Penyakit Tidak Menular sebagai Ancaman Pembangunan Global

Penyakit Tidak Menular (PTM), yang mencakup Penyakit Kardiovaskular (PJK), kanker, diabetes, dan penyakit pernapasan kronis, kini mewakili tantangan kesehatan masyarakat dan pembangunan ekonomi terbesar di abad ke-21. Skala krisis ini bersifat global dan mendesak. Data menunjukkan bahwa PTM bertanggung jawab atas kematian lebih dari 43 juta orang pada tahun 2021, angka yang setara dengan tiga perempat (75%) dari semua kematian non-pandemi secara global.

Yang sangat mengkhawatirkan adalah beban mortalitas PTM yang sangat terkonsentrasi di Negara Berpenghasilan Rendah dan Menengah (LMICs). Hampir tiga perempat, atau 73%, dari seluruh kematian Penyakit Tidak Menular global terjadi di LMICs. Dampak yang paling merusak terletak pada kematian prematur—kematian yang terjadi sebelum usia 70 tahun. Sekitar 18 juta orang meninggal karena Penyakit Tidak Menular secara prematur pada tahun 2021, dan 82% dari kematian dini ini terjadi di LMICs. Tingginya persentase kematian prematur di negara-negara ini secara langsung menunjukkan hilangnya modal manusia dan tenaga kerja produktif, yang berfungsi sebagai rem terhadap pertumbuhan ekonomi dan pembangunan. Hal ini menjadikan krisis PTM di LMICs bukan sekadar masalah kesehatan, melainkan krisis ketahanan ekonomi jangka panjang.

Penyakit Tidak Menular Utama (CVD, Kanker, Diabetes) di LMICs

Empat kelompok PTM utama—penyakit kardiovaskular, kanker, penyakit pernapasan kronis, dan diabetes—menyumbang 80% dari semua kematian PTM prematur. Penyakit Kardiovaskular (CVD/penyakit jantung) merupakan penyebab kematian PTM tertinggi, dengan lebih dari 19 juta kematian secara global pada tahun 2021, diikuti oleh kanker yang menyebabkan 10 juta kematian, dan diabetes (termasuk penyakit ginjal yang disebabkan oleh diabetes) yang menyebabkan lebih dari 2 juta kematian.

Penyakit-penyakit ini memiliki durasi yang panjang dan muncul dari kombinasi faktor genetik, fisiologis, lingkungan, dan perilaku. Faktor risiko perilaku yang dapat dimodifikasi seperti diet tidak sehat, kurangnya aktivitas fisik, paparan asap tembakau, dan penggunaan alkohol adalah pendorong utama.

Tabel 1 menyajikan kuantifikasi beban yang tidak proporsional ini:

Beban Kematian Penyakit Tidak Menular Global dan Konsentrasi di LMICs (Data 2021)

Kategori Mortalitas Angka Global (Juta Kematian) Persentase Kematian di LMICs Implikasi Kunci
Kematian Penyakit Tidak Menular Total >43.0 73% PTM adalah ancaman kesehatan mayoritas global.
Kematian Penyakit Tidak Menular Prematur (<70 tahun) 18.0 82% Kerugian modal manusia terbesar terjadi pada usia produktif di LMICs.
Penyakit Kardiovaskular (CVD) >19.0 N/A (Tinggi, >75% estimasi) Penyebab kematian PTM tertinggi, didorong oleh risiko metabolik (darah tinggi, kolesterol).
Kanker 10.0 N/A (Tinggi) Infeksi kronis, Tembakau, dan akses diagnosis/pengobatan yang rendah di LMICs memperburuk kasus.
Diabetes (termasuk penyakit ginjal) >2.0 N/A (Tinggi) Meningkatkan kerentanan terhadap PM (e.g., TBC), memperparah beban ganda.

Transisi Epidemiologi dan Kompleksitas Beban Ganda

Transisi Klasik dan Pergeseran Pola Penyakit

Negara berkembang mengalami transisi epidemiologi yang ditandai dengan pergeseran pola penyakit dari dominasi penyakit menular (PM) ke Penyakit Tidak Menular. Fenomena ini telah terjadi secara dramatis di banyak LMICs, termasuk Indonesia. Misalnya, pada tahun 1980, kematian akibat PM masih sangat tinggi (69.49%), sementara Penyakit Tidak Menular hanya menyumbang 25.4% dari total kematian. Namun, dalam waktu dua dekade, terjadi pergeseran tajam: pada tahun 2001, kematian Penyakit Tidak Menular mencapai 48.5%, hampir menyamai kematian PM (44.57%). Tren ini terus berlanjut, hingga pada tahun 2014, angka kematian akibat Penyakit Tidak Menular di Indonesia telah mencapai 71%.

Pergeseran ini mengarah pada definisi Beban Ganda Penyakit (Dual Burden of Disease). LMICs saat ini menghadapi tantangan ganda: sistem kesehatan mereka masih berjuang memerangi penyakit menular yang persisten, sementara pada saat yang sama, mereka harus mengatasi lonjakan epidemi Penyakit Tidak Menular yang memerlukan perawatan kronis dan jangka panjang.

Selain tantangan alokasi sumber daya untuk dua jenis penyakit yang berbeda ini, terdapat kompleksitas yang lebih dalam yang berasal dari sinergi risiko biologis dan lingkungan. Penyakit Tidak Menular tidak hanya terjadi secara paralel dengan PM, tetapi dapat saling memperburuk. Penyakit Tidak Menular, yang sering dianggap sebagai ‘risiko baru’, dapat meningkatkan kerentanan individu terhadap penyakit menular atau ‘risiko lama’. Sebagai contoh, pasien diabetes terbukti memiliki kerentanan yang lebih tinggi terhadap infeksi seperti TBC. Demikian pula, paparan polusi udara rumah tangga—sebuah risiko lama yang terkait dengan kemiskinan—dapat menyebabkan infeksi saluran pernapasan berulang. Ketika hal ini dikombinasikan dengan perilaku merokok (risiko baru), risiko penyakit pernapasan kronis seperti PPOK (Penyakit Paru Obstruktif Kronis) akan meningkat secara signifikan. Hubungan timbal balik ini menuntut bahwa manajemen PTM (misalnya, pengendalian diabetes) harus diakomodasi sebagai bagian integral dari strategi pengendalian penyakit menular, menunjukkan perlunya pendekatan kesehatan masyarakat yang terintegrasi.

Kegagalan Sistem dalam Menghadapi Multimorbiditas

Meskipun beban Penyakit Tidak Menular meningkat secara eksponensial, banyak sistem kesehatan nasional di LMICs, seperti Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) di Indonesia, belum sepenuhnya beradaptasi dengan sifat kronis Penyakit Tidak Menular dan masalah multimorbiditas (kehadiran dua atau lebih kondisi kronis pada satu pasien). Sistem ini masih dicirikan oleh dominasi pendekatan kuratif, yang terbukti mahal dan tidak berkelanjutan dalam jangka panjang.

Transisi epidemiologi secara sistemik meningkatkan biaya perawatan jangka panjang, memperlebar kesenjangan akses, dan memperburuk ketidaksetaraan sosial dan ekonomi. Meskipun program JKN telah meningkatkan cakupan, hambatan struktural seperti masalah geografis, sosial, rujukan berjenjang yang kompleks, dan terbatasnya kapasitas layanan spesialis masih menghalangi pasien untuk mendapatkan diagnosis dan pengobatan tepat waktu.

Pengalaman global telah menunjukkan bahwa cakupan asuransi kesehatan yang luas, betapapun pentingnya, hanya mampu memberikan perlindungan terbatas dan tidak berkelanjutan jika tidak disertai dengan transformasi fundamental sistem layanan. Transformasi ini harus berorientasi pada penguatan pencegahan dan layanan primer yang terintegrasi untuk mengelola kondisi kronis sebelum mencapai tahap akut yang mahal.

Determinan Sosial dan Lingkungan: Peran Urbanisasi dan Gaya Hidup

Penyakit Tidak Menular tidak hanya didorong oleh pilihan individu, tetapi dipicu oleh perubahan struktural yang kompleks dalam masyarakat, terutama di LMICs yang sedang mengalami modernisasi cepat.

Urbanisasi dan Transisi Gaya Hidup

Perkembangan dari negara agraris menjadi negara industri—seperti yang terjadi di Indonesia—secara inheren mengubah pola penyakit di masyarakat. Peningkatan Penyakit Tidak Menular didorong oleh perubahan gaya hidup, pola fertilitas, dan status sosial ekonomi. Urbanisasi dari negara berkembang berpenghasilan menengah hingga rendah adalah faktor demografi utama di balik peningkatan insiden Penyakit Tidak Menular seperti hipertensi.

Urbanisasi sering kali menghasilkan kondisi yang kondusif bagi perilaku berisiko. Gaya hidup perkotaan cenderung mempromosikan pola hidup sedentari atau kurangnya aktivitas fisik, yang merupakan pemicu utama PTM, bersama dengan konsumsi makanan yang tidak sehat.

Perubahan Pola Makan: Westernisasi dan Gizi Berlebih

Perubahan pola makan yang menyertai urbanisasi sering disebut sebagai westernisasi, yaitu proses adopsi kebiasaan yang mencakup konsumsi makanan yang sarat Gula, Garam, dan Lemak (GGL) berlebihan, seringkali dalam bentuk Makanan Ultra-Proses (Ultra-Processed Foods/UPFs).

LMICs menghadapi beban ganda gizi (dual burden of malnutrition), di mana kekurangan gizi (undernutrition) dapat terjadi bersamaan dengan PTM terkait kelebihan gizi (over-nutrition). Artinya, individu yang mungkin rentan terhadap malnutrisi di awal kehidupan dapat beralih ke obesitas dan penyakit metabolik di masa dewasa karena terpapar diet rendah kualitas di lingkungan perkotaan.

Untuk mengendalikan epidemi diet ini, intervensi kebijakan sangat diperlukan. Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) telah menyediakan panduan spesifik mengenai batas aman konsumsi gula, garam, dan lemak harian untuk mencegah penyakit kronis. Pemerintah perlu memperkuat upaya pengendalian GGL, termasuk melalui sosialisasi dan regulasi yang menargetkan sektor informal (misalnya, UMKM) yang berperan besar dalam penyediaan makanan di masyarakat.

Lingkungan Binaan dan Polusi

Urbanisasi yang cepat tanpa perencanaan yang memadai menciptakan lingkungan binaan yang secara sistemik mendorong PTM. Pertumbuhan kota yang cepat sering menyebabkan perkembangan tanpa arah (urban sprawl) dan terbentuknya “kantong-kantong” permukiman kumuh, padat, dan miskin. Kondisi ini tidak hanya rentan terhadap degradasi lingkungan tetapi juga menciptakan urban disaster dalam jangka panjang, ditandai dengan menurunnya kualitas hidup fisik, ekonomi, dan sosial budaya.

Dalam konteks PTM, tata ruang yang buruk, khususnya kurangnya Ruang Terbuka Hijau (RTH) di pusat-pusat kota , secara sistematis membatasi peluang bagi penduduk untuk melakukan aktivitas fisik yang memadai. Selain itu, polusi udara yang parah di lingkungan perkotaan industri adalah faktor risiko lingkungan yang signifikan. Paparan polusi udara dapat dikombinasikan dengan faktor risiko lain, seperti merokok, untuk memicu atau memperburuk Penyakit Tidak Menular pernapasan kronis.

Hal ini menunjukkan bahwa Penyakit Tidak Menular adalah konsekuensi dari kegagalan tata ruang dan kebijakan lingkungan. Lingkungan binaan yang buruk—kurangnya RTH, tingginya kepadatan, dan polusi yang persisten—secara tidak langsung memaksa penduduk untuk mengadopsi gaya hidup yang tidak sehat (sedentari, paparan polusi), yang memerlukan intervensi kebijakan yang melampaui sektor kesehatan, termasuk tata ruang dan regulasi emisi.

Determinan Komersial: Pemasaran Produk Berbahaya

Penyakit Tidak Menular tidak dapat ditangani tanpa menghadapi industri yang memproduksi dan memasarkan produk yang diketahui merusak kesehatan, seperti tembakau dan makanan ultra-proses.

Agresi Industri Tembakau dan Taktik Pemasaran

Industri tembakau di LMICs menggunakan taktik yang canggih untuk mempertahankan basis konsumen dan menjerat generasi muda. Strategi utama mereka adalah menentang pelarangan menyeluruh terhadap Iklan, Promosi, dan Sponsorship (TAPS) tembakau. Tujuannya adalah memastikan selalu ada celah yang memungkinkan pemasaran berkelanjutan melalui promosi yang ditargetkan atau penjualan di tempat penjualan.

Lebih lanjut, industri rokok memanfaatkan saluran-saluran informal untuk memanipulasi harga. Bukti menunjukkan bahwa praktik permainan harga ini bertujuan menjaga produk tetap terjangkau oleh konsumen yang sensitif terhadap harga, khususnya anak muda, untuk memastikan keuntungan jangka panjang dan mempertahankan pangsa pasar. Industri tembakau juga menggunakan kegiatan Tanggung Jawab Sosial Perusahaan (CSR) sebagai sarana untuk mendapatkan akses dan memengaruhi pembuat kebijakan, seringkali mendorong regulasi yang lemah atau regulasi mandiri yang tidak efektif.

Regulasi Tembakau dan Cukai yang Bermasalah

Di banyak LMICs, kebijakan fiskal tembakau, seperti Cukai Hasil Tembakau (CHT), memiliki tujuan ganda: mengoptimalkan penerimaan negara dan menekan konsumsi. Namun, efektivitas kebijakan ini sering terhambat oleh kebijakan internal yang saling bertentangan.

Dana Bagi Hasil CHT (DBH CHT), yang seharusnya digunakan untuk tujuan kesehatan publik dan pengendalian, seringkali dialihkan untuk meningkatkan produktivitas industri hasil tembakau itu sendiri. Konflik kepentingan ini secara signifikan melemahkan tujuan kesehatan publik dari pajak tersebut dan menunjukkan adanya misalignment kebijakan di tingkat pemerintahan.

Selain itu, intervensi regulasi yang terbukti efektif, seperti implementasi kemasan polos (plain packaging) produk tembakau—sebuah kebijakan yang penting di LMICs di mana beban penyakit dan kematian tembakau paling tinggi —menghadapi resistensi kuat dan gugatan hukum. Untuk mengurangi konsumsi secara efektif, pemerintah perlu mengadopsi instrumen kebijakan yang kuat dan menindaklanjuti dengan pelarangan iklan rokok yang komprehensif, termasuk di platform digital dan media sosial.

Regulasi Pemasaran Makanan Olahan

Sama halnya dengan tembakau, pengendalian Penyakit Tidak Menular menuntut kebijakan yang kuat terhadap produk makanan olahan yang tinggi GGL. Pemerintah harus memperkuat kebijakan pengendalian GGL untuk menekan PTM. Penerapan pajak fiskal, seperti pajak minuman manis (Sugar-Sweetened Beverage/SSB tax), muncul sebagai strategi kebijakan yang terbukti dapat mengatasi konsumsi gula berlebih. Pengalaman di negara-negara yang telah mengadopsi pajak ini, seperti Meksiko, memberikan bukti bahwa kebijakan fiskal dapat menjadi alat kesehatan masyarakat yang efektif.

Beban Ekonomi Makro dan Mikro Penyakit Tidak Menular PTM membebani perekonomian LMICs dengan biaya yang jauh melampaui sektor kesehatan. Analisis menunjukkan bahwa PTM adalah ancaman serius terhadap stabilitas fiskal dan tujuan pengentasan kemiskinan.

Kerugian Ekonomi Makro yang Katastropik

PTM menimbulkan beban ekonomi yang sangat besar di tingkat makro. Sebagai studi kasus, sebuah laporan World Economic Forum menunjukkan bahwa Indonesia menghadapi potensi kerugian total sebesar $4.47 triliun antara tahun 2012 hingga 2030 akibat PTM, termasuk penyakit jantung, kanker, dan diabetes. Beban ini didorong oleh peningkatan tajam kasus Penyakit Tidak Menular; sebagai contoh, kasus diabetes di Indonesia diperkirakan akan meningkat hampir dua kali lipat pada tahun 2030.

Mekanisme kerugian ini bersifat ganda: pertama, melalui peningkatan drastis biaya perawatan kesehatan (termasuk JKN) , dan kedua, melalui hilangnya produktivitas tenaga kerja. Penyakit Tidak Menular menyebabkan individu sakit, cacat, atau meninggal secara prematur, yang secara signifikan menghambat pertumbuhan ekonomi.

Lingkaran Setan Penyakit Tidak Menular dan Kemiskinan (Poverty Trap)

Di tingkat rumah tangga, PTM adalah pendorong kemiskinan yang kuat. Penyakit-penyakit ini dapat menyebabkan biaya pengobatan katastropik (biaya yang sangat besar) dan pengeluaran out-of-pocket yang tinggi, yang menjebak keluarga dalam “lingkaran setan kemiskinan”.

Biaya perawatan PTM terbukti menghabiskan sumber daya rumah tangga secara tidak proporsional. Biaya perawatan Penyakit Tidak Menular dapat menghabiskan hingga seluruh belanja rumah tangga berpendapatan rendah, dan sekitar sepertiga dari total belanja rumah tangga berpendapatan menengah di Indonesia. Misalnya, biaya rata-rata terapi PPOK dapat mencapai USD 1.125 (sekitar Rp 16 juta) per orang per tahun, dan pasien sering kehilangan pendapatan signifikan karena cuti sakit (hingga dua bulan per tahun). Mengingat mayoritas penduduk LMICs hidup di sekitar atau di bawah garis kemiskinan, pengeluaran kesehatan katastropik semacam ini dapat mendorong mereka kembali ke dalam kemiskinan.

Kondisi ini menimbulkan pemahaman bahwa kesadaran akan hidup sehat dan pemenuhan gizi terbaik hanya dapat terbangun bila kekuatan ekonomi masyarakat terpenuhi. Oleh karena itu, intervensi ekonomi, seperti program yang mengangkat UMKM dan meningkatkan status ekonomi masyarakat, merupakan bagian penting dari strategi kesehatan masyarakat untuk memutus lingkaran setan kemiskinan- Penyakit Tidak Menular. Pencegahan Penyakit Tidak Menular adalah prasyarat fundamental untuk mencapai Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (SDG Target 3.4), yang menargetkan pengurangan kematian prematur Penyakit Tidak Menular sebesar sepertiga pada tahun 2030.

Strategi Intervensi Prioritas dan Imperatif Kebijakan

Untuk mengatasi krisis PTM di LMICs, diperlukan pergeseran paradigma dari manajemen penyakit reaktif ke strategi preventif yang proaktif dan didukung secara finansial.

Reformasi Sistem Kesehatan: Dari Kuratif ke Preventif

Penanggulangan Penyakit Tidak Menular harus diprioritaskan pada aspek promotif dan preventif, tanpa mengabaikan kebutuhan kuratif, rehabilitatif, dan paliatif. Reformasi sistem pembiayaan kesehatan harus diarahkan pada integrasi layanan primer dan penguatan pencegahan.

Bukti global menunjukkan bahwa intervensi pencegahan PTM adalah strategi ekonomi yang paling cerdas, menawarkan Return on Investment (ROI) yang luar biasa tinggi. Analisis investasi untuk intervensi PTM menunjukkan potensi pengembalian investasi antara 90% hingga 3700%. World Economic Forum merekomendasikan intervensi berikut yang terbukti memberikan hasil kesehatan yang menjanjikan serta keuntungan ekonomi, khususnya di negara berkembang :

Tabel 2: Intervensi Penyakit Tidak Menular Prioritas dengan Return on Investment (ROI) Tinggi

Kategori Intervensi Fokus Kebijakan Utama Perkiraan ROI (Jangkauan) Dampak Ekonomi/Kesehatan
Pencegahan Jantung & Stroke Skrining dini dan peningkatan akses obat esensial (misalnya, untuk Hipertensi) 90% – 3700% Mencegah kejadian akut dan kematian prematur.
Kebijakan Fiskal Tembakau Cukai progresif dan regulasi penggunaan tembakau Tinggi (Terbukti memberikan keuntungan ekonomi) Mengurangi konsumsi, terutama pada kaum muda, dan menghasilkan dana kesehatan.
Regulasi Diet Hibah/Regulasi komposisi minyak sehat untuk makanan di luar rumah (mengurangi lemak jenuh) N/A (Tinggi, bagian dari 90%-3700% jangkauan) Mengatasi determinan pola makan di lingkungan perkotaan.
Gizi Awal Kehidupan Memerangi gizi buruk di awal kehidupan dan mendukung kehamilan yang sehat N/A (Fundamental) Memutus siklus malnutrisi ganda dan mempersiapkan kesehatan jangka panjang.
Lingkungan Mengurangi polusi udara N/A (Fundamental) Mengurangi risiko penyakit pernapasan kronis dan penyakit terkait lingkungan binaan.

Pemanfaatan Teknologi Kesehatan Digital (Digital Health)

PTM memerlukan pemantauan rutin dan manajemen berkelanjutan. Untuk mengatasi hambatan akses geografis, sosial, dan ekonomi yang umum terjadi di LMICs , pemanfaatan teknologi kesehatan digital menjadi sangat mendesak.

WHO dan ITU melaporkan bahwa investasi tambahan yang sangat kecil, hanya sebesar US$0.24 per pasien per tahun, untuk intervensi digital (seperti telemedicine, pesan seluler, dan chatbot) dapat menyelamatkan lebih dari 2 juta jiwa dari PTM dan mencegah sekitar 7 juta kejadian akut/rawat inap selama dekade berikutnya. Teknologi digital memungkinkan penyediaan data waktu nyata bagi profesional kesehatan untuk pengambilan keputusan yang lebih baik dan membantu pasien mengatasi hambatan akses layanan. Hal ini memperkuat argumentasi bahwa masa depan kesehatan adalah digital, dan investasi di sektor ini menjanjikan pengembalian ekonomi dan kesehatan yang substansial.

Penguatan Kebijakan Fiskal dan Regulasi

Pengendalian PTM harus melibatkan keberanian politik untuk melawan determinan komersial yang kuat.

  1. Kebijakan Fiskal Ganda:Penerapan pajak yang menaikkan harga produk berbahaya (seperti cukai tembakau yang progresif dan pajak minuman manis) secara paralel harus dilakukan untuk menekan permintaan dan menghasilkan pendapatan yang dapat dialokasikan kembali ke program pencegahan PTM.
  2. Larangan Pemasaran Komprehensif:Regulasi harus diperketat untuk menerapkan larangan total pada Iklan, Promosi, dan Sponsorship (TAPS) produk tembakau, termasuk pelarangan iklan rokok di media sosial. Selain itu, menutup celah pemasaran di tempat penjualan (misalnya, larangan pemajangan produk) sangat penting untuk mencegah keterjangkitan kaum muda.
  3. Kebijakan Lingkungan Pro-Kesehatan:Kebijakan tata ruang harus diintervensi untuk mewajibkan penyediaan Ruang Terbuka Hijau (RTH) yang memadai di perkotaan. RTH berfungsi sebagai ruang untuk aktivitas fisik dan alat untuk mitigasi polusi udara, yang keduanya merupakan faktor risiko utama PTM.

Kesimpulan

Gelombang penyakit kronis global yang melanda Negara Berpenghasilan Rendah dan Menengah adalah krisis pembangunan yang kompleks, didorong oleh interaksi berbahaya antara transisi epidemiologi, urbanisasi yang tidak terencana, agresi komersial, dan sistem kesehatan yang berorientasi pada kuratif. LMICs menghadapi beban ganda di mana penyakit baru (PTM) memperburuk penyakit lama (PM), menciptakan tantangan multimorbiditas yang menguras sumber daya dan menjebak rumah tangga dalam kemiskinan.

Untuk memenuhi target SDG 3.4—mengurangi kematian prematur PTM sebesar sepertiga pada tahun 2030—tiga pilar aksi strategis harus diprioritaskan:

  1. Reformasi Sistem Jangka Panjang:Perlu dilakukan pergeseran radikal dari fokus kuratif yang didominasi oleh rumah sakit dan layanan spesialis menuju penguatan pencegahan dan layanan primer yang terintegrasi, yang mampu menangani manajemen kronis dan multimorbiditas secara berkelanjutan.
  2. Intervensi Determinan Hulu (Upstream):Kebijakan harus mengatasi determinan sosial dan lingkungan PTM. Ini berarti mengatasi tata ruang perkotaan, menjamin ketersediaan Ruang Terbuka Hijau, dan mengendalikan polusi udara.
  3. Pengendalian Determinan Komersial yang Tegas:Pemerintah harus menunjukkan keberanian politik untuk menerapkan kebijakan fiskal yang kuat (cukai tembakau progresif, pajak minuman manis) dan regulasi pemasaran yang komprehensif (larangan TAPS total dan kemasan polos). Penting untuk menghilangkan konflik kepentingan yang terjadi ketika dana cukai tembakau digunakan untuk mendukung industri yang menjadi sumber penyakit.

Sebagai penutup, bukti ekonomi sangat jelas: memerangi PTM melalui pencegahan bukan hanya keharusan moral atau kesehatan, tetapi merupakan strategi ekonomi yang cerdas dan berkelanjutan. Investasi dalam intervensi PTM yang terbukti efektif menghasilkan pengembalian yang luar biasa tinggi (hingga 3700%), jauh lebih menguntungkan daripada menanggung biaya katastropik dan hilangnya produktivitas triliunan dolar yang ditimbulkan oleh penyakit kronis di LMICs. Kegagalan untuk berinvestasi dalam pencegahan PTM saat ini akan menjamin instabilitas fiskal dan melemahkan perlindungan kesehatan nasional di masa depan.

 

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

97 − = 91
Powered by MathCaptcha