khusus atau daya tawar tinggi.
Beberapa negara telah mencoba mengisi kekosongan hukum ini. Spanyol, misalnya, mendefinisikan Trabajador Autónomo Económicamente Dependiente (TRADE), yaitu pekerja wiraswasta yang menerima setidaknya 75% dari pendapatan mereka dari satu klien. Meskipun kategori ini memberikan beberapa hak terbatas, seperti hak untuk cuti 18 hari per tahun atau afiliasi serikat pekerja, status ini tidak menjamin perlindungan penuh layaknya seorang karyawan. Kategori hukum ini merupakan pengakuan bahwa fleksibilitas yang ditawarkan oleh platform seringkali adalah “risiko yang dialihkan” kepada pekerja (menanggung biaya asuransi, waktu tunggu, ketidakpastian upah), sementara platform mempertahankan kendali atas mekanisme inti pasar.
Alat Kontrol Digital: Bagaimana Manajemen Algoritmik Mendefinisikan Hubungan Kerja
Inti dari disrupsi ini adalah bagaimana platform menggunakan teknologi digital untuk mengelola tenaga kerja mereka, sebuah praktik yang dikenal sebagai algorithmic management. Algoritma bertindak sebagai perpanjangan tangan majikan, melakukan fungsi penetapan tugas, penetapan harga (gaji), pemantauan kinerja real-time, pemberian insentif, dan bahkan otomatisasi proses pemecatan.
Penggunaan algoritma yang komprehensif ini secara signifikan mengurangi otonomi kerja yang dirasakan oleh pekerja gig dan menciptakan suasana ketidakamanan karena keputusan (seperti pemecatan) seringkali bersifat sewenang-wenang dan didasarkan pada metrik kuantitatif yang tidak transparan. Kurangnya transparansi ini, terutama mengenai bagaimana tugas dialokasikan atau mengapa tarif upah berubah, adalah masalah utama.
Dalam konteks hukum ketenagakerjaan tradisional, keberadaan kontrol dan pengawasan adalah penentu utama status karyawan. Ketika platform menggunakan algoritma untuk mengawasi dan memberikan insentif, seperti yang dikonfirmasi oleh pengadilan Jerman, algoritma tersebut secara fungsional memenuhi kriteria kontrol ketenagakerjaan. Oleh karena itu, langkah-langkah regulasi seperti Platform Work Directive (PWD) di Uni Eropa yang secara eksplisit mengatur manajemen algoritmik dan mewajibkan transparansi sangat penting. Regulasi semacam itu secara implisit mendefinisikan kontrol algoritmik sebagai bukti hubungan kerja yang cukup untuk memicu presumsi karyawan, menargetkan ketidakseimbangan kekuasaan digital.
Respon Regulasi Global: Kasus Komparatif dari Yurisdiksi Kunci
Respon global terhadap krisis klasifikasi telah menghasilkan model-model regulasi yang kontras, yang dapat dibagi menjadi model intervensi status (Eropa) dan model hibrida manfaat (AS).
Uni Eropa: Presumsi Karyawan yang Dapat Dibantah (Platform Work Directive – PWD)
Uni Eropa telah mengadopsi pendekatan paling komprehensif di dunia melalui Platform Work Directive (PWD), yang diadopsi pada akhir 2024 dan bertujuan untuk memperbaiki kondisi bagi sekitar 28 juta pekerja platform UE.
Filosofi inti PWD adalah intervensi status hukum dengan memperkenalkan presumsi hukum yang dapat dibantah (rebuttable presumption of employment). Presumsi ini dipicu jika hubungan antara platform dan pekerja memenuhi minimal dua dari lima kriteria kontrol/arah tertentu. Kriteria kontrol ini meliputi kontrol atas gaji dan jam kerja, pemantauan kinerja, alokasi tugas, kontrol atas kondisi kerja (seperti dress code), dan pembatasan organisasi kerja.
Jika presumsi ini dipicu, beban pembuktian secara kritis bergeser ke platform, yang harus menunjukkan di pengadilan atau di hadapan otoritas bahwa pekerja tersebut benar-benar wiraswasta sejati. Selain itu, PWD adalah regulasi perintis karena secara eksplisit mengatur manajemen algoritmik, menuntut transparansi, dan membatasi pemrosesan data pribadi yang sensitif. Negara-negara anggota UE diwajibkan untuk mentransposisikan langkah-langkah ini ke dalam hukum nasional mereka paling lambat Desember 2026.
Amerika Serikat: Eksperimen Model Hibrida California (Prop 22)
Di Amerika Serikat, khususnya California, responsnya mengadopsi model kompromi yang disebut hibridisasi manfaat. Proposition 22 (Prop 22), yang didukung oleh platform aplikasi besar dan dikuatkan oleh Mahkamah Agung California pada tahun 2024, mengukuhkan klasifikasi pengemudi aplikasi sebagai kontraktor independen.
Prop 22 secara eksplisit mengecualikan pengemudi aplikasi dari Uji “ABC” yang ketat, yang jika diterapkan, akan membuat platform lebih mudah dipaksa untuk mengklasifikasikan pekerja sebagai karyawan. Sebagai ganti pembebasan dari status karyawan penuh, undang-undang ini mewajibkan platform untuk menyediakan serangkaian manfaat stipulasi, seperti jaminan kompensasi minimum, subsidi perawatan kesehatan triwulanan bagi pengemudi yang memenuhi syarat, dan asuransi kecelakaan kerja. Model ini mempertahankan fleksibilitas operasional platform—misalnya, platform tidak boleh membatasi pengemudi untuk bekerja di platform lain atau pekerjaan lain.
Studi Kasus Asia dan Eropa Lain: Legislasi Ketenagakerjaan Khusus
Yurisdiksi lain berfungsi sebagai laboratorium regulasi, menciptakan preseden penting. Spanyol dengan Ley Rider (September 2021) secara eksplisit menetapkan presumsi bahwa pengemudi pengiriman adalah karyawan, memaksa platform untuk mengontrak ulang pekerja mereka. Sementara itu, di Jerman, kasus hukum penting dari Mahkamah Buruh Federal memutuskan bahwa keberadaan sistem insentif yang dikelola oleh platform mendukung status karyawan. Keputusan-keputusan pengadilan ini menunjukkan bahwa praktik operasional platform, meskipun tampak netral (seperti pemberian insentif), dapat berfungsi sebagai bukti kontrol ketenagakerjaan.
Konflik filosofis antara ‘hibridisasi manfaat’ (AS) dan ‘intervensi status’ (EU) menghadirkan tantangan harmonisasi global, memicu regulatory arbitrage di mana platform dapat memindahkan sebagian operasi mereka ke yurisdiksi dengan biaya kepatuhan terendah.
Table IV.1: Matriks Perbandingan Model Klasifikasi Pekerja Platform Internasional
| Yurisdiksi/Model | Status Hukum Dasar | Mekanisme Klasifikasi | Manfaat Kunci/Perlindungan | Sistem Kontrol (Algoritma) |
| Uni Eropa (PWD) | Presumsi Karyawan (Dapat Dibantah) | Pemicu 5 Kriteria Kontrol (Jika 2 Terpenuhi, Beban Bukti Bergeser) | Jaminan Sosial Penuh (jika klasifikasi dikonfirmasi), Hak Kolektif | Transparansi dan Batasan Eksplisit |
| California (Prop 22) | Kontraktor Independen (Dikonfirmasi) | Pengecualian dari Uji “ABC” | Jaminan Kompensasi Minimum, Subsidi Kesehatan, Asuransi Kecelakaan | Tidak Diatur (Fleksibilitas Dipertahankan) |
| Spanyol (Ley Rider) | Karyawan (Presumsi Eksplisit untuk Riders) | Hukum Ketenagakerjaan Penuh | Hak Karyawan Penuh (Cuti, Gaji Minimum) | Tidak Diatur Secara Khusus |
| Area Abu-Abu (ILO/TRADE) | Dependent Self-Employed | Menerima >75% Pendapatan dari 1 Klien | Hak Terbatas (e.g., Liburan 18 hari, Serikat Pekerja) | Tergantung yurisdiksi |
Tantangan dan Inovasi dalam Jaminan Sosial untuk Pekerja Gig
Kegagalan Model Asuransi Sosial Berbasis Pemberi Kerja Tradisional
Model jaminan sosial tradisional dibangun di atas hubungan kerja standar, yang memerlukan kontribusi reguler dan stabil dari pemberi kerja dan karyawan. Bagi pekerja gig, yang sering bekerja paruh waktu, tidak teratur, dan di berbagai platform, model ini menjadi tidak berkelanjutan. Sistem tradisional di banyak negara, seperti Malaysia, yang mencakup tabungan pensiun (EPF), asuransi cedera (SOCSO), dan asuransi pengangguran (EIS), hanya melayani pekerja formal dengan hubungan kerja standar.
Kesenjangan dalam perlindungan sosial ini memiliki konsekuensi yang jauh melampaui kerugian individu. Kurangnya akses ke perlindungan mendasar (pensiun, kesehatan, pengangguran) membuat pekerja terekspos terhadap ketidakpastian pasar, memperburuk kemiskinan dan ketidaksetaraan, serta menggerus kontrak sosial implisit. Lebih lanjut, kesenjangan ini mendistorsi pasar tenaga kerja, memberikan keuntungan kompetitif yang tidak adil bagi platform dibandingkan perusahaan tradisional yang menanggung biaya kepatuhan sosial yang penuh.
Solusi Portabilitas Manfaat (Portable Benefits): Desain, Pendanaan, dan Keterbatasan
Salah satu solusi yang paling banyak dibahas adalah sistem manfaat portabel. Manfaat portabel adalah tunjangan yang melekat pada pekerja, bukan pada majikan, dan terakumulasi saat pekerja berpindah dari satu pekerjaan atau platform ke platform lainnya. Contoh tradisional yang sukses termasuk Jaminan Sosial dan asuransi pengangguran.
Program portabel yang berhasil didanai melalui mekanisme pengumpulan kontribusi (pooled contributions) dari semua bisnis yang mempekerjakan pekerja tersebut. Konsep utama di balik manfaat portabel sejati adalah pooling risk untuk menutupi biaya besar atau keadaan darurat, seperti kehilangan pekerjaan atau kecelakaan.
Namun, korporasi besar (seperti Uber dan Lyft) dituduh telah menggunakan istilah “manfaat portabel” untuk skema korporat yang sebenarnya hanya berupa stipen atau rekening tabungan kelas dua. Skema ini seringkali tidak bersifat portabel sejati dan tidak berbasis pada asuransi dan pengumpulan risiko. Untuk menjadi solusi yang efektif, pembuat kebijakan harus memperkuat dan memperluas sistem manfaat portabel berbasis asuransi yang diamanatkan pemerintah, bukan melegitimasi skema yang didominasi korporasi.
Skema Sukarela dan Hambatan Partisipasi Pekerja
Upaya untuk mengatasi kesenjangan jaminan sosial melalui skema sukarela menunjukkan hasil yang mengkhawatirkan. Dalam kasus Malaysia, skema sukarela untuk tabungan pensiun (i-Saraan) dan asuransi cedera kerja (SESSS) menunjukkan tingkat partisipasi yang sangat rendah di kalangan pekerja wiraswasta (masing-masing hanya 10.7% dan 16.4%).
Tingkat partisipasi yang rendah ini menegaskan kelemahan model yang mengandalkan kemauan dan kemampuan finansial individual. Ketika pendapatan pekerja tidak stabil dan seringkali rendah, mereka cenderung memprioritaskan kebutuhan mendesak (makanan, sewa) daripada tabungan atau asuransi jangka panjang. Hal ini menunjukkan bahwa strategi perlindungan yang mengandalkan keputusan individual gagal. Untuk memastikan jaring pengaman yang efektif bagi pekerja yang rentan, jaminan sosial harus bersifat wajib atau universal, didanai oleh industri melalui mekanisme kontribusi yang mudah dikelola.
Pemberdayaan Pekerja dan Masa Depan Aksi Kolektif
Strategi Pengorganisasian Digital dan Pembentukan Serikat Pekerja Baru
Pekerja gig menghadapi tantangan pengorganisasian yang unik karena isolasi yang diakibatkan oleh penugasan tugas individual dan persaingan yang didorong oleh algoritma. Sebagai respons, serikat pekerja dan kelompok terorganisir telah menggunakan alat pengorganisasian digital, litigasi strategis, dan mobilisasi terkoordinasi untuk membangun kolektivitas.
Pembentukan serikat pekerja baru yang independen, seperti Independent Workers Union of Great Britain (IWGB) di Inggris, adalah contoh upaya untuk mengatur pekerja non-tradisional dan berupah rendah. Organisasi-organisasi ini membuka keanggotaan untuk “semua karyawan, pekerja, dan orang lain,” meskipun mereka sering beroperasi sebagai serikat minoritas tanpa perlindungan perundingan kolektif tradisional.
Peran Litigasi Strategis dan Perundingan Kolektif
Litigasi strategis telah memainkan peran penting dalam menetapkan preseden hukum (misalnya di Jerman) dan menggalang solidaritas di antara pekerja. Namun, aksi kolektif menghadapi hambatan hukum yang mendalam. Karena pekerja gig diklasifikasikan sebagai kontraktor independen/wiraswasta, mereka secara hukum dilarang untuk berunding kolektif mengenai upah karena hal itu dapat dianggap sebagai kolusi harga berdasarkan undang-undang anti-trust.
Uni Eropa telah mengakui dilema ini dan tengah membahas cara-cara untuk mengizinkan perundingan kolektif bagi pekerja platform yang wiraswasta. Keberhasilan inisiatif seperti PWD dalam mengatur algoritma sangat penting, karena ini memperkuat kemampuan kolektif pekerja dengan memberikan transparansi yang diperlukan untuk menantang keputusan otomatis yang merugikan.
Model Alternatif: Potensi Koperasi Platform Milik Pekerja
Koperasi platform milik pekerja (worker-owned platform cooperatives) menawarkan solusi struktural untuk menyeimbangkan dinamika kekuasaan dan membalikkan pola eksploitasi yang melekat pada model platform dominan. Dengan memiliki platform, pekerja tidak hanya mendapatkan hak tata kelola tetapi juga berbagi keuntungan dan memiliki kontrol atas data yang dihasilkan.
Model ini memberikan keuntungan ganda: ia menciptakan “basis umum” bagi pekerja untuk terhubung dan mengatasi isolasi sosial, dan secara inheren mengatasi tantangan jaminan sosial dengan memungkinkan pooling sumber daya dan keuntungan yang didistribusikan kembali kepada anggota. Ini menyajikan alternatif yang lebih radikal dan berkelanjutan terhadap skema manfaat portabel yang diusulkan dan didominasi oleh korporasi. Solusi untuk krisis ekonomi gig harus menggabungkan elemen hukum (klasifikasi yang adil) dengan elemen ekonomi (kepemilikan dan distribusi kekayaan).
Kesimpulan
Ekonomi gig global mewakili transformasi ketenagakerjaan yang bersifat permanen, ditandai dengan pertumbuhan finansial yang eksponensial dan polarisasi pengalaman kerja. Pasar digital yang diproyeksikan bernilai triliunan dolar menuntut kerangka kerja regulasi global yang adaptif.
Analisis menunjukkan bahwa perdebatan kunci berpusat pada konflik filosofis antara upaya Eropa untuk mengintervensi dan memperbaiki status hukum pekerja (melalui PWD dan Ley Rider) dan pendekatan hibrida AS yang mencoba menyediakan manfaat tertentu tanpa mengubah status kontraktor independen (Prop 22). Keberlanjutan Prop 22, yang mengecualikan pengemudi dari tes “ABC” yang ketat, akan terus diuji terhadap standar perlindungan tenaga kerja. Sementara itu, implementasi PWD di Eropa, dengan fokusnya pada pergeseran beban pembuktian dan regulasi manajemen algoritmik, kemungkinan akan menetapkan standar internasional baru untuk decent work di ruang digital.
Krisis jaminan sosial bagi pekerja gig menegaskan kelemahan model perlindungan sukarela; strategi yang bergantung pada kemauan individual tidak dapat berhasil ketika pendapatan tidak stabil. Oleh karena itu, agenda kebijakan masa depan harus berfokus pada tiga pilar:
- Klasifikasi Realistis: Mendorong harmonisasi global untuk mengakui dan melindungi pekerja dalam kategori pekerja mandiri yang bergantung.
- Manfaat Wajib dan Portabel: Mengamanatkan sistem manfaat portabel sejati, yang didanai melalui kontribusi industri wajib dan berbasis asuransi, bukan stipen diskresioner korporat.
- Transparansi Algoritma dan Hak Kolektif: Menggunakan regulasi teknologi (seperti PWD) untuk mengatasi ketidakseimbangan kekuasaan digital dan membuka jalan bagi hak perundingan kolektif bagi semua pekerja, terlepas dari klasifikasi formal mereka.
Hanya melalui intervensi regulasi yang fleksibel, tetapi wajib, masyarakat dapat memastikan bahwa inovasi digital yang mendasari ekonomi gig berkontribusi pada penciptaan Kerja Layak dan memperkuat, alih-alih merusak, jaring pengaman sosial global.
