Konteks Global dan Kerangka Kerja WHO: Jalur Transmisi Dampak Perubahan Iklim terhadap Kesehatan

Perubahan iklim (PI) telah diakui sebagai tantangan global yang berpotensi serius, mengancam penghidupan manusia dan stabilitas berbagai aspek kehidupan. PI tidak hanya menciptakan risiko kesehatan yang baru, tetapi juga memperburuk beban penyakit yang sudah ada, termasuk malnutrisi, penyakit diare, dan penyakit menular. Dampak negatif dan risiko PI terhadap kesehatan dipandang sebagai isu yang dapat membalikkan kemajuan yang telah dicapai selama puluhan tahun di bidang pembangunan global.

Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) mengidentifikasi bahwa PI memengaruhi kesehatan melalui dua jalur transmisi utama: langsung dan tidak langsung. Dampak langsung mencakup paparan fisik terhadap anomali cuaca, seperti peningkatan suhu ekstrem dan frekuensi kejadian cuaca ekstrem (misalnya, banjir, kekeringan, kenaikan muka air laut) yang dapat menyebabkan kesakitan bahkan kematian. Sementara itu, dampak tidak langsung bekerja melalui perubahan pada determinan lingkungan, yang mencakup penurunan kualitas air, udara, dan makanan, penipisan lapisan ozon, degradasi lahan, dan kehilangan fungsi ekosistem.

Menghadapi kompleksitas ini, sektor kesehatan harus mengadopsi peran transformatif untuk mendorong pendekatan yang berkelanjutan dan adil. Strategi Global WHO tentang Kesehatan, Lingkungan dan Perubahan Iklim menekankan pentingnya pencegahan primer, yaitu meningkatkan aksi pada determinan kesehatan untuk perlindungan dan peningkatan kesehatan masyarakat, sejalan dengan Agenda 2030 untuk Pembangunan Berkelanjutan.

Status dan Komitmen Adaptasi Kesehatan Nasional

Indonesia, sebagai negara kepulauan yang terletak di wilayah tropis, sangat rentan terhadap dampak PI, termasuk gelombang panas, kekeringan, dan kenaikan permukaan air laut. Dampak kesehatan dari PI tidak dirasakan secara merata; populasi rentan, seperti masyarakat miskin di pedesaan, perkotaan kumuh, penduduk pulau kecil, dan masyarakat pesisir, cenderung paling terpukul. Hal ini diperparah di wilayah di mana sistem kesehatan yang ada masih lemah dan memiliki kapasitas adaptasi yang rendah.

Secara nasional, Indonesia telah menunjukkan komitmen untuk mengatasi ancaman ini, baik melalui target mitigasi (pengurangan emisi Gas Rumah Kaca atau NDC) maupun melalui adopsi strategi adaptasi kesehatan nasional yang merujuk pada panduan WHO. Di tingkat regional, negara-negara anggota WHO Kawasan Asia Tenggara telah mengesahkan Deklarasi Malé pada tahun 2017. Deklarasi ini mengikat negara-negara untuk membangun sistem kesehatan yang tangguh, yang memiliki kemampuan untuk mengantisipasi, merespons, mengatasi, memulihkan, dan beradaptasi terhadap berbagai guncangan dan tekanan terkait iklim.

Dampak Peningkatan Suhu dan Perubahan Pola Cuaca terhadap Epidemiologi Penyakit

Penyakit Tular Vektor (VBD): Mekanisme Akselerasi Transmisi

Pengaruh Suhu pada Periode Inkubasi Ekstrinsik (EIP) Patogen

Peningkatan suhu global memainkan peran kunci dalam mempercepat siklus hidup patogen yang ditularkan oleh vektor, seperti virus Dengue, Zika, atau Malaria, di dalam tubuh nyamuk. Proses ini disebut Periode Inkubasi Ekstrinsik (EIP). EIP adalah waktu yang diperlukan virus untuk bereplikasi dan menyebar dari usus nyamuk ke kelenjar ludah, menjadikannya infektif. Peningkatan suhu secara eksponensial mempersingkat EIP ini, yang berarti nyamuk dapat menularkan penyakit lebih cepat dan sering.

Data eksperimental yang menganalisis transmisi Virus Zika (ZIKV) oleh nyamuk Aedes aegypti pada suhu bervariasi menunjukkan hubungan yang signifikan. Analisis regresi menunjukkan bahwa probabilitas transmisi dipengaruhi secara kuat oleh Suhu (T), Hari Pasca Makan Darah (DPF), dan, yang paling penting, interaksi sinergis antara DPF dan T.

Tabel II.1: Analisis Korelasi Suhu dan Efisiensi Transmisi Virus (Sintesis Data Eksperimental ZIKV/Aedes)

Variabel Bioklimatik Koefisien (95% CI) P-value Implikasi Epidemiologis Kunci
Suhu (Temperature, ∘C) 0.378(0.24,0.53) <0.001 Peningkatan suhu secara langsung mempercepat replikasi patogen, meningkatkan risiko harian.
Hari Pasca Makan (DPF) 0.299(0.22,0.39) <0.001 Memperhatikan umur nyamuk adalah penting karena efisiensi penularan meningkat seiring waktu.
Interaksi DPF x Suhu 0.027(0.01,0.05) 0.002 Efek akselerasi ganda: Suhu tinggi mempercepat EIP yang dikombinasikan dengan nyamuk yang hidup lebih lama.

Data ini menunjukkan bahwa ketika suhu meningkat, waktu yang dibutuhkan untuk transmisi berkurang drastis, meningkatkan potensi nyamuk untuk menularkan penyakit dalam masa hidupnya. Misalnya, pada suhu 21∘C, persentase nyamuk yang mampu menularkan virus dapat mencapai 35% dalam 20 hari. Peningkatan suhu beberapa derajat dari kondisi optimal dapat secara fundamental mengubah dinamika penularan, yang menghasilkan peningkatan insidensi harian penyakit tular vektor.

Proyeksi Risiko DBD dan Ekspansi Geografis Malaria

Di Indonesia, proyeksi risiko Demam Berdarah Dengue (DBD) menunjukkan bahwa kondisi temperatur dan curah hujan masih sangat mendukung siklus hidup dan perkembangbiakan vektor Aedes aegypti. Di wilayah padat penduduk seperti DKI Jakarta, peluang risiko DBD tinggi diproyeksikan masih lebih besar dibandingkan risiko sedang atau rendah, yang mengindikasikan bahwa Jakarta akan tetap menjadi wilayah berisiko tinggi hingga periode 2014–2038.

Sementara itu, Malaria menunjukkan tren pergeseran geografis. Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) memperkirakan penyebaran malaria akan bergerak ke arah kutub dan, di wilayah pegunungan, berpindah ke kawasan yang lebih tinggi (upslope shift) sebagai respons terhadap kenaikan suhu rata-rata, sementara jangkauan penyakit seperti dengue diperkirakan akan meluas secara keseluruhan. Di Indonesia, kasus malaria telah diamati di wilayah dataran tinggi tertentu yang kondisi suhunya mendukung transmisi. Contohnya adalah peningkatan kasus di Kota Payakumbuh, Sumatera Barat, dengan ketinggian 555.87 mdpl dan suhu rata-rata 23.9∘C yang disertai kelembaban tinggi.

Perubahan iklim menghadirkan tantangan ganda: intensifikasi DBD di daerah perkotaan yang panas dan padat, dan ekspansi Malaria ke dataran tinggi yang sebelumnya non-endemik. Populasi di dataran tinggi yang baru terpapar mungkin memiliki imunitas yang lebih rendah, membuat mereka sangat rentan terhadap wabah. Analisis mendalam menunjukkan bahwa meskipun kondisi iklim umum memiliki efek terbatas pada kejadian malaria, peristiwa cuaca ekstrem yang ditandai oleh nilai ekstrem indikator iklim justru secara signifikan memengaruhi kasus malaria. Hal ini berarti bahwa kebijakan pengendalian vektor harus dinamis, mencakup surveilans dataran tinggi, dan memprioritaskan mitigasi risiko yang dipicu oleh anomali cuaca ekstrem mendadak, bukan hanya kondisi iklim rata-rata jangka panjang.

Gelombang Panas dan Beban Penyakit Akibat Panas (Heat Stress)

Mekanisme Morbiditas dan Mortalitas Akibat Panas

Gelombang panas (heatwave), didefinisikan sebagai periode cuaca panas ekstrem yang berlangsung dalam jangka waktu tertentu, berdampak serius pada kesehatan, terutama di wilayah Asia Tenggara yang sering mengalaminya. Peningkatan suhu ekstrem memicu mekanisme pendinginan tubuh melalui keringat yang berlebihan. Jika tidak diimbangi dengan asupan cairan yang memadai, hal ini dapat menyebabkan dehidrasi. Dehidrasi, pada gilirannya, dapat bermanifestasi sebagai sakit kepala, kebingungan, kelelahan, dan, dalam kasus yang parah, dapat berkembang menjadi kegagalan organ.

Selain itu, suhu yang ekstrem memperburuk gejala dan komplikasi pada individu dengan penyakit kronis yang sudah ada, seperti penyakit jantung, gangguan pernapasan, dan diabetes. Peningkatan paparan panas dapat secara signifikan meningkatkan morbiditas dan mortalitas pada kelompok rentan seperti lansia dan mereka yang memiliki penyakit kronis.

Fenomena Pulau Panas Perkotaan (UHI) dan Faktor Kelembaban

Dampak panas ekstrem diperburuk oleh Urban Heat Island (UHI) atau fenomena pulau panas perkotaan. UHI adalah konsekuensi dari urbanisasi yang pesat, di mana permukaan kota menahan panas, menyebabkan suhu perkotaan jauh lebih tinggi daripada daerah pedesaan di sekitarnya. UHI meningkatkan risiko kesehatan bagi masyarakat di daerah perkotaan padat, terutama selama gelombang panas.

Yang lebih penting di iklim tropis seperti Indonesia adalah peran kelembaban. Kondisi tropis yang lembab sangat meningkatkan kerentanan fisiologis terhadap panas ekstrem. Kombinasi suhu udara yang sangat tinggi dan kelembaban tinggi menciptakan kondisi yang diukur sebagai Wet-Bulb Temperature. Ketika suhu wet-bulb mencapai batas kritis, keringat tidak dapat menguap, dan tubuh kehilangan mekanisme pendinginan intinya, yang dapat menyebabkan heat stroke yang mematikan. Dengan demikian, panas yang dirasakan dan dampak fisiologisnya di Indonesia adalah masalah Wet-Bulb, yang merupakan faktor yang lebih kuat dalam mortalitas massal daripada suhu udara kering semata. Oleh karena itu, strategi intervensi dan sistem peringatan dini (HHEWS) harus didasarkan pada indeks panas komposit yang secara akurat mencerminkan ancaman fisiologis ini.

Strategi Kewaspadaan Dini: Implementasi HHEWS di Indonesia

Indonesia, yang diklasifikasikan memiliki bahaya panas ekstrem tingkat medium , sedang berupaya membangun sistem pertahanan publik terhadap panas. Upaya ini mencakup pengembangan Heat Health Early Warning System (HHEWS) tiga tingkat di tingkat kota.

Salah satu inisiatif kunci adalah proyek Coastal City Resilience and Heat Action Project (CoCHAP), yang diimplementasikan di kota-kota rentan seperti Medan dan Surabaya. HHEWS bertujuan untuk menetapkan ambang batas minimum untuk peristiwa panas ekstrem dan kemudian memicu perubahan perilaku masyarakat, memastikan kesiapan sistem darurat, dan menyediakan informasi yang memadai bagi kelompok rentan. Proyek CoCHAP juga memberdayakan generasi muda melalui inisiatif Merdeka Belajar Kampus Merdeka (MBKM), melibatkan mahasiswa sebagai agen perubahan dalam merancang dan mengimplementasikan respons terhadap panas ekstrem, sehingga memperkuat ketahanan perkotaan.

Ancaman Perubahan Iklim terhadap Ketahanan Pangan dan

Ketahanan Pangan Kuantitatif: Disrupsi Lintas Sektor

Perubahan iklim merupakan ancaman nyata terhadap ketahanan pangan nasional di Indonesia, terutama melalui penurunan produktivitas pertanian akibat perubahan pola cuaca ekstrem seperti kekeringan dan banjir. Sektor pertanian menghadapi keterbatasan struktural dalam adaptasi. Meskipun telah ada inovasi teknologi, seperti rilis varietas unggul tahan iklim (contohnya, Inpari 42 Agritan dan Inpara 8) oleh Balitbangtan untuk menghadapi cekaman kekeringan dan genangan, tingkat adopsi varietas ini di kalangan petani masih rendah. Rendahnya adopsi disebabkan oleh keterbatasan diseminasi teknologi dan lemahnya sistem penyuluhan pertanian.

Selain ancaman iklim lokal, stabilitas pangan Indonesia juga terpengaruh oleh disrupsi rantai pasok global. Ketergantungan yang signifikan terhadap impor bahan pangan dan input produksi pertanian (seperti pupuk kimia, gandum, dan kedelai) membuat sektor ini sangat rentan terhadap guncangan eksternal, seperti konflik geopolitik. Gangguan logistik dan lonjakan harga input produksi akibat konflik bersenjata dapat memperburuk ketahanan ekonomi petani dan ketersediaan pangan.

Penurunan Kualitas Gizi (Nutritional Dilution)

Mekanisme Dampak Peningkatan CO2​ terhadap Mikronutrien

Dampak perubahan iklim yang lebih tersembunyi namun kritis adalah penurunan kualitas gizi tanaman pangan, atau fenomena nutritional dilution. Meskipun peningkatan kadar karbon dioksida (CO2​) di atmosfer dapat mendorong pertumbuhan tanaman menjadi lebih cepat dan besar, konsentrasi nutrisi vital dalam tanaman tersebut menurun secara signifikan.

Penelitian menunjukkan penurunan kadar mineral penting, seperti Tembaga, Magnesium, Besi (Iron), Seng (Zinc), Protein, dan senyawa antioksidan. Secara khusus, kekurangan Zat Besi, Seng, dan Protein pada populasi manusia diperkirakan akan meningkat secara signifikan dalam beberapa dekade mendatang akibat tingginya kadar CO2​. Kombinasi suhu tinggi dan kadar CO2​ yang tinggi bahkan memperparah situasi ini, menyebabkan tanaman tumbuh lebih lambat dan miskin gizi. Ancaman ini secara langsung menyerang kesehatan masyarakat dan kelangsungan hidup, terutama di populasi yang bergantung pada diet berbasis tanaman tunggal.

Konsekuensi Epidemiologis: Peningkatan Risiko Stunting dan Wasting di Indonesia

Gangguan terhadap kuantitas dan kualitas makanan merupakan penyebab utama kurang gizi. Kekurangan gizi kronis dalam jangka panjang akan berdampak pada pertumbuhan anak dan menjadi penanda dasar yang dapat menyebabkan stunting, serta menurunkan sistem kekebalan tubuh. Baik stunting maupun wasting memiliki risiko yang sama, termasuk infeksi dan pola makan yang tidak memadai, yang keduanya meningkatkan risiko kematian anak.

Model studi menunjukkan bahwa perubahan iklim dapat meningkatkan risiko stunting, didorong oleh dua faktor: faktor pangan (sekitar 80% dampak) dan faktor non-pangan (sekitar 20% dampak, terutama sanitasi dan akses air bersih).

Kerusakan pada sistem gizi menciptakan siklus umpan balik negatif. Perubahan iklim mengintensifkan bencana alam, seperti banjir, yang secara langsung merusak infrastruktur sanitasi dan membatasi akses air bersih. Kondisi sanitasi yang buruk meningkatkan risiko penyakit bawaan air dan infeksi. Infeksi yang berulang, dikombinasikan dengan ketersediaan pangan yang nutrisinya telah terdegradasi akibat nutritional dilution , menciptakan kombinasi dampak yang memperburuk prevalensi stunting. Untuk berhasil mengatasi Strategi Nasional Stunting, intervensi harus terintegrasi, memadukan aspek kesehatan, gizi, pengasuhan, WASH, dan manajemen bencana secara komprehensif.

Bencana Alam dan Krisis Kesehatan Sekunder

Dampak Cuaca Ekstrem terhadap Penyakit Bawaan Air dan Zoonosis Akut

Cuaca ekstrem yang diintensifkan oleh perubahan iklim, terutama banjir, adalah pemicu utama krisis kesehatan sekunder di Indonesia. Peningkatan permukaan air laut dan banjir rob yang dipicu oleh pemanasan global menyebabkan perubahan musim dan curah hujan, membatasi ketersediaan air bersih dan memperburuk sanitasi lingkungan serta manajemen sampah.

Kondisi ini meningkatkan risiko penyakit bawaan air dan zoonosis, termasuk Leptospirosis. Leptospirosis adalah penyakit yang ditularkan melalui kontak dengan air atau tanah yang terkontaminasi urin hewan pengerat, dan sering meningkat setelah banjir. Diagnosis penyakit ini sering terabaikan dan tidak dilaporkan, terutama di daerah yang kurang memiliki fasilitas laboratorium memadai. Data menunjukkan bahwa banjir adalah jenis bencana alam yang paling banyak menyebabkan krisis kesehatan di Indonesia, dengan Provinsi Jawa Barat mencatat 39 kejadian krisis kesehatan akibat bencana alam, sebagian besar disebabkan oleh banjir.

Ancaman Polusi Udara dan Kerusakan Infrastruktur

Perubahan iklim juga berkontribusi pada polusi udara melalui Karhutla (Kebakaran Hutan dan Lahan), terutama selama periode kekeringan yang diperpanjang. Kabut asap yang dihasilkan menyebabkan peningkatan gangguan kesehatan fisik, dengan Infeksi Saluran Pernapasan Akut (ISPA) menjadi masalah kesehatan yang menonjol.

Selain dampak langsung pada kesehatan, bencana alam secara teratur menyebabkan kerusakan parah pada aset pemerintah, termasuk Fasilitas Layanan Kesehatan (Fasyankes). Kerusakan infrastruktur ini, yang terlihat jelas pasca bencana seperti gempa atau banjir, menghambat kecepatan pemulihan layanan publik. Mengingat sifat Fasyankes sebagai pusat layanan vital, kecepatan pemulihan adalah kunci untuk memperkuat kapasitas masyarakat dalam menghadapi bencana. Oleh karena itu, penerapan konsep manajemen risiko bencana, termasuk pembiayaan risiko seperti asuransi aset, menjadi penting untuk memastikan perbaikan atau pembangunan kembali bangunan yang rusak berat dapat dilakukan dengan cepat.

Beban Psikososial dan Kesehatan Mental Pasca Bencana

Dampak bencana iklim tidak terbatas pada kesehatan fisik atau infrastruktur. Peristiwa seperti banjir bandang dan gempa/tsunami, seperti yang terjadi di Sulawesi Tengah, menunjukkan bahwa dukungan mental pasca bencana seringkali kurang menjadi prioritas dalam respons krisis.

Dampak psikologis PI, termasuk trauma, kecemasan iklim (eco-anxiety), dan depresi, berpotensi menjadi beban penyakit kronis baru. Ketika beban mental tidak ditangani, kemampuan individu dan masyarakat untuk bangkit dan melakukan adaptasi jangka panjang terhadap tekanan lingkungan berkurang, menghambat produktivitas dan kualitas hidup. Oleh karena itu, kebijakan adaptasi iklim perlu diintegrasikan dengan aspek psikologis. Intervensi yang disarankan meliputi penyediaan ruang dialog dan ekspresi emosi serta pengembangan program kesehatan mental pasca bencana yang merupakan bagian dari layanan kesehatan primer.

Adaptasi Sektoral dan Penguatan Sistem Kesehatan yang Tangguh Iklim (Climate-Resilient Health Systems)

Kerangka Kebijakan Nasional: Rencana Aksi Nasional Adaptasi Perubahan Iklim Sektor Kesehatan (RAN-APIK)

Pemerintah Indonesia telah mengambil langkah strategis dengan mengembangkan Rencana Aksi Nasional Adaptasi Perubahan Iklim pada sektor Kesehatan (RAN-APIK) pada tahun 2020. Dokumen ini berfungsi sebagai implementasi penjabaran dari target Nationally Determined Contribution (NDC) di tingkat sektoral dan regional, serta menjadi masukan penting untuk penyusunan Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN). Tujuan utama RAN-APIK adalah mendukung tercapainya masyarakat Indonesia yang resilien terhadap dampak iklim.

Namun, implementasi RAN-APIK menghadapi hambatan mendasar terkait infrastruktur data. Kesiapan data untuk analisis dan pengambilan keputusan masih terbatas, ditandai dengan beberapa masalah utama: (1) perbedaan format dan periode pencatatan data antar jenis penyakit; (2) ketersediaan data yang seringkali hanya di tingkat provinsi, menciptakan kesenjangan informasi di tingkat operasional; (3) banyak data yang tidak dipublikasikan karena masalah teknis seperti pencatatan manual atau format yang buruk; dan (4) keterbatasan akses data pendukung dari lembaga lain karena kurangnya standar pemanfaatan data. Kesenjangan data ini secara fundamental menghambat kemampuan Kementerian Kesehatan untuk melakukan pemodelan risiko yang akurat, merancang intervensi yang tepat sasaran, dan mengalokasikan sumber daya secara efektif, bertentangan dengan kebutuhan global akan informasi berbasis bukti yang memadai. Oleh karena itu, modernisasi dan integrasi infrastruktur data iklim-kesehatan di tingkat kabupaten/kota adalah prasyarat utama untuk keberhasilan adaptasi.

Pilar Utama Ketahanan Sistem Kesehatan (WHO dan Malé Declaration)

Penguatan Sistem Kewaspadaan Dini (SKD) dan Pengambilan Keputusan

Salah satu pilar utama ketahanan adalah kemampuan sistem kesehatan untuk meningkatkan kewaspadaan dan mendukung pengambilan keputusan yang didasarkan pada bukti ilmiah yang kuat. Peningkatan Sistem Kewaspadaan Dini (SKD) harus melampaui surveilans penyakit pasif. Sistem HHEWS yang sedang dikembangkan di Medan dan Surabaya  adalah contoh model yang harus diperluas. Lebih jauh, SKD perlu diintegrasikan dengan intelijen cuaca ekstrem dari Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) untuk memicu respons berbasis prediksi, terutama untuk VBD, mengingat bahwa anomali cuaca ekstrem terbukti lebih berpengaruh terhadap kejadian malaria daripada kondisi iklim umum.

Integrasi Pendekatan One Health (OH)

Mengingat bahwa lebih dari 60% penyakit menular baru (Emerging Infectious Diseases – EID) yang memengaruhi manusia berasal dari hewan—seperti SARS, Nipah, dan flu burung—pendekatan holistik One Health (OH) menjadi imperatif. Perubahan iklim memperluas dan mengubah interaksi antara manusia, hewan, dan lingkungan, meningkatkan risiko zoonosis.

Pemerintah Indonesia, berkolaborasi dengan Quadripartite Organizations (WHO, FAO, WOAH, UNEP), telah menyusun Indonesia One Health Joint Plan of Action (OH JPA). Rencana ini melibatkan kementerian kesehatan, pertanian, lingkungan, dan Bappenas, berfokus pada penguatan kolaborasi, komunikasi, dan peningkatan kapasitas lintas sektor untuk mengurangi risiko epidemi zoonosis yang muncul dan muncul kembali. Pendekatan OH ini adalah respons struktural yang esensial, memungkinkan penanganan dampak PI yang kompleks, seperti pergeseran vektor atau peningkatan Leptospirosis pasca-banjir, yang tidak dapat diselesaikan oleh sektor kesehatan saja.

Pembangunan Fasilitas Layanan Kesehatan yang Tangguh Iklim (Climate-Resilient Health Facilities)

Sistem kesehatan yang tangguh iklim membutuhkan infrastruktur fisik yang mampu menahan guncangan dan tekanan iklim, sambil memastikan kesinambungan layanan esensial. Hal ini termasuk melengkapi fasilitas layanan kesehatan (Fasyankes) dengan air yang dikelola secara aman (WASH), sanitasi dan praktik higienis, serta pasokan energi yang andal. Di negara-negara berpenghasilan rendah dan menengah, defisit besar dalam layanan esensial ini harus segera diatasi untuk memastikan ketahanan Fasyankes terhadap peristiwa cuaca ekstrem.

Selain ketahanan fisik, Fasyankes juga didorong untuk “menghijaukan” sektor kesehatan. Ini mencakup pengurangan jejak lingkungan (misalnya, pengelolaan bahan kimia yang unik untuk fasilitas kesehatan seperti dalam kemoterapi ) dan adopsi pengadaan berkelanjutan, seperti membuat perubahan dalam menu untuk mengurangi jejak lingkungan dan meningkatkan kesehatan pasien dan pekerja.

Manajemen risiko aset juga harus diimplementasikan. Infrastruktur publik yang memiliki risiko bencana tinggi, termasuk Fasyankes, sebaiknya mengadopsi konsep manajemen risiko dan pembiayaan risiko, seperti asuransi. Dengan demikian, klaim asuransi dapat digunakan untuk memperbaiki atau membangun kembali bangunan yang rusak berat dengan cepat setelah bencana, memastikan pemulihan layanan yang berkelanjutan.

Tabel V.1: Pilar Kunci Adaptasi dan Ketahanan Sistem Kesehatan Indonesia (Berdasarkan RAN-APIK dan Panduan WHO)

Pilar Strategis Adaptasi Fokus Aksi Kunci Indikator Implementasi Kritis Tantangan/Kesenjangan Data Utama
Pencegahan Primer Penguatan WASH, sanitasi, dan keadilan kesehatan. Peningkatan rasio Fasyankes dengan akses WASH dan energi andal. Mengatasi defisit layanan esensial di Fasyankes tingkat rendah/menengah.
Sistem Kewaspadaan Dini (SKD) Pengembangan HHEWS, SKD VBD berbasis cuaca ekstrem, dan informasi berbasis bukti. Cakupan HHEWS di kota-kota besar; Integrasi data BMKG-Kemenkes. Kurangnya standarisasi format data dan kapasitas analisis di tingkat daerah.
Integrasi One Health Kolaborasi kuadripartit (manusia, hewan, lingkungan); penguatan kapasitas bersama. Implementasi Indonesia OH JPA; pelatihan lintas sektor mengenai zoonosis terkait iklim. Memastikan koordinasi operasional dan pendanaan lintas kementerian.
Ketahanan Fasyankes Membangun infrastruktur tahan guncangan; penerapan praktik lestari (green healthcare). Persentase Fasyankes yang diasuransikan terhadap bencana; Ketersediaan layanan esensial (WASH). Kebutuhan investasi modal besar untuk renovasi dan asuransi aset.

Kesimpulan dan Rekomendasi Kebijakan Lintas Sektor

Sintesis Temuan Utama dan Kesenjangan Strategis

Analisis ini menyimpulkan bahwa perubahan iklim berfungsi sebagai determinan kesehatan yang kompleks dan multi-jalur di Indonesia. Dampak PI mengancam kesehatan masyarakat melalui empat jalur interaktif: (1) akselerasi transmisi VBD akibat pemendekan EIP karena suhu tinggi; (2) peningkatan morbiditas dan mortalitas dari heat stress, diperparah oleh fenomena UHI dan tingginya kelembaban tropis; (3) ancaman gizi ganda yang disebabkan oleh disrupsi kuantitas pangan dan penurunan kualitas nutrisi (nutritional dilution) yang memperburuk stunting; dan (4) krisis kesehatan sekunder pasca bencana alam, termasuk wabah penyakit bawaan air (Leptospirosis) dan beban psikososial.

Meskipun komitmen kebijakan formal di Indonesia telah diformulasikan melalui RAN-APIK dan OH JPA, implementasinya terhambat oleh kesenjangan mendasar. Hambatan utama adalah keterbatasan infrastruktur data kesehatan-iklim di tingkat daerah dan kurangnya integrasi struktural antara sektor kesehatan, pertanian, tata ruang, dan lingkungan, yang diperlukan untuk mengatasi determinan lingkungan secara fundamental.

Rekomendasi Strategis untuk Transformasi Sektoral

Berdasarkan analisis risiko dan kesenjangan yang teridentifikasi, beberapa rekomendasi strategis diusulkan untuk memperkuat adaptasi dan ketahanan sistem kesehatan di Indonesia:

  1. Prioritas Data dan Intelijen Iklim-Kesehatan:Investasi harus diarahkan pada modernisasi dan standarisasi infrastruktur data di tingkat kabupaten/kota, sejalan dengan tujuan WHO untuk pengambilan keputusan berbasis bukti. Kemenkes perlu mengintegrasikan data cuaca ekstrem (BMKG) ke dalam sistem surveilans dan melatih analis kesehatan di tingkat daerah untuk mengaktifkan SKD berbasis prakiraan cuaca, terutama untuk penyakit sensitif iklim seperti malaria.
  2. Kebijakan Panas Berbasis Metrik Fisiologis:Pengembangan HHEWS di Medan, Surabaya, dan kota-kota besar lainnya harus menggunakan metrik komposit seperti Wet-Bulb Temperature untuk memberikan peringatan yang relevan secara fisiologis terhadap risiko fatal panas yang diperparah kelembaban. Kebijakan tata ruang perkotaan harus diintegrasikan dengan upaya kesehatan, mewajibkan mitigasi UHI melalui pengembangan infrastruktur hijau-biru.
  3. Memperkuat Ketahanan Pangan Gizi Lintas Sektor:Strategi gizi nasional harus menggabungkan intervensi melawan nutritional dilution (misalnya, biofortifikasi atau diversifikasi pangan) sebagai respons langsung terhadap peningkatan CO2​. Sinergitas dengan Kementerian Pertanian diperlukan untuk memperkuat adopsi varietas tahan iklim  dan mengurangi kerentanan rantai pasok global dengan memberikan insentif terhadap produksi pupuk organik dan hayati berbasis lokal.
  4. Akselerasi OH JPA di Tingkat Primer:Implementasi Indonesia One Health Joint Plan of Action harus didorong hingga ke tingkat layanan primer. Hal ini memastikan Fasyankes dan otoritas hewan/lingkungan di tingkat operasional memiliki kapasitas terkoordinasi untuk merespons wabah zoonosis dan penyakit bawaan air secara cepat dan terpadu, khususnya pasca-bencana.
  5. Pendanaan dan Ketahanan Fasyankes:Pemerintah harus menetapkan dan memaksakan standar ketahanan iklim untuk semua Fasyankes, memastikan ketersediaan layanan esensial (WASH dan energi andal). Selain itu, alokasi anggaran dan regulasi diperlukan untuk mengadopsi manajemen risiko aset dan skema pembiayaan risiko (asuransi) guna menjamin pemulihan layanan kesehatan yang cepat dan berkelanjutan setelah bencana alam.

 

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

70 − 67 =
Powered by MathCaptcha