Latar Belakang Konflik Papua: Titik Nol Tegangan
Isu Papua merupakan salah satu permasalahan domestik Indonesia yang paling kompleks, berakar pada sejarah pasca-kolonial dan klaim nasionalisme lokal yang terus berhadapan dengan prinsip fundamental integritas teritorial Republik Indonesia. Sejak penyerahan administrasi Irian Barat kepada Indonesia pada 1 Mei 1963, menyusul Perjanjian New York 1962, ketegangan antara Jakarta dan kelompok nasionalis Papua telah berlangsung lama. Konflik ini bukan hanya perselisihan teritorial, melainkan ujian berat bagi Hukum Internasional di kawasan Pasifik—sebuah pertarungan narasi yang memperhadapkan hak historis dekolonisasi (yang diklaim oleh kelompok separatis) dengan prinsip stabilitas regional (Uti Possidetis Juris) yang dipegang teguh oleh Indonesia.
Dinamika separatisme di wilayah Papua secara signifikan dipengaruhi oleh kelompok Organisasi Papua Merdeka (OPM), yang dalam beberapa waktu terakhir dikenal juga sebagai Tentara Pembebasan Nasional Papua Barat (TPNPB). Kelompok ini terlibat dalam konflik bersenjata berkepanjangan dengan pihak berwenang TNI-POLRI, yang menyebabkan insiden kekerasan dan hilangnya nyawa, termasuk anggota TNI. Situasi ini secara langsung memicu perhatian internasional karena narasi yang dibawa oleh kelompok pro-kemerdekaan dan negara-negara pendukungnya selalu berpusat pada dugaan pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) yang dilakukan oleh aparat keamanan Indonesia.
Ruang lingkup analisis ini berfokus pada titik persimpangan kritis di mana kedaulatan negara (sebagai benteng hukum Indonesia) ditantang oleh kewajiban perlindungan HAM universal dan hak penentuan nasib sendiri (self-determination). Isu domestik seperti Papua secara konsisten diangkat ke forum internasional, terutama oleh negara-negara Pasifik di Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), dengan dalih tuntutan HAM dan penentuan nasib sendiri, menciptakan tantangan signifikan terhadap prinsip tradisional Non-Intervensi. Analisis ini meninjau pergeseran paradigma dari kedaulatan absolut (Westphalian) menuju kedaulatan bersyarat yang menuntut akuntabilitas HAM internal.
Dinamika Separatisme dan Ancaman Kedaulatan
Sepanjang sejarahnya, Indonesia telah menghadapi berbagai ancaman terhadap kedaulatannya, baik yang bersifat internal maupun eksternal, termasuk gerakan DI/TII, Gerakan Aceh Merdeka (GAM), hingga sengketa perbatasan. Gerakan separatisme di Papua adalah salah satu ancaman kedaulatan internal yang paling persisten dan kompleks, yang juga melibatkan dinamika etnis, budaya, dan tuntutan politik.
Meskipun Indonesia berpegangan pada ketentuan hukum internasional dan peraturan perundang-undangan domestik dalam menjalankan kedaulatannya , kegagalan dalam menyelesaikan masalah internal secara tuntas akan otomatis meningkatkan kerentanan Indonesia terhadap tekanan eksternal di forum global. Dengan demikian, isu Papua bukan hanya masalah keamanan dalam negeri, tetapi telah menjadi agenda diplomatik dan geopolitik yang menguras modal politik Jakarta. Konflik yang telah berlangsung lama ini menunjukkan bahwa solusi yang bersifat top-down atau murni militeristik tidak cukup, dan bahwa upaya domestik (seperti Otonomi Khusus/Otsus) belum sepenuhnya memuaskan aspirasi masyarakat lokal, yang kemudian membuka peluang intervensi non-militer dari luar.
Landasan Hukum Konflik: Prinsip Kedaulatan, Non-Intervensi, dan Tanggung Jawab Melindungi (R2P)
Kedaulatan Negara sebagai Perisai Hukum
Prinsip kedaulatan dan non-intervensi merupakan landasan utama sistem PBB, sebagaimana termaktub dalam Piagam PBB Pasal 2(7). Prinsip ini secara fundamental melarang negara lain atau organisasi internasional mencampuri urusan yang secara esensial berada di bawah yurisdiksi domestik suatu negara berdaulat. Indonesia secara konsisten menggunakan prinsip Non-Intervensi sebagai perisai hukumnya yang paling kuat untuk menangkis semua kritik dan upaya internasionalisasi isu Papua, termasuk klaim dari Vanuatu dan negara Pasifik lainnya yang mendukung gerakan separatis.
Sebagai negara berdaulat yang diakui secara internasional, Indonesia memiliki hak untuk mengatasi ancaman domestik, seperti gerakan separatisme yang diakomodir oleh OPM, tanpa campur tangan dari luar. Prinsip ini menegaskan bahwa penanganan konflik bersenjata antara OPM dan TNI/POLRI adalah sepenuhnya urusan internal negara.
Tantangan Normatif: Doktrin Responsibility to Protect (R2P)
Meskipun prinsip kedaulatan menyediakan perlindungan hukum yang kuat, kedaulatan di era modern tidak lagi dianggap absolut. Doktrin Responsibility to Protect (R2P atau RtoP), yang disahkan oleh Majelis Umum PBB pada KTT Dunia 2005, merupakan komitmen politik global yang menantang batas-batas kedaulatan tradisional.
R2P didasarkan pada premis mendasar bahwa kedaulatan mengandung tanggung jawab untuk melindungi semua populasi dari kejahatan kekejaman massal (mass atrocity crimes) dan pelanggaran hak asasi manusia.
Struktur Tiga Pilar R2P:
- Pilar I (Tanggung Jawab Negara):Menekankan bahwa setiap negara memiliki tanggung jawab utama untuk melindungi populasinya dari genosida, kejahatan perang, pembersihan etnis, dan kejahatan terhadap kemanusiaan. Indonesia selalu menegaskan bahwa pihaknya memenuhi Pilar I ini.
- Pilar II (Bantuan Internasional):Komunitas internasional berkomitmen membantu negara-negara membangun kapasitas perlindungan mereka, termasuk membantu negara yang berada di bawah tekanan sebelum krisis.
- Pilar III (Respons Kolektif):Pilar ini merupakan titik paling kontroversial. Jika suatu negara “nyata-nyata gagal” (manifestly failing) dalam tanggung jawab perlindungannya (Pilar I), maka negara-negara harus mengambil tindakan kolektif yang tepat waktu dan tegas.
Ambahan Kriminalitas Massal (Mass Atrocity Crimes): R2P secara ketat hanya berlaku untuk empat jenis kejahatan massal: genosida, kejahatan perang, kejahatan terhadap kemanusiaan, dan pembersihan etnis. Kejahatan-kejahatan ini didefinisikan secara hukum dalam dokumen internasional seperti Statuta Roma Mahkamah Pidana Internasional (ICC). Doktrin ini berfungsi sebagai “kuda Troya” yang potensial bagi intervensi, tetapi ambang batas penerapannya yang sangat tinggi menjadi pengamanan kedaulatan bagi negara-negara yang dituduh melanggar HAM, termasuk Indonesia.
Penantang Indonesia di forum internasional harus membuktikan secara meyakinkan bahwa dugaan pelanggaran HAM di Papua telah mencapai ambang batas Kejahatan Terhadap Kemanusiaan atau Genosida agar Pilar III R2P dapat dipertimbangkan. Selama klaim HAM yang diajukan oleh negara-negara Pasifik tidak secara definitif mencapai level kejahatan massal yang membutuhkan tanggapan kolektif, perisai Pasal 2(7) Indonesia tetap kuat. Hal ini menjadikan intervensi militer atau koersif PBB sangat tidak mungkin, hanya menyisakan jalur tekanan diplomatik di Dewan HAM PBB (UNHRC).
Analisis Titik Ketegangan Hukum
Table 1: Perbandingan Doktrin Hukum Internasional dalam Kasus Papua
| Doktrin Hukum | Dasar Hukum Utama | Posisi Hukum Indonesia | Tantangan dalam Kasus Papua (Argumen Pesaing) |
| Kedaulatan dan Non-Intervensi | Piagam PBB Pasal 2(7); UU No. 43/2008 | Perisai utama yang menolak campur tangan PBB/negara asing atas isu domestik. | Dianggap usang jika terjadi manifest failure dalam HAM. |
| Responsibility to Protect (R2P) | KTT Dunia PBB 2005 (Pillar III) | Menegaskan Pillar I (tanggung jawab negara) dan menolak klaim mencapai ambang batas Kejahatan Massal (Genosida, dll.). | Negara-negara Pasifik dan OPM berusaha memobilisasi opini bahwa terjadi kegagalan manifes. |
| Self-Determination (SD) Eksternal | Resolusi PBB 2625 (XXV); ICESCR/ICCPR | Menegaskan perlindungan Integritas Teritorial; SD tidak dapat merusak negara berdaulat. | Klaim bahwa hak SD belum dilaksanakan secara sah (Act of Free Choice 1969 cacat). |
Dilema Penentuan Nasib Sendiri (Self-Determination) vs. Integritas Teritorial
Konflik normatif kedua yang dihadapi Indonesia berkaitan dengan hak penentuan nasib sendiri (SD), yang merupakan elemen inti yang diangkat oleh kelompok separatis dan pendukung internasional mereka.
Dualitas Hak Penentuan Nasib Sendiri
Hak penentuan nasib sendiri memiliki dimensi konstitusional dan dua aspek utama: internal dan eksternal.
- Dimensi Internal:Hak ini mencakup hak semua orang untuk secara bebas mengejar pembangunan ekonomi, sosial, dan budaya mereka tanpa campur tangan luar, serta hak setiap warga negara untuk berpartisipasi dalam urusan publik di setiap tingkatan. Dalam konteks Indonesia, upaya Otonomi Khusus (Otsus) Papua dapat dipandang sebagai sarana untuk memenuhi aspek SD internal ini. Otsus memberikan kerangka hukum yang bertujuan menghormati dan melindungi identitas masyarakat hukum adat, termasuk hak atas tanah ulayat, sejalan dengan perlindungan HAM.
- Dimensi Eksternal:Dimensi ini menyiratkan kemungkinan pemisahan atau kemerdekaan, yang merupakan tujuan utama gerakan separatis Papua.
Supremasi Integritas Teritorial: Hukum internasional, melalui Resolusi PBB, secara eksplisit menyeimbangkan hak SD dengan prinsip Integritas Teritorial. Resolusi tersebut menegaskan bahwa hak SD tidak boleh ditafsirkan sebagai otoritas atau dorongan atas tindakan yang dapat mencerai-beraikan atau merusak integritas teritorial negara-negara berdaulat dan merdeka. Prinsip ini memberikan garis pertahanan hukum kedua bagi Indonesia (setelah Non-Intervensi) untuk menangkis tuntutan kemerdekaan yang didasarkan pada SD.
Kontroversi Legitimasi: Act of Free Choice (AoFC) 1969
Meskipun prinsip integritas teritorial sangat kuat, isu AoFC 1969 (Penentuan Pendapat Rakyat/Pepera) berfungsi sebagai Achilles Heel bagi klaim kedaulatan absolut Indonesia.
Argumen Papua dan Separatis: Kelompok pro-kemerdekaan berpendapat bahwa AoFC 1969, yang menyerahkan kendali West Papua kepada Indonesia, adalah pelanggaran hukum internasional dan bukan pelaksanaan hak SD yang sah sesuai standar internasional. Terdapat klaim bahwa proses tersebut dipenuhi koersi, di mana 1.022 (atau 1.026) perwakilan suku Papua (dari populasi sekitar 800.000) diminta untuk memilih untuk tetap bersama Indonesia atau memisahkan diri. Klaim menunjukkan bahwa perwakilan tersebut diinstruksikan untuk memilih tetap bersama Indonesia, dilarang memberikan suara, dan dipaksa mencapai keputusan melalui sistem musyawarah Indonesia, semuanya terjadi di bawah pengawasan ketat. Hal ini menyebabkan kelompok pro-kemerdekaan menyebutnya sebagai “Act of No Choice”.
Implikasi Hukum Kekosongan Legitimasi: Jika AoFC 1969 dianggap cacat hukum internasional, maka justifikasi kedaulatan Indonesia atas Papua menjadi dipertanyakan. Wilayah tersebut berpotensi dianggap berada di bawah “dominasi asing” (alien domination), status yang dilarang oleh hukum internasional.
Negara-negara Pasifik mengeksploitasi celah ini dengan berargumen bahwa mereka tidak mendorong pemisahan dari negara berdaulat (yang akan melanggar Resolusi PBB tentang non-disintegrasi ), melainkan menuntut pemenuhan hak SD yang seharusnya terjadi pada tahun 1969. Ini adalah serangan terhadap legitimasi historis kedaulatan Indonesia, bukan hanya kritik terhadap pelanggaran HAM kontemporer.
Otonomi Khusus sebagai Respon Internal
Pemerintah Indonesia merespons tuntutan ini dengan kebijakan Otonomi Khusus (Otsus), yang dimaksudkan untuk memenuhi aspek Internal Self-Determination dengan mendekatkan pelayanan, mendorong demokratisasi, memperkuat kapasitas daerah, dan secara simultan memperkuat integrasi nasional. Otsus juga dirancang sebagai upaya meredam konflik dan kekerasan di Papua.
Namun, Otsus dikritik karena implementasinya yang belum sempurna, gagal mengatasi akar nasionalisme Papua, dan belum efektif dalam mengatasi masalah keamanan yang menyebabkan pejabat birokrasi meninggalkan tugas dan pelayanan publik terhambat. Kegagalan Otsus untuk menetralisir narasi separatisme terjadi karena solusi ini seringkali dilihat sebagai solusi politik dan ekonomi yang tidak mengakui atau menyelesaikan klaim historis mengenai hak SD eksternal.
Internasionalisasi Isu: Strategi Diplomasi Negara-Negara Pasifik di Forum Global
Negara-negara Kepulauan Pasifik (PICs) telah berhasil mengangkat isu Papua dari masalah domestik menjadi agenda diplomatik regional dan global, yang secara langsung menantang prinsip non-intervensi.
Pembentukan Koalisi dan Aktor Utama
Advokasi internasional dikoordinasikan oleh negara-negara seperti Vanuatu dan Solomon Islands, yang memimpin Koalisi Kepulauan Pasifik untuk Papua Barat (Pacific Island Coalition for West Papua). Negara-negara lain yang ikut serta termasuk Tonga, Tuvalu, Nauru, Palau, dan Marshall Islands.
Aktor-aktor ini menggunakan strategi norm entrepreneurship, di mana norma-norma global seperti HAM dan SD digunakan sebagai alat kebijakan luar negeri yang efektif untuk menekan negara yang lebih kuat. Isu Papua ditempatkan di pusat perdebatan di dua badan antar-pemerintah terpenting di kawasan tersebut: Melanesian Spearhead Group (MSG) dan Pacific Islands Forum (PIF).
Mekanisme Internasionalisasi di PBB dan UNHRC
Koalisi Pasifik memfokuskan upaya diplomatik mereka pada forum normatif, yaitu Majelis Umum PBB (UNGA) dan Dewan HAM PBB (UNHRC). Mereka menggunakan strategi “diplomasi megaphone” dengan mengeluarkan pernyataan bersama yang menyerukan UNHRC untuk:
- Melakukan investigasi komprehensif terhadap situasi HAM di Papua.
- Meminta Komisioner Tinggi HAM PBB menghasilkan laporan komprehensif mengenai situasi HAM di wilayah tersebut, yang telah berada di bawah pemerintahan Indonesia sejak tahun 1960-an.
Penggunaan forum-forum ini menunjukkan bahwa meskipun PICs tidak memiliki kekuatan ekonomi atau militer untuk intervensi, mereka berhasil menciptakan kegaduhan politik internasional yang memaksa Indonesia berada dalam posisi defensif. Kebangkitan minat terhadap penderitaan West Papua di Pasifik dalam beberapa tahun terakhir menunjukkan bahwa isu ini berhasil diangkat di luar batas kedaulatan Indonesia.
Tantangan terhadap Akses dan Akuntabilitas
Indonesia menghadapi kritik karena dituduh membatasi akses bagi media asing, organisasi HAM internasional, dan bahkan misi pencari fakta tingkat menteri dari MSG dan PIF. Pembatasan akses ini secara efektif memperkuat narasi dari Koalisi Pasifik bahwa Jakarta berusaha menyembunyikan pelanggaran.
Selain itu, klaim yang konsisten tentang kegagalan Indonesia menyediakan keadilan bagi korban pelanggaran HAM dan kegagalan dalam menerbitkan laporan HAM periodik yang disyaratkan PBB semakin memvalidasi tuntutan investigasi PBB. Selama Indonesia dianggap kurang transparan, tekanan internasional akan terus berlanjut.
Respons Diplomatik dan Strategi Penanggulangan Indonesia (Counter-Diplomacy)
Pemerintah Indonesia telah melakukan serangkaian langkah kebijakan dan upaya kontra-diplomasi intensif untuk merespons dukungan internasional terhadap separatisme Papua.
Strategi Pertahanan Kedaulatan dan Penegasan Komitmen HAM
Respons diplomatik Indonesia berpusat pada penegasan kedaulatan dan prinsip non-intervensi. Indonesia secara konsisten menolak tuduhan intervensi sebagai pelanggaran Pasal 2(7) Piagam PBB.
Selain itu, Indonesia menanggapi kritik HAM dengan menegaskan komitmennya untuk mempromosikan dan melindungi hak asasi manusia semua rakyatnya, termasuk di Papua, dan menekankan bahwa tindakan pemerintah selalu diawasi oleh institusi HAM nasional yang independen dan kredibel. Untuk menetralkan argumen solidaritas etnis Melanesia yang diusung oleh Vanuatu, diplomasi Indonesia menggunakan narasi identitas yang inklusif, menekankan bahwa “Saya Melanesia, Saya Indonesia” dan bahwa Indonesia adalah negara pluralistik yang menghormati perbedaan, adat, dan kearifan lokal setiap kelompok etnis.
Diplomasi Regional: Strategi MSG dan Bantuan Teknis
Salah satu strategi paling signifikan adalah keputusan Indonesia untuk berpartisipasi sebagai anggota di Melanesian Spearhead Group (MSG). Tujuan strategis Jakarta di MSG adalah untuk mengeksploitasi persamaan dan perbedaan dengan negara-negara Melanesia, dan utamanya untuk menggagalkan upaya separatisme Papua.
Indonesia menggunakan diplomasi publik yang intensif, yang sering disebut “diplomasi bantuan” atau pocketbook diplomacy, dengan mengembangkan kerja sama dan memberikan bantuan teknis kepada negara-negara di Pasifik Selatan. Bantuan ini mencakup peningkatan kerja sama ekonomi, pelatihan, beasiswa, dan bantuan di bidang pertanian/peternakan.
Studi Kasus Vanuatu: Dalam upaya meredam dukungan politik Vanuatu terhadap Organisasi Papua Merdeka (OPM) , Indonesia meningkatkan kerja sama ekonomi dan memberikan bantuan signifikan, seperti penyaluran $2 juta USD bantuan luar negeri saat Vanuatu dilanda Badai Pam.
Namun, meskipun ada upaya intensif, termasuk penggunaan pendekatan intelijen untuk merespons strategi Vanuatu , diplomasi publik ini belum berhasil sepenuhnya mendapatkan dukungan penuh. Vanuatu secara konsisten mempertahankan dukungannya terhadap hak penentuan nasib sendiri Papua. Hal ini menunjukkan bahwa bagi beberapa negara Pasifik, dukungan terhadap Papua adalah masalah prinsip (solidaritas Melanesia atau dekolonisasi) yang jauh lebih kuat daripada insentif ekonomi jangka pendek atau bantuan bencana.
Pertarungan Pengaruh: Diplomasi Negara vs. Para-Diplomacy
Analisis menunjukkan bahwa salah satu tantangan terbesar bagi diplomasi Indonesia adalah kelemahan strukturalnya. Diplomasi Indonesia seringkali masih didominasi oleh aktor negara saja, dan kurang melibatkan aktor non-negara (media, masyarakat sipil, LSM) dalam implementasi kebijakan luar negeri.
Kelemahan ini dimanfaatkan oleh kelompok pro-kemerdekaan (OPM) melalui para-diplomacy—diplomasi yang dilakukan oleh aktor non-negara—yang semakin kuat dalam membangun jaringan aktivis dan dukungan internasional. OPM menggunakan narasi HAM dan hak SD untuk memenangkan hati publik dan opini politisi Pasifik. Kegagalan diplomasi bantuan Indonesia untuk mencapai konversi politik penuh menunjukkan bahwa upaya para-diplomacy OPM dalam menggalang dukungan politik internasional terus menjadi tantangan berkelanjutan bagi Jakarta.
Table 2: Strategi Internasionalisasi Pasifik vs. Respons Kontra-Diplomasi Indonesia
| Aktor Penantang | Tujuan Strategis | Mekanisme Internasionalisasi | Respons Kontra-Diplomasi Indonesia |
| Vanuatu & Koalisi PICs | Mendorong investigasi HAM PBB, dukungan self-determination. | Pernyataan UNGA/UNHRC; Pembentukan Koalisi Kepulauan Pasifik. | Penegasan kedaulatan/non-intervensi ; Diplomasi bantuan/ekonomi (contoh: bantuan Badai Pam). |
| OPM/TPNPB (Para-Diplomacy) | Legitimasi internasional; Dukungan finansial dan politik. | Jaringan aktivis, pelobi, dan media non-negara; Memanfaatkan kritik HAM. | Diplomasi yang fokus pada aktor negara (seperti MSG) ; Tantangan untuk melibatkan aktor non-negara secara efektif. |
| Forum Regional (MSG/PIF) | Menjadikan Papua isu regional yang memaksa Indonesia defensif. | Deliberasi formal, resolusi yang menyerukan misi pencari fakta. | Partisipasi aktif di MSG; Eksploitasi kesamaan/perbedaan; Diplomasi bantuan teknis. |
Sintesis, Implikasi Geopolitik, dan Proyeksi Masa Depan
Sinkronisasi Kedaulatan dan Akuntabilitas
Kasus Papua menempatkan kedaulatan negara dalam posisi yang dilematis. Secara formal, posisi hukum Indonesia sangat kuat, dilindungi oleh prinsip non-intervensi Pasal 2(7) Piagam PBB dan prinsip integritas teritorial yang didukung oleh Resolusi PBB. Namun, legitimasi moral dan politik kedaulatan Indonesia terus tergerus oleh dua faktor: pertama, kritik yang berkelanjutan atas dugaan pelanggaran HAM, meskipun klaim tersebut belum tentu mencapai ambang batas R2P; dan kedua, kerentanan historis yang berasal dari cacat legitimasi Act of Free Choice 1969.
Tekanan diplomatik yang dilakukan oleh negara-negara Pasifik di UNHRC menunjukkan bahwa prinsip kedaulatan kini bersifat bersyarat. Meskipun negara kecil, PICs mampu memaksakan biaya politik yang signifikan pada Indonesia melalui forum internasional, menekankan bahwa kedaulatan hanya sah sejauh negara tersebut mampu melindungi populasinya.
Implikasi Geopolitik dan Pergeseran Normatif
Konflik ini menyoroti bagaimana norma HAM dan SD telah menjadi senjata geopolitik yang efektif bagi negara-negara kecil di kawasan Pasifik untuk menantang negara regional yang lebih besar. Strategi PICs telah berhasil mengubah konflik domestik Indonesia menjadi konflik regional yang menjadi pusat perhatian MSG dan PIF.
Proyeksi menunjukkan bahwa tekanan internasional akan terus berlanjut selama isu Otsus belum menghasilkan kesejahteraan, keamanan, dan pengakuan identitas yang memadai bagi masyarakat Papua. Jika kekerasan terus berlanjut dan transparansi dibatasi, Koalisi Pasifik akan memiliki bahan bakar yang cukup untuk terus memperjuangkan investigasi PBB. Meskipun Vanuatu terkadang gagal memasukkan isu Papua dalam agenda formal Sidang Umum PBB , penggunaan platform tersebut sudah cukup untuk menjaga isu ini tetap relevan di mata internasional.
Rekomendasi Strategis untuk Indonesia
Untuk secara efektif menetralkan tantangan terhadap kedaulatan yang berasal dari isu Papua, Pemerintah Indonesia perlu mengadopsi strategi yang melampaui pertahanan hukum murni dan mencakup peningkatan akuntabilitas:
- Peningkatan Transparansi HAM dan Akses:Indonesia harus secara proaktif meningkatkan transparansi dan memberikan akses penuh bagi Komisioner Tinggi HAM PBB, media asing, dan organisasi HAM yang kredibel untuk mengunjungi Papua. Langkah ini sangat penting untuk menetralkan narasi pelanggaran dan dugaan penyembunyian yang digunakan oleh penantang internasional.
- Melawan Para-Diplomacydengan Diplomasi Publik Non-Negara: Pemerintah harus merombak strategi diplomatiknya agar lebih melibatkan aktor non-negara (LSM, akademisi, media, pemuda) untuk melawan para-diplomacy yang efektif dari OPM. Diplomasi yang didominasi oleh aktor negara terbukti tidak cukup untuk memenangkan opini publik dan politik di negara-negara Pasifik.
- Mengintegrasikan Dimensi Historis dan Politik yang Kredibel:Solusi politik jangka panjang harus melampaui Otomoni Khusus yang ada. Meskipun Otsus adalah upaya untuk memenuhi Internal Self-Determination, kebijakan ini harus diintensifkan dengan jaminan yang lebih besar terhadap hak-hak adat dan partisipasi politik, serta mengatasi akar sejarah konflik, bukan hanya aspek ekonomi dan pembangunan. Indonesia harus menunjukkan komitmen serius untuk memajukan pembangunan di Papua dalam kerangka pluralisme dan penghormatan kearifan lokal.
