Paradigma Ketidakadilan Iklim Global
Krisis iklim global saat ini telah melampaui batasan isu lingkungan semata, bertransformasi menjadi masalah moral, struktural, dan hak asasi manusia yang fundamental. Fenomena ini secara eksplisit menyingkap ketimpangan mendalam yang mengakar antara dua entitas geopolitik utama: Global North (Utara Global), yang didominasi oleh negara-negara industri maju, dan Global South (Selatan Global), yang mencakup negara-negara berkembang dan paling rentan.
Definisi kunci dalam analisis ini adalah jejak karbon, yang merangkum berat kumulatif polusi—yaitu total emisi semua Gas Rumah Kaca (GRK)—yang dilepaskan ke atmosfer. GRK ini meliputi Karbon Dioksida (CO2), Metana, Dinitrogen oksida, Gas terfluorinasi, Ozon, dan Uap air. Peningkatan masif jejak karbon sejak era pra-industri tidak diragukan lagi disebabkan oleh eksploitasi dan pembakaran bahan bakar fosil secara global untuk menghasilkan energi.
Kerangka Keadilan Iklim dan Definisi Most Affected People and Areas (MAPA)
Dalam konteks politik perubahan iklim, fokus perhatian harus diberikan kepada Most Affected People and Areas (MAPA). MAPA merupakan himpunan masyarakat dunia, mayoritas dari belahan Selatan, yang memiliki kontribusi emisi yang minimal namun menunjukkan durabilitas paling rapuh terhadap dampak perubahan iklim. Negara-negara Kepulauan Kecil (Small Island Developing States/SIDS) adalah perwakilan utama dari kelompok MAPA ini.
Penggunaan istilah MAPA dan penekanan pada ketimpangan struktural dan moral dalam narasi krisis iklim memiliki implikasi geopolitik yang sangat besar. Hal ini mengubah kerangka negosiasi dari sekadar persoalan teknis mitigasi atau bantuan pembangunan menjadi tuntutan pertanggungjawaban politik dan keadilan reparatif. Kerangka ini mengakui bahwa penderitaan SIDS saat ini adalah hasil langsung dari “utang karbon” historis yang diciptakan oleh negara-negara industri Global North.
Struktur Laporan dan Argumen Tesis
Laporan ini menganalisis hubungan kausal antara jejak karbon historis dan kerugian eksistensial yang dialami oleh komunitas kepulauan, menyoroti ancaman terhadap kedaulatan, ekonomi, dan warisan budaya. Selanjutnya, laporan ini mengkaji tuntutan mendesak untuk Keadilan Iklim, terutama melalui Dana Kerugian dan Kerusakan (Loss and Damage Fund/LDF), sebagai mekanisme penting untuk mengatasi ketimpangan global yang tidak dapat diabaikan.
Pengukuran Ketimpangan Kausal: Disparitas Emisi Utara vs. Selatan
Analisis ilmiah yang mendalam mengukuhkan bahwa krisis iklim adalah hasil dari akumulasi karbon historis, di mana kewajiban utama terletak pada negara-negara yang memimpin industrialisasi global.
Tanggung Jawab Historis Global North: Bukti Utang Karbon
Data kuantitatif menunjukkan bahwa Global North memikul liabilitas yang tidak proporsional terhadap atmosfer bersama (atmospheric commons). Sebuah penelitian tegas menyatakan bahwa Global North bertanggung jawab atas 92% emisi berlebih yang telah dilepaskan ke atmosfer, dengan Amerika Serikat dan Uni Eropa menjadi kontributor utama liabilitas ini.
Korelasi kausal dari emisi kumulatif ini sangat jelas. Peningkatan emisi Gas Rumah Kaca sejak era pra-industri telah memicu peningkatan suhu global rata-rata sebesar 1.1∘C. Peningkatan suhu ini kemudian secara langsung menyebabkan perubahan iklim ekstrem, termasuk badai yang lebih kuat, banjir besar, dan kekeringan berkepanjangan.
Angka 92% ini berfungsi sebagai dasar hukum dan moral yang kuat untuk menentukan target mitigasi yang adil dan kewajiban pendanaan iklim. Hal ini memperkuat prinsip yang telah lama didukung dalam negosiasi iklim, yaitu Tanggung Jawab Bersama Tetapi Terdiferensiasi (CBDR–RC), yang secara implisit menjustifikasi kewajiban finansial yang harus dipikul oleh negara-negara maju untuk memperbaiki kerugian yang diakibatkan oleh aktivitas historis mereka.
Analisis Kesenjangan Ambisi Mitigasi (1.5°C)
Negara-negara SIDS, yang terorganisasi dalam Alliance of Small Island States (AOSIS), telah menjadi advokat utama dan paling keras untuk membatasi pemanasan global di bawah 1.5∘C dalam Kesepakatan Paris. Bagi negara-negara atol dataran rendah, target 1.5∘C adalah garis pertahanan terakhir. Presiden Maladewa secara dramatis menyatakan di konferensi iklim PBB bahwa perbedaan antara 1.5∘C dan 2∘C adalah “hukuman mati” bagi negara kepulauan tersebut.
Bahkan pada ambang batas pemanasan 1.5∘C yang diupayakan, dampaknya sudah sangat merusak. Kenaikan permukaan laut diprediksi mencapai 48 cm, menyebabkan banjir hebat dan tenggelamnya wilayah pesisir. Secara ekonomi, kenaikan suhu 1.5∘C diproyeksikan mengakibatkan kerugian global sebesar 10.2 triliun dolar per tahun akibat banjir saja. Kerugian ini akan meningkat menjadi 11.7 triliun dolar jika suhu naik menjadi 2∘C.
Pernyataan bahwa 1.5∘C adalah ambang “hukuman mati” secara efektif mempolitisasi target ilmiah ini, menjadikannya garis merah geopolitik yang tidak dapat dikompromikan. Hal ini menuntut agar negara-negara industri besar mengakui urgensi dan risiko eksistensial yang dihadapi SIDS dalam setiap proses negosiasi iklim lanjutan.
Tabel Komparasi: Disparitas Kontribusi Emisi dan Kerentanan Global
Ketidakadilan kausalitas ini dapat diringkas dalam perbandingan antara kontribusi emisi Global North dan kerentanan SIDS/MAPA.
Tabel Komparasi: Disparitas Kontribusi Emisi Historis (Utara Global) vs. Kerentanan SIDS (MAPA)
| Kategori Metrik | Global North (Negara Industri) | SIDS/MAPA (Komunitas Kepulauan) | Sumber Data Kunci |
| Kontribusi Emisi Historis | Sangat Tinggi (Bertanggung jawab atas 92% Emisi Berlebih) | Minimal (Kontribusi <1%) | |
| Ancaman Eksistensial | Rendah (Kapasitas Adaptasi Tinggi) | Sangat Tinggi (Ancaman Tenggelam, Hilangnya Kedaulatan) | |
| Tuntutan Politik Utama | Mitigasi dan Komitmen Finansial | Keadilan Reparatif dan Dana Kerugian/Kerusakan (LDF) |
Bencana Eksistensial: Studi Kasus Kenaikan Air Laut di Kepulauan Kecil
Ancaman kenaikan permukaan air laut (Sea-Level Rise/SLR) adalah manifestasi paling langsung dan brutal dari krisis iklim terhadap SIDS, mengancam keberadaan fisik mereka.
Ancaman Fisik Global dan Regional
Intergovernmental Panel on Climate Change (IPCC) memproyeksikan kenaikan permukaan air laut global mencapai 0.52 m hingga 0.98 m pada tahun 2100. Di negara-negara atol dataran rendah, ancaman ini diperburuk oleh fenomena overwash, di mana kenaikan permukaan air laut menghasilkan badai dan gelombang besar yang menyapu pulau-pulau. Proses overwash ini sangat merusak cadangan air tanah yang menjadi sumber utama air tawar, membuatnya tidak lagi layak untuk dikonsumsi manusia.
Studi Kasus Pasifik: Ancaman Tenggelam dan Migrasi Lingkungan
Negara-negara di Pasifik Tengah menghadapi ancaman eksistensial yang tidak terhindarkan:
- Kiribati:Negara atol ini terancam tenggelam dan diprediksi menjadi negara pertama di dunia yang harus memindahkan seluruh penduduknya akibat perubahan iklim. Hal ini memunculkan kekhawatiran nyata mengenai krisis migran lingkungan (climate migrants) dalam skala besar.
- Tuvalu:Dengan populasi lebih dari 11.000 jiwa dan elevasi yang hanya sekitar dua meter di atas permukaan laut , Tuvalu berpotensi tidak layak huni dalam waktu dekat. Untuk menghadapi ancaman ini, pemerintah telah menyiapkan rencana relokasi total. Skema migrasi permanen ke Australia telah diluncurkan, memungkinkan relokasi 280 warga per tahun.
Studi Kasus Samudra Hindia dan Asia Tenggara: Kerentanan Berlapis
- Maladewa:Pulau-pulau tropis dataran rendah, termasuk Maladewa, diperingatkan tidak akan bisa ditempati lagi dalam 30 tahun mendatang akibat SLR dan overwash. Para ilmuwan memprediksi titik kritis akan terjadi pada pertengahan abad ini—antara 2030 hingga 2060—ketika air tanah yang dapat diminum hilang sepenuhnya. Pemerintah Maladewa telah menerapkan solusi adaptasi ekstrem, seperti pembangunan pulau buatan dan rumah terapung.
- Indonesia (Kasus Demak/Semarang):Di Asia Tenggara, kerentanan terhadap kenaikan air laut sering kali diperparah oleh masalah geologis yang dipicu manusia, yaitu penurunan muka tanah (subsidence). Studi kasus di pesisir Kabupaten Demak menunjukkan gabungan kenaikan air laut dan subsidence, dengan penurunan muka tanah berkisar antara 0.06-1.15 meter per tahun. Ketinggian pasang air laut yang diprediksi mencapai 1.63 meter pada tahun 2025 dikombinasikan dengan penurunan elevasi tanah menyebabkan luasan area sangat bahaya banjir pasang mencapai 57% dari wilayah penelitian.
Kasus Demak menunjukkan adanya vulnerabilitas komposit, di mana krisis iklim global berinteraksi dengan masalah lokal (subsidence akibat eksploitasi air tanah) untuk mempercepat bencana. Hal ini menekankan bahwa solusi keadilan iklim di kawasan ini tidak hanya membutuhkan mitigasi emisi Global North, tetapi juga transfer teknologi untuk mengatasi subsidence.
Tabel Studi Kasus: Ancaman Utama Akibat Kenaikan Permukaan Air Laut di SIDS Pilihan
| Negara/Wilayah | Ancaman Fisik Spesifik | Dampak Sosio-Ekonomi Kritis | Tuntutan Adaptasi/Solusi Inovatif |
| Kiribati | Terancam Tenggelam Total (Negara Atol) | Migrasi Paksa (Climate Migrants), Ancaman Kepadatan Penduduk | Rencana Pemindahan Penduduk Global |
| Maladewa | Overwash Merusak Cadangan Air Tanah | Hilangnya Air Minum (Diprediksi 2030-2060), Kerusakan Pariwisata | Pembangunan Pulau Buatan dan Rumah Terapung |
| Tuvalu | Elevasi Sangat Rendah (±2 meter) | Hilangnya Identitas dan Situs Warisan Budaya, Relokasi Warga | Pemindaian Digital 3D (Pelestarian Budaya Virtual) |
| Demak, Indonesia | Kombinasi Kenaikan Air Laut dan Penurunan Tanah | Genangan Banjir Rob Permanen, Kerugian Lahan Pertanian | Mitigasi Subsidence, Peningkatan Infrastruktur Pesisir |
Kerugian Total: Implikasi Hukum, Sosial, dan Budaya (Loss and Damage Non-Ekonomi)
Kerugian akibat krisis iklim melampaui kerugian ekonomi langsung. Bagi negara-negara kepulauan, krisis ini mengancam inti dari keberadaan negara (kedaulatan) dan identitas kolektif (budaya), yang secara kolektif disebut Kerugian dan Kerusakan Non-Ekonomi (Non-Economic Losses/NEL).
Ancaman Terhadap Kedaulatan Maritim dan Integritas Wilayah
Dalam hukum laut internasional, batas maritim suatu negara, termasuk Laut Teritorial, Perairan Kepulauan, dan Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE), bergantung pada garis pangkal (baseline) yang ditarik dari konfigurasi pantai negara tersebut. Kenaikan air laut secara langsung menyebabkan pergeseran garis pantai melalui abrasi dan inundasi.
Pergeseran garis pangkal ini secara hukum mengancam berkurangnya titik dasar garis pangkal. Berdasarkan Konvensi Hukum Laut 1982 (UNCLOS), jika garis pantai secara fisik bergeser, perhitungan batas laut pun bergeser, yang dapat mengakibatkan hilangnya klaim yurisdiksi maritim suatu negara, terutama ZEE dan Landas Kontinen. Dalam konteks Indonesia, kasus abrasi di Pulau Nipah menunjukkan ancaman konkret terhadap batas wilayah dan posisi strategis geopolitik maritim. Fenomena ini berpotensi menimbulkan klaim tumpang tindih dan memperkeruh sengketa batas laut antarnegara.
Untuk mencegah SIDS kehilangan klaim yurisdiksi maritim akibat bencana yang tidak mereka sebabkan, komunitas hukum internasional sedang memperdebatkan solusi reparatif—Pembekuan Garis Pangkal (Freezing the Baselines). Solusi ini akan memastikan bahwa batas maritim SIDS, yang diukur dari garis pangkal, tetap utuh secara hukum, terlepas dari perubahan fisik garis pantai akibat krisis iklim.
Kerugian Ekonomi Sektor Tradisional dan Ketahanan Pangan
Komunitas kepulauan sangat bergantung pada sektor tradisional. Sektor pertanian dan perikanan merupakan sektor yang paling terdampak oleh krisis iklim. Perubahan iklim menyebabkan anomali cuaca ekstrem, yang berujung pada gagal panen dan penurunan tangkapan ikan.
Konsekuensi sosial-ekonomi yang ditimbulkan sangat parah. Ketidakpastian pangan dan memburuknya keadaan ekonomi memaksa masyarakat adat mencari pekerjaan alternatif, bahkan menyebabkan anak-anak terlibat dalam pekerjaan untuk menopang keluarga, yang pada gilirannya menghambat pemenuhan kebutuhan dasar seperti pendidikan.
Kerugian Non-Ekonomi (NEL): Hilangnya Identitas dan Warisan Budaya
Kerugian Non-Ekonomi (NEL) mencakup semua dampak yang tidak dapat diukur atau dinilai dengan harga moneter, namun nilainya tak tergantikan bagi komunitas yang terdampak. Ini termasuk hilangnya situs budaya, kuburan leluhur, pengetahuan tradisional, serta identitas dan bahasa yang terkait erat dengan daratan dan lingkungan maritim.
Upaya ekstrem yang dilakukan Tuvalu melambangkan tingginya nilai NEL. Pemerintah Tuvalu meluncurkan proyek inovatif dengan memindai seluruh pulau mereka secara 3D. Tindakan ini merupakan adaptasi kultural yang dramatis: upaya untuk melestarikan identitas dan warisan budaya secara virtual, untuk memastikan sejarah mereka tetap lestari meskipun daratan fisiknya suatu hari nanti benar-benar hilang dari peta dunia.
Meskipun Dana Kerugian dan Kerusakan (LDF) telah mengakui mandat untuk menangani NEL , sulitnya mengumpulkan data dan menilai kerugian non-ekonomi secara konsisten di tingkat global dan nasional merupakan tantangan operasional yang besar. Alokasi pendanaan harus secara eksplisit ditujukan tidak hanya untuk infrastruktur, tetapi juga untuk program pelestarian budaya digital dan dukungan komunitas yang terpaksa bermigrasi.
Advokasi Keadilan Iklim: Peran AOSIS dan Mekanisme Keuangan
SIDS telah menggunakan otoritas moral dan posisi rentan mereka untuk memimpin diplomasi iklim, terutama melalui Aliansi Negara Kepulauan Kecil (AOSIS).
Kepemimpinan Politik SIDS: Alliance of Small Island States (AOSIS)
AOSIS telah memainkan peran historis kepemimpinan yang krusial di bawah kerangka UNFCCC. Strategi diplomatik mereka terbukti efektif, terutama dalam mereformulasi isu kerugian dan kerusakan (Loss and Damage) dari sekadar masalah teknis adaptasi menjadi tuntutan moral dan politik yang sah.
Keberhasilan AOSIS dalam mendorong pengakuan terhadap krisis iklim dan penetapan batas 1.5∘C sebagai tujuan global dalam Kesepakatan Paris menunjukkan bagaimana otoritas moral dapat digunakan untuk mengimbangi asimetri kekuasaan struktural antara Global North dan Global South dalam negosiasi iklim.
Operasionalisasi Dana Kerugian dan Kerusakan (Loss and Damage Fund/LDF)
Pengakuan politik atas tuntutan keadilan reparatif mencapai puncaknya dengan pendirian Dana Kerugian dan Kerusakan (LDF) melalui keputusan COP 27, yang kemudian dioperasionalkan di COP 28/CMA 5. LDF didirikan sebagai entitas yang dipercayakan untuk mengoperasikan Mekanisme Keuangan Konvensi, dan juga melayani Kesepakatan Paris.
Mandat LDF secara eksplisit fokus pada penanganan kerugian ekonomi dan non-ekonomi yang dialami negara berkembang yang sangat rentan (vulnerable developing countries) akibat dampak buruk perubahan iklim, termasuk kejadian cuaca ekstrem dan slow onset events. LDF ini mencerminkan pergeseran norma global menuju konsep keadilan reparatif dan solidaritas transnasional, yang mendasarkan klaimnya pada tanggung jawab historis Global North.
Perdebatan Tata Kelola LDF: World Bank vs. Akuntabilitas UNFCCC
Meskipun operasionalisasi LDF adalah kemenangan bersejarah bagi Global South, mekanisme tata kelolanya menimbulkan perdebatan. World Bank (WB) diundang untuk mengoperasionalkan LDF sebagai Financial Intermediary Fund (FIF) untuk periode sementara empat tahun, tunduk pada serangkaian kondisi tertentu. Meskipun penempatan ini mempercepat operasionalisasi, kekhawatiran muncul mengenai implikasi institusionalnya.
LDF harus akuntabel kepada dan berfungsi di bawah panduan dari COP dan CMA. Namun, penempatan di WB berisiko mengubah persepsi LDF di mata negara maju dari kewajiban kompensasi (yang didasarkan pada tanggung jawab historis) menjadi sekadar bantuan pembangunan atau amal (charity). Hal ini menuntut pengawasan ketat oleh negara-negara berkembang untuk memastikan dana tetap mudah diakses, cepat dicairkan, dan benar-benar melayani negara yang paling rentan, tanpa terbebani oleh birokrasi donor tradisional.
Kesenjangan Pendanaan dan Tuntutan NCQG
Saat ini, terdapat kesenjangan signifikan antara kebutuhan finansial yang dihadapi negara-negara rentan untuk mengatasi L&D dan dana yang tersedia. Negara-negara berkembang secara konsisten menuntut sumber pendanaan yang baru, tambahan, memadai, dan terprediksi untuk LDF.
Untuk menjamin pendanaan jangka panjang yang diperlukan untuk LDF dan adaptasi, perundingan mengenai Tujuan Kuantitatif Kolektif Baru (New Collective Quantified Goal/NCQG) untuk pembiayaan iklim pasca-2025 menjadi sangat penting. NCQG, yang akan diadopsi di COP29, diharapkan dapat menetapkan target pendanaan yang jauh lebih ambisius dan adil, melampaui janji 100 miliar per tahun yang sebelumnya telah ditetapkan.
Tabel Status: Operasionalisasi Dana Kerugian dan Kerusakan (LDF) UNFCCC
| Aspek | Detail Mekanisme | Signifikansi Politik | Tantangan Utama |
| Dasar Hukum/Kesepakatan | Keputusan COP 27 dan COP 28/CMA 5 | Pengakuan Politik atas Tuntutan Keadilan Reparatif Global South | Kesenjangan Pendanaan (Gaps between needs and available finance) |
| Struktur Tata Kelola | Dioperasikan sementara oleh World Bank (4 tahun) sebagai FIF | Kompromi yang memastikan pengawasan oleh COP dan CMA | Memastikan Aksesibilitas dan Kecepatan Pendanaan, terutama untuk Non-Ekonomi L&D |
| Mandat Fokus | Mengatasi Kerugian Ekonomi dan Non-Ekonomi akibat Extreme Weather Events dan Slow Onset Events | Mendukung negara berkembang yang sangat rentan (Vulnerable Developing Countries) | Menentukan Sumber Pendanaan “Baru, Tambahan, Adekuat, dan Terprediksi” |
Jalan Menuju Ketahanan (Resilience) SIDS yang Didukung Keadilan
Meskipun menghadapi ancaman eksistensial yang luar biasa, SIDS menunjukkan kepemimpinan dalam upaya mitigasi dan adaptasi, yang sayangnya sangat bergantung pada dukungan finansial dan teknologi eksternal.
Upaya Mitigasi Mandiri dan Transisi Energi SIDS
Meskipun kontribusi emisi mereka minimal, negara-negara SIDS secara proaktif berinvestasi dalam mitigasi berbasis energi terbarukan (renewable energy/RE) di bawah kerangka UNFCCC. Upaya ini menunjukkan bahwa SIDS tidak hanya menuntut pertanggungjawaban dari negara-negara maju, tetapi juga berkomitmen untuk menjadi bagian dari solusi global, terutama dalam mengurangi ketergantungan pada bahan bakar fosil yang memicu krisis.
Strategi Adaptasi Inovatif untuk Ketahanan Pangan
Untuk mengatasi tantangan hilangnya lahan pertanian akibat abrasi dan salinisasi, SIDS harus beralih ke strategi adaptasi inovatif. Salah satu solusi menjanjikan adalah Pertanian Vertikal (Vertical Farming/VF).
Sistem VF yang adaptif (Adaptive Vertical Farm/AVF) terbukti mampu mengatasi keterbatasan lahan dengan memanfaatkan ruang vertikal. Penelitian menunjukkan bahwa AVF dapat meningkatkan area budidaya hingga 400% dibandingkan sistem datar tradisional dan secara signifikan mengurangi konsumsi energi untuk kontrol iklim hingga 22%. Solusi ini sangat penting bagi negara-negara kepulauan dengan lahan yang terbatas.
Namun, keberhasilan adaptasi berteknologi tinggi seperti VF, yang membutuhkan biaya awal yang substansial, otomatisasi berbasis AI/IoT , dan solusi teknik ekstrem seperti pembangunan pulau buatan , secara langsung mengikat ketahanan SIDS pada ketersediaan transfer teknologi dan pendanaan luar yang memadai. Ketahanan SIDS tidak dapat dicapai tanpa terpenuhinya kewajiban finansial Global North secara penuh.
Kebutuhan Dukungan Teknis dan Dukungan Migrasi Bermartabat
Pendanaan adaptasi harus diiringi dengan dukungan teknis yang kuat. Mekanisme seperti Santiago Network (di bawah Warsaw International Mechanism for Loss and Damage) sangat penting untuk memberikan dukungan teknis yang diperlukan SIDS dalam mengukur, menilai, dan mengatasi kerugian.
Selain itu, bagi komunitas yang terpaksa menghadapi relokasi total, seperti Kiribati dan Tuvalu, dana keadilan iklim harus mencakup dukungan logistik, hukum, dan kultural untuk menjamin proses migrasi yang bermartabat. Hal ini termasuk memastikan perlindungan identitas dan warisan mereka selama dan setelah transisi fisik.
Kesimpulan
Analisis mendalam ini menegaskan bahwa jejak karbon historis Global North adalah utang iklim yang kini dibayar oleh Negara-negara Kepulauan Kecil (SIDS) dengan kehilangan wilayah, kedaulatan, dan warisan budaya yang tak tergantikan. Solusi terhadap krisis ini harus didasarkan pada prinsip keadilan reparatif yang mengakui dan mengatasi tanggung jawab historis ini.
Rekomendasi Aksi Nyata untuk Negara Industri Besar (Global North)
Terdapat empat kewajiban utama yang harus segera dipenuhi oleh negara-negara industri besar untuk menegakkan keadilan iklim:
- Peningkatan Ambisi Mitigasi dan Kepatuhan 1.5∘C:Negara industri harus segera memperkuat Kontribusi yang Ditentukan Secara Nasional (Nationally Determined Contributions/NDC) mereka. Hanya dengan menutup kesenjangan emisi dan memastikan batas 1.5∘C tidak terlampaui, ancaman hukuman mati eksistensial terhadap SIDS dapat dihindari.
- Memenuhi dan Melampaui LDF sebagai Liabilitas:Kontribusi keuangan kepada Dana Kerugian dan Kerusakan (LDF) harus disediakan sebagai pendanaan yang baru, tambahan, adekuat, dan terprediksi. Kontribusi ini harus diperlakukan sebagai liabilitas historis, bukan sekadar bantuan pembangunan atau amal, untuk menghormati prinsip keadilan reparatif.
- Dukungan Legal terhadap Kedaulatan:Negara maju harus mendukung adopsi resolusi internasional di bawah UNCLOS yang secara hukum mengakui dan membekukan garis pangkal (freezing the baselines) Tindakan ini adalah prasyarat untuk melindungi kedaulatan maritim dan Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) mereka dari pergeseran fisik yang diakibatkan oleh SLR.
- Transfer Teknologi dan Kapasitas Adaptasi:Menyediakan pendanaan dan transfer teknologi untuk adaptasi skala besar, seperti implementasi vertical farming untuk ketahanan pangan, pengelolaan air yang efisien, dan teknologi mitigasi penurunan muka tanah (subsidence) di kawasan Asia Tenggara.
Rekomendasi Strategis untuk SIDS dan Aliansi Global South
SIDS dan aliansi Global South harus mempertahankan strategi negosiasi yang kritis dan proaktif:
- Memperkuat Pengawasan LDF:Memastikan akuntabilitas World Bank dan kontrol LDF tetap berada di bawah panduan COP/CMA. Upaya harus ditingkatkan untuk menjaga agar sifat dana tetap reparatif dan dapat diakses dengan cepat, terutama untuk kerugian yang sulit diukur, seperti Kerugian Non-Ekonomi.
- Strategi Ketahanan Ganda yang Didukung Teknologi:Menggabungkan upaya mitigasi berbasis energi terbarukan mandiri dengan implementasi strategi adaptasi inovatif yang didukung teknologi tinggi, sambil secara tegas menuntut transfer teknologi yang diperlukan.
- Diplomasi Kultural dan Dokumentasi NEL:Mengintensifkan upaya pelestarian warisan budaya (misalnya, proyek pemindaian 3D Tuvalu ) dan bekerja sama dengan akademisi untuk mengembangkan metodologi yang lebih baik dalam mengukur dan mengintegrasikan nilai kerugian non-ekonomi secara sistematis ke dalam tuntutan L&D. Hal ini penting untuk memastikan NEL mendapatkan alokasi pendanaan yang setara dengan kerugian ekonomi.
