Hukuman mati, atau pidana mati, merupakan bentuk sanksi pidana paling ekstrem yang dapat dijatuhkan oleh negara. Dalam kerangka hukum pidana, sanksi ini berkedudukan sebagai pidana pokok yang final, menghapuskan hak hidup terpidana dan secara fundamental membedakannya dari semua bentuk hukuman lain yang masih memungkinkan rehabilitasi atau pemulihan. Perdebatan mengenai hukuman mati telah berlangsung selama berabad-abad, berakar pada dua mazhab filosofis utama yang saling berlawanan.
Pertama, Teori Retributif berpandangan bahwa hukuman harus berfungsi sebagai pembalasan yang proporsional (lex talionis), di mana pelaku harus menerima penderitaan yang setimpal dengan kerugian yang ditimbulkan. Dalam pandangan retributif yang ketat, seperti yang dikemukakan oleh Kant, pidana mati adalah satu-satunya cara untuk mencapai keadilan mutlak dalam kasus kejahatan paling serius. Kedua, Teori Utilitarianisme berfokus pada hasil yang bermanfaat bagi masyarakat, terutama melalui fungsi pencegahan atau efek jera (deterrence). Teori ini berargumen bahwa ancaman kehilangan nyawa akan mencegah orang lain melakukan kejahatan serupa, sehingga meningkatkan keamanan publik.
Di tengah pertentangan filosofis ini, standar hukum internasional, yang dipandu oleh Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia (UDHR) dan Kovenan Internasional tentang Hak Sipil dan Politik (ICCPR), telah secara progresif bergerak menuju penghapusan hukuman mati. Prinsip hak untuk hidup dan larangan penyiksaan atau perlakuan yang kejam, tidak manusiawi, atau merendahkan martabat menjadi landasan utama gerakan abolisionis. Meskipun demikian, laporan komparatif tahunan menunjukkan bahwa penerapan hukuman mati secara global saat ini berada pada titik polarisasi yang tajam, di mana kemajuan normatif berhadapan langsung dengan intensifikasi eksekusi di sekelompok kecil negara yang sangat retensionis.
Tren Global Hukuman Mati (Tinjauan Data Komparatif 2024)
Pemantauan global yang dilakukan oleh Amnesty International menunjukkan dinamika yang kompleks dan mengkhawatirkan pada tahun 2024, ditandai oleh lonjakan kuantitas eksekusi diiringi penurunan jumlah negara pelaksana.
Peningkatan Kuantitatif Eksekusi dan Polarisasi Geografis
Data menunjukkan peningkatan signifikan dalam jumlah eksekusi yang tercatat secara global. Amnesty International mencatat setidaknya 1.518 eksekusi pada tahun 2024, sebuah peningkatan tajam sebesar 32% dari 1.153 eksekusi yang tercatat pada tahun 2023. Angka ini merupakan yang tertinggi yang pernah dicatat oleh organisasi tersebut sejak tahun 2015.
Namun, kenaikan volume eksekusi ini tidak terjadi secara merata. Lonjakan drastis ini didorong oleh peningkatan masif yang terkonsentrasi di tiga negara utama: Iran, Irak, dan Arab Saudi. Ketiga negara ini bersama-sama bertanggung jawab atas 1.380 eksekusi pada tahun 2024 (naik dari 1.041 pada 2023), mencakup sekitar 91% dari semua eksekusi yang diketahui di seluruh dunia.
Situasi ini melahirkan paradoks geografis yang signifikan. Untuk dua tahun berturut-turut, jumlah negara yang diketahui melaksanakan hukuman mati mencapai titik terendah yang pernah tercatat. Fenomena ini menggarisbawahi polarisasi global yang mendalam: di satu sisi, gerakan abolisionis global terus menuai sukses, dibuktikan dengan semakin sedikitnya negara yang menggunakan hukuman mati. Di sisi lain, negara-negara retensionis inti yang tersisa meningkatkan intensitas eksekusi secara dramatis, menunjukkan penolakan eksplisit terhadap tekanan dan norma-norma internasional yang berkembang. Ini menunjukkan bahwa hukuman mati semakin menjadi indikator utama rezim yang memprioritaskan kontrol negara di atas standar hak asasi manusia universal.
Isu Kerahasiaan Negara dan Angka Minimum
Penting untuk dicatat bahwa angka 1.518 eksekusi yang tercatat pada tahun 2024 adalah jumlah minimum yang kredibel. Transparansi yang rendah di sejumlah negara retensionis menghambat penilaian akurat terhadap praktik hukuman mati. Tiongkok diyakini tetap menjadi negara dengan jumlah eksekusi tertinggi di dunia. Menurut catatan Amnesty International, jumlah eksekusi yang dilakukan oleh otoritas Tiongkok diyakini jauh melebihi total gabungan seluruh eksekusi di negara-negara lain, dengan ribuan orang dijatuhi hukuman mati dan dieksekusi setiap tahun.
Selain Tiongkok, penggunaan kerahasiaan negara dan praktik yang membatasi terus menghalangi penilaian yang kredibel di negara-negara lain seperti Korea Utara dan Vietnam. Negara-negara ini juga diyakini terus melaksanakan hukuman mati secara ekstensif, namun data yang tepat tidak tersedia. Ketidakmampuan untuk mengukur skala penuh praktik ini menjadi tantangan serius bagi upaya advokasi dan akuntabilitas internasional.
Metode Eksekusi yang Digunakan
Meskipun laporan global 2024 berfokus pada kuantitas, metode yang digunakan tetap menjadi isu etis krusial. Beberapa negara terus menggunakan metode yang dianggap kejam dan tidak manusiawi. Di Amerika Serikat, metode suntik mati (lethal injection) masih dominan. Namun, laporan mencatat adanya penggunaan metode lain yang kontroversial, termasuk penggunaan gas nitrogen (nitrogen gas) atau gas mematikan (lethal gas), misalnya di Alabama dan Missouri pada 2024. Perdebatan mengenai metode eksekusi sering kali berkisar pada upaya untuk mencari cara yang “manusiawi,” meskipun kelompok abolisionis berpendapat bahwa tidak ada metode eksekusi yang dapat dilakukan tanpa melanggar martabat manusia.
Table 1: Perbandingan Tren Eksekusi Global (2023 vs. 2024)
| Indikator Kuantitatif | 2023 (Tercatat) | 2024 (Tercatat) | Perubahan (%) | Signifikansi |
| Total Eksekusi Global | 1,153 | 1,518 | +32% | Angka tertinggi sejak 2015. |
| Negara Pelaksana (Known) | 16 | 15 | – | Menunjukkan polarisasi, bukan meluasnya praktik.[6, 8] |
| Kontribusi Tiga Negara (IR, IQ, SA) | 1,041 | 1,380 | +32.6% | Menyumbang ≈91% dari total global yang diketahui. |
| Eksekusi Kejahatan Narkoba | N/A | 637 | N/A | Lebih dari 42% dari total eksekusi, melanggar standar internasional. |
Analisis Regional Negara-Negara Retensionis Utama
Praktik hukuman mati terkonsentrasi secara geografis, terutama di kawasan Timur Tengah dan Afrika Utara (MENA) serta Asia-Pasifik, yang masing-masing menunjukkan pola penerapan yang berbeda.
Kawasan Timur Tengah dan Afrika Utara (MENA): Episentrum Eksekusi
Kawasan MENA adalah episentrum lonjakan eksekusi global tahun 2024. Jumlah eksekusi yang tercatat di kawasan ini meningkat sebesar 34%, dari 1.073 pada tahun 2023 menjadi 1.442 pada tahun 2024. Kenaikan ini sangat mengkhawatirkan karena mencakup delapan negara yang diketahui melaksanakan eksekusi, yaitu Mesir, Iran, Irak, Kuwait, Oman, Arab Saudi, Suriah, dan Yaman.
Kasus Iran, Irak, dan Arab Saudi sangat menonjol. Di Iran, lonjakan eksekusi sering kali dikaitkan dengan penggunaan hukuman mati sebagai alat politik oleh pihak berwenang. Praktik ini melampaui tujuan keadilan pidana murni dan menjadi instrumen untuk menanamkan rasa takut (instil fear) di kalangan penduduk atau untuk menekan oposisi. Dengan demikian, hukuman mati di rezim-rezim otoriter ini berfungsi sebagai senjata statecraft untuk kontrol sosial atau politik, yang membuktikan bahwa motifnya melampaui retribusi atau efek jera.
Kawasan Asia-Pasifik: Kerahasiaan dan Dominasi Narkotika
Meskipun Asia-Pasifik masih diyakini sebagai wilayah dengan jumlah eksekusi tertinggi di dunia—didominasi oleh Tiongkok yang merangkul kerahasiaan ketat—wilayah ini juga menonjol karena fokus pada kejahatan narkotika. Negara-negara seperti Singapura tercatat melaksanakan eksekusi untuk pelanggaran terkait narkoba pada tahun 2024.
Dalam konteks hukum domestik, studi di Indonesia, meskipun negara tersebut tidak termasuk dalam daftar eksekutor tertinggi pada tahun 2024, menunjukkan bahwa mayoritas kasus vonis mati (82%) terkait dengan tindak pidana narkotika. Hal ini menunjukkan adanya tren di kawasan ini untuk memandang kejahatan narkotika sebagai ancaman eksistensial atau kejahatan “paling serius” yang memerlukan sanksi tertinggi, meskipun bertentangan dengan standar internasional.
Amerika Serikat: Diskriminasi dan Kelompok Rentan
Amerika Serikat memegang status retensionis yang unik di antara negara-negara demokrasi Barat dan menghadapi kritik internasional yang berkelanjutan, terutama terkait isu keadilan prosedural dan diskriminasi. Studi menunjukkan bahwa penerapan hukuman mati sering kali bersifat diskriminatif, di mana warga negara dari kelompok miskin, minoritas, atau warga negara asing lebih rentan dijatuhi hukuman mati dibandingkan dengan mereka yang memiliki koneksi politik atau ekonomi yang kuat. Diskriminasi struktural ini secara serius mencederai klaim keadilan absolut yang diusung oleh teori retributif.
Lebih lanjut, AS dikritik karena isu eksekusi terhadap individu yang menderita disabilitas mental atau kelainan psikososial. Meskipun Mahkamah Agung AS melarang eksekusi terdakwa dengan gangguan mental pada tahun 2003, kasus-kasus seperti Yokamon Hearn (Texas, 2012) menunjukkan pelanggaran berkelanjutan. Hearn, seorang pria yang menderita gangguan mental akibat sindrom alkohol janin dan kerusakan otak, dieksekusi meskipun ada protes dari Dewan HAM PBB. PBB menyatakan bahwa eksekusi ini merupakan pelanggaran terhadap aturan keamanan dalam penerapan hukuman mati terhadap orang-orang yang menderita kelainan psikososial. Kegagalan menjamin keadilan prosedural untuk kelompok rentan memperkuat argumen bahwa hukuman mati merupakan perlakuan kejam dan tidak manusiawi.
Kontroversi Hukum Internasional: Pelanggaran Standar Kejahatan Paling Serius
Secara normatif, hukum internasional berusaha membatasi penerapan hukuman mati. Pembatasan ini paling jelas terlihat dalam interpretasi prinsip Most Serious Crimes (MSC) di bawah ICCPR.
Prinsip Most Serious Crimes
Berdasarkan hukum hak asasi manusia internasional, hukuman mati harus dicadangkan hanya untuk “kejahatan paling serius,” yang umumnya diinterpretasikan sebagai kejahatan yang melibatkan pembunuhan yang disengaja. Pembatasan ini dimaksudkan untuk memastikan bahwa pidana mati—mengingat sifatnya yang ireversibel—hanya diterapkan dalam kasus-kasus kekejaman ekstrem.
Hukuman Mati untuk Kejahatan Non-Fatal (Narkotika)
Pelanggaran paling mencolok terhadap prinsip MSC pada tahun 2024 adalah penggunaan hukuman mati untuk kejahatan terkait narkoba. Data menunjukkan bahwa 637 eksekusi, atau lebih dari 42% dari total eksekusi yang diketahui secara global, dilakukan untuk pelanggaran narkotika.
Kejahatan narkotika, meskipun dianggap serius oleh banyak negara (terutama di Asia dan MENA), tidak memenuhi ambang batas Most Serious Crimes yang melibatkan pembunuhan yang disengaja. Negara-negara yang tercatat melaksanakan eksekusi untuk kejahatan narkoba pada tahun 2024 termasuk Tiongkok, Iran, Arab Saudi, dan Singapura. Praktik ini menunjukkan penolakan eksplisit oleh negara-negara tersebut terhadap interpretasi standar PBB, di mana mereka secara sepihak memperluas definisi “serius” untuk mencakup ancaman keamanan nasional/sosial yang dirasakan, dan memperkuat pandangan bahwa hukuman mati diterapkan secara sewenang-wenang dan di luar batas perlindungan hukum internasional. Pergeseran fokus penological ini menunjukkan bahwa negara retensionis memandang kejahatan transnasional sebagai ancaman eksistensial yang menjustifikasi penggunaan hukuman mati, menggeser fokus dari retribusi murni ke penal populism yang didorong oleh ketakutan publik.
Table 2: Pelanggaran Standar “Kejahatan Paling Serius” (MSC) 2024
| Jenis Kejahatan | Jumlah Eksekusi (2024) | Kepatuhan terhadap ICCPR/MSC | Negara Pelaksana Utama |
| Kejahatan Terkait Narkotika | 637+ (42%+) | Melanggar Standar PBB | Iran, Arab Saudi, Singapura, China. |
| Kejahatan Politik/Mata-Mata | Tidak Terdata Jelas | Kontroversial/Sering Melanggar | Iran, Arab Saudi.[9, 16] |
Hukuman Mati Terhadap Kelompok Rentan
Hukum internasional secara tegas melarang penerapan hukuman mati terhadap kelompok rentan tertentu, terutama anak di bawah umur dan individu dengan disabilitas mental.
- Anak di Bawah Umur:Berdasarkan UU No. 11/2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak, Indonesia, sejalan dengan standar internasional, melarang penggunaan hukuman mati untuk anak. Undang-undang tersebut menetapkan usia minimum pertanggungjawaban pidana pada usia 12 tahun dan menjamin bahwa anak yang berkonflik dengan hukum harus menerima bantuan hukum dan pendampingan. Praktik yang baik dalam kasus di mana usia dipertanyakan mensyaratkan pemberian manfaat dari keraguan (benefit of the doubt) kepada individu tersebut agar mereka diperlakukan sebagai di bawah umur (di bawah 18 tahun pada saat kejahatan).
- Disabilitas Mental:PBB telah berulang kali menyatakan bahwa eksekusi terhadap individu yang menderita kelainan psikososial adalah perlakuan kejam dan tidak manusiawi. Kasus-kasus seperti Yokamon Hearn di AS dan desakan PBB menunjukkan bahwa individu dengan disabilitas mental sering kali tidak memiliki kapasitas penuh untuk membentuk niat jahat (mens rea) yang disyaratkan untuk hukuman mati yang adil. Kegagalan untuk mematuhi standar perlindungan ini menguatkan pandangan bahwa penerapan hukuman mati seringkali bersifat sewenang-wenang dan melanggar hak-hak dasar.
Perspektif Keadilan, Efek Jera, dan Etika HAM
Kontroversi utama seputar hukuman mati tidak hanya terletak pada statistik dan hukum, tetapi juga pada keabsahan penologis dan etika dasarnya.
Kritik Terhadap Teori Deteren (Efek Jera)
Argumen utama yang mendukung hukuman mati dalam kerangka utilitarianisme adalah klaim mengenai efek gentar yang unggul. Namun, konsensus di antara para peneliti dan lembaga hak asasi manusia internasional menunjukkan bahwa klaim ini tidak berdasar. Secara eksplisit, tidak ada bukti yang meyakinkan bahwa hukuman mati memiliki nilai pencegahan atau efek gentar khusus yang lebih tinggi dibandingkan hukuman penjara jangka panjang atau seumur hidup.
Ketidakmampuan untuk membuktikan efek jera ini menjadi pilar utama kritik abolisionis, karena jika hukuman mati tidak secara unik efektif dalam mencegah kejahatan, justifikasi utilitarian utamanya runtuh, dan sanksi tersebut hanya menjadi tindakan balas dendam negara.
Argumen Retribusi dan Risiko Kesalahan Yudisial
Pendukung hukuman mati sering berpegang pada Teori Retribusi, menuntut keadilan yang setimpal. Meskipun secara filosofis hal ini mungkin memenuhi kebutuhan emosional masyarakat akan pembalasan, penerapan retribusi melalui hukuman mati dikalahkan oleh risiko ketidakadilan prosedural dan etika kemanusiaan.
Pertama, penerapan hukuman mati tidak dapat dijamin adil atau tidak sewenang-wenang. Penelitian menunjukkan adanya diskriminasi dalam keputusan pengadilan, di mana faktor status sosial ekonomi dan afiliasi politik dapat memengaruhi putusan. Kedua, dan yang paling krusial, hukuman mati bersifat ireversibel. Kesalahan atau kegagalan apa pun dalam implementasi hukuman mati tidak dapat diperbaiki. Ketika proses peradilan gagal dan seseorang dieksekusi secara salah, sistem keadilan telah melakukan pelanggaran hak asasi manusia yang tidak dapat ditarik kembali. Selain itu, pandangan yang memprioritaskan rehabilitasi menekankan bahwa setiap pelaku pidana berhak mendapatkan kesempatan untuk direhabilitasi , sebuah peluang yang dimusnahkan oleh pidana mati.
Pelanggaran Hak Asasi Manusia Inti
Dari perspektif hak asasi manusia, hukuman mati adalah pelanggaran terhadap hak hidup yang melekat dan merupakan perlakuan yang kejam, tidak manusiawi, dan merendahkan martabat.
Selain metode eksekusi itu sendiri, periode penantian yang lama di sel isolasi hukuman mati (death row phenomenon) dianggap sebagai penyiksaan psikologis yang kejam dan tidak manusiawi. Praktik ini mencederai reputasi negara dan dianggap sebagai warisan kolonial yang sudah ketinggalan zaman. Oleh karena itu, hukum mati dianggap tidak sesuai dengan teori keadilan restoratif, yang
Dinamika Abolisionis Global dan Perkembangan Hukum Progresif
Terlepas dari lonjakan eksekusi yang terkonsentrasi, gerakan menuju abolisi hukuman mati terus menunjukkan kemajuan yang stabil dan signifikan di tingkat global.
Peta Jalan Abolisi Global
Secara global, lebih dari dua pertiga negara di dunia kini telah menghapuskan hukuman mati baik dalam hukum maupun dalam praktik. Klasifikasi negara-negara terbagi dalam empat kategori: negara abolisionis untuk semua kejahatan, abolisionis hanya untuk kejahatan biasa, abolisionis dalam praktik (tidak ada eksekusi selama minimal sepuluh tahun), dan negara retensionis (masih aktif melaksanakan eksekusi). Jumlah negara yang termasuk dalam kategori abolisionis terus bertambah, memberikan tekanan normatif yang kuat terhadap negara-negara retensionis.
Perkembangan Positif Terbaru (2024)
Pada tahun 2024, beberapa tonggak penting menuju abolisi tercapai:
- Aksesi Protokol Opsional Kedua ICCPR:Zambia telah mengaksesi Protokol Opsional Kedua Kovenan Internasional tentang Hak Sipil dan Politik, yang secara eksplisit bertujuan untuk penghapusan hukuman mati. Langkah ini memberikan perlindungan HAM yang mengikat secara internasional, menunjukkan komitmen Zambia terhadap norma-norma global.
- Reformasi Hukum Nasional:Zimbabwe menghapuskan hukuman mati untuk kejahatan biasa.
Perkembangan ini memperkuat tren bahwa negara-negara di berbagai benua mengakui hukuman mati sebagai bentuk hukuman yang tidak sesuai dengan hak asasi manusia dan mulai mengakhirinya secara yuridis.
Peran Lembaga Multilateral
Resolusi Majelis Umum PBB memainkan peran penting dalam menetapkan konsensus moral global. Mayoritas anggota PBB memilih mendukung Resolusi Majelis Umum yang kesepuluh mengenai moratorium hukuman mati. Meskipun resolusi ini tidak mengikat secara hukum, ia mencerminkan dukungan global yang kuat terhadap penangguhan pelaksanaan hukuman mati.
Namun, konsensus yang kuat di PBB ini berhadapan dengan kontradiksi implementasi di lapangan. Negara-negara retensionis utama (seperti Tiongkok dan trio MENA) secara efektif mengabaikan konsensus moral dan politik ini, menunjukkan adanya dualitas: standar hukum HAM yang tinggi di satu sisi, dan impunitas yang kuat di sisi lain.
Table 3: Klasifikasi Global Status Hukuman Mati dan Perkembangan Terbaru
| Kategori Status | Indikator Kunci | Contoh Perkembangan 2024 | Sumber Referensi PBB |
| Abolisionis (Hukum atau Praktik) | Lebih dari dua pertiga negara | Zambia aksesi Protokol Opsional ICCPR Kedua. | Resolusi Moratorium MA PBB. |
| Retensionis (Aktif Melaksanakan) | Jumlah negara terendah yang tercatat | Zimbabwe abolisi untuk kejahatan biasa. | Kewajiban mematuhi standar minimum. |
| Polarized Retensionists (The 91% Group) | Lonjakan volume eksekusi | Iran, Irak, Arab Saudi. | Pelanggaran standar ‘Kejahatan Paling Serius’. |
Kesimpulan
bahwa isu hukuman mati berada pada persimpangan kritis. Secara normatif, dunia bergerak cepat menuju abolisi, namun secara praktis, terjadi intensifikasi hukuman mati yang sangat terkonsentrasi di sekelompok kecil negara yang menggunakan sanksi ini sebagai alat kontrol politik dan sosial.
Hukuman mati tidak dapat dipertahankan berdasarkan klaim efek jera yang tidak terbukti atau keadilan retributif yang idealistik. Risiko inheren dari kesalahan yudisial yang tidak dapat dibatalkan , ditambah dengan bukti diskriminasi struktural dalam putusan , secara fundamental meruntuhkan klaim bahwa hukuman mati dapat diterapkan secara adil dan tidak sewenang-wenang. Selain itu, praktik yang paling mengkhawatirkan adalah penggunaan hukuman mati secara luas untuk kejahatan non-fatal, khususnya narkotika, yang melanggar standar ICCPR tentang pembatasan sanksi ini hanya pada Most Serious Crimes.
Untuk mengatasi kontradiksi antara norma global dan praktik retensionis yang intensif, langkah-langkah berikut sangat diperlukan:
- Penerapan Moratorium Segera:Negara-negara yang masih memberlakukan hukuman mati dianjurkan untuk segera memberlakukan penangguhan (moratorium) terhadap semua eksekusi, yang merupakan langkah awal penting menuju penghapusan total.
- Pembatasan Ketat pada Most Serious Crimes:Negara retensionis, terutama di Asia dan MENA, harus membatasi penerapan hukuman mati hanya pada kejahatan yang melibatkan pembunuhan yang disengaja, dan segera menghentikan penggunaan sanksi ini untuk kejahatan narkotika dan kejahatan non-fatal lainnya.
- Jaminan Proses Hukum yang Adil:Instansi penegakan hukum harus mengedepankan prinsip kehati-hatian yang ekstrem dalam menjatuhkan hukuman mati, memastikan bahwa setiap terpidana, terutama kelompok rentan seperti individu dengan disabilitas mental atau status ekonomi rendah, menerima bantuan hukum yang berkelanjutan dan proses peradilan yang tidak diskriminatif.
- Peningkatan Transparansi:Negara-negara yang merahasiakan data eksekusi, khususnya Tiongkok, Korea Utara, dan Vietnam, harus didesak untuk mempublikasikan angka eksekusi secara transparan, sesuai dengan kewajiban untuk memberikan informasi kepada Sekretaris Jenderal PBB mengenai penerapan hukuman mati.
Hukuman mati tetap menjadi pelanggaran hak asasi manusia yang mendasar, dan prospek reformasi terletak pada konvergensi antara standar hukum internasional yang terus berkembang dan kesediaan negara-negara retensionis untuk mengganti sanksi ini dengan hukuman yang lebih manusiawi, seperti penjara seumur hidup tanpa remisi.
