Kontekstualisasi Kerjasama Selatan-Selatan dalam Tatanan Dunia Multipolar Abad ke-21

Kerjasama Selatan-Selatan (KSS), atau South-South Cooperation (SSC), kini berada di garis depan upaya negara-negara berkembang untuk membentuk tatanan dunia yang lebih adil dan berimbang. KSS dipandang sebagai inisiatif penting oleh Global South yang berupaya membangun tata dunia multipolar yang lebih memperhatikan kepentingan dan tantangan unik yang dihadapi negara-negara berkembang, menjauh dari model pembangunan yang secara historis didominasi oleh kepentingan Global North.

Secara historis, relevansi KSS berakar kuat pada diplomasi kolektif pasca-kolonial. Inisiatif ini dimulai dengan Konferensi Asia-Afrika (KAA) di Bandung pada tahun 1955. Di Bandung, negara-negara yang baru merdeka dari Asia dan Afrika memutuskan untuk menggalang solidaritas dan bekerja sama di Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) sebagai Kelompok Afro-Asia. Perjalanan solidaritas politik-ekonomi ini kemudian berlanjut pada tahun 1964 dengan pendirian Konferensi PBB tentang Perdagangan dan Pembangunan (UNCTAD), yang kemudian melahirkan Kelompok 77 (G77), menandai konsolidasi peran negara-negara Selatan di panggung ekonomi global. Di era modern, KSS telah bertransformasi dari sekadar gerakan politik menjadi modalitas kebijakan luar negeri yang fokus pada pembangunan ekonomi, penguatan perdagangan internasional, dan diplomasi internasional antar negara berkembang.

Transformasi KSS dari gerakan politik murni menuju modalitas pembangunan yang pragmatis merupakan evolusi penting. Meskipun KSS lahir dari gerakan politik seperti Gerakan Non-Blok dan sentimen anti-kolonial , KSS modern berfungsi secara fungsional untuk berbagi keahlian teknis dan pengalaman praktis. Kapasitas KSS dalam mentransfer solusi yang teruji, atau Model Indigenous, sangat krusial dalam membangun ketahanan (resilience) di tengah krisis global kontemporer seperti pandemi COVID-19, ketidakstabilan politik, dan krisis lingkungan. Hal ini menegaskan bahwa masa depan KSS akan sangat bergantung pada kemampuannya untuk menawarkan solusi praktis yang berbasis pengalaman Selatan, melampaui sekadar retorika politik.

Prinsip Pembeda KSS: Solidaritas, Kepemilikan Nasional, dan Non-Kondisionalitas

KSS didefinisikan sebagai kolaborasi timbal balik (mutual collaboration) di antara negara-negara berkembang. Tujuannya adalah mendorong pembangunan yang mandiri (self-sustainable) sambil memperkuat ikatan melalui kerja sama teknis dan ekonomi.

Prinsip inti yang membedakan KSS dari skema bantuan tradisional, seperti Bantuan Pembangunan Resmi (Official Development Assistance/ODA), adalah filosofi yang mendasarinya. KSS dipandu oleh prinsip-prinsip fundamental, termasuk penghormatan penuh terhadap kedaulatan nasional dan kepemilikan program (national ownership), kebebasan dari kondisionalitas apa pun, solidaritas, dan lahir dari pengalaman serta simpati bersama. Tidak seperti ODA yang seringkali mengalir secara vertikal dari negara maju (Utara) ke negara berkembang (Selatan) dengan penekanan pada hubungan donor-resipien, KSS bersifat horizontal dan menekankan kesetaraan. Negara yang lebih maju dalam suatu bidang tertentu membantu negara berkembang lainnya berdasarkan pengalaman bersama dan bukan atas dasar superioritas.

Tabel berikut mengilustrasikan perbedaan struktural antara Kerjasama Selatan-Selatan dan modalitas bantuan pembangunan tradisional:

Tabel Esensial 1: Perbandingan Prinsip Kerjasama Selatan-Selatan (KSS) dan Bantuan Pembangunan Tradisional (ODA)

Dimensi Kerjasama Selatan-Selatan (SSC) Bantuan Pembangunan Tradisional (ODA)
Prinsip Utama Solidaritas, Kepemilikan Nasional, Non-kondisionalitas, Kesetaraan Hubungan Donor-Resipien, Berbasis Kondisionalitas (Politik/Ekonomi), Kepentingan Strategis Donor
Fokus Bantuan Berbagi Pengetahuan, Transfer Keahlian Teknis, Peningkatan Kapasitas Transfer Keuangan (Moneter), Proyek Infrastruktur (seringkali terikat)
Model Aliran Horizontal, Mutual, Dua Arah (Partisipatif/Interaktif) Vertikal, Unidirectional (Linier)
Motivasi Utama Pembangunan Mandiri Bersama, Prestise Politik Pengurangan Kemiskinan, Pengaruh Geopolitik, Pembukaan Pasar

Model Pembangunan Indigenous dan Transfer Pengetahuan Kualitatif

Kritik terhadap Paradigma Pembangunan Linier dan Konsep “Different”

Paradigma KSS modern muncul dari kritik mendalam terhadap model pembangunan yang didikte oleh Utara. Negara-negara Selatan berjuang untuk ‘pembebasan’ (liberation) alih-alih sekadar ‘pembangunan’ (development) sebagaimana dipikirkan oleh bangsa-bangsa yang merasa lebih maju. Inti dari filosofi ini adalah penolakan untuk disebut ‘terbelakang’ (underdeveloped). Negara Selatan memilih untuk mendefinisikan diri sebagai ‘berbeda’ (different), sehingga mereka dapat mempertahankan impian dan visi mereka sendiri tentang kemajuan dan kesejahteraan yang ingin mereka capai, alih-alih menerima visi yang ‘diimpikan’ oleh para ahli asing.

Perspektif indigenous ini sangat penting dalam konteks transfer pengetahuan. Secara historis, Transfer Teknologi (TT) Utara-Selatan didominasi oleh paradigma difusi inovasi yang linier, di mana teknologi diasumsikan mengalir secara satu arah (unidirectional) dari pencipta di Utara ke pengguna di Selatan. Model linier ini menekankan pada penyaluran inovasi, paten, atau infrastruktur (kuantitas), namun seringkali gagal menangkap kompleksitas penerimaan teknologi, terutama adaptasi lokal. Jika negara-negara Selatan menolak definisi ‘terbelakang’, maka KSS secara implisit harus menolak model TT linier Utara-Selatan. KSS berfungsi sebagai mekanisme decolonization of knowledge, di mana keberhasilan transfer diukur dari sejauh mana praktik yang dibagikan divalidasi dan diadaptasi oleh pengalaman negara penerima, bukan sekadar diadopsi.

Model Transfer Pengetahuan Interaktif dan Partisipatif

Kegagalan model linier menunjukkan bahwa keberhasilan pembangunan di Selatan memerlukan mekanisme transfer yang lebih canggih. Model kontemporer, seperti model interaktif (Interactive Model) dan partisipatif (Participatory Model), mengakui bahwa komunikasi dan transfer pengetahuan adalah proses dua arah yang membutuhkan umpan balik dan adaptasi lokal yang berkelanjutan.

Dalam konteks ini, faktor Kapasitas Absorptif (Absorptive Capacity/ACAP) domestik menjadi penentu utama. Ketika kebijakan Transfer Teknologi terlalu fokus pada impor teknologi (kuantitas) alih-alih pada adaptasi dan pemberdayaan lokal (kualitas dan relevansi), Kapasitas Absorptif domestik cenderung rendah. Kekurangan ACAP ini secara langsung menyebabkan kegagalan adaptasi karena inovasi tidak dapat diintegrasikan secara efektif ke dalam sistem ekonomi dan sosial yang ada. Oleh karena itu, Kerjasama Teknik (KST) dalam kerangka KSS di Indonesia, misalnya, tidak hanya mencakup penempatan tenaga kerja, tetapi juga alih ilmu pengetahuan, teknologi, dan keahlian untuk mendukung peningkatan kualitas sistem kesehatan domestik.

Peran Kerjasama Triangular (SSTC)

Untuk mengatasi keterbatasan sumber daya yang dihadapi negara-negara Selatan, Kerjasama Triangular (South-South and Triangular Cooperation/SSTC) menjadi modalitas yang semakin penting. SSTC didefinisikan sebagai kemitraan yang didorong oleh negara Selatan (Southern-driven partnerships) antara dua atau lebih negara berkembang, yang kemudian didukung oleh satu atau beberapa negara maju dan/atau organisasi multilateral. Dukungan dari pihak Utara atau multilateral ini dapat berupa bantuan finansial, teknologi, dan manajemen.

SSTC berfungsi sebagai jembatan fungsional yang sangat efektif, memungkinkan negara-negara Selatan memanfaatkan sumber daya finansial dan teknologi yang lebih besar dari Utara tanpa mengkompromikan prinsip fundamental KSS, yaitu kepemilikan dan non-kondisionalitas. Dengan mempertahankan kepemimpinan program oleh pihak Selatan, SSTC menjadi sarana yang tepat untuk mendorong kemitraan multipihak dan mempercepat agenda pembangunan melalui pendekatan yang lebih inklusif. Modalitas ini penting dalam konteks pemulihan global dan pembangunan ketangguhan di tengah krisis, sejalan dengan komitmen G20 untuk mempercepat pemulihan di negara berkembang.

Mekanisme Kunci dan Dampak Kualitatif KSS dalam Pencapaian SDGs

Modality Non-Moneter dan Penguatan Kapasitas

Berbeda dengan skema bantuan tradisional yang didominasi transfer uang, KSS cenderung berfokus pada transfer kualitatif. Dalam skema KSS Indonesia, bantuan luar negeri yang diberikan sebagian besar bukan dalam bentuk uang, melainkan pengiriman tenaga ahli, pelatihan pengembangan kapasitas, dan bantuan alat-alat.

Meskipun bantuan ini non-moneter, ia tetap memiliki nilai, misalnya biaya yang dikeluarkan untuk tenaga ahli dan pelatihan. Nilai kualitatif ini berfokus pada pembangunan sumber daya manusia, penguatan kapasitas pengelolaan, dan pembuatan kebijakan, yang merupakan elemen inti dari pembangunan berkelanjutan. Untuk melaksanakan program peningkatan kapasitas ini, Kementerian Luar Negeri Indonesia bahkan membentuk Direktorat Kerjasama Teknik (KST) sejak tahun 2006, yang berkoordinasi dengan instansi teknis, Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM), dan Universitas. Modalitas non-moneter ini adalah perwujudan KSS yang berfokus pada peningkatan kualitas hidup, melampaui sekadar indikator pendapatan.

Pemanfaatan Platform Digital untuk Knowledge Management

Untuk memastikan praktik terbaik dari Selatan dapat diskalakan dan diakses secara luas, pengelolaan pengetahuan (knowledge management) berbasis digital telah menjadi krusial. Office for South-South Cooperation (UNOSSC) PBB, misalnya, telah mendirikan platform digital yang didukung kecerdasan buatan, seperti South-South Galaxy.

Platform ini berfungsi sebagai repositori pengetahuan, memfasilitasi pendokumentasian dan berbagi praktik baik, model, pendekatan, dan alat inovatif KSS yang dapat membantu negara-negara mencapai tujuan pembangunan berkelanjutan. Hal ini memungkinkan pertukaran pengalaman yang lebih efisien di antara para pemangku kepentingan Selatan dan menciptakan peluang kemitraan. Jika KSS historis seringkali bersifat ad hoc—berupa pelatihan tunggal yang terbatas —pemanfaatan platform digital memungkinkan transfer pengetahuan untuk beralih dari model event-based (berbasis acara) menjadi system-based (berbasis sistem), memastikan solusi yang terdokumentasi dapat direplikasi secara masif dan efisien.

Dampak Kualitatif KSS dalam Konteks SDGs

KSS adalah modalitas yang fundamental dalam mendukung negara berkembang untuk mencapai Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (SDGs) secara keseluruhan. Dampak ini seringkali bersifat kualitatif dan terukur dalam konteks pembangunan manusia:

  1. Pembangunan Manusia dan Tata Kelola (SDG 16): Argentina, sebagai salah satu negara Selatan yang aktif, menggunakan KSS untuk memperkuat kapasitas administrasi, perlindungan Hak Asasi Manusia (HAM), dan mendukung pembangunan berkelanjutan. Hal ini selaras dengan fokus Program Pembangunan PBB (UNDP) pada peningkatan kualitas hidup.
  2. Kesehatan Reproduksi (SDG 3): Indonesia, melalui dukungan dari UNFPA, telah berhasil menyediakan pelatihan dan advokasi layanan keluarga berencana di lebih dari 20 negara. Kasus ini menunjukkan transfer praktik terbaik di sektor kesehatan yang sensitif secara sosial dan budaya, termasuk melibatkan tokoh agama Muslim dalam advokasi.
  3. Pendidikan (SDG 4): Upaya kolaboratif, seperti yang didorong oleh UNESCO di Sudan Selatan, berfokus pada implementasi SDG 4.6 (peningkatan literasi dan numerasi) sebagai fondasi untuk mengurangi kemiskinan dan menciptakan kesetaraan.

Studi Kasus Indonesia: Praktik Terbaik, Dampak, dan Tantangan Implementasi

Strategi KSS Indonesia: Soft Power dan Kepentingan Nasional

Indonesia memposisikan diri sebagai pemain kunci dalam KSS, sejalan dengan statusnya sebagai negara berpendapatan menengah yang tidak hanya berfungsi sebagai penerima tetapi juga sebagai pemberi bantuan. Keterlibatan aktif Indonesia dalam KSS merupakan implementasi kebijakan soft power yang bertujuan untuk mendapatkan manfaat politik, seperti meraih dukungan politik dari negara-negara berkembang demi kepentingan kebijakan luar negeri Indonesia di forum internasional. Peran aktif ini juga dianggap sebagai politik prestise bagi Indonesia. Kebijakan luar negeri Indonesia, yang berlandaskan Politik Bebas Aktif, senantiasa dilaksanakan untuk memperjuangkan kepentingan nasional, termasuk penguatan diplomasi internasional.

Praktik Terbaik Indonesia di Kawasan Prioritas: Afrika dan Pasifik

Indonesia memanfaatkan keunggulan komparatifnya untuk mentransfer pengetahuan di sektor-sektor spesifik yang relevan bagi negara-negara Pasifik dan Afrika.

  1. Keahlian Perikanan dan Ketahanan Pangan (SDG 2 & 14): Indonesia secara konsisten berbagi praktik terbaik di sektor perikanan kepada 28 pejabat teknis dan pelaku usaha dari 24 negara di Asia, Pasifik, dan Afrika. Pelatihan teknis ini, yang sering diselenggarakan oleh instansi seperti Balai Pendidikan dan Pelatihan Perikanan (BPPP) Banyuwangi, mencakup praktik penangkapan ramah lingkungan, pengolahan hasil perikanan, dan pemanfaatan sistem akuakultur. Program ini merupakan implementasi nyata dari komitmen Indonesia terhadap pencapaian SDGs, terutama ketahanan pangan dan konsumsi yang berkelanjutan.
  2. Kesehatan Masyarakat (SDG 3): Sebagaimana disebutkan sebelumnya, Indonesia telah menunjukkan kepemimpinan global dalam transfer pengetahuan di bidang kesehatan masyarakat, khususnya menyediakan pelatihan dan advokasi untuk layanan keluarga berencana di lebih dari 20 negara.
  3. Mekanisme Regional: Transfer pengetahuan Indonesia ke negara-negara Pasifik dan Afrika difasilitasi melalui mekanisme regional yang ada, seperti South West Pacific Dialogue (SwPD), Pacific Islands Forum (PIF), dan New Asia Africa Strategic Partnership (NAASP).

Tabel Esensial 2: Peta Kontribusi Sektoral Indonesia dalam Kerjasama Selatan-Selatan (Studi Kasus Kunci)

Sektor Keahlian (Contoh Praktik Terbaik) Kawasan Fokus Mekanisme Transfer Pengetahuan Kunci Tujuan SDGs Terkait Sumber Bukti
Kesehatan Reproduksi & Keluarga Berencana Afrika, Asia (20+ negara) Pelatihan, Advokasi, Peningkatan Kapasitas Tenaga Ahli (melalui UNFPA) SDG 3 (Kesehatan dan Kesejahteraan)
Perikanan Tangkap & Budidaya Berkelanjutan Asia, Pasifik, Afrika (24 negara) Pelatihan Teknis (Technical Assistance), Berbagi Praktik Ramah Lingkungan (di BPPP Banyuwangi) SDG 2 (Pangan), SDG 14 (Ekosistem Laut)
Administrasi Publik & Tata Kelola Regional (Studi kasus Jawa Timur & Gorontalo) Benchmarking, Studi Lapangan, Pengembangan Kebijakan SDG 16 (Kelembagaan Tangguh)

Evaluasi Tata Kelola KSS Domestik Indonesia: Tantangan Struktural

Meskipun peran Indonesia secara politik dan kualitatif diakui, implementasi KSS domestik menghadapi tantangan struktural yang signifikan. Analisis menunjukkan bahwa strategi dan kebijakan KSS Indonesia cenderung bersifat ad hoc dan terfragmentasi (fragmented points of delivery), baik dalam penganggaran, perencanaan, koordinasi, maupun monitoring dan evaluasi.

Fragmentasi ini diperburuk oleh dua kelemahan kelembagaan utama: pertama, belum adanya kerangka kelembagaan yang secara khusus menangani KSS; dan kedua, KSS belum tercantum secara spesifik dalam perundangan dan peraturan nasional, serta belum diselaraskan dengan Rencana Pembangunan Jangka Panjang dan Menengah Nasional (RPJPN/RPJMN).

Paradoks yang muncul dari tata kelola yang terfragmentasi ini adalah konflik antara tujuan politik dan hasil ekonomi. Indonesia berhasil menggunakan KSS untuk keuntungan politik makro, seperti meningkatkan soft power dan mendapatkan dukungan internasional. Namun, penelitian menunjukkan bahwa keterlibatan aktif ini belum memberikan kontribusi yang signifikan bagi pembangunan ekonomi domestik, khususnya di tingkat daerah yang terlibat dalam program transfer keahlian (misalnya, Jawa Timur dan Gorontalo). Kegagalan mengarusutamakan KSS dalam RPJMN dan kelemahan kelembagaan menyebabkan mekanisme feedback loop yang efisien terhambat. Artinya, keberhasilan transfer pengetahuan (misalnya, keahlian perikanan di Banyuwangi) tidak dapat diubah menjadi peluang perdagangan atau investasi balik yang maksimal bagi daerah penyedia keahlian tersebut, sehingga KSS gagal memaksimalkan potensi pembangunan ekonominya sendiri.

Tantangan Masa Depan dan Peta Jalan Strategis KSS

Krisis Global, Digitalisasi, dan Ketahanan

Masa depan KSS tidak hanya berkisar pada penguatan solidaritas politik, tetapi juga kemampuan untuk mengatasi tantangan global abad ke-21. Direktur Kantor PBB untuk Kerjasama Selatan-Selatan (UNOSSC) menyoroti bahwa tantangan masa depan meliputi perlunya peningkatan digitalisasi, penanganan perubahan iklim, dan peningkatan perdagangan serta investasi di antara negara-negara Selatan.

KSS dan Kerjasama Triangular (SSTC) harus diakui sebagai modalitas yang strategis dan efektif untuk pemulihan pasca-pandemi serta membangun ketangguhan di tengah dinamika global. Ini adalah kunci untuk mendorong pembangunan yang inklusif, selaras dengan Roadmap for Stronger Recovery and Resilience in Developing Countries yang diarusutamakan oleh menteri-menteri pembangunan G20, yang berfokus pada peningkatan produktivitas UMKM dan ketangguhan ekonomi.

Mendefinisikan Ulang Pendanaan KSS: Inovasi dan Investasi Bersama

Mengingat skala tantangan struktural yang dihadapi negara-negara Selatan (misalnya, pembangunan infrastruktur iklim dan digital), KSS harus bergerak melampaui bantuan non-moneter murni. Untuk mencapai ketahanan bersama, diperlukan eksplorasi mekanisme pembiayaan baru dan peningkatan investasi dalam penelitian dan pengembangan (R&D) bersama antar negara Selatan.

Perluasan pendanaan KSS dapat dicapai melalui integrasi aktor non-tradisional. Misalnya, perbankan syariah memiliki potensi besar untuk mendukung agenda SDGs dengan menyediakan pembiayaan ramah lingkungan dan mendukung ketahanan pangan serta energi terbarukan, yang sejalan dengan tujuan pembangunan berkelanjutan. Pembangunan KSS harus bertransformasi dari sekadar solidaritas (political goodwill) menjadi interdependensi struktural dan ekonomi.

Penguatan Struktur Tata Kelola KSS Global dan Nasional

Efektivitas KSS di masa depan sangat bergantung pada tata kelola. Secara global, penting untuk memperkuat struktur tata kelola guna memastikan partisipasi yang inklusif dan efektivitas program KSS. UNOSSC, sebagai koordinator, menerima panduan kebijakan dari Majelis Umum PBB dan badan subsidiarinya, High-level Committee on South-South Cooperation.

Di tingkat nasional, terutama bagi Indonesia, tantangan internal tata kelola harus segera diatasi. Sifat ad hoc dan fragmentasi kebijakan menghambat KSS menjadi pendorong pembangunan yang berkelanjutan. Mengarusutamakan KSS/SSTC sebagai modalitas pemulihan ekonomi hanya dapat berhasil jika ada kerangka kelembagaan yang kuat dan spesifik, serta sinkronisasi KSS ke dalam Rencana Pembangunan Nasional. Jika negara-negara Selatan tidak mengembangkan mekanisme pendanaan yang kuat (non-ODA) dan platform R&D bersama, ketahanan yang diupayakan KSS akan tetap rentan terhadap guncangan eksternal.

Kesimpulan

Kerjasama Selatan-Selatan telah membuktikan diri sebagai modalitas krusial untuk pembangunan yang inklusif, dengan prinsip non-kondisionalitas dan kepemilikan nasional yang kuat. Evolusi KSS menekankan transfer pengetahuan kualitatif dan solusi indigenous, yang menolak paradigma pembangunan linier yang dominan. Indonesia telah menunjukkan kapabilitas sebagai negara donor yang signifikan, terutama dalam transfer keahlian sektoral di bidang kesehatan reproduksi dan perikanan kepada negara-negara Pasifik dan Afrika. Namun, potensi ekonomi KSS yang maksimal bagi Indonesia terhambat oleh tantangan tata kelola domestik yang serius, ditandai dengan fragmentasi kebijakan dan lemahnya kelembagaan yang terintegrasi ke dalam rencana pembangunan nasional. 

Untuk memastikan KSS menjadi pilar berkelanjutan bagi kepentingan nasional dan kepemimpinan global Indonesia, diperlukan langkah-langkah strategis berikut:

  1. Pelembagaan dan Pengarusutamaan KSS: Pemerintah harus bergerak cepat untuk membentuk kerangka kelembagaan KSS yang spesifik dan non-fragmentatif. KSS harus diarusutamakan dan disinkronkan secara eksplisit ke dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah dan Panjang Nasional (RPJMN) dan peraturan perundangan terkait, menghilangkan sifat ad hoc yang saat ini menghambat efektivitas.
  2. Fokus pada Kapasitas Absorptif Lokal: Program transfer pengetahuan ke negara-negara Pasifik dan Afrika harus mengadopsi model interaktif dan partisipatif. Tujuan utamanya harus bergeser dari sekadar menyediakan pelatihan (kuantitas) menjadi peningkatan Kapasitas Absorptif Lokal (ACAP), memastikan bahwa praktik terbaik Indonesia dapat diadaptasi, diinternalisasi, dan dilanjutkan secara berkelanjutan oleh negara penerima.
  3. Memaksimalkan Kerjasama Triangular (SSTC): Pemanfaatan SSTC harus ditingkatkan secara strategis untuk mengakses pendanaan, teknologi, dan keahlian yang dibutuhkan guna mengatasi tantangan skala besar (misalnya, perubahan iklim, energi terbarukan) yang tidak dapat dibiayai hanya dengan modalitas KSS non-moneter, sambil tetap memastikan bahwa kemitraan program didorong oleh agenda Selatan (Southern-driven).
  4. Kaitkan KSS dengan Pembangunan Ekonomi Daerah: Kembangkan mekanisme umpan balik dan insentif yang jelas untuk memastikan bahwa sektor dan daerah yang menyediakan tenaga ahli KSS (seperti lembaga pelatihan teknis) memperoleh manfaat ekonomi langsung, seperti peningkatan investasi, peluang perdagangan, atau dukungan finansial untuk inovasi lokal, sehingga KSS dapat berkontribusi signifikan pada pembangunan ekonomi daerah.
  5. Mendorong Inovasi dan Pendanaan Bersama: Indonesia harus memimpin eksplorasi mekanisme pendanaan inovatif, termasuk kemitraan publik-swasta dan potensi keuangan syariah, untuk mengalokasikan investasi pada penelitian dan pengembangan (R&D) bersama dengan negara-negara Selatan lainnya. Ini penting untuk mengatasi tantangan kolektif masa depan seperti digitalisasi dan ketahanan iklim.

 

 

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

7 + 3 =
Powered by MathCaptcha