Konteks Globalisasi dan Perubahan Nilai Sosial

Globalisasi didefinisikan sebagai serangkaian proses integrasi dan hubungan antar negara dan masyarakat di seluruh dunia, yang didorong oleh kemajuan pesat dalam komunikasi, teknologi, transportasi, dan ekonomi. Fenomena ini telah menjadi kekuatan dominan yang membentuk masyarakat modern di berbagai belahan dunia, menciptakan dunia yang semakin terhubung dan saling bergantung, di mana batas-batas geografis dan budaya menjadi semakin kabur. Dampak dari integrasi dunia ini tidak hanya terbatas pada bidang ekonomi dan politik, tetapi merambah hingga ke tatanan hukum  dan, yang paling mendasar, pada perubahan nilai-nilai sosial dan budaya masyarakat.

Perubahan nilai sosial akibat globalisasi merupakan aspek yang paling signifikan dan sering diperdebatkan. Globalisasi tidak hanya menyulitkan pendefinisian budaya itu sendiri, tetapi juga memperkenalkan perspektif baru dalam melihat perbedaan budaya. Interaksi budaya yang meningkat, yang dipercepat oleh globalisasi , memaksa masyarakat untuk tidak lagi beroperasi dalam isolasi, melainkan dalam interaksi dan pertukaran konstan, suatu proses yang dikenal sebagai akulturasi. Tantangan utama bagi negara berkembang adalah bagaimana menyeimbangkan keterbukaan ini dengan upaya pelestarian identitas inti lokal.

Tiga Paradigma Dampak Budaya (Jan Nederveen Pieterse)

Untuk menganalisis dampak globalisasi pada nilai sosial, para akademisi sering kali merujuk pada tiga paradigma utama yang diajukan oleh Jan Nederveen Pieterse, yang menyediakan kerangka kerja analitis mengenai proses terbentuknya budaya yang dihasilkan oleh globalisasi. Pemahaman terhadap ketiga paradigma ini sangat penting karena masing-masing mewakili pandangan politik dan ideologis yang berbeda mengenai hasil akhir globalisasi budaya.

Paradigma pertama adalah Diferensiasi Budaya (Perbedaan Abadi), sering dikaitkan dengan teori Clash of Civilizations Samuel P. Huntington. Pandangan ini memprediksi bahwa identitas budaya dan agama akan menjadi sumber utama konflik pasca-Perang Dingin. Dalam konteks globalisasi, paradigma ini melihat adanya fragmentasi budaya dan konflik antarbudaya yang terjadi ketika budaya lokal gagal menghadapi gelombang budaya global. Oleh karena itu, perlawanan dan pemberontakan dapat terjadi untuk menyelamatkan budaya lokal, yang mendasari argumen tentang resistensi budaya.

Paradigma kedua adalah Konvergensi Budaya (Kesamaan yang Tumbuh), yang populer disebut sebagai McDonaldization atau Westernisasi. Paradigma ini mengasumsikan bahwa globalisasi akan menciptakan keseragaman budaya di seluruh dunia, yang cenderung mengarah pada adopsi model tunggal yang dominan, yaitu model Barat. Pandangan ini didukung oleh penganut modernisasi liberal yang melihat perubahan nilai menuju rasionalitas dan individualisme sebagai kemajuan. Paradigma ini menjadi dasar teoretis untuk menganalisis pergeseran menuju Individualisme di negara-negara berkembang.

Paradigma ketiga, Hibridisasi Budaya (Pencampuran yang Berkelanjutan), menawarkan sintesis dinamis. Hibridisasi melihat pencampuran elemen budaya global dan lokal, yang menghasilkan bentuk budaya baru yang unik dan tidak terduga. Dalam proses ini, yang sering disebut akulturasi, masyarakat mengembangkan identitas budaya yang dinamis dan adaptif alih-alih identitas yang murni. Hibridisasi menunjukkan bahwa globalisasi budaya menghasilkan heterogenisasi, bukan sekadar homogenisasi.

Dorongan Konvergensi: Westernisasi Dan Individualisme

Argumen utama konvergensi adalah bahwa globalisasi, yang dimediasi oleh paparan teknologi dan media Barat, secara sistematis mendorong nilai-nilai yang berpusat pada Individualisme di negara-negara berkembang. Individualisme merupakan gaya hidup yang memprioritaskan kepentingan pribadi di atas kepentingan kolektif.

Akselerator Utama: Media Barat dan Teknologi Digital

Kemajuan teknologi, khususnya internet dan media sosial, telah menjadi mesin utama yang menggerakkan konvergensi nilai. Media digital berfungsi sebagai jembatan global yang memungkinkan individu dari latar belakang budaya yang beragam untuk berinteraksi dan berbagi pengalaman. Akses cepat dan lintas batas ini membawa budaya populer dari Barat, mencakup film, musik, fashion, dan gaya hidup, yang mudah diakses melalui platform digital.

Paparan media ini secara implisit membawa nilai-nilai yang menekankan otonomi individu dan sekularitas. Ketika platform digital, yang didominasi oleh perusahaan Barat, diimpor ke dalam masyarakat yang secara tradisional kolektivis, mereka secara struktural cenderung melemahkan mekanisme solidaritas yang membutuhkan kontak fisik dan interaksi tatap muka. Oleh karena itu, peningkatan individualisme di negara berkembang sering kali merupakan konsekuensi sampingan dari adopsi teknologi yang dirancang untuk budaya yang sudah berorientasi pada individu.

Manifestasi Pergeseran Nilai Menuju Individualisme

Perkembangan individualisme dalam masyarakat modern menunjukkan peningkatan, di mana banyak orang cenderung memprioritaskan kepentingan pribadi mereka. Bukti empiris dari pergeseran ini terlihat dalam beberapa manifestasi sosial:

Isolasi Sosial dan Egoisme Digital Meskipun teknologi digital seharusnya mempererat hubungan, ia justru sering menjadi pemicu isolasi sosial dan mengkhawatirkan karena memperkuat egoisme. Fenomena ini tampak dalam pola hidup yang berorientasi pada diri sendiri, seperti seorang individu yang terpaku pada gadget-nya di tempat umum tanpa memedulikan sekitarnya. Media sosial, meskipun memfasilitasi komunikasi, sering membuat pengguna terjebak dalam pencitraan dan mengukur nilai diri dari jumlah like atau view yang diterima, bukan dari hubungan sosial yang nyata dan tulus. Kedekatan emosional pun semakin menipis karena interaksi lebih sering terjadi melalui layar daripada secara fisik.

Penurunan Solidaritas Sosial Sikap individualisme ini berujung pada penurunan empati sosial. Contoh perilaku sehari-hari termasuk keengganan untuk membantu orang yang membutuhkan dengan alasan terlalu sibuk dengan urusan pribadi. Dalam situasi krisis, seperti pandemi Covid-19, sikap individualisme memicu panic buying. Masyarakat membeli kebutuhan dalam skala besar tanpa memikirkan keadaan orang lain yang juga membutuhkan, yang mengindikasikan kurangnya kepedulian antar sesama. Hal ini menunjukkan bahwa individualisme global mengancam nilai-nilai komunalitas yang mendasari tatanan sosial tradisional.

Hubungan Konvergensi dengan Konsumerisme dan Materialisme

Globalisasi dan budaya pop (yang didominasi asing) telah memicu gelombang konsumerisme yang merajalela di banyak negara berkembang. Konsumerisme di sini bukan lagi sekadar pemenuhan kebutuhan dasar, melainkan telah terinternalisasi sebagai sesuatu yang bernilai sosial.

Seseorang tidak melihat alasan untuk tidak mengonsumsi sebanyak mungkin yang ia bisa, di mana kemampuan konsumsi menjadi penanda identitas dan makna sosial. Pergeseran ini menempatkan nilai materialistis di atas nilai-nilai non-material, yang merupakan ciri dari masyarakat yang berorientasi pada nilai bertahan hidup (Survival Values) dalam konteks modernisasi awal. Siklus ini diperkuat oleh layanan kredit yang memungkinkan peningkatan konsumsi melampaui penghasilan, yang selanjutnya dapat menjerumuskan konsumen ke dalam ketergantungan dan materialisme.

Kerangka Makro: Perspektif Peta Budaya Ingelhart-Welzel (Wvs)

Untuk menempatkan analisis konvergensi nilai dalam kerangka komparatif yang lebih luas, Peta Budaya Inglehart-Welzel, yang didasarkan pada data World Values Survey (WVS), menawarkan perspektif makro yang penting.

Dua Dimensi Fundamental Perubahan Nilai Global

WVS mengidentifikasi dua dimensi utama variasi nilai lintas budaya yang menjelaskan sebagian besar perbedaan antara masyarakat di dunia :

  1. Sumbu Vertikal: Nilai Tradisional vs. Sekuler-Rasional. Nilai tradisional menekankan pentingnya agama, ikatan orang tua-anak, kepatuhan terhadap otoritas, dan nilai keluarga tradisional. Masyarakat ini memiliki kebanggaan nasional yang tinggi, namun cenderung menolak perceraian, aborsi, dan eutanasia. Sebaliknya, Nilai Sekuler-Rasional menunjukkan preferensi yang berlawanan, dengan kurang menekankan pada agama dan otoritas.
  2. Sumbu Horizontal: Nilai Bertahan Hidup (Survival) vs. Nilai Ekspresi Diri (Self-expression). Nilai Bertahan Hidup menempatkan penekanan utama pada keamanan ekonomi dan fisik, terkait dengan toleransi yang rendah terhadap kelompok luar (etnosentrisme), peran gender tradisional, dan dukungan terhadap otoritarianisme. Sebaliknya, Nilai Ekspresi Diri memberikan prioritas tinggi pada perlindungan lingkungan, meningkatnya toleransi terhadap orang asing dan kesetaraan gender, serta tuntutan partisipasi dalam pengambilan keputusan politik dan ekonomi.

Proyeksi Konvergensi Berdasarkan Modernisasi Revisi

Tesis utama yang didukung oleh peta budaya ini adalah bahwa perkembangan sosioekonomi terkait erat dengan sindrom orientasi nilai yang khas. Teori modernisasi yang direvisi memproyeksikan bahwa seiring dengan peningkatan standar hidup, dari masyarakat pra-industri menuju industrialisasi dan akhirnya masyarakat pasca-industri, suatu negara akan cenderung bergerak secara diagonal dari kuadran kiri bawah (Tradisional/Bertahan Hidup—ciri negara miskin) menuju kuadran kanan atas (Sekuler-Rasional/Ekspresi Diri—ciri negara maju).

Ini mengimplikasikan bahwa globalisasi dan modernisasi ekonomi diprediksi akan secara alami mengikis nilai-nilai bertahan hidup, menggantinya dengan nilai-nilai emansipatif dan humanistik yang menekankan otonomi dan pilihan manusia. Dalam masyarakat pasca-industri, keamanan eksistensial dan kebebasan berpikir dianggap sebagai hal yang biasa, yang mendorong penghargaan tinggi terhadap ekspresi diri.

Batasan Konvergensi: Resistensi Warisan Budaya

Meskipun terdapat korelasi kuat antara pembangunan sosioekonomi dan sindrom nilai ini, peta budaya ini juga mengungkapkan bahwa sikap populasi sangat dipengaruhi oleh ideologi filosofis, politik, dan agama yang mendominasi di negara tersebut. Hal ini menjelaskan mengapa konvergensi tidak bersifat total.

Sebagai contoh, meskipun pembangunan ekonomi mendorong pergeseran menuju Nilai Ekspresi Diri (yang mencerminkan individualisme dan otonomi), warisan budaya dan agama memberikan resistensi yang kuat terhadap sekularisasi (pergeseran dari Tradisional ke Sekuler-Rasional). Diferensiasi yang stabil ini menunjukkan bahwa globalisasi ekonomi dapat mendorong adopsi individualisme dalam perilaku pasar, tetapi nilai-nilai inti terkait agama, keluarga, dan moralitas—yang menjadi landasan dimensi Tradisional—cenderung lebih sulit diubah.

Selain itu, prevalensi Nilai Bertahan Hidup di negara berkembang memberikan pemahaman mendalam tentang akar intoleransi. Ketika kelangsungan hidup tidak pasti akibat ketidakamanan eksistensial, keragaman budaya atau orang asing dipandang sebagai ancaman yang dapat mengambil nafkah. Akibatnya, masyarakat cenderung berpegang teguh pada norma-norma lama, menekankan peran gender tradisional, dan menolak keragaman. Oleh karena itu, resistensi budaya di negara berkembang bukan hanya masalah ideologi, tetapi juga terkait dengan respons psikologis terhadap ketidakamanan eksistensial.

Tekanan Resistensi: Penegasan Identitas Nasional Dan Komunal

Menghadapi dorongan konvergensi, negara-negara berkembang dan masyarakat lokal telah mengembangkan mekanisme resistensi yang kuat, menegaskan kembali identitas tradisional dan nasional mereka. Resistensi ini bersifat aktif dan strategis.

Resistensi Geopolitik dan Narasi De-Westernization

Resistensi terhadap nilai-nilai global sering kali diartikulasikan sebagai respons defensif terhadap apa yang dipersepsikan sebagai intervensi atau hegemoni, terutama yang berasal dari bekas kekuatan kolonial. Sentimen negatif terhadap Barat, yang sering dianggap “self-centered,” menguat di negara-negara Global South.

Dalam konteks geopolitik, resistensi budaya telah diinstitusionalisasikan. Nilai-nilai komunitas, tradisional, dan keluarga lokal dipromosikan sebagai nilai universal yang kontras dengan apa yang disebut sebagai ‘dekadensi’ liberal Barat. Hal ini menunjukkan bahwa resistensi terhadap individualisme dan sekularisasi tidak hanya didorong oleh pelestarian budaya semata, tetapi juga oleh motivasi politik dan anti-imperialis yang menggunakan nilai tradisional sebagai senjata soft power.

Penguatan Identitas Nasional dan Kedaulatan Budaya

Globalisasi menimbulkan tantangan serius bagi nasionalisme , tetapi pada saat yang sama, memicu penguatan kedaulatan budaya dan identitas nasional sebagai mekanisme pertahanan.

Peran Negara dalam Penyaringan Nilai Pemerintah berperan krusial dalam mengelola dampak globalisasi. Indonesia, misalnya, menekankan pentingnya identitas nasional yang berlandaskan Pancasila dan UUD 1945 agar warga negara mampu menyaring produk-produk globalisasi yang dapat merubah nilai-nilai kebangsaan. Generasi muda didorong untuk berpikir kritis dan mengoptimalkan teknologi informasi untuk mengembangkan potensi diri dan bangsa, alih-alih tenggelam dalam arus informasi. Resistensi ini juga bersifat strategis; kebijakan negara, seperti pembatasan perdagangan, dapat secara efektif membatasi paparan budaya asing yang tidak diinginkan, menunjukkan bahwa negara-negara berkembang memiliki agency dalam mengendalikan globalisasi budaya.

Narasi Kontra-Hegemoni Resistensi juga terjadi pada tingkat naratif. Studi kasus menunjukkan upaya resistensi pribumi terhadap pandangan Orientalis kolonial, di mana narasi lokal digunakan untuk membalas citra buruk Barat yang cenderung melihat Timur sebagai objek yang lemah dan tidak beradab. Ini merupakan upaya aktif untuk mempertahankan atau membangun identitas budaya yang kuat, yang menjadi sumber kekuatan dan inspirasi dalam menghadapi tantangan modern.

Ketahanan Nilai Keluarga, Komunalitas, dan Agama

Meskipun tekanan individualisme tinggi, nilai-nilai kolektif di negara berkembang menunjukkan ketahanan yang luar biasa, seringkali melalui adaptasi yang lentur.

Adaptasi Keluarga dan Religiusitas Keluarga modern di Indonesia, sebagai contoh, mengalami transformasi nilai dari pola hierarki tradisional menuju pola yang lebih egaliter, yang tercermin dalam komunikasi terbuka dan pembagian peran yang fleksibel. Namun, transformasi ini bersifat seimbang: nilai tradisional seperti rasa hormat terhadap orang tua, solidaritas, dan tanggung jawab kolektif tetap dijaga. Adaptasi ini seringkali ditopang oleh nilai-nilai religius yang kuat. Analisis menunjukkan bahwa keluarga dengan komitmen agama yang lemah memiliki risiko empat kali lipat untuk mengalami ketidakbahagiaan atau broken home. Oleh karena itu, komitmen agama berfungsi sebagai fondasi moral yang mempertahankan kohesi keluarga di tengah perubahan sosial.

Ketahanan Komunitas Adat Komunitas adat juga menunjukkan resistensi efektif. Komunitas menggunakan sistem pengetahuan adat dan kearifan lokal sebagai strategi adaptasi untuk menjaga ketahanan budaya dan lingkungan di tengah tekanan modernisasi global. Penguatan lembaga adat dan integrasi kearifan lokal ke dalam kebijakan resmi sangat penting untuk memastikan kesinambungan sosial-ekologis. Kohesi sosial yang kuat yang dihasilkan oleh kearifan lokal memungkinkan masyarakat menjadi lebih tangguh dalam menghadapi tantangan dan perubahan global.

Penguatan identitas keagamaan juga menjadi respon langsung terhadap interaksi lintas budaya yang diakibatkan globalisasi. Generasi muda mencari pemahaman yang lebih dalam tentang ajaran agama mereka, yang pada gilirannya memperkuat rasa memiliki terhadap komunitas Muslim yang lebih luas dan mendorong partisipasi dalam kegiatan sosial yang mencerminkan nilai-nilai Islam.

Sintesis Dinamis: Fenomena Hibridisasi Dan Glokalisasi

Realitas yang terjadi di negara-negara berkembang sebagian besar tidak mengarah pada konvergensi total maupun resistensi yang mengisolasi. Sebaliknya, proses yang paling dominan adalah sintesis budaya, atau hibridisasi.

Konsep Hibridisasi dan Akulturasi Selektif

Hibridisasi didefinisikan sebagai pencampuran yang berkelanjutan antara budaya global dan lokal, menciptakan bentuk budaya baru. Proses akulturasi—pertukaran dan integrasi elemen budaya yang berbeda—dipercepat oleh globalisasi. Hasil dari proses ini adalah pembentukan identitas budaya yang dinamis dan adaptif. Dalam kerangka ini, pengaruh global tidak hanya bersifat seragam; ia menciptakan keragaman unik atau heterogenisasi.

Hibridisasi membuktikan bahwa negara berkembang tidak hanya menjadi korban pasif Westernisasi, melainkan melakukan rekayasa budaya (cultural engineering). Masyarakat memilih elemen yang fungsional (teknologi, estetika) sambil menyaring elemen yang mengancam nilai-nilai inti mereka (seperti sekularisme atau seksualitas bebas). Proses internalisasi yang terkontrol ini adalah bukti terkuat yang menolak tesis konvergensi total.

Glokalisasi: Lokal Mengubah Global

Glokalisasi adalah konsep kunci yang menjelaskan bagaimana produk atau nilai global diadaptasi agar sesuai dengan konteks lokal. Fenomena ini menunjukkan bahwa sumber pengaruh budaya global tidak hanya berasal dari Barat.

Pengaruh Budaya Non-Barat (K-Pop dan Cosplay) Di Indonesia, fenomena budaya pop non-Barat seperti K-Pop dan Cosplay (budaya Jepang) menjadi sangat populer. Meskipun adopsi budaya pop asing ini dapat mengancam identitas lokal secara bertahap , penerimaannya menunjukkan bahwa masyarakat memiliki kemampuan selektif.

Contoh yang lebih kuat terlihat pada Jepang. Meskipun negara ini sangat modern, terglobalisasi, dan pasca-industri, masyarakat Jepang berhasil mempertahankan nilai kolektivisme yang kuat, di mana tujuan kelompok diprioritaskan di atas tujuan individu, bahkan dalam strategi komunikasi bisnis. Jepang menantang asumsi bahwa modernitas harus identik dengan individualisme. Ini adalah contoh glokalisasi yang sukses, di mana nilai-nilai tradisional yang konstruktif dipertahankan dan diintegrasikan ke dalam sistem ekonomi modern.

Dampak Positif Akulturasi Akulturasi, jika terjadi secara inklusif dan harmonis, memiliki manfaat signifikan. Proses ini dapat mempererat hubungan sosial antar individu dari latar belakang budaya yang berbeda, memperkuat rasa persatuan dan solidaritas melalui berbagai kegiatan sosial dan festival budaya. Hal ini menghasilkan warisan budaya yang hidup dan relevan dengan perkembangan zaman. Namun, harus diakui bahwa glokalisasi mengaburkan batas antara lokal dan asing; bahkan adaptasi yang sukses membuat pelestarian tradisi murni (misalnya, estetika rumah adat ) semakin sulit jika tidak diintegrasikan ke dalam konteks modern.

Kesimpulan

Ringkasan Temuan Kunci: Konvergensi Terpilih dan Resistensi Strategis

Analisis terhadap dampak globalisasi pada nilai-nilai sosial di negara berkembang menunjukkan bahwa hasil akhirnya bukanlah dikotomi yang saling eksklusif, melainkan interaksi yang kompleks yang paling baik dijelaskan melalui hibridisasi.

Konvergensi parsial terlihat jelas dalam aspek perilaku yang fungsional bagi pasar global, seperti adopsi gaya hidup Barat (Westernisasi), perilaku ekonomi (Konsumerisme, Materialisme), dan peningkatan orientasi diri (Individualisme digital). Tren ini didukung oleh teori modernisasi yang memprediksi pergeseran dari Nilai Bertahan Hidup menuju Nilai Ekspresi Diri.

Sebaliknya, Resistensi budaya terbukti kuat, terutama pada dimensi tradisional (agama, otoritas, kebanggaan nasional) dan pada inti nilai komunalitas (keluarga, kearifan lokal). Resistensi ini tidak bersifat reaksioner, melainkan strategis, dipicu oleh memori sejarah (anti-Orientalisme ), ketidakamanan eksistensial (Nilai Bertahan Hidup ), dan didukung oleh kebijakan negara untuk menyaring pengaruh luar dan menjaga kohesi sosial.

Realitas sosial yang mendominasi adalah Hibridisasi/Glokalisasi, di mana masyarakat menyerap aspek modernitas yang fungsional sambil mempertahankan inti nilai tradisional mereka melalui adaptasi yang lentur.

Ringkasan Kontras Nilai Sosial di Negara Berkembang: Konvergensi vs. Ketahanan

Aspek Nilai Tren Konvergensi (Dipengaruhi Media/Barat) Bukti Ketahanan (Lokal/Komunal/Nasional)
Fokus Sosial Prioritas kepentingan pribadi (Individualisme, Egoisme). Solidaritas, tanggung jawab kolektif, kearifan lokal.
Keluarga/Otoritas Pergeseran peran kaku, pelemahan komitmen agama, risiko konflik (Sekuler-Rasional). Adaptasi keluarga egaliter yang seimbang dengan menjaga nilai tradisional dan religius.
Perilaku Ekonomi Konsumerisme, materialisme, panic buying. Nilai Bertahan Hidup (Survival Values) yang menekankan keamanan, tetapi juga memicu etnosentrisme.
Identitas Makro Westernisasi, Identitas berdasarkan konsumsi Pop Culture (K-Pop/Cosplay). Penegasan Identitas Nasional (Pancasila), aktivisme budaya, narasi anti-Orientalisme.

Strategi Penguatan Nilai Inti di Negara Berkembang

Dalam menghadapi arus globalisasi, negara-negara berkembang harus mengupayakan keseimbangan yang inklusif antara keterbukaan global dan pelestarian kekayaan budaya.

Mekanisme Penyaringan Selektif dan Kontrol Sosial Pemerintah harus mengambil peran aktif dalam “menyaring produk-produk globalisasi”. Kontrol sosial di era digital tidak lagi dapat diandalkan hanya pada hierarki tradisional, melainkan harus bersifat horizontal, di mana generasi muda didorong untuk menciptakan kontrol sosial dan berpikir kritis. Ini memungkinkan mereka untuk mengoptimalkan teknologi informasi untuk mengembangkan potensi bangsa, alih-alih pasif tenggelam dalam konsumsi. Strategi ini memerlukan kebijakan yang cermat, melampaui proteksionisme ekonomi sederhana, untuk membatasi penyebaran nilai yang tidak sesuai tanpa menghalangi inovasi.

Penguatan Lembaga Kultural dan Pendidikan Nilai Diperlukan kebijakan formal yang secara eksplisit mengakui dan mengintegrasikan sistem pengetahuan adat dan kearifan lokal ke dalam pendidikan dan pengelolaan kelembagaan adat. Penguatan kapasitas tokoh dan lembaga adat sangat krusial dalam menjaga ketahanan budaya.

Selanjutnya, strategi adaptasi nilai dalam keluarga modern harus bersifat seimbang, mengintegrasikan nilai tradisional yang konstruktif (seperti rasa hormat dan solidaritas) dengan nilai-nilai modern yang relevan (seperti komunikasi terbuka dan egalitarianisme). Hal ini penting untuk memastikan bahwa keluarga bertransisi ke modernitas tanpa kehilangan kohesi moral, seringkali melalui penguatan komitmen agama sebagai fondasi etika kehidupan. Penting untuk dipahami bahwa ketahanan budaya memerlukan adaptasi dinamis, bukan stagnasi; nilai-nilai tradisional yang menghambat efisiensi atau inovasi harus diolah ulang.

Memanfaatkan Ruang Digital untuk Kohesi Alih-alih memandang media digital hanya sebagai penyebar individualisme, perlu adanya upaya untuk mengembangkan platform dan inisiatif digital lokal yang memprioritaskan interaksi komunal dan solidaritas, menandingi model media sosial yang individualistik. Media digital harus digunakan sebagai jembatan untuk mengatasi kesenjangan budaya, memastikan keberagaman suara dan perspektif lokal, dan meningkatkan toleransi melalui interaksi antarbudaya yang cermat dan inklusif.

 

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

55 − = 50
Powered by MathCaptcha