Dunia saat ini menghadapi kenyataan yang mencolok: kebutuhan kemanusiaan global terus meningkat akibat kombinasi konflik yang berkepanjangan, guncangan iklim ekstrem, dan kerentanan struktural yang mendalam. Data dari tinjauan kemanusiaan global menunjukkan bahwa pada pertengahan tahun 2024, kebutuhan global telah mencapai $48.7 miliar, dengan tujuan untuk menjangkau 188 juta orang yang paling rentan di 72 negara melalui 41 rencana terkoordinasi. Konflik dan kekerasan terus mendorong peningkatan perpindahan dan penderitaan, terutama di Republik Demokratik Kongo (DRC), Haiti, Wilayah Palestina yang Diduduki (OPT), Myanmar, dan Sudan. Pada saat yang sama, guncangan iklim, termasuk banjir, siklon, dan kekeringan, menyebabkan hilangnya nyawa dan mata pencaharian di berbagai negara.
Meskipun besarnya kebutuhan ini, respons internasional mengalami kemunduran yang mengkhawatirkan. Kontras yang tajam terjadi antara tuntutan bantuan dan ketersediaan sumber daya. Pada Mei 2024, hanya $7.9 miliar yang telah diterima untuk memenuhi persyaratan Global Humanitarian Overview (GHO), yang setara dengan hanya 16% dari total kebutuhan tahunan. Angka ini bahkan 18% lebih rendah dibandingkan jumlah yang diterima pada periode yang sama di tahun 2023. Penurunan pendanaan ini adalah yang terbesar yang pernah tercatat dalam sektor kemanusiaan global. Fenomena ini menandakan adanya tren pengabaian internasional yang meningkat, yang menciptakan jurang pemisah yang lebar antara kebutuhan bantuan penyelamat jiwa dan dana yang tersedia.
Kesenjangan ini tidak hanya disebabkan oleh pembengkakan kebutuhan. Meskipun upaya dilakukan pada akhir tahun 2023 untuk mendefinisikan dan ‘mengetatkan’ permintaan anggaran GHO (sebuah langkah yang seharusnya membatasi permintaan dana hanya pada kebutuhan paling akut), penurunan pendanaan tetap terjadi. Hal ini mengindikasikan bahwa masalah utamanya bukan terletak pada manajemen anggaran, melainkan pada keengganan struktural negara-negara donor untuk mempertahankan komitmen mereka pada sistem multilateral. Alih-alih mengalami puncak kebutuhan sementara, sektor kemanusiaan justru menghadapi era retreat (kemunduran) pendanaan dari donor-donor publik besar, yang mungkin mengalihkan sumber daya mereka ke alokasi bilateral atau krisis yang dianggap lebih strategis, seringkali di luar koordinasi PBB.
Definisi Konseptual: Krisis Kemanusiaan yang Terlupakan (Forgotten/Protracted Crises)
Krisis kemanusiaan yang terlupakan—atau forgotten crises—adalah masalah fundamental dalam distribusi bantuan global. Definisi operasional dari krisis ini mengacu pada situasi di mana, meskipun kebutuhan kemanusiaan sangat mendesak dan besar, terjadi kekurangan liputan media internasional dan minat global yang berkelanjutan, yang secara langsung mengakibatkan penurunan drastis dalam pendanaan.
Krisis yang terlupakan seringkali dicirikan sebagai krisis yang berkepanjangan (protracted crises), di mana sebagian besar populasi menghadapi risiko kematian, penyakit, dan kerusakan mata pencaharian yang tinggi selama bertahun-tahun. Krisis-krisis ini biasanya terkait dengan konflik yang berulang atau bencana alam yang terus-menerus. Misalnya, Somalia telah dilanda krisis berlapis selama beberapa dekade, menghadapi konflik, kekeringan terburuk, diikuti oleh banjir terburuk dalam generasi. Meskipun 6 juta orang memerlukan bantuan kemanusiaan dan hampir 4 juta menjadi pengungsi internal pada 2025, krisis ini termasuk di antara yang berjuang mendapatkan pendanaan yang memadai, dengan kebutuhan respons sebesar $1.43 miliar pada 2025.
Untuk mengukur fenomena kegagalan sistemik ini, alat seperti Underfunded Crisis Index digunakan. Indeks tersebut berfokus pada konteks yang secara konsisten kurang didanai selama setidaknya tiga tahun berturut-turut, yang menegaskan bahwa pengabaian ini adalah kegagalan sistemik, bukan hanya fluktuasi pendanaan jangka pendek. Konteks-konteks yang baru ditambahkan ke daftar krisis yang kurang didanai ini menunjukkan sifat tangguh dari respons kemanusiaan yang berkepanjangan dan kesulitan untuk mengakhiri ketergantungan pada permintaan bantuan internasional.
Struktur Argumen: Menghubungkan Media Framing, Geopolitik Donor, dan Dampak Finansial
Laporan ini berpendapat bahwa pengabaian terhadap krisis kemanusiaan tertentu (yang terlupakan) adalah hasil dari konvergensi tiga faktor struktural yang saling memperkuat: bias media yang didorong oleh logika berita yang mencari sensasi, kelelahan psikologis massal di kalangan donor (donor fatigue), dan motif non-kemanusiaan (strategis) yang mendikte keputusan pendanaan oleh negara donor utama. Dengan menganalisis hubungan timbal balik antara liputan media yang selektif (media framing), beban psikologis publik, dan alokasi sumber daya geopolitik, laporan ini bertujuan untuk mengidentifikasi rekomendasi kebijakan yang dapat mendorong respons kemanusiaan global yang lebih adil dan berkelanjutan.
Bias Struktural dalam Liputan Media dan Logika Berita (The Media Paradox)
Media Agenda Setting dan Logika Berita: Mengapa Krisis Tertentu “Layak Berita”
Media massa memainkan peran ganda sebagai penyampai informasi dan aktor sosial yang secara signifikan membentuk opini dan kebijakan publik terkait isu kemanusiaan. Namun, dalam menentukan krisis mana yang layak mendapat liputan global, media seringkali beroperasi berdasarkan logika berita (news logic) yang menuntut narasi yang jelas, mudah diakses, dramatis, dan memiliki kedekatan geopolitik atau kultural dengan audiens target.
Kesenjangan yang paling jelas dalam peliputan media terletak pada diskriminasi karakteristik krisis, khususnya antara bencana yang terjadi tiba-tiba (sudden-onset disasters) dan proses yang bergerak lambat (slow-onset processes).
- Bencana Sudden-Onset: Krisis yang muncul secara tiba-tiba (seperti gempa bumi besar, tsunami, atau invasi militer yang cepat) menarik “media hype” dan liputan yang sangat intens . Intensi liputan yang tinggi namun berdurasi pendek ini cocok dengan siklus berita 24 jam dan memicu lonjakan donasi yang cepat dan besar, meskipun seringkali tidak berkelanjutan.
- Proses Slow-Onset: Sebaliknya, krisis yang berkembang perlahan, seperti kekeringan berkepanjangan, krisis pangan struktural, atau dampak kenaikan permukaan laut akibat perubahan iklim, gagal mendapatkan perhatian publik dan politik yang sama. Krisis berkepanjangan membutuhkan komitmen pendanaan jangka panjang, bahkan hingga 30 hingga 40 tahun, yang secara fundamental bertentangan dengan kebutuhan media akan drama dan urgensi mendadak. Karena kurangnya drama, krisis slow-onset hanya menerima liputan yang teratur dan berintensitas rendah, sehingga sulit bagi para pihak untuk mengamankan sumber daya yang prediktif.
Etika Jurnalisme Krisis Kemanusiaan dan Pengaruh Framing
Kualitas peliputan media tidak hanya memengaruhi kuantitas liputan tetapi juga respons publik. Analisis framing menunjukkan bagaimana media membangun narasi yang memengaruhi persepsi dan tindakan masyarakat. Media memiliki kekuatan besar dalam meningkatkan empati publik, tetapi juga dapat menimbulkan ketegangan dan penolakan jika framing yang digunakan bias atau negatif.
Terdapat kritik signifikan terhadap praktik jurnalisme di zona krisis, terutama dalam konteks bencana. Media seringkali berkutat pada pemberitaan yang dramatik dan traumatik, bahkan sampai pada batas eksploitasi penderitaan dan tangisan korban untuk menciptakan efek dramatis bagi pembaca. Dramatisasi berita ini adalah bentuk penelitian yang melebih-lebihkan fakta demi sensasi. Selain itu, media juga sering menempati peran ganda sebagai lembaga pengumpul bantuan, yang dapat menggeser fokus dari penyebaran informasi yang akurat mengenai kondisi bencana ke peran sosial karikatif yang kontradiktif .
Jurnalisme dihadapkan pada dilema etika. Mereka harus menyeimbangkan penyampaian informasi yang objektif dengan perlindungan nilai-nilai kemanusiaan. Peliputan yang tidak etis dapat memperburuk keadaan korban dan menciptakan stigma. Para ahli etika berpendapat bahwa peliputan bencana harus berlandaskan etika jurnalisme dan aspek kemanusiaan, dengan tujuan mencegah jurnalis mengeksploitasi korban demi keuntungan. Isu yang diangkat seharusnya tidak hanya berfokus pada sisi korban dan trauma, tetapi juga pada penyebab bencana, penanggulangan, dan upaya mitigasi.
Penting bagi media untuk mengedepankan prinsip kehati-hatian dan empati dalam peliputan. Kolaborasi antara media, pemerintah, dan lembaga kemanusiaan diperlukan untuk menghadirkan pemberitaan yang konstruktif dan mendorong respons sosial yang positif.
Tabel 1: Analisis Faktor Penentu Liputan Media Krisis Kemanusiaan
| Karakteristik Krisis | Krisis Mendapat Liputan Global (Hype) | Krisis Diabaikan (Forgotten Crises) | Implikasi pada Pendanaan |
| Kecepatan Muncul | Sudden-Onset (Bencana alam, Invasi Cepat) | Slow-Onset (Kekeringan, Krisis Pangan Struktural, Konflik Protracted) | Memicu Donasi Cepat dan Besar, Tidak Berkelanjutan |
| Geopolitik & Proximity | Relevan dengan Kepentingan Negara Donor Utama atau Kedekatan Kultural | Jauh dari Kepentingan Strategis Barat/Donor Utama | Alokasi Dana Strategis Ekstra-GHO, Mengabaikan Kebutuhan Murni |
| Citra Visual | Jelas, Dramatis, Sederhana (Korban yang mudah diidentifikasi) | Kompleks, Statistik Jangka Panjang, Kurangnya “Wajah” Krisis | Memicu Compassion Fatigue Jangka Panjang |
| Durasi Liputan | Intensi Tinggi, Durasi Pendek (Berita Hari Ini) | Intensi Rendah, Liputan Terfragmentasi (Isu Jangka Panjang) | Kesulitan dalam Memperoleh Dana yang Prediktif (Long-term commitment) |
Psikologi Donasi dan Fenomena Kelelahan Donor (Donor/Compassion Fatigue)
Definisi dan Mekanisme Donor Fatigue dan Compassion Fatigue
Salah satu tantangan terbesar yang dihadapi organisasi nirlaba dan kemanusiaan adalah fenomena kelelahan donor (Donor Fatigue). Donor fatigue terjadi ketika donor jangka panjang atau yang berulang mulai merasa kewalahan atau terputus secara emosional dari permintaan penggalangan dana yang berkelanjutan. Situasi ini dapat mengakibatkan penurunan donasi yang serius, mengancam stabilitas keuangan organisasi.
Pemicu utama donor fatigue adalah kelelahan belas kasihan (Compassion Fatigue). Era media sosial, meskipun memberikan alat yang kuat untuk berbagi cerita emosional dan pembaruan real-time [17], juga menciptakan lingkungan di mana eksposur terhadap terlalu banyak kisah penderitaan dan kebutuhan mendesak menjadi berlebihan. Paparan emosional yang berlebihan ini secara psikologis melelahkan donor, yang pada dasarnya menjadi lelah secara emosional dan kurang responsif terhadap permintaan di masa depan.
Keterkaitan erat terjalin antara etika jurnalisme yang buruk (seperti dramatisasi) dan percepatan compassion fatigue. Media yang secara terus-menerus mengeksploitasi penderitaan memicu respons emosional instan dan dorongan donasi cepat. Namun, donasi ini seringkali didasarkan pada pelepasan rasa bersalah emosional dan bukan pada investasi transformatif. Ketika penderitaan tidak diikuti dengan narasi dampak atau solusi, donor merasa tidak berdaya (helplessness) atau mengalami beban emosional yang berlebihan (emotional overload) dalam jangka panjang. Konsekuensinya, donor menghindari berita (news avoidance) dan krisis yang membutuhkan dukungan protracted kehilangan daya tarik karena kegagalan media dan organisasi dalam membangun koneksi sosial yang langgeng.
Tantangan Retention Donasi dan Strategi Penggalangan Dana yang Tidak Berkelanjutan
Dalam konteks penggalangan dana kemanusiaan, banyak organisasi cenderung berfokus pada solisitasi (permintaan donasi) yang agresif dan berulang, seringkali menggunakan rasa urgensi yang palsu atau berkelanjutan (ongoing false sense of urgency). Praktik ini merupakan salah satu pemicu utama kelelahan donor.
Data mengenai tren pemberian menunjukkan bahwa meskipun permintaan sumber daya terus tumbuh, tren yang terjadi dalam beberapa tahun terakhir adalah bahwa jumlah donor yang memberi semakin sedikit, namun mereka yang tetap memberi, cenderung memberi lebih banyak. Tren ini, yang dipercepat selama masa-masa krisis, mempersempit basis dukungan dan meningkatkan kerentanan sektor ini terhadap fluktuasi loyalitas segelintir donor besar. Ini menandakan kegagalan dalam strategi retention (mempertahankan) dan stewardship (pemeliharaan hubungan) donor, yang seringkali terabaikan di tengah fokus yang berlebihan pada akuisisi donor baru.
Kelelahan donor seringkali juga berasal dari kurangnya pembaruan yang berarti, komunikasi yang buruk, dan kurangnya dampak yang terlihat dari kontribusi mereka. Agar hubungan dengan donor berkelanjutan, organisasi harus melakukan audit operasional untuk memastikan bahwa mereka memberikan perhatian yang maksimal pada pengembangan koneksi mendalam dengan donor, bukan hanya berinteraksi dalam konteks transaksional.
Mengatasi Kelelahan: Kebutuhan akan Narasi yang Berbasis Dampak dan Kemanusiaan Sosial
Untuk melawan donor fatigue dan compassion fatigue, diperlukan pergeseran strategis dan naratif di tingkat organisasi kemanusiaan.
- Transparansi dan Akuntabilitas sebagai Pondasi: NGO harus memprioritaskan saluran komunikasi yang kuat, yang mencakup pelaporan dampak reguler, pesan terima kasih yang dipersonalisasi, dan pembaruan detail tentang bagaimana dana dimanfaatkan. Kepatuhan hukum dan tata kelola yang baik (seperti registrasi dan transparansi) adalah penanda kepercayaan yang krusial bagi donor. Kepercayaan publik bukan hanya hasil kampanye, melainkan buah dari ketulusan yang konsisten dan praktik etika yang dijalankan.
- Membangun Empati Sosial (Social Empathy): Literasi media dan penelitian menunjukkan bahwa untuk mengatasi penghindaran berita, diperlukan jenis representasi baru. Daripada terpaku pada potret korban yang tragis, narasi harus memanusiakan subjek melalui penggambaran kekhawatiran yang umum dan menyoroti ketahanan serta upaya transformasi. Model narasi yang memungkinkan audiens untuk terhubung secara emosional dengan subjek, yang disebut “social empathy,” terbukti lebih efektif dalam menumbuhkan koneksi sosial positif dan melawan compassion fatigue.
- Diversifikasi Keterlibatan: Organisasi harus menawarkan cara-cara non-finansial yang fleksibel bagi para pendukung untuk berkontribusi, seperti menjadi sukarelawan, melakukan penggalangan dana peer-to-peer, kampanye advokasi, atau donasi dalam bentuk barang. Ini dapat mengurangi tekanan finansial terus-menerus dan memperbarui minat.
Strategi yang efektif untuk mengatasi fatigue adalah menggeser fokus dari keadaan akut (yang disukai media) ke dampak transformatif (yang membangun kepercayaan donor) [16, 18]. Hal ini menuntut organisasi nirlaba untuk beroperasi dengan disiplin strategis yang setara dengan menjalankan korporasi, memastikan misi kemanusiaan diterjemahkan menjadi dampak yang terukur dan dapat dipertanggungjawabkan (accountability to affected people) [20, 23].
Political Economy Bantuan dan Alokasi Sumber Daya Global
Motif Bantuan Negara Donor: Dari Kemanusiaan ke Kepentingan Strategis
Dalam analisis kebijakan kemanusiaan, penting untuk memahami bahwa alokasi bantuan luar negeri oleh negara donor besar tidak pernah didasarkan hanya pada motif kemanusiaan murni. Meskipun motif kemanusiaan—yaitu keinginan untuk mengurangi kesulitan, menunjukkan rasa peduli, dan mengurangi tingkat kemiskinan —tetap menjadi landasan resmi kebijakan bantuan, motif non-kemanusiaan seringkali berperan penting dalam menentukan siapa yang menerima bantuan dan seberapa banyak.
Motif non-kemanusiaan ini mencakup motif Ideologi, Identitas, dan yang paling memengaruhi, Motif Strategis. Motif strategis menunjukkan bahwa keputusan pendanaan dapat dipengaruhi oleh kepentingan geopolitik, ekonomi, atau politik luar negeri negara donor, yang pada akhirnya mengesampingkan tingkat kebutuhan murni di lapangan.
Pengaruh kepentingan strategis ini menciptakan distorsi serius dalam sistem bantuan global. Penelitian telah mengamati bahwa negara-negara penerima yang memiliki kepentingan strategis bagi donor bilateral cenderung lebih terlindungi dari pemotongan pendanaan (funding cliffs) dibandingkan negara lain, bahkan ketika program bantuan khusus (seperti yang didukung oleh Gavi) berakhir. Hal ini menunjukkan adanya kompromi moral di mana akses terhadap bantuan yang menyelamatkan jiwa ditentukan oleh nilai geopolitik suatu negara bagi donor, bukan oleh tingkat penderitaan rakyatnya. Alokasi pendanaan kemanusiaan yang sengaja dilakukan di luar mekanisme terkoordinasi PBB (UN Coordinated Appeals) seringkali merupakan cerminan langsung dari preferensi donor atau kepentingan politik/strategis ini.
Disparitas Pendanaan Lintas Krisis (The Funding Gap)
Konsekuensi langsung dari motif strategis dan bias media adalah kesenjangan pendanaan yang besar dan tidak merata. Dengan hanya 16% dari $48.7 miliar kebutuhan GHO yang terpenuhi pada Mei 2024, sektor ini berada dalam mode retreat.
Kesenjangan pendanaan ini sangat terasa pada krisis yang terlupakan:
- Krisis Berkepanjangan: Krisis seperti di Somalia, yang membutuhkan $1.43 miliar pada 2025 [5], dan Yaman, yang meskipun dijanjikan $2.6 miliar oleh sejumlah negara, realisasinya seringkali kurang dari separuh janji tersebut, secara konsisten berjuang melawan persentase pendanaan yang sangat rendah.
- Krisis Profil Tinggi/Geopolitik: Sebaliknya, krisis yang menarik perhatian langsung negara donor G7, seringkali karena kedekatan atau kepentingan politik, cenderung menerima alokasi dana yang lebih besar. Misalnya, Jerman, sebagai donor besar, berkomitmen pada alokasi besar untuk mengatasi krisis pangan global, yang sering dikaitkan dengan inisiatif G7. Meskipun krisis tersebut nyata, fokus finansial ini seringkali menggeser sumber daya dari krisis yang secara politik “terlupakan”.
Distorsi ini menunjukkan adanya krisis keadilan kemanusiaan. Negara-negara yang secara politik “terlupakan”—misalnya, yang tidak memiliki sumber daya strategis, jauh dari fokus media Barat, atau bukan bekas koloni donor—secara otomatis menghadapi kesenjangan pendanaan terbesar. Ini menunjukkan bahwa donor fatigue tidak hanya terbatas pada kelelahan publik, tetapi juga pada tingkat kebijakan donor, di mana komitmen moral kemanusiaan diabaikan demi kepentingan nasional yang sempit, yang memperdalam ketidakadilan global.
Tabel 2: Disparitas Kesenjangan Pendanaan Kemanusiaan Global
| Krisis (Contoh) | Status Krisis | Total Kebutuhan (GHO 2024/2025) | Dana Diterima (Persentase GHO, Mid-Year) | Kesenjangan (Funding Gap) |
| Somalia | Protracted, Kompleks (Konflik/Iklim) | ~$1.43 Miliar (2025) | Sangat Rendah (Biasanya <20%) | Sangat Tinggi, Berulang |
| Yaman | Protracted, Konflik Internal | Tinggi (Janji $2.6 Miliar) | Kurang dari 50% dari Janji | Sangat Tinggi |
| Rata-rata GHO Global | Keseluruhan Kebutuhan Global | $48.7 Miliar | 16% (Per Mei 2024) | $40.8 Miliar (Kesenjangan Besar) |
| Krisis Profil Tinggi (Hipotesis/Geopolitik) | Akut, Geopolitik Sentral | Tinggi | Relatif Tinggi (Sering >60% – Operasional di luar GHO) | Rendah |
Konsekuensi Operasional dari Kesenjangan Pendanaan
Kesenjangan pendanaan yang akut memiliki dampak operasional yang merusak, membalikkan kemajuan yang telah dicapai dalam bantuan kemanusiaan.
- Pemotongan Layanan Vital: Kekurangan dana secara langsung memaksa para pelaku kemanusiaan membuat keputusan sulit tentang siapa dan apa yang harus dimasukkan dalam permintaan bantuan. Ini telah menyebabkan pemotongan program bantuan esensial, seperti pengurangan bantuan pangan, yang meningkatkan risiko kelaparan di wilayah seperti Burkina Faso, Sudan Selatan, dan Yaman. Layanan lain yang dikompromikan termasuk akses terhadap perawatan kesehatan seksual dan reproduksi serta layanan untuk kekerasan berbasis gender. Anak-anak di Mali, OPT, dan Suriah juga kehilangan masa depan mereka karena kekurangan dana untuk pendidikan .
- Peningkatan Kerentanan Populasi: Kurangnya dukungan finansial memaksa populasi yang rentan untuk menggunakan mekanisme bertahan hidup yang berbahaya. Staf Norwegian Refugee Council (NRC) telah menyaksikan pengungsi terpaksa kembali ke zona konflik yang tidak aman karena berkurangnya dukungan di komunitas tuan rumah mereka. Populasi terdampak juga terpaksa menjual aset-aset penting—termasuk alat pertanian yang krusial untuk ketahanan pangan—atau terlibat dalam praktik bertahan hidup berisiko seperti pernikahan dini atau transactional sex.
- Kegagalan Mitigasi Jangka Panjang: Karena pendanaan didorong oleh liputan media yang fokus pada respons akut (sudden-onset), krisis slow-onset yang didorong oleh iklim gagal mendapatkan pendanaan yang prediktif dan berbasis hibah yang diperlukan untuk perencanaan jangka panjang (30-40 tahun). Ketidakmampuan untuk berkomitmen pada dukungan jangka panjang ini memperburuk siklus kerentanan dan meningkatkan kebutuhan akan bantuan darurat di masa depan.
Strategi Mitigasi dan Rekomendasi untuk Respons yang Lebih Adil
Untuk mengatasi masalah sistemik krisis yang terlupakan, diperlukan intervensi kebijakan yang terstruktur dan reformasi etika di seluruh ekosistem kemanusiaan.
Strategi untuk Organisasi Kemanusiaan (NGOs): Melawan Fatigue dan Membangun Kepercayaan
Organisasi kemanusiaan harus beralih dari model penggalangan dana yang didorong oleh transaksi yang dapat memicu fatigue ke model berbasis hubungan.
- Fokus Relasional dan Stewardship: NGO harus menghindari solisitasi yang agresif dan memprioritaskan kultivasi dan stewardship donor untuk membangun koneksi mendalam. Hal ini memerlukan peningkatan penggunaan pendekatan data-driven untuk menganalisis perilaku donor, memahami preferensi mereka, dan menghindari pemicu kelelahan.
- Diversifikasi Keterlibatan: Menawarkan berbagai cara non-finansial bagi donor untuk terlibat—seperti menjadi sukarelawan, kampanye advokasi, atau donasi dalam bentuk barang—dapat menjaga loyalitas dan mengurangi tekanan finansial .
- Memperkuat Kredibilitas dan Akuntabilitas: Transparansi, kepatuhan hukum (misalnya, registrasi yang tepat), dan pelaporan dampak yang konsisten berfungsi sebagai penanda kepercayaan yang krusial. Kepercayaan adalah aset terpenting, dan organisasi harus menunjukkan “ketegasan dan ketahanan yang sama seperti menjalankan korporasi” untuk memastikan misi kemanusiaan diterjemahkan menjadi dampak yang terukur.
Etika dan Reformasi Media: Menuju Jurnalisme Konstruktif
Media memiliki tanggung jawab etika yang besar dalam peliputan krisis. Reformasi harus fokus pada pergeseran dari jurnalisme yang didorong oleh sensasi ke jurnalisme konstruktif.
- Prinsip Berimbang dan Empati: Media wajib mengedepankan prinsip jurnalistik yang berimbang dan etis, memegang teguh prinsip kehati-hatian dalam isu-isu sensitif.
- Fokus pada Akar Masalah dan Mitigasi: Liputan harus diperluas melampaui dramatisasi korban dan bergeser untuk menyoroti penyebab struktural krisis, upaya penanggulangan, dan strategi mitigasi jangka panjang.
- Mengembangkan Social Empathy: Jurnalisme harus berupaya membangun social empathy—narasi yang memanusiakan subjek dengan menampilkan kekhawatiran umum dan ketahanan mereka, alih-alih hanya berfokus pada status tragis mereka. Pendekatan ini adalah kunci untuk melawan compassion fatigue dan mendorong keterlibatan publik yang lebih dalam dan berkelanjutan.
Reformasi Kebijakan Donor Global: Menjamin Alokasi yang Prediktif dan Adil
Tanggung jawab terbesar terletak pada negara-negara donor untuk mengatasi bias yang didorong oleh kepentingan strategis.
- Komitmen pada Kualitas Pendanaan (Good Humanitarian Donorship): Donor harus memenuhi komitmen GHD dan memastikan pendanaan yang fleksibel, berbasis hibah, dan yang paling penting, prediktif. Pendanaan yang prediktif sangat krusial untuk mengatasi krisis slow-onset yang membutuhkan komitmen multi-tahun (30-40 tahun) dan tidak dapat ditangani melalui siklus anggaran tahunan yang fluktuatif.
- Meningkatkan Lokalisasi dan Kemitraan yang Adil: Donor harus memenuhi target untuk menyalurkan minimal 25% pendanaan kemanusiaan langsung kepada organisasi lokal dan nasional (L/NNGOs). Organisasi lokal seringkali memiliki pemahaman yang lebih baik mengenai konteks protracted crises dan dapat mencapai dampak yang lebih berkelanjutan.
- Mengintegrasikan Krisis Slow-Onset ke dalam Kerangka Pendanaan Jangka Panjang: Harus dikembangkan mekanisme pendanaan spesifik yang secara eksplisit mengatasi kerugian dan kerusakan yang disebabkan oleh proses yang bergerak lambat, seperti perubahan iklim. Pendanaan ini harus terpisah dari pendanaan bantuan darurat untuk memastikan bahwa kebutuhan jangka panjang tidak diabaikan demi respons yang akut.
Kesimpulan
Analisis ini menegaskan bahwa fenomena “melupakan yang terlupakan” dalam krisis kemanusiaan adalah masalah struktural, bukan sekadar ketidaksengajaan. Ini adalah produk dari konvergensi kegagalan pasar media yang mengejar hype, kelelahan psikologis massal yang dipicu oleh eksploitasi emosional, dan motif politik negara donor yang secara sengaja mendistorsi alokasi pendanaan dari prinsip netralitas berbasis kebutuhan menuju kepentingan strategis yang sempit.
Kesenjangan pendanaan yang dihasilkan—sebuah kemunduran sistemik global—secara langsung menyebabkan pemotongan layanan penyelamat jiwa dan memaksa jutaan orang rentan mengambil langkah-langkah yang membahayakan keberlangsungan hidup mereka.
Untuk mencapai keadilan respons kemanusiaan, diperlukan reformasi sistemik yang mendalam. Reformasi ini menuntut jurnalisme yang bertanggung jawab dan beretika, yang menggeser fokus dari trauma ke solusi; organisasi kemanusiaan yang beroperasi dengan disiplin strategis yang tinggi dan membangun hubungan jangka panjang berdasarkan kepercayaan dan dampak; dan yang paling penting, negara donor yang mengesampingkan kalkulasi geopolitik dan berkomitmen pada pendanaan yang adil, prediktif, dan fleksibel, terutama untuk krisis yang berkepanjangan. Solidaritas global harus dibangun di atas social empathy yang autentik dan ekosistem kepercayaan yang tahan banting, daripada respons emosional yang cepat dan transaksional yang hanya menguntungkan krisis-krisis yang mendapat perhatian tinggi. Kegagalan untuk melakukan reformasi ini akan berarti mengutuk jutaan orang di konteks krisis yang terlupakan untuk terus hidup dalam pengabaian yang berkelanjutan.
